Bu Umi mengirimkan foto dirinya bersama Bu Restu ke nomor Syamil. Pemuda itu tersenyum melihat ummi dan juga abahnya sepertinya benar-benar bisa menerima keluarga Hani. Semua sudah clear, tinggal meyakinkan Hani untuk mau menerimanya. Syamil bergegas keluar kamar untuk menemui Nela. Irama merdu ibu sambung yang sedang bersolawat menidurkan putrinya dari arah kamar, membuat Syamil berhenti di depan pintu. Tok! Tok! "Mbak Nela, saya Syamil mau minta tolong," ujar Syamil dengan suara tidak terlalu keras. Pemuda itu khawatir Nela sedang menidurkan Salima; adiknya yang berusia dua tahun. "Ada apa, Sya?" tanya Nela balik dengan setengah berbisik. Wanita itu menutup pintu kamar dengan perlahan agar putrinya tidak terbangun. "Mbak, punya nomor telepon tetangga depan gak?" tanya Syamil sambil menyeringai. "Punya kayaknya, sebentar ya." Nela masuk ke dalam kamarnya, lalu beberapa detik kemudian, ia sudah keluar sambil membawa ponsel. "Ini, Mbak lihat di market place. Di sana dicantumin n
"Halo, assalamu'alaikum, Hani.""Wa'alaykumussalam, Mas Raka. Ya ampun, apa kabar? Ponselnya baru aktif ya?""Iya, Hani. Maaf ya. Saya baru senggang sekarang. Jadi sejak kemarin yang aktif HP yang urusannya kerjaan saja. Kamu apa kabar?""Sehat, Mas. Mas Raka kapan balik?""Mungkin malam ketujuh almarhum, saya balik, tapi besok paginya udah harus ke Surabaya lagi. Kita gak bisa ketemu dulu, gak papa kan?""Iya, Mas, gak papa, Mas Raka santai aja. Fokus pada kerjaan Mas Raka dulu saja. Oh, iya, Mas, Zahra bilang minta Mas telepon dia. Apa sudah?""Nggak, saya gak telepon Zahra, saya telepon papa saja barusan. Saya mau Zahra introspeksi. Dia terlalu gegabah dengan keputusannya soal tuduhan pada Syamil. Saya masih kecewa saja."Hani manggut-manggut paham di seberang sana. "Yang penting, papa sudah tahu kabar saya. Ya sudah, saya mau kerja lagi ya, Hani. HP saya kembali non-aktifkan.""Iya, Mas, semangat kerjanya." "Oke, makasih Hani. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam." Hani menut
Sore hari, Hani sudah berada di rumah Hadi. Ratih menyambutnya dengan baik dan begitu ramah. Kakak iparnya sangat berbeda dengan yang dahulu. Pantas saja saat ini abangnya terlihat begitu bucin dengan Ratih. Dari mana ia tahu? Tentu saja dari status yang sering dibuat oleh Hadi. "Hani, kenapa anak kamu tidak kamu bawa juga? Apa sebenarnya ada yang kamu sembunyikan? Besok keluarga Syamil pasti bertanya dan ingin berkenalan dengan anak kamu. Apa susahnya sih dibawa kemari? Kalau sedang tidur, bisa pesan taksi online agar gak ribet bawa putra kamu. Ada apa sebenarnya, Hani?" cecar Hadi yang hanya bisa menghela napas kasar, saat lagi-lagi menatap adiknya jalan ber lenggang sendirian ke rumahnya. Padahal, sebagai uak, ia ingin sekali bertemu dengan anak adiknya. Hani menggigit bibirnya. Haruskah ia ceritakan pada Hadi sekarang? Sudah siapkah ia menerima amarah abangnya karena sudah berani menitipkan bayinya pada orang lain? "Hani, kenapa diam? Kenapa anak kamu gak dibawa kemari?" tanya
Ratih tidak juga bisa tidur malam ini. Padahal biasanya, jam sembilan ia sudah tidur, sambil menemani si kecil. Bukan karena ia tidur bersama Hani, sedangkan suaminya tidur bersama Rafli, tetapi karena ia sangat mengkhawatirkan esok hari. Besok, ia akan bertemu Didin dan juga Haji Sulaiman. Dua lelaki yang pernah hampir saja menjadi suaminya. Jika Haji Sulaiman terang-terangan memintanya untuk menjadi istri kedua, maka Didin yang ia sukai, pergi begitu saja tanpa kabar. Tiba-tiba ia mendapatkan foto pernikahan Didin dengan anak Haji Sulaiman. Wanita yang seharusnya menjadi istri Damar; anak dari Didin. "Mbak, kenapa? Gak bisa tidur ya?" tanya Hani yang terbangun. Gerakan kakak iparnya di ranjang yang bolak-balik, membuat tidurnya sedikit terganggu. "Iya, Hani, tumben banget ini. Mungkin karena besok ada hari besar, kamu mau dilamar, saya yang deg-degan. Kamu malah biasa saja." Jawaban Ratih membuat Hani tersenyum. Kakak iparnya tidak tahu saja bahwa ia sudah beberapa hari ini susah
Zahra menangis di kamar. Suara sesegukannya terdengar sampai ke luar. Pak Rahmat hanya bisa duduk lemas di sofa tanpa tahu harus berbuat apa. Tamu wanita bernama Seruni tadi sudah pulang. Meninggalkan PR besar untuknya sebagai seorang ayah. Lalu Raka, sampai saat ini nomor ponselnya masih juga tidak aktif. Pak Rahmat menelepon beberapa teman kerja Raka yang ia ketahui nomornya. Mereka mengatakan memang Raka ada kerjaan di Surabaya, tetapi mereka tidak ada dalam tim Raka. "Zahra, berhenti menangis! Kamu ini udah Papa pusing, malah bikin tambah pusing! Suara kamu mengganggu!" Pak Rahmat berteriak menggelegar. Bukan hanya Siti, tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah pria itu pun, tidak kalah terkejutnya. Baru kali ini mereka mendengar Pak Rahmat berteriak amat menyeramkan. Zahra bukannya berhenti menangis, tetapi malah semakin keras suara tangisnya. Pak Rahmat pun pasrah dan memilih menyetel acara TV dengan suara keras. Lalu ia masuk ke kamar. "Siti, kamu matikan TV kalau suara
"Ummi, banyak sekali yang dibawa. Segala ada asinan buah, ada sandal, ada mukena, ada kue, terus ini di dalam kotak isinya apa? Mi, kita baru melamar, bukan mau menghantar menikah," tegur abah saat melihat di atas karpet, begitu banyak hamparan barang yang akan dibawa ke rumah Hani."Bukannya biasanya hanya cincin dan kue?" tanya abah lagi memastikan. Bu Umi yang tengah membantu Rukmini menempelkan pita, langsung menoleh pada suaminya."Bah, itu kalau melamar anak perawan. Cukup cincin dan kue. Kalau melamar janda, harus lebih heboh lagi. Biar itu janda yakin, kalau anak kita bisa membahagiakanya," jawab Bu Umi begitu semangat. Abah hanya bisa menggelengkan kepala. Lalu ia melirik jam dinding yang sudah berada di angka sembilan."Ini kita berangkat jam sepuluh ya. Ummi belom mandi loh. Syam juga tuh, masih main bola di lapangam sama Syamil. Biar Abah aja deh yang susulin, suruh siap-siap. Rukmini, kalau kamu mau ikut diajak pikni ngelamar anak saya, cepet beresin semuanya," kata abah
"Assalamualaykum." Abah Haji dan Didin mengucapkan salam bersamaan, begitu mereka masuk ke pekarangan rumah Hadi. "Wa'alaykumusalam, Abah Haji, Bu Haji, mari masuk!" Hadi begitu senang dan bersemangat menyambut tamunya. Ia ditemani Pak RT setempat dan juga seorang teman kerjanya, menyambut kedatangan Syamil dan keluarganya dengan begitu hangat. Satu per satu berjabat tangan dan saling melempar senyum. Sejak tadi pula, ekor kata Syamil mencari sosok Hani, tetapi tidak kelihatan."Maaf Nak Hadi, saya dan suami gak bawain apa-apa, cuma bisa bawain ini aja!" Semua orang yang berada di belakang Bu Umi masing-masing memegang buah tangan. Hadi sampai mendelik terkejut karena satu orang ada yang membawa tiga barang."MasyaAllah, Bu Haji, ini banyak sekali. Aduh, jadi merepotkan ini. Ayo, ayo, masuk dulu!" Hadi mempersilakan tamunya untuk masuk, lalu duduk di atas karpet yang sudah dibentang lebar. Untung saja awal bulan kemarin, ia baru mendapatkan arisan karpet arab yang berukuran besar, s
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki