"Pa, Mas Raka HP-nya gak aktif. Apa Mas Raka ada telepon atau WA Papa?" tahya Zahra saat ia keluar dari kamar untuk menghampiri papanya yang ada di ruang makan. "Semalam Raka WA, katanya dia akan sibuk sampai pagi ini dan HP-nya off. " Pak Rahmat menjawab tanpa menoleh pada putrinya. Pria dewasa itu menikmati sarapan nasi goreng buatan pembantunya. "Oh, gitu, pantas saja dari semalam Wa-nya gak aktif." Zahra mengambil piring makan. Ia ingin ikut sarapan bersama papanya. "Hari ini Zahra masuk kerja, Pa. Papa gak masukkan? Masih cuti?" Pak Rahmat mengangguk. "Ya, kamu perlu ketemu orang banyak untuk merefresh otak." Jawaban papanya membuat Zahra cemberut. Pak Rahmat memang sengaja menyindir Zahra, agar putrinya itu tahu dan sadar akan kesalahannya. Tidak ada lagi percakapan antara ayah dan anak itu. Pak Rahmat langsung masuk ke kamar begitu ia selesai makan. Ia malas banyak bicara dengan Zahra karena rasa kecewanya. Zahra pun sama, melihat papanya yang mengabaikannya, ia tidak mau
"Iya apa?" Hani berjongkok menatap Syam. Hidung putranya tinggi bak perosotan TK. Alisnya lebat, mirip Arif. Hani terus menatap Syam tanpa berkedip. "Bu, kita bukan muhlim(muhrim) jadi gak boleh liatin gitu." Hani tertawa cekikikan mendengar perkataan Syam yang seperti orang dewasa. "Syam tampan, mirip siapa ya?" Hani menyusul Syam yang sudah duduk di depan hamparan barang jualan online miliknya. "Mirip Abang Syamil kata ummi. Ini apa, Bu?" melihat Syam yang anteng, Syamil akhirnya memilih pulang. Satu jam lagi ia akan datang kembali untuk menjemput Syam. Sementara itu, seperti perkataan Syam tadi bahwa kedua orang tuanya bersama Didin, tengah dalam perjalanan menuju lapas, tempat mamanya Hani ditahan. Didin menceritakan kronologi peristiwa yang menimpanya dan juga putranya, serta kejadian masa lalunya yang berhubungan dengan Bu Restu(mamanya Hani), sehingga beliau di penjara, tetapi ia dulu, sekarang Bu Restu sudah berubah karena sudah menyesali perbuatannya. "Itukan masa lalu,
Bu Umi mengirimkan foto dirinya bersama Bu Restu ke nomor Syamil. Pemuda itu tersenyum melihat ummi dan juga abahnya sepertinya benar-benar bisa menerima keluarga Hani. Semua sudah clear, tinggal meyakinkan Hani untuk mau menerimanya. Syamil bergegas keluar kamar untuk menemui Nela. Irama merdu ibu sambung yang sedang bersolawat menidurkan putrinya dari arah kamar, membuat Syamil berhenti di depan pintu. Tok! Tok! "Mbak Nela, saya Syamil mau minta tolong," ujar Syamil dengan suara tidak terlalu keras. Pemuda itu khawatir Nela sedang menidurkan Salima; adiknya yang berusia dua tahun. "Ada apa, Sya?" tanya Nela balik dengan setengah berbisik. Wanita itu menutup pintu kamar dengan perlahan agar putrinya tidak terbangun. "Mbak, punya nomor telepon tetangga depan gak?" tanya Syamil sambil menyeringai. "Punya kayaknya, sebentar ya." Nela masuk ke dalam kamarnya, lalu beberapa detik kemudian, ia sudah keluar sambil membawa ponsel. "Ini, Mbak lihat di market place. Di sana dicantumin n
"Halo, assalamu'alaikum, Hani.""Wa'alaykumussalam, Mas Raka. Ya ampun, apa kabar? Ponselnya baru aktif ya?""Iya, Hani. Maaf ya. Saya baru senggang sekarang. Jadi sejak kemarin yang aktif HP yang urusannya kerjaan saja. Kamu apa kabar?""Sehat, Mas. Mas Raka kapan balik?""Mungkin malam ketujuh almarhum, saya balik, tapi besok paginya udah harus ke Surabaya lagi. Kita gak bisa ketemu dulu, gak papa kan?""Iya, Mas, gak papa, Mas Raka santai aja. Fokus pada kerjaan Mas Raka dulu saja. Oh, iya, Mas, Zahra bilang minta Mas telepon dia. Apa sudah?""Nggak, saya gak telepon Zahra, saya telepon papa saja barusan. Saya mau Zahra introspeksi. Dia terlalu gegabah dengan keputusannya soal tuduhan pada Syamil. Saya masih kecewa saja."Hani manggut-manggut paham di seberang sana. "Yang penting, papa sudah tahu kabar saya. Ya sudah, saya mau kerja lagi ya, Hani. HP saya kembali non-aktifkan.""Iya, Mas, semangat kerjanya." "Oke, makasih Hani. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam." Hani menut
Sore hari, Hani sudah berada di rumah Hadi. Ratih menyambutnya dengan baik dan begitu ramah. Kakak iparnya sangat berbeda dengan yang dahulu. Pantas saja saat ini abangnya terlihat begitu bucin dengan Ratih. Dari mana ia tahu? Tentu saja dari status yang sering dibuat oleh Hadi. "Hani, kenapa anak kamu tidak kamu bawa juga? Apa sebenarnya ada yang kamu sembunyikan? Besok keluarga Syamil pasti bertanya dan ingin berkenalan dengan anak kamu. Apa susahnya sih dibawa kemari? Kalau sedang tidur, bisa pesan taksi online agar gak ribet bawa putra kamu. Ada apa sebenarnya, Hani?" cecar Hadi yang hanya bisa menghela napas kasar, saat lagi-lagi menatap adiknya jalan ber lenggang sendirian ke rumahnya. Padahal, sebagai uak, ia ingin sekali bertemu dengan anak adiknya. Hani menggigit bibirnya. Haruskah ia ceritakan pada Hadi sekarang? Sudah siapkah ia menerima amarah abangnya karena sudah berani menitipkan bayinya pada orang lain? "Hani, kenapa diam? Kenapa anak kamu gak dibawa kemari?" tanya
Ratih tidak juga bisa tidur malam ini. Padahal biasanya, jam sembilan ia sudah tidur, sambil menemani si kecil. Bukan karena ia tidur bersama Hani, sedangkan suaminya tidur bersama Rafli, tetapi karena ia sangat mengkhawatirkan esok hari. Besok, ia akan bertemu Didin dan juga Haji Sulaiman. Dua lelaki yang pernah hampir saja menjadi suaminya. Jika Haji Sulaiman terang-terangan memintanya untuk menjadi istri kedua, maka Didin yang ia sukai, pergi begitu saja tanpa kabar. Tiba-tiba ia mendapatkan foto pernikahan Didin dengan anak Haji Sulaiman. Wanita yang seharusnya menjadi istri Damar; anak dari Didin. "Mbak, kenapa? Gak bisa tidur ya?" tanya Hani yang terbangun. Gerakan kakak iparnya di ranjang yang bolak-balik, membuat tidurnya sedikit terganggu. "Iya, Hani, tumben banget ini. Mungkin karena besok ada hari besar, kamu mau dilamar, saya yang deg-degan. Kamu malah biasa saja." Jawaban Ratih membuat Hani tersenyum. Kakak iparnya tidak tahu saja bahwa ia sudah beberapa hari ini susah
Zahra menangis di kamar. Suara sesegukannya terdengar sampai ke luar. Pak Rahmat hanya bisa duduk lemas di sofa tanpa tahu harus berbuat apa. Tamu wanita bernama Seruni tadi sudah pulang. Meninggalkan PR besar untuknya sebagai seorang ayah. Lalu Raka, sampai saat ini nomor ponselnya masih juga tidak aktif. Pak Rahmat menelepon beberapa teman kerja Raka yang ia ketahui nomornya. Mereka mengatakan memang Raka ada kerjaan di Surabaya, tetapi mereka tidak ada dalam tim Raka. "Zahra, berhenti menangis! Kamu ini udah Papa pusing, malah bikin tambah pusing! Suara kamu mengganggu!" Pak Rahmat berteriak menggelegar. Bukan hanya Siti, tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah pria itu pun, tidak kalah terkejutnya. Baru kali ini mereka mendengar Pak Rahmat berteriak amat menyeramkan. Zahra bukannya berhenti menangis, tetapi malah semakin keras suara tangisnya. Pak Rahmat pun pasrah dan memilih menyetel acara TV dengan suara keras. Lalu ia masuk ke kamar. "Siti, kamu matikan TV kalau suara
"Ummi, banyak sekali yang dibawa. Segala ada asinan buah, ada sandal, ada mukena, ada kue, terus ini di dalam kotak isinya apa? Mi, kita baru melamar, bukan mau menghantar menikah," tegur abah saat melihat di atas karpet, begitu banyak hamparan barang yang akan dibawa ke rumah Hani."Bukannya biasanya hanya cincin dan kue?" tanya abah lagi memastikan. Bu Umi yang tengah membantu Rukmini menempelkan pita, langsung menoleh pada suaminya."Bah, itu kalau melamar anak perawan. Cukup cincin dan kue. Kalau melamar janda, harus lebih heboh lagi. Biar itu janda yakin, kalau anak kita bisa membahagiakanya," jawab Bu Umi begitu semangat. Abah hanya bisa menggelengkan kepala. Lalu ia melirik jam dinding yang sudah berada di angka sembilan."Ini kita berangkat jam sepuluh ya. Ummi belom mandi loh. Syam juga tuh, masih main bola di lapangam sama Syamil. Biar Abah aja deh yang susulin, suruh siap-siap. Rukmini, kalau kamu mau ikut diajak pikni ngelamar anak saya, cepet beresin semuanya," kata abah