"Halo, assalamu'alaikum, Hani.""Wa'alaykumussalam, Mas Raka. Ya ampun, apa kabar? Ponselnya baru aktif ya?""Iya, Hani. Maaf ya. Saya baru senggang sekarang. Jadi sejak kemarin yang aktif HP yang urusannya kerjaan saja. Kamu apa kabar?""Sehat, Mas. Mas Raka kapan balik?""Mungkin malam ketujuh almarhum, saya balik, tapi besok paginya udah harus ke Surabaya lagi. Kita gak bisa ketemu dulu, gak papa kan?""Iya, Mas, gak papa, Mas Raka santai aja. Fokus pada kerjaan Mas Raka dulu saja. Oh, iya, Mas, Zahra bilang minta Mas telepon dia. Apa sudah?""Nggak, saya gak telepon Zahra, saya telepon papa saja barusan. Saya mau Zahra introspeksi. Dia terlalu gegabah dengan keputusannya soal tuduhan pada Syamil. Saya masih kecewa saja."Hani manggut-manggut paham di seberang sana. "Yang penting, papa sudah tahu kabar saya. Ya sudah, saya mau kerja lagi ya, Hani. HP saya kembali non-aktifkan.""Iya, Mas, semangat kerjanya." "Oke, makasih Hani. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam." Hani menut
Sore hari, Hani sudah berada di rumah Hadi. Ratih menyambutnya dengan baik dan begitu ramah. Kakak iparnya sangat berbeda dengan yang dahulu. Pantas saja saat ini abangnya terlihat begitu bucin dengan Ratih. Dari mana ia tahu? Tentu saja dari status yang sering dibuat oleh Hadi. "Hani, kenapa anak kamu tidak kamu bawa juga? Apa sebenarnya ada yang kamu sembunyikan? Besok keluarga Syamil pasti bertanya dan ingin berkenalan dengan anak kamu. Apa susahnya sih dibawa kemari? Kalau sedang tidur, bisa pesan taksi online agar gak ribet bawa putra kamu. Ada apa sebenarnya, Hani?" cecar Hadi yang hanya bisa menghela napas kasar, saat lagi-lagi menatap adiknya jalan ber lenggang sendirian ke rumahnya. Padahal, sebagai uak, ia ingin sekali bertemu dengan anak adiknya. Hani menggigit bibirnya. Haruskah ia ceritakan pada Hadi sekarang? Sudah siapkah ia menerima amarah abangnya karena sudah berani menitipkan bayinya pada orang lain? "Hani, kenapa diam? Kenapa anak kamu gak dibawa kemari?" tanya
Ratih tidak juga bisa tidur malam ini. Padahal biasanya, jam sembilan ia sudah tidur, sambil menemani si kecil. Bukan karena ia tidur bersama Hani, sedangkan suaminya tidur bersama Rafli, tetapi karena ia sangat mengkhawatirkan esok hari. Besok, ia akan bertemu Didin dan juga Haji Sulaiman. Dua lelaki yang pernah hampir saja menjadi suaminya. Jika Haji Sulaiman terang-terangan memintanya untuk menjadi istri kedua, maka Didin yang ia sukai, pergi begitu saja tanpa kabar. Tiba-tiba ia mendapatkan foto pernikahan Didin dengan anak Haji Sulaiman. Wanita yang seharusnya menjadi istri Damar; anak dari Didin. "Mbak, kenapa? Gak bisa tidur ya?" tanya Hani yang terbangun. Gerakan kakak iparnya di ranjang yang bolak-balik, membuat tidurnya sedikit terganggu. "Iya, Hani, tumben banget ini. Mungkin karena besok ada hari besar, kamu mau dilamar, saya yang deg-degan. Kamu malah biasa saja." Jawaban Ratih membuat Hani tersenyum. Kakak iparnya tidak tahu saja bahwa ia sudah beberapa hari ini susah
Zahra menangis di kamar. Suara sesegukannya terdengar sampai ke luar. Pak Rahmat hanya bisa duduk lemas di sofa tanpa tahu harus berbuat apa. Tamu wanita bernama Seruni tadi sudah pulang. Meninggalkan PR besar untuknya sebagai seorang ayah. Lalu Raka, sampai saat ini nomor ponselnya masih juga tidak aktif. Pak Rahmat menelepon beberapa teman kerja Raka yang ia ketahui nomornya. Mereka mengatakan memang Raka ada kerjaan di Surabaya, tetapi mereka tidak ada dalam tim Raka. "Zahra, berhenti menangis! Kamu ini udah Papa pusing, malah bikin tambah pusing! Suara kamu mengganggu!" Pak Rahmat berteriak menggelegar. Bukan hanya Siti, tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah pria itu pun, tidak kalah terkejutnya. Baru kali ini mereka mendengar Pak Rahmat berteriak amat menyeramkan. Zahra bukannya berhenti menangis, tetapi malah semakin keras suara tangisnya. Pak Rahmat pun pasrah dan memilih menyetel acara TV dengan suara keras. Lalu ia masuk ke kamar. "Siti, kamu matikan TV kalau suara
"Ummi, banyak sekali yang dibawa. Segala ada asinan buah, ada sandal, ada mukena, ada kue, terus ini di dalam kotak isinya apa? Mi, kita baru melamar, bukan mau menghantar menikah," tegur abah saat melihat di atas karpet, begitu banyak hamparan barang yang akan dibawa ke rumah Hani."Bukannya biasanya hanya cincin dan kue?" tanya abah lagi memastikan. Bu Umi yang tengah membantu Rukmini menempelkan pita, langsung menoleh pada suaminya."Bah, itu kalau melamar anak perawan. Cukup cincin dan kue. Kalau melamar janda, harus lebih heboh lagi. Biar itu janda yakin, kalau anak kita bisa membahagiakanya," jawab Bu Umi begitu semangat. Abah hanya bisa menggelengkan kepala. Lalu ia melirik jam dinding yang sudah berada di angka sembilan."Ini kita berangkat jam sepuluh ya. Ummi belom mandi loh. Syam juga tuh, masih main bola di lapangam sama Syamil. Biar Abah aja deh yang susulin, suruh siap-siap. Rukmini, kalau kamu mau ikut diajak pikni ngelamar anak saya, cepet beresin semuanya," kata abah
"Assalamualaykum." Abah Haji dan Didin mengucapkan salam bersamaan, begitu mereka masuk ke pekarangan rumah Hadi. "Wa'alaykumusalam, Abah Haji, Bu Haji, mari masuk!" Hadi begitu senang dan bersemangat menyambut tamunya. Ia ditemani Pak RT setempat dan juga seorang teman kerjanya, menyambut kedatangan Syamil dan keluarganya dengan begitu hangat. Satu per satu berjabat tangan dan saling melempar senyum. Sejak tadi pula, ekor kata Syamil mencari sosok Hani, tetapi tidak kelihatan."Maaf Nak Hadi, saya dan suami gak bawain apa-apa, cuma bisa bawain ini aja!" Semua orang yang berada di belakang Bu Umi masing-masing memegang buah tangan. Hadi sampai mendelik terkejut karena satu orang ada yang membawa tiga barang."MasyaAllah, Bu Haji, ini banyak sekali. Aduh, jadi merepotkan ini. Ayo, ayo, masuk dulu!" Hadi mempersilakan tamunya untuk masuk, lalu duduk di atas karpet yang sudah dibentang lebar. Untung saja awal bulan kemarin, ia baru mendapatkan arisan karpet arab yang berukuran besar, s
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki
"Kenapa kamu tega sama aku Hani?" Zahra terisak di depan Hani yang menatapnya dengan wajah bingung."Tega apa, Ra? Coba kamu tenang dulu. Cerita sambil sesegukan gitu, mana aku bisa paham," ujar Hani sembari menyentuh pundak sahabatnya. Zahra menepis tangan Hani dengan cepat. "Kamu kenapa gak bisa menahan diri? Paling tidak sampai aku benar-benar bercerai dari Syamil. Kamu gak mau dibilang pelakor'kan, Hani?" sindiran Zahra tentu saja sama sekali tidak membuat Hani tersinggung. Ujian lebih berat dari ini pernah ia lewati dan ia tidak mau tersulut emosi untuk hal yang tidak jelas."Poligami itu bolehkan? Bukan suatu hal yang dosa. Apalagi setahu saya, istri Syamil yang meninggalkannya. Saya gak masalah jadi istri kedua." Jawaban Hani membuat Zahra semakin menangis. "Kalau bukan karena aku, kamu pasti udah jadi pelacur di luar sana, Hani! Kamu aku berikan tempat tinggal layak. Aku bantu mencarikan pekerjaan. Aku pinjamkan HP untuk kamu jualan. Lalu setelah kamu mandiri, kamu lupa." H
Keduanya sudah mandi dan juga solat magrib berjamaah. Syamil memimpin dengan membaca surah Ar Rahman yang isi surah tersebut adalah tentang cinta kasih. Bahkan Syamil menangis saat membacakan surah tersebut. Hani pun ikut menangis, sehingga Syamil begitu terharu melihat sang Istri. "Sudah, kan sudah selesai solat, air matanya masih turun aja! Neng terharu dengan surah itu ya?" Syamil mengusap kepala Hani dengan lembut. "Saya nangis bukan karena terharu, tapi karena kecapean berdiri. Surahnya kepanjangan. Rokaat pertama surah Ar-Rahman, rokaat kedua Surah Yasin, hiks.... " Syamil tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar keterlaluan pada istrinya. Bisa-bisa nanti Isya, Hani gak mau jama'ah lagi gara-gara kepanjangan ayat. Hu hu hu... "Neng, maaf ya. Sini, biar saya pijitin!" Syamil tidak tega dan tentu saja langsung meminta maaf. Kedua kaki istrinya ia pegang dan ia pijat dengan lembut. Hani pun membiarkan Syamil memijat kakinya karena memang rasanya sakit dan pegal. "Maaf ya, sa
"Apa ini, Mi?" tanya Syamil saat ummi-nya menyodorkan sebuah kartu mirip kartu ATM. "Buat kamu bulan madu. Biar gak digangguin pembaca, he he he.... ""Ya Allah, Ummi, makasih ya, Mi." Syamil memeluk ummi-nya dengan penuh rasa haru. "Ummi ini kapok, mungkin karena waktu pernikahan kamu yang pertama Ummi gak kasih hadiah nginep di hotel, makanya jadi gitu. Sekarang Ummi mau memperbaiki kesalahan Ummi. Kamu dan Hani selamat menikmati menginap di hotel selama empat hari. " Kalian bisa jalan-jalan naik speedboat, bisa ke Dufan sekalian, bisa main ke sea world. Menikmati makan malam romantis di depan pantai Ancol." Bu Umi menjelaskan dengan penuh antusias. Ia memang sudah menyiapkan semua untuk Syamil dan juga Hani. "Mi, terima kasih ya," ujar Hani akhirnya, setelah sejak tadi hanya memperhatikan Syamil dan ummi-nya berbincang. "Sama-sama Hani. Ummi lega ternyata kamu ibu kandung Syam, sehingga Ummi dan Syam tidak akan dipisahkan." Bu Umi sudah berkaca-kaca. Hani memeluk mertuanya. "
Salah satu orang yang paling tersedu-sedan di ruangan itu adalah Bu Restu. Dengan baju kebaya sederhana yang dipinjamkan Bu Umi, serta selendang panjang yang ia pakai di kepala, Bu Restu terus terisak. Ia begitu terharu bisa menyaksikan momen anak bungsunya menikah dengan sebenar-benarnya menikah."Mama, maafkan Hani. Mohon ... d-doa restu Mama." Kalimat itu ia ucapkan terbata-bata diantara linangan air matanya. "Pasti Mama doakan, Sayang. Semoga bahagia selalu ya, Nak. Maafkan Mama." Keduanya saling berpelukan erat. Dilanjut dengan sungkem pada Hadi."Akhirnya adik Abang menikah juga. Selamat yq, Hani. Semoga sakinah, mawaddah, wa rohmah." "Makasih, Bang. Hani minta doa dan restunya." Adik dan kakak itu pun saling berpelukan sambil menangis Syamil yang ikut sungkem pada Bu Restu."Mohon doa restunya, Ma," bisik Syamil dengan suara bergetar menahan tangis."Titip Hani ya. Mama pesan, tolong jaga Hani. Jika kamu sedang marah, tolong jangan berkata kasar pada Hani. Mama percayakan an
"Beneran kamu gak mau ikut melamar wanita yang akan menjadi kakak ipar kamu?" tanya Pak Rahmat pada Zahra. Dirinya dan Raka sudah bersiap berangkat karena taksi online sudah menunggu di depan pagar rumah. "Nggak, Pa, semoga acaranya lancar." Zahra tidak berani menoleh pada Raka. Ia hanya menatap papanya saja sambil tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, Papa dan Raka berangkat dulu. Besok pagi Papa InsyaAllah sudah ada di rumah." Zahra mengangguk paham. Wanita itu masih berdiri di depan pintu sampai taksi yang ditumpangi papa dan Raka meluncur pergi. Kemarahan Raka kemarin, sangat membuatnya syok dan sadar, bahwa selama bertahun-tahun hanya dirinya yang memendam perasaan itu, sedangkan Raka tetap menganggapnya sebagai adik. Zahra merapikan semua baju untuk ia masukkan ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat untuk kembali bekerja dan tinggal di kosan saja. Jika ia tetap di rumah, maka kenangan almarhumah mamanya dan Raka pasti mengusiknya dan membuatnya susah sadar diri. "Mbak Zahra
Kehadiran Raka di rumah tentu saja membuat Pak Rahmat sedikit lega. Meskipun hanya satu malam saja putranya menginap, paling tidak, pria itu merasa ada teman bicara. Masalah yang menumpuk membuatnya stres memikirkan masalah anak-anaknya.Jika Pak Rahmat senang dengan kehadiran Raka, menemani Raka makan di ruang makan, tetapi tidak dengan Zahra yang masih belum keluar kamar sejak mulai Raka tiba di rumah. "Ck, ya ampun Zahra belom sembuh juga ngambeknya," gumam Raka saat nasi dalam piring hampir habis. "Ya, nanti kamu bicara saja dengan Zahra. Ada hal yang harus kamu ketahui, tetapi lebih baik Zahra sendiri yang memberitahu." "Maksud Papa? Hal penting apa, Pa? Berkaitan dengan Syamil?" Pak Rahmat mengangkat bahunya. "Bisa jadi." Jawaban ambigu Pak Rahmat membuat Raka menghela napas. Pasti ada ha besar yang ditutupi papa dan adiknya. Pak Rahmat memang sudah menimbang untuk tidak membicarakan masalah perasaan putrinya pada Raka. Ia tidak mau ikut campur terlalu dalam, apalagi soal
"Wah, calon pengantin jangan suudzon dulu!" Raka mengulurkan tangan ingin berjabat dengan Syamil. Pemuda itu pun membalas jabat tangan Raka tanpa senyuman. Wajahnya masih masam karena merasa cemburu dengan Raka. "Mas Raka udah tahu status kita, Sya. Mas Raka ke sini hanya mau anter oleh-oleh dan meluruskan masalah dengan saya. Semua udah selesai kok." Hani menambahkan dengan bijak. Syamil tidak menyahut. Ia duduk memutuskan duduk di samping Raka dengan muka yang masih ditekuk. "Ya sudah, menurut saya masalah diantara kita sudah selesai. Doakan masalah saya juga selesai ya, Hani." Raka berdiri dari duduknya. "Mas, habiskan dulu tehnya!" Hani mengangkat cangkir teh yang masih ada setengah cangkir lagi. Raka pun duduk untuk menghabiskan tehnya. Hani dan Syamil saling pandang. Hani mendelik karena wajah Syamil masih saja masam, padahal Raka sudah menjelaskan. "Saya pamit deh, naik taksi online-nya dari depan saja. Oh, iya, Sya, jangan lupa undang saya saat kalian menikah ya. Selagi se
"Zahra, kamu dari mana saja? Ini sudah malam," tanya Pak Rahmat saat membukakan pintu untuk Zahra. Putrinya dengan tampilan amat berantakan pergi sejak siang dan baru kembali pukul sebelas malam. Zahra tidak menjawab pertanyaan papanya. Ia berjalan lunglai menuju kamar. Pak Rahmat hanya bisa menggelengkan kepala. Ia mengunci kembali pintu rumah, lalu mematikan lampu. Tidak mungkin mengajak putrinya bicara dalam keadaan kacau seperti ini. Pak Rahmat memutuskan masuk ke kamar juga. Pagi harinya, tepat pukul lima pagi. Siti sudah sampai di rumah Zahra dan tengah bersih-bersih saat Pak Rahmat baru pulang dari solat subuh di masjid. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Siti tersenyum sambil mengangguk. "Zahra belom bangun, Ti?" tanya Pak Rahmat, sambil melirik kamar putrinya yang masih tertutup rapat. "Belum, Pak, mungkin sebentar lagi atau bisa juga lagi datang bulan, makanya bangunnya santai," jawab Siti. "Benar juga sih. Oh iya, mulai hari ini saya sudah kerja kembali. Jadi
"Kenapa kamu tega sama aku Hani?" Zahra terisak di depan Hani yang menatapnya dengan wajah bingung."Tega apa, Ra? Coba kamu tenang dulu. Cerita sambil sesegukan gitu, mana aku bisa paham," ujar Hani sembari menyentuh pundak sahabatnya. Zahra menepis tangan Hani dengan cepat. "Kamu kenapa gak bisa menahan diri? Paling tidak sampai aku benar-benar bercerai dari Syamil. Kamu gak mau dibilang pelakor'kan, Hani?" sindiran Zahra tentu saja sama sekali tidak membuat Hani tersinggung. Ujian lebih berat dari ini pernah ia lewati dan ia tidak mau tersulut emosi untuk hal yang tidak jelas."Poligami itu bolehkan? Bukan suatu hal yang dosa. Apalagi setahu saya, istri Syamil yang meninggalkannya. Saya gak masalah jadi istri kedua." Jawaban Hani membuat Zahra semakin menangis. "Kalau bukan karena aku, kamu pasti udah jadi pelacur di luar sana, Hani! Kamu aku berikan tempat tinggal layak. Aku bantu mencarikan pekerjaan. Aku pinjamkan HP untuk kamu jualan. Lalu setelah kamu mandiri, kamu lupa." H
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki