"Ternyata kamu beneran Hani adiknya Hadi. Apa kabar?" tanya Nela dengan suara lembut. Hani benar-benar tercengang dengan sosok wanita malam yang pernah datang meminta pertanggung jawaban pada abangnya, tetapi akhirnya diusir(bisa kalian baca di lapak pizzzoh gratis dengan judul "Sepuluh Juta Satu Minggu) Nela benar-benar berubah dan ia hampir tidak mengenali wanita di depannya ini. "Hani," panggil Nela lagi. Hani pun tersentak dari lamunannya. "Eh, iya, Mbak. Mbak sedang apa di sini? M-maksud saya, apa Mbak tinggal dekat sini?" tanya Hani gugup. "Saya tinggal di pesantren. Istri kedua abah haji." Hani kembali mendelik. "A-pa, istri kedua? Bagaimana bisa? Terus anak yang ada dalam kandungan Mbak Nela? S-saya tidak pernah melihatnya. Apa baik-baik saja? Secara tidak langsung anak yang dikandung Mbak Nela waktu itu adalah.... ""Saya keguguran, Hani. Bayi kembar saya tidak bisa diselamatkan.""MasyaAllah kembar?" Hani lagi-lagi memekik karena terkejut dengan kejadian pagi hari yang
Raka dan papanya bingung mencari keberadaan Zahra. Lelaki itu menyusul ke makam, mengira Zahra pergi ke makam mamanya karena merasa sedih. Namun, begitu sampai di sana. Tidak ada siapapun. Ponsel Hani kembali berdering. Nama Raka muncul di sana. "Halo, assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaykumussalam, Hani. Apakah Zahra ada di rumah kamu?" Kening Hani mengerut dalam. "Zahra? Gak ada, Mas. Memangnya Zahra ke mana?" "Zahra pergi dari rumah dan bawa HP. Dicari ke makam mama gak ada. Apa kamu tahu kira-kira Zahra pergi ke mana?""Mas sudah telepon Syamil? Coba saja, Mas. Siapa tahu Syamil tahu keberadaan Zahra. Saya gak tahu tempat favorit Zahra, Mas. Maaf ya.""Belum, saya belum telepon Syamil. Males sebenarnya, tapi ya sudah, saya telepon deh."Sambungan itu diputus oleh Raka tanpa ucapan salam. Hani sadar bahwa Raka sedang bingung dan juga cemas, sehingga ia tidak terlalu menanggapi salam penutup yang belum diucapkan Raka ketika mereka selesai bicara. Ke mana Zahra? Ada apa dengannya?
"Gak boleh bawa abang Syam! Abang, masuk! Bial Syam aja yang dibawa! Di sana ada mainan tembakan kan Om Polisi? Syam mau main tembakan," ujar Syam dengan lucunya. Dua anggota polisi tertawa, tetapi tidak dengan wajah Ibnu dan Syamil yang masih sama ketatnya. "Baik, Pak, saya boleh ganti baju dulu. Tidak, maksudnya saya ganti sarung saja." Kedua polisi itu saling pandang. Lalu salah satu diantara mereka mengangguk. "Baik, terima kasih Pak." Syamil pun masuk ke dalam rumah untuk mengganti sarung dengan celana panjang berwarna hitam. Saat ia turun dari tangga, Laila dan abah keluar dari pintu kamar masing-masing. Ibnu yang memberikan pesan pada abah dan kakak Syamil agar segera keluar rumah untuk melihat Syamil dibawa polisi. "Ada apa ini, Sya?" tanya abah bingung. Ada getar pada suaranya. Antara ingin marah dan juga menangis. Syamil mendekati abahnya dan juga Laila. Pemuda itu mencium punggung tangan keduanya. Laila sudah menangis. Ia sempat diceritakan oleh abah tentang ketakutan i
Kring! Kring! Telepon rumah Zahra berdering. Pak Rahmat berbalik badan, masuk ke dalam rumah untuk mengangkat panggilan tersebut. Namun, tiba-tiba ia berbalik lagi. "Zahra, Raka, kita harus bicara dan selesaikan masalah ini. Kamu gak boleh masuk ke dalam kamar, Ra!" Pak Rahmat memberikan pesan dengan wajah serius. Zahra ikut masuk dan langsung duduk di kursi tamu. Disusul Raka yang duduk tidak jauh dari Zahra. Pria itu masih bungkam. Satu sisi ia keberatan dengan tindakan nekat yang Zahra lakukan. Bukankah semua bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaa dengan mendengarkan penjelasan dari Syamil. "Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam. Apa benar ini dengan Pak Rahmat?""Ya, saya Pak Rahmat. Maaf, ini siapa ya?""Saya Haji Sulaiman, abahnya Syamil.""Oh, Pak Haji, i-iya, Pak.""Sekarang anak saya berada di kantor polisi karena sebuah kesalahpahaman yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Apa Zahra ada, Pak? Saya perlu bicara." Pak Rahmat langsung menoleh pada Z
"Apa? Polisi?" Bu Haji Umi mendelik kaget. Lalu dengan cepat menoleh pada Laila dan suaminya bergantian. "Temannya Syamil polisi, Mi. Muslim namanya, tadi itu yang jemput." Laila menjawab asal, berharap ummi-nya percaya dan tidak bertanya hal yang lain lagi. "Oh, gitu, kaget, Ummi. Kirain polisi beneran yang jemput." Bu Umi mengusap dadanya perlahan karena datang jantungnya sempat terpompa cepat. Laila dan abahnya pun nampak bernapas lega. Ummi ternyata percaya jawaban Laila tadi. "Ayo, kita makan saja duluan. Gak mungkin Syamil gak makan di rumah temannya kan, apalagi sampai malam begini." Laila mengangguk setuju. Semua makan dalam keadaan hening. Termasuk Nela yang tidak banyak bicara. Ia tahu bahwa Syamil dibawa polisi dari suaminya dan ia diminta untuk tidak mengatakan apapun pada Bu Haji Umi. Syam menoleh ke kanan dan kiri. Ia terheran melihat orang dewasa yang ada di meja makan, semuanya diam. Hanya denting sendok dan juga suara tegukan air yang terdengar. "Sepi sekali," ka
"Aduh, mana bisa begitu, Bang!" Laila menggeleng tidak setuju. "Sayang, dengerin Abang. Hani itu pelawak bagi Syamil. Dia pasti bisa menghibur adik kita. Nanti Syamil jadi senang dan gembira. Nikah siri dulu aja gak papa, setelah surat cerai Syamil beres, nanti baru nikah resmi. Abang jamin, Syamil pasti mau banget. Gimana? Kita bilang sama abah dan ummi besok pagi." Laila menatap wajah suaminya dengan wajah bingung. Apakah boleh dan apakah tidak aneh? Belum satu minggu menikah sudah poligami? Apa kata orang nanti? Bukankah nanti aib yang harusnya ditutupi, malah terbongkar. Yang jelek adalah nama pesantren juga. "Emang gak ada cara lain, Bang?" tanya Laila lagi. "Gak ada. Nih, kalau kamu mau yakin, suruh Nela bawa Hani kemari besok, ajak sarapan di sini. Pasti Syamil terkejut dan dia senang." Laila merasa ide suaminya tidak masuk di akal, tetapi tidak ada salahnya mencoba. "Ya sudah, nanti saya bilangin Mbak Nela deh." Pukul empat subuh, Laila sudah bangun dan mandi. Suaminya p
Hani mematut dirinya di cermin. Ini sudah kerudung kelima yang ia coba. Gamis biru dongker yang ia kenakan belum juga menemukan kerudung yang pas. Semua warna ia cocokkan, tetapi rasanya belum juga sempurna. Jarum jam pendek sudah mendekati ke angka tujuh, sedangkan jarum jam panjang ada di angka sepuluh. Itu tandanya tersisa sepuluh menit lagi sebelum jam tujuh dan ia merasa penampilannya tidak juga sempurna. "Ya sudahlah, yang ini saja!" Hani mengambil kerudung segi empat dengan motif bunga biru. Sebuah bros ia sematkan di pundak sebelah kanan. Berhubung tidak punya parfum, Hani menuangkan cairan minyak kayu putih di telapak tangannya, lalu ia oleskan di leher dan juga tangannya. Ayolah, Hani, kamu bukan mau datang ke semak-semak, gak perlu juga banyak banget pakai minyak kayu putih. Hani merutuki dirinya sendiri. Tepat jarum panjang di angka sebelas, Hani keluar dari rumah. Tidak lupa ia mengunci pintu. Ponsel memang sengaja tidak ia bawa karena ia tidak mau momen pertemuannya
"Kamu kenapa, Zahra? Kenapa kamu lakukan ini pada Syamil? Syamil masih suami kamu kan, Dek." Raka masih mencoba membujuk Zahra, saat ia mengantar sarapan ke kamar adiknya itu. "Karena Syamil, mama meninggal, Mas. Syamil harus bertanggung jawab. Kenapa ia harus bilang sama mama kalau dia menalak saya? Kenapa tidak abaikan saja pertanyaan mama?" Raka menghela napas. Nampan yang ada di tangannya, ia taruh di meja. Lalu kembali duduk di ujung kaki Zahra yang masih tertutup bed cover. Adiknya itu tidak keluar kamar sejak semalam dan tidak mau makan apapun, sehingga Raka berinisiatif untuk membujuk sekaligus menghibur Zahra. "Zahra, Mas hanya ingin ingatkan. Kita boleh tidak suka dengan orang, tetapi sewajarnya, begitu juga dengan mencintai. Bisa jadi orang yang paling kamu benci nanti, malah paling kamu cintai kelak. Mama sempat sadarkan? Kamu tahu itu karena kita ada di ruangan mama dan saat mama kembali mendengar ucapan kamu, mama kembali drop." Raka berusaha mengingatkan Zahra. Gadis