"Papa mau ke mana?" tanya Zahra melihat Pak Rahmat sudah berpakaian rapi dan sedang memanaskan mobil. "Mau ke pesantren Syamil. Mau minta maaf atas tingkah konyol kamu," jawab Pak Rahmat tanpa menoleh. Ia sibuk menyisir rambut di cermin hias yang ada di ruang tengah. "Papa gak perlu ke sana. Papa gak perlu merendahkan harga diri Papa dengan meminta maaf. Memang Syamil bersalah, Pa." Zahra tetap pada pendiriannya, bahwa satu-satunya orang yang harus disalahkan dan mendapatkan hukuman adalah Syamil, bukan dirinya atau yang lain. "Papa akan lebih gak ada harga diri sebagai seorang ayah, kalau Papa tetap di sini dan mengikuti semua tingkah kamu yang gak jelas. Sudah, Papa mau berangkat. Papa mau minta abahnya Syamil untuk tidak melaporkan kamu atas tuduhan pencemaran nama baik. Memalukan keluarga saja. Kamu seperti gak punya orang tua dan saudara, bertindak sesuka hati dan bikin malu." Zahra hanya bisa terdiam sambil menahan geram dalam hati. Lagi-lagi karena Syamil, ia ditegur keras
"Maaf ini Pak, Bu, tanpa mengurangi rasa hormat saya. Pembicaraan seperti ini alangkah baiknya tidak di tempat kerja saya dan lagi pula, saya gak bisa juga langsung menjawab lamaran Bapak untuk adik saya. Pertama, Syamil belum satu minggu menikah bukan? Saya kan kondangan ke nikahan Syam, di Taman Mini sabtu kemarin. Adik saya udah pernah jadi istri kedua, Pak, Bu, saya gak mungkin mengijinkannya kembali menjadi istri kedua untuk kedua kalinya." Jawaban Hadi membuat abah dan ummi saling pandang. "Syamil akan bercerai dengan istri pertamanya." Bu Umi bersuara. "Apa? Innalillahi, serius? Kenapa?" cecar Hadi terkejut. "Panjang ceritanya, Nak Hadi, yang jelas, anak saya sudah mengucapkan talak pada istrinya dan sudah mendaftarkan juga gugatan cerai ke pengadilan. Jadi, Hani bukan untuk jadi madu, tetapi istri sah.""InsyaAllah akan menjadi satu-satunya istri saya sampai nanti kami kakek dan nenek," sela Syamil melanjutkan ucapan abahnya. Hadi menggaruk kepalanya. Ia tidak tahu mau menj
"Iya, Pa. Zahra udah berusaha belajar menyukai Syamil sejak lamaran itu, tetapi tidak bisa. Zahra mengenalkan Mas Raka kepada Hani, Zahra kira Mas Raka dan Hani gak bisa dekat, ternyata malah Mas Raka serius." Raka tidak berani bicara dengan menatap kedua mata sang Papa. "Terus?" tanya Pak Rahmat yang masih ingin mendengar dongeng perasaan Zahra. "Jadi, Zahra bilang ke Syamil, kalau Zahra itu suka dan cintanya sama Mas Raka, bukan Syamil dan Syamil awalnya gak terima, tapi dia berusaha biasa saja di depan orang tuanya. Namun, saya yang gak bisa, Pa. Saat disentuh Syamil, saya merasa.... ""Hentikan! Papa sudah tahu!" Pak Rahmat mengangkat tangannya. Zahra menghela napas dan masih menundukkan kepala. "Bagus Syamil menceraikan kamu. Jalannya memang sudah tepat. Untunglah Syamil bukan Papa, karena kalau Papa, malam itu juga kamu Papa usir dari rumah! Harga diri lelaki, harga diri suami itu ada pada istrinya. Harusnya kamu tahu itu. Jilbabnya harusnya membuat kamu ingat ada Tuhan yang
"Pa, Mas Raka HP-nya gak aktif. Apa Mas Raka ada telepon atau WA Papa?" tahya Zahra saat ia keluar dari kamar untuk menghampiri papanya yang ada di ruang makan. "Semalam Raka WA, katanya dia akan sibuk sampai pagi ini dan HP-nya off. " Pak Rahmat menjawab tanpa menoleh pada putrinya. Pria dewasa itu menikmati sarapan nasi goreng buatan pembantunya. "Oh, gitu, pantas saja dari semalam Wa-nya gak aktif." Zahra mengambil piring makan. Ia ingin ikut sarapan bersama papanya. "Hari ini Zahra masuk kerja, Pa. Papa gak masukkan? Masih cuti?" Pak Rahmat mengangguk. "Ya, kamu perlu ketemu orang banyak untuk merefresh otak." Jawaban papanya membuat Zahra cemberut. Pak Rahmat memang sengaja menyindir Zahra, agar putrinya itu tahu dan sadar akan kesalahannya. Tidak ada lagi percakapan antara ayah dan anak itu. Pak Rahmat langsung masuk ke kamar begitu ia selesai makan. Ia malas banyak bicara dengan Zahra karena rasa kecewanya. Zahra pun sama, melihat papanya yang mengabaikannya, ia tidak mau
"Iya apa?" Hani berjongkok menatap Syam. Hidung putranya tinggi bak perosotan TK. Alisnya lebat, mirip Arif. Hani terus menatap Syam tanpa berkedip. "Bu, kita bukan muhlim(muhrim) jadi gak boleh liatin gitu." Hani tertawa cekikikan mendengar perkataan Syam yang seperti orang dewasa. "Syam tampan, mirip siapa ya?" Hani menyusul Syam yang sudah duduk di depan hamparan barang jualan online miliknya. "Mirip Abang Syamil kata ummi. Ini apa, Bu?" melihat Syam yang anteng, Syamil akhirnya memilih pulang. Satu jam lagi ia akan datang kembali untuk menjemput Syam. Sementara itu, seperti perkataan Syam tadi bahwa kedua orang tuanya bersama Didin, tengah dalam perjalanan menuju lapas, tempat mamanya Hani ditahan. Didin menceritakan kronologi peristiwa yang menimpanya dan juga putranya, serta kejadian masa lalunya yang berhubungan dengan Bu Restu(mamanya Hani), sehingga beliau di penjara, tetapi ia dulu, sekarang Bu Restu sudah berubah karena sudah menyesali perbuatannya. "Itukan masa lalu,
Bu Umi mengirimkan foto dirinya bersama Bu Restu ke nomor Syamil. Pemuda itu tersenyum melihat ummi dan juga abahnya sepertinya benar-benar bisa menerima keluarga Hani. Semua sudah clear, tinggal meyakinkan Hani untuk mau menerimanya. Syamil bergegas keluar kamar untuk menemui Nela. Irama merdu ibu sambung yang sedang bersolawat menidurkan putrinya dari arah kamar, membuat Syamil berhenti di depan pintu. Tok! Tok! "Mbak Nela, saya Syamil mau minta tolong," ujar Syamil dengan suara tidak terlalu keras. Pemuda itu khawatir Nela sedang menidurkan Salima; adiknya yang berusia dua tahun. "Ada apa, Sya?" tanya Nela balik dengan setengah berbisik. Wanita itu menutup pintu kamar dengan perlahan agar putrinya tidak terbangun. "Mbak, punya nomor telepon tetangga depan gak?" tanya Syamil sambil menyeringai. "Punya kayaknya, sebentar ya." Nela masuk ke dalam kamarnya, lalu beberapa detik kemudian, ia sudah keluar sambil membawa ponsel. "Ini, Mbak lihat di market place. Di sana dicantumin n
"Halo, assalamu'alaikum, Hani.""Wa'alaykumussalam, Mas Raka. Ya ampun, apa kabar? Ponselnya baru aktif ya?""Iya, Hani. Maaf ya. Saya baru senggang sekarang. Jadi sejak kemarin yang aktif HP yang urusannya kerjaan saja. Kamu apa kabar?""Sehat, Mas. Mas Raka kapan balik?""Mungkin malam ketujuh almarhum, saya balik, tapi besok paginya udah harus ke Surabaya lagi. Kita gak bisa ketemu dulu, gak papa kan?""Iya, Mas, gak papa, Mas Raka santai aja. Fokus pada kerjaan Mas Raka dulu saja. Oh, iya, Mas, Zahra bilang minta Mas telepon dia. Apa sudah?""Nggak, saya gak telepon Zahra, saya telepon papa saja barusan. Saya mau Zahra introspeksi. Dia terlalu gegabah dengan keputusannya soal tuduhan pada Syamil. Saya masih kecewa saja."Hani manggut-manggut paham di seberang sana. "Yang penting, papa sudah tahu kabar saya. Ya sudah, saya mau kerja lagi ya, Hani. HP saya kembali non-aktifkan.""Iya, Mas, semangat kerjanya." "Oke, makasih Hani. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam." Hani menut
Sore hari, Hani sudah berada di rumah Hadi. Ratih menyambutnya dengan baik dan begitu ramah. Kakak iparnya sangat berbeda dengan yang dahulu. Pantas saja saat ini abangnya terlihat begitu bucin dengan Ratih. Dari mana ia tahu? Tentu saja dari status yang sering dibuat oleh Hadi. "Hani, kenapa anak kamu tidak kamu bawa juga? Apa sebenarnya ada yang kamu sembunyikan? Besok keluarga Syamil pasti bertanya dan ingin berkenalan dengan anak kamu. Apa susahnya sih dibawa kemari? Kalau sedang tidur, bisa pesan taksi online agar gak ribet bawa putra kamu. Ada apa sebenarnya, Hani?" cecar Hadi yang hanya bisa menghela napas kasar, saat lagi-lagi menatap adiknya jalan ber lenggang sendirian ke rumahnya. Padahal, sebagai uak, ia ingin sekali bertemu dengan anak adiknya. Hani menggigit bibirnya. Haruskah ia ceritakan pada Hadi sekarang? Sudah siapkah ia menerima amarah abangnya karena sudah berani menitipkan bayinya pada orang lain? "Hani, kenapa diam? Kenapa anak kamu gak dibawa kemari?" tanya
Keduanya sudah mandi dan juga solat magrib berjamaah. Syamil memimpin dengan membaca surah Ar Rahman yang isi surah tersebut adalah tentang cinta kasih. Bahkan Syamil menangis saat membacakan surah tersebut. Hani pun ikut menangis, sehingga Syamil begitu terharu melihat sang Istri. "Sudah, kan sudah selesai solat, air matanya masih turun aja! Neng terharu dengan surah itu ya?" Syamil mengusap kepala Hani dengan lembut. "Saya nangis bukan karena terharu, tapi karena kecapean berdiri. Surahnya kepanjangan. Rokaat pertama surah Ar-Rahman, rokaat kedua Surah Yasin, hiks.... " Syamil tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar keterlaluan pada istrinya. Bisa-bisa nanti Isya, Hani gak mau jama'ah lagi gara-gara kepanjangan ayat. Hu hu hu... "Neng, maaf ya. Sini, biar saya pijitin!" Syamil tidak tega dan tentu saja langsung meminta maaf. Kedua kaki istrinya ia pegang dan ia pijat dengan lembut. Hani pun membiarkan Syamil memijat kakinya karena memang rasanya sakit dan pegal. "Maaf ya, sa
"Apa ini, Mi?" tanya Syamil saat ummi-nya menyodorkan sebuah kartu mirip kartu ATM. "Buat kamu bulan madu. Biar gak digangguin pembaca, he he he.... ""Ya Allah, Ummi, makasih ya, Mi." Syamil memeluk ummi-nya dengan penuh rasa haru. "Ummi ini kapok, mungkin karena waktu pernikahan kamu yang pertama Ummi gak kasih hadiah nginep di hotel, makanya jadi gitu. Sekarang Ummi mau memperbaiki kesalahan Ummi. Kamu dan Hani selamat menikmati menginap di hotel selama empat hari. " Kalian bisa jalan-jalan naik speedboat, bisa ke Dufan sekalian, bisa main ke sea world. Menikmati makan malam romantis di depan pantai Ancol." Bu Umi menjelaskan dengan penuh antusias. Ia memang sudah menyiapkan semua untuk Syamil dan juga Hani. "Mi, terima kasih ya," ujar Hani akhirnya, setelah sejak tadi hanya memperhatikan Syamil dan ummi-nya berbincang. "Sama-sama Hani. Ummi lega ternyata kamu ibu kandung Syam, sehingga Ummi dan Syam tidak akan dipisahkan." Bu Umi sudah berkaca-kaca. Hani memeluk mertuanya. "
Salah satu orang yang paling tersedu-sedan di ruangan itu adalah Bu Restu. Dengan baju kebaya sederhana yang dipinjamkan Bu Umi, serta selendang panjang yang ia pakai di kepala, Bu Restu terus terisak. Ia begitu terharu bisa menyaksikan momen anak bungsunya menikah dengan sebenar-benarnya menikah."Mama, maafkan Hani. Mohon ... d-doa restu Mama." Kalimat itu ia ucapkan terbata-bata diantara linangan air matanya. "Pasti Mama doakan, Sayang. Semoga bahagia selalu ya, Nak. Maafkan Mama." Keduanya saling berpelukan erat. Dilanjut dengan sungkem pada Hadi."Akhirnya adik Abang menikah juga. Selamat yq, Hani. Semoga sakinah, mawaddah, wa rohmah." "Makasih, Bang. Hani minta doa dan restunya." Adik dan kakak itu pun saling berpelukan sambil menangis Syamil yang ikut sungkem pada Bu Restu."Mohon doa restunya, Ma," bisik Syamil dengan suara bergetar menahan tangis."Titip Hani ya. Mama pesan, tolong jaga Hani. Jika kamu sedang marah, tolong jangan berkata kasar pada Hani. Mama percayakan an
"Beneran kamu gak mau ikut melamar wanita yang akan menjadi kakak ipar kamu?" tanya Pak Rahmat pada Zahra. Dirinya dan Raka sudah bersiap berangkat karena taksi online sudah menunggu di depan pagar rumah. "Nggak, Pa, semoga acaranya lancar." Zahra tidak berani menoleh pada Raka. Ia hanya menatap papanya saja sambil tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, Papa dan Raka berangkat dulu. Besok pagi Papa InsyaAllah sudah ada di rumah." Zahra mengangguk paham. Wanita itu masih berdiri di depan pintu sampai taksi yang ditumpangi papa dan Raka meluncur pergi. Kemarahan Raka kemarin, sangat membuatnya syok dan sadar, bahwa selama bertahun-tahun hanya dirinya yang memendam perasaan itu, sedangkan Raka tetap menganggapnya sebagai adik. Zahra merapikan semua baju untuk ia masukkan ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat untuk kembali bekerja dan tinggal di kosan saja. Jika ia tetap di rumah, maka kenangan almarhumah mamanya dan Raka pasti mengusiknya dan membuatnya susah sadar diri. "Mbak Zahra
Kehadiran Raka di rumah tentu saja membuat Pak Rahmat sedikit lega. Meskipun hanya satu malam saja putranya menginap, paling tidak, pria itu merasa ada teman bicara. Masalah yang menumpuk membuatnya stres memikirkan masalah anak-anaknya.Jika Pak Rahmat senang dengan kehadiran Raka, menemani Raka makan di ruang makan, tetapi tidak dengan Zahra yang masih belum keluar kamar sejak mulai Raka tiba di rumah. "Ck, ya ampun Zahra belom sembuh juga ngambeknya," gumam Raka saat nasi dalam piring hampir habis. "Ya, nanti kamu bicara saja dengan Zahra. Ada hal yang harus kamu ketahui, tetapi lebih baik Zahra sendiri yang memberitahu." "Maksud Papa? Hal penting apa, Pa? Berkaitan dengan Syamil?" Pak Rahmat mengangkat bahunya. "Bisa jadi." Jawaban ambigu Pak Rahmat membuat Raka menghela napas. Pasti ada ha besar yang ditutupi papa dan adiknya. Pak Rahmat memang sudah menimbang untuk tidak membicarakan masalah perasaan putrinya pada Raka. Ia tidak mau ikut campur terlalu dalam, apalagi soal
"Wah, calon pengantin jangan suudzon dulu!" Raka mengulurkan tangan ingin berjabat dengan Syamil. Pemuda itu pun membalas jabat tangan Raka tanpa senyuman. Wajahnya masih masam karena merasa cemburu dengan Raka. "Mas Raka udah tahu status kita, Sya. Mas Raka ke sini hanya mau anter oleh-oleh dan meluruskan masalah dengan saya. Semua udah selesai kok." Hani menambahkan dengan bijak. Syamil tidak menyahut. Ia duduk memutuskan duduk di samping Raka dengan muka yang masih ditekuk. "Ya sudah, menurut saya masalah diantara kita sudah selesai. Doakan masalah saya juga selesai ya, Hani." Raka berdiri dari duduknya. "Mas, habiskan dulu tehnya!" Hani mengangkat cangkir teh yang masih ada setengah cangkir lagi. Raka pun duduk untuk menghabiskan tehnya. Hani dan Syamil saling pandang. Hani mendelik karena wajah Syamil masih saja masam, padahal Raka sudah menjelaskan. "Saya pamit deh, naik taksi online-nya dari depan saja. Oh, iya, Sya, jangan lupa undang saya saat kalian menikah ya. Selagi se
"Zahra, kamu dari mana saja? Ini sudah malam," tanya Pak Rahmat saat membukakan pintu untuk Zahra. Putrinya dengan tampilan amat berantakan pergi sejak siang dan baru kembali pukul sebelas malam. Zahra tidak menjawab pertanyaan papanya. Ia berjalan lunglai menuju kamar. Pak Rahmat hanya bisa menggelengkan kepala. Ia mengunci kembali pintu rumah, lalu mematikan lampu. Tidak mungkin mengajak putrinya bicara dalam keadaan kacau seperti ini. Pak Rahmat memutuskan masuk ke kamar juga. Pagi harinya, tepat pukul lima pagi. Siti sudah sampai di rumah Zahra dan tengah bersih-bersih saat Pak Rahmat baru pulang dari solat subuh di masjid. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Siti tersenyum sambil mengangguk. "Zahra belom bangun, Ti?" tanya Pak Rahmat, sambil melirik kamar putrinya yang masih tertutup rapat. "Belum, Pak, mungkin sebentar lagi atau bisa juga lagi datang bulan, makanya bangunnya santai," jawab Siti. "Benar juga sih. Oh iya, mulai hari ini saya sudah kerja kembali. Jadi
"Kenapa kamu tega sama aku Hani?" Zahra terisak di depan Hani yang menatapnya dengan wajah bingung."Tega apa, Ra? Coba kamu tenang dulu. Cerita sambil sesegukan gitu, mana aku bisa paham," ujar Hani sembari menyentuh pundak sahabatnya. Zahra menepis tangan Hani dengan cepat. "Kamu kenapa gak bisa menahan diri? Paling tidak sampai aku benar-benar bercerai dari Syamil. Kamu gak mau dibilang pelakor'kan, Hani?" sindiran Zahra tentu saja sama sekali tidak membuat Hani tersinggung. Ujian lebih berat dari ini pernah ia lewati dan ia tidak mau tersulut emosi untuk hal yang tidak jelas."Poligami itu bolehkan? Bukan suatu hal yang dosa. Apalagi setahu saya, istri Syamil yang meninggalkannya. Saya gak masalah jadi istri kedua." Jawaban Hani membuat Zahra semakin menangis. "Kalau bukan karena aku, kamu pasti udah jadi pelacur di luar sana, Hani! Kamu aku berikan tempat tinggal layak. Aku bantu mencarikan pekerjaan. Aku pinjamkan HP untuk kamu jualan. Lalu setelah kamu mandiri, kamu lupa." H
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki