Kring! Kring! Telepon rumah Zahra berdering. Pak Rahmat berbalik badan, masuk ke dalam rumah untuk mengangkat panggilan tersebut. Namun, tiba-tiba ia berbalik lagi. "Zahra, Raka, kita harus bicara dan selesaikan masalah ini. Kamu gak boleh masuk ke dalam kamar, Ra!" Pak Rahmat memberikan pesan dengan wajah serius. Zahra ikut masuk dan langsung duduk di kursi tamu. Disusul Raka yang duduk tidak jauh dari Zahra. Pria itu masih bungkam. Satu sisi ia keberatan dengan tindakan nekat yang Zahra lakukan. Bukankah semua bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaa dengan mendengarkan penjelasan dari Syamil. "Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam. Apa benar ini dengan Pak Rahmat?""Ya, saya Pak Rahmat. Maaf, ini siapa ya?""Saya Haji Sulaiman, abahnya Syamil.""Oh, Pak Haji, i-iya, Pak.""Sekarang anak saya berada di kantor polisi karena sebuah kesalahpahaman yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Apa Zahra ada, Pak? Saya perlu bicara." Pak Rahmat langsung menoleh pada Z
"Apa? Polisi?" Bu Haji Umi mendelik kaget. Lalu dengan cepat menoleh pada Laila dan suaminya bergantian. "Temannya Syamil polisi, Mi. Muslim namanya, tadi itu yang jemput." Laila menjawab asal, berharap ummi-nya percaya dan tidak bertanya hal yang lain lagi. "Oh, gitu, kaget, Ummi. Kirain polisi beneran yang jemput." Bu Umi mengusap dadanya perlahan karena datang jantungnya sempat terpompa cepat. Laila dan abahnya pun nampak bernapas lega. Ummi ternyata percaya jawaban Laila tadi. "Ayo, kita makan saja duluan. Gak mungkin Syamil gak makan di rumah temannya kan, apalagi sampai malam begini." Laila mengangguk setuju. Semua makan dalam keadaan hening. Termasuk Nela yang tidak banyak bicara. Ia tahu bahwa Syamil dibawa polisi dari suaminya dan ia diminta untuk tidak mengatakan apapun pada Bu Haji Umi. Syam menoleh ke kanan dan kiri. Ia terheran melihat orang dewasa yang ada di meja makan, semuanya diam. Hanya denting sendok dan juga suara tegukan air yang terdengar. "Sepi sekali," ka
"Aduh, mana bisa begitu, Bang!" Laila menggeleng tidak setuju. "Sayang, dengerin Abang. Hani itu pelawak bagi Syamil. Dia pasti bisa menghibur adik kita. Nanti Syamil jadi senang dan gembira. Nikah siri dulu aja gak papa, setelah surat cerai Syamil beres, nanti baru nikah resmi. Abang jamin, Syamil pasti mau banget. Gimana? Kita bilang sama abah dan ummi besok pagi." Laila menatap wajah suaminya dengan wajah bingung. Apakah boleh dan apakah tidak aneh? Belum satu minggu menikah sudah poligami? Apa kata orang nanti? Bukankah nanti aib yang harusnya ditutupi, malah terbongkar. Yang jelek adalah nama pesantren juga. "Emang gak ada cara lain, Bang?" tanya Laila lagi. "Gak ada. Nih, kalau kamu mau yakin, suruh Nela bawa Hani kemari besok, ajak sarapan di sini. Pasti Syamil terkejut dan dia senang." Laila merasa ide suaminya tidak masuk di akal, tetapi tidak ada salahnya mencoba. "Ya sudah, nanti saya bilangin Mbak Nela deh." Pukul empat subuh, Laila sudah bangun dan mandi. Suaminya p
Hani mematut dirinya di cermin. Ini sudah kerudung kelima yang ia coba. Gamis biru dongker yang ia kenakan belum juga menemukan kerudung yang pas. Semua warna ia cocokkan, tetapi rasanya belum juga sempurna. Jarum jam pendek sudah mendekati ke angka tujuh, sedangkan jarum jam panjang ada di angka sepuluh. Itu tandanya tersisa sepuluh menit lagi sebelum jam tujuh dan ia merasa penampilannya tidak juga sempurna. "Ya sudahlah, yang ini saja!" Hani mengambil kerudung segi empat dengan motif bunga biru. Sebuah bros ia sematkan di pundak sebelah kanan. Berhubung tidak punya parfum, Hani menuangkan cairan minyak kayu putih di telapak tangannya, lalu ia oleskan di leher dan juga tangannya. Ayolah, Hani, kamu bukan mau datang ke semak-semak, gak perlu juga banyak banget pakai minyak kayu putih. Hani merutuki dirinya sendiri. Tepat jarum panjang di angka sebelas, Hani keluar dari rumah. Tidak lupa ia mengunci pintu. Ponsel memang sengaja tidak ia bawa karena ia tidak mau momen pertemuannya
"Kamu kenapa, Zahra? Kenapa kamu lakukan ini pada Syamil? Syamil masih suami kamu kan, Dek." Raka masih mencoba membujuk Zahra, saat ia mengantar sarapan ke kamar adiknya itu. "Karena Syamil, mama meninggal, Mas. Syamil harus bertanggung jawab. Kenapa ia harus bilang sama mama kalau dia menalak saya? Kenapa tidak abaikan saja pertanyaan mama?" Raka menghela napas. Nampan yang ada di tangannya, ia taruh di meja. Lalu kembali duduk di ujung kaki Zahra yang masih tertutup bed cover. Adiknya itu tidak keluar kamar sejak semalam dan tidak mau makan apapun, sehingga Raka berinisiatif untuk membujuk sekaligus menghibur Zahra. "Zahra, Mas hanya ingin ingatkan. Kita boleh tidak suka dengan orang, tetapi sewajarnya, begitu juga dengan mencintai. Bisa jadi orang yang paling kamu benci nanti, malah paling kamu cintai kelak. Mama sempat sadarkan? Kamu tahu itu karena kita ada di ruangan mama dan saat mama kembali mendengar ucapan kamu, mama kembali drop." Raka berusaha mengingatkan Zahra. Gadis
"Apa?! Beneran, Mi? Boleh?! " Syamil memekik tidak percaya dengan ucapan ummi-nya. Hani saja sampai tercengang dengan mulut setengah terbuka. "Lah iya, segala beha Hani kamu belikan juga. Belom lagi kerokan. Kalian sama-sama sendiri'kan? Kenapa gak nikah saja? Hani, apa saat ini kamu sedang ada yang mendekati?" tanya Bu Umi sembari menatap Hani dengan lekat. "Mas Raka, Mi, kakaknya Zahra," jawab Hani pelan. "Putuskan! Mending kamu sama anak saya nih. Udah ganteng, pinter, solih, gak punya adik atau kakak yang reseh. Itu tetehnya baik banget. Kalau kamu sama Raka, kamu akan punya ipar julid nantinya." Bu Umi berkata begitu semangat. Laila dan Didin yang sejak tadi menyimak percakapan ummi dan Hani, hanya bisa menahan geli. "Mi, maksud Ummi apa? Gak boleh gitu, Mi. Jangan memaksa Hani. Saat ini ia sedang dekat dengan Raka, masa kita pengaruhi untuk putus." Abah Haji menengahi. "Bah, saya gak pacaran, sekedar dekat saja karena Mas Raka baik.""Anak saya lebih baik toh? Udah, sama an
"Papa mau ke mana?" tanya Zahra melihat Pak Rahmat sudah berpakaian rapi dan sedang memanaskan mobil. "Mau ke pesantren Syamil. Mau minta maaf atas tingkah konyol kamu," jawab Pak Rahmat tanpa menoleh. Ia sibuk menyisir rambut di cermin hias yang ada di ruang tengah. "Papa gak perlu ke sana. Papa gak perlu merendahkan harga diri Papa dengan meminta maaf. Memang Syamil bersalah, Pa." Zahra tetap pada pendiriannya, bahwa satu-satunya orang yang harus disalahkan dan mendapatkan hukuman adalah Syamil, bukan dirinya atau yang lain. "Papa akan lebih gak ada harga diri sebagai seorang ayah, kalau Papa tetap di sini dan mengikuti semua tingkah kamu yang gak jelas. Sudah, Papa mau berangkat. Papa mau minta abahnya Syamil untuk tidak melaporkan kamu atas tuduhan pencemaran nama baik. Memalukan keluarga saja. Kamu seperti gak punya orang tua dan saudara, bertindak sesuka hati dan bikin malu." Zahra hanya bisa terdiam sambil menahan geram dalam hati. Lagi-lagi karena Syamil, ia ditegur keras
"Maaf ini Pak, Bu, tanpa mengurangi rasa hormat saya. Pembicaraan seperti ini alangkah baiknya tidak di tempat kerja saya dan lagi pula, saya gak bisa juga langsung menjawab lamaran Bapak untuk adik saya. Pertama, Syamil belum satu minggu menikah bukan? Saya kan kondangan ke nikahan Syam, di Taman Mini sabtu kemarin. Adik saya udah pernah jadi istri kedua, Pak, Bu, saya gak mungkin mengijinkannya kembali menjadi istri kedua untuk kedua kalinya." Jawaban Hadi membuat abah dan ummi saling pandang. "Syamil akan bercerai dengan istri pertamanya." Bu Umi bersuara. "Apa? Innalillahi, serius? Kenapa?" cecar Hadi terkejut. "Panjang ceritanya, Nak Hadi, yang jelas, anak saya sudah mengucapkan talak pada istrinya dan sudah mendaftarkan juga gugatan cerai ke pengadilan. Jadi, Hani bukan untuk jadi madu, tetapi istri sah.""InsyaAllah akan menjadi satu-satunya istri saya sampai nanti kami kakek dan nenek," sela Syamil melanjutkan ucapan abahnya. Hadi menggaruk kepalanya. Ia tidak tahu mau menj