"Sya, kamu tetap di sini'kan?" tanya abah saat mereka hendak pulang. Acara tahlilan sudah selesai dan rumah duka juga sudah sedikit dibersihkan. Hanya tenda dan kursi yang masih terpasang. "Nggak, Bah, Syamil pulang saja. Syamil sudah mengucapkan talak pada Zahra dan Syamil rasa, Zahra juga perlu waktu sendiri. Zahra masih berteriak gak jelas tadi di kamar. Abah dengar suaranyakan?" abah hanya bisa mengangguk pelan. Apa yang dilakukan oleh Syamil menurutnya sangat fatal, tetapi ia juga tahu karakter putranya. Jika tidak darurat dan sebab yang kuat, pasti tidak akan mungkin Syamil menempuh jalan yang paling dibenci oleh Allah. "Pulang aja deh. Lagian lihat saja tadi, semua saudara Bu Tia dan Pak Rahmat melihat kita begitu banget. Kayak kita pembunuh. Padahal umur mah rahasia Allah," komentar Bu Umi. Abah Haji kembali menghela napas. Memang lebih baik saat ini mereka menjauh dulu sampai suasana hati Zahra dan keluarganya tenang. "Udah, Abah gak usah bingung, nanti kita tetap pesanan
"Ternyata kamu beneran Hani adiknya Hadi. Apa kabar?" tanya Nela dengan suara lembut. Hani benar-benar tercengang dengan sosok wanita malam yang pernah datang meminta pertanggung jawaban pada abangnya, tetapi akhirnya diusir(bisa kalian baca di lapak pizzzoh gratis dengan judul "Sepuluh Juta Satu Minggu) Nela benar-benar berubah dan ia hampir tidak mengenali wanita di depannya ini. "Hani," panggil Nela lagi. Hani pun tersentak dari lamunannya. "Eh, iya, Mbak. Mbak sedang apa di sini? M-maksud saya, apa Mbak tinggal dekat sini?" tanya Hani gugup. "Saya tinggal di pesantren. Istri kedua abah haji." Hani kembali mendelik. "A-pa, istri kedua? Bagaimana bisa? Terus anak yang ada dalam kandungan Mbak Nela? S-saya tidak pernah melihatnya. Apa baik-baik saja? Secara tidak langsung anak yang dikandung Mbak Nela waktu itu adalah.... ""Saya keguguran, Hani. Bayi kembar saya tidak bisa diselamatkan.""MasyaAllah kembar?" Hani lagi-lagi memekik karena terkejut dengan kejadian pagi hari yang
Raka dan papanya bingung mencari keberadaan Zahra. Lelaki itu menyusul ke makam, mengira Zahra pergi ke makam mamanya karena merasa sedih. Namun, begitu sampai di sana. Tidak ada siapapun. Ponsel Hani kembali berdering. Nama Raka muncul di sana. "Halo, assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaykumussalam, Hani. Apakah Zahra ada di rumah kamu?" Kening Hani mengerut dalam. "Zahra? Gak ada, Mas. Memangnya Zahra ke mana?" "Zahra pergi dari rumah dan bawa HP. Dicari ke makam mama gak ada. Apa kamu tahu kira-kira Zahra pergi ke mana?""Mas sudah telepon Syamil? Coba saja, Mas. Siapa tahu Syamil tahu keberadaan Zahra. Saya gak tahu tempat favorit Zahra, Mas. Maaf ya.""Belum, saya belum telepon Syamil. Males sebenarnya, tapi ya sudah, saya telepon deh."Sambungan itu diputus oleh Raka tanpa ucapan salam. Hani sadar bahwa Raka sedang bingung dan juga cemas, sehingga ia tidak terlalu menanggapi salam penutup yang belum diucapkan Raka ketika mereka selesai bicara. Ke mana Zahra? Ada apa dengannya?
"Gak boleh bawa abang Syam! Abang, masuk! Bial Syam aja yang dibawa! Di sana ada mainan tembakan kan Om Polisi? Syam mau main tembakan," ujar Syam dengan lucunya. Dua anggota polisi tertawa, tetapi tidak dengan wajah Ibnu dan Syamil yang masih sama ketatnya. "Baik, Pak, saya boleh ganti baju dulu. Tidak, maksudnya saya ganti sarung saja." Kedua polisi itu saling pandang. Lalu salah satu diantara mereka mengangguk. "Baik, terima kasih Pak." Syamil pun masuk ke dalam rumah untuk mengganti sarung dengan celana panjang berwarna hitam. Saat ia turun dari tangga, Laila dan abah keluar dari pintu kamar masing-masing. Ibnu yang memberikan pesan pada abah dan kakak Syamil agar segera keluar rumah untuk melihat Syamil dibawa polisi. "Ada apa ini, Sya?" tanya abah bingung. Ada getar pada suaranya. Antara ingin marah dan juga menangis. Syamil mendekati abahnya dan juga Laila. Pemuda itu mencium punggung tangan keduanya. Laila sudah menangis. Ia sempat diceritakan oleh abah tentang ketakutan i
Kring! Kring! Telepon rumah Zahra berdering. Pak Rahmat berbalik badan, masuk ke dalam rumah untuk mengangkat panggilan tersebut. Namun, tiba-tiba ia berbalik lagi. "Zahra, Raka, kita harus bicara dan selesaikan masalah ini. Kamu gak boleh masuk ke dalam kamar, Ra!" Pak Rahmat memberikan pesan dengan wajah serius. Zahra ikut masuk dan langsung duduk di kursi tamu. Disusul Raka yang duduk tidak jauh dari Zahra. Pria itu masih bungkam. Satu sisi ia keberatan dengan tindakan nekat yang Zahra lakukan. Bukankah semua bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaa dengan mendengarkan penjelasan dari Syamil. "Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam. Apa benar ini dengan Pak Rahmat?""Ya, saya Pak Rahmat. Maaf, ini siapa ya?""Saya Haji Sulaiman, abahnya Syamil.""Oh, Pak Haji, i-iya, Pak.""Sekarang anak saya berada di kantor polisi karena sebuah kesalahpahaman yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Apa Zahra ada, Pak? Saya perlu bicara." Pak Rahmat langsung menoleh pada Z
"Apa? Polisi?" Bu Haji Umi mendelik kaget. Lalu dengan cepat menoleh pada Laila dan suaminya bergantian. "Temannya Syamil polisi, Mi. Muslim namanya, tadi itu yang jemput." Laila menjawab asal, berharap ummi-nya percaya dan tidak bertanya hal yang lain lagi. "Oh, gitu, kaget, Ummi. Kirain polisi beneran yang jemput." Bu Umi mengusap dadanya perlahan karena datang jantungnya sempat terpompa cepat. Laila dan abahnya pun nampak bernapas lega. Ummi ternyata percaya jawaban Laila tadi. "Ayo, kita makan saja duluan. Gak mungkin Syamil gak makan di rumah temannya kan, apalagi sampai malam begini." Laila mengangguk setuju. Semua makan dalam keadaan hening. Termasuk Nela yang tidak banyak bicara. Ia tahu bahwa Syamil dibawa polisi dari suaminya dan ia diminta untuk tidak mengatakan apapun pada Bu Haji Umi. Syam menoleh ke kanan dan kiri. Ia terheran melihat orang dewasa yang ada di meja makan, semuanya diam. Hanya denting sendok dan juga suara tegukan air yang terdengar. "Sepi sekali," ka
"Aduh, mana bisa begitu, Bang!" Laila menggeleng tidak setuju. "Sayang, dengerin Abang. Hani itu pelawak bagi Syamil. Dia pasti bisa menghibur adik kita. Nanti Syamil jadi senang dan gembira. Nikah siri dulu aja gak papa, setelah surat cerai Syamil beres, nanti baru nikah resmi. Abang jamin, Syamil pasti mau banget. Gimana? Kita bilang sama abah dan ummi besok pagi." Laila menatap wajah suaminya dengan wajah bingung. Apakah boleh dan apakah tidak aneh? Belum satu minggu menikah sudah poligami? Apa kata orang nanti? Bukankah nanti aib yang harusnya ditutupi, malah terbongkar. Yang jelek adalah nama pesantren juga. "Emang gak ada cara lain, Bang?" tanya Laila lagi. "Gak ada. Nih, kalau kamu mau yakin, suruh Nela bawa Hani kemari besok, ajak sarapan di sini. Pasti Syamil terkejut dan dia senang." Laila merasa ide suaminya tidak masuk di akal, tetapi tidak ada salahnya mencoba. "Ya sudah, nanti saya bilangin Mbak Nela deh." Pukul empat subuh, Laila sudah bangun dan mandi. Suaminya p
Hani mematut dirinya di cermin. Ini sudah kerudung kelima yang ia coba. Gamis biru dongker yang ia kenakan belum juga menemukan kerudung yang pas. Semua warna ia cocokkan, tetapi rasanya belum juga sempurna. Jarum jam pendek sudah mendekati ke angka tujuh, sedangkan jarum jam panjang ada di angka sepuluh. Itu tandanya tersisa sepuluh menit lagi sebelum jam tujuh dan ia merasa penampilannya tidak juga sempurna. "Ya sudahlah, yang ini saja!" Hani mengambil kerudung segi empat dengan motif bunga biru. Sebuah bros ia sematkan di pundak sebelah kanan. Berhubung tidak punya parfum, Hani menuangkan cairan minyak kayu putih di telapak tangannya, lalu ia oleskan di leher dan juga tangannya. Ayolah, Hani, kamu bukan mau datang ke semak-semak, gak perlu juga banyak banget pakai minyak kayu putih. Hani merutuki dirinya sendiri. Tepat jarum panjang di angka sebelas, Hani keluar dari rumah. Tidak lupa ia mengunci pintu. Ponsel memang sengaja tidak ia bawa karena ia tidak mau momen pertemuannya
Keduanya sudah mandi dan juga solat magrib berjamaah. Syamil memimpin dengan membaca surah Ar Rahman yang isi surah tersebut adalah tentang cinta kasih. Bahkan Syamil menangis saat membacakan surah tersebut. Hani pun ikut menangis, sehingga Syamil begitu terharu melihat sang Istri. "Sudah, kan sudah selesai solat, air matanya masih turun aja! Neng terharu dengan surah itu ya?" Syamil mengusap kepala Hani dengan lembut. "Saya nangis bukan karena terharu, tapi karena kecapean berdiri. Surahnya kepanjangan. Rokaat pertama surah Ar-Rahman, rokaat kedua Surah Yasin, hiks.... " Syamil tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar keterlaluan pada istrinya. Bisa-bisa nanti Isya, Hani gak mau jama'ah lagi gara-gara kepanjangan ayat. Hu hu hu... "Neng, maaf ya. Sini, biar saya pijitin!" Syamil tidak tega dan tentu saja langsung meminta maaf. Kedua kaki istrinya ia pegang dan ia pijat dengan lembut. Hani pun membiarkan Syamil memijat kakinya karena memang rasanya sakit dan pegal. "Maaf ya, sa
"Apa ini, Mi?" tanya Syamil saat ummi-nya menyodorkan sebuah kartu mirip kartu ATM. "Buat kamu bulan madu. Biar gak digangguin pembaca, he he he.... ""Ya Allah, Ummi, makasih ya, Mi." Syamil memeluk ummi-nya dengan penuh rasa haru. "Ummi ini kapok, mungkin karena waktu pernikahan kamu yang pertama Ummi gak kasih hadiah nginep di hotel, makanya jadi gitu. Sekarang Ummi mau memperbaiki kesalahan Ummi. Kamu dan Hani selamat menikmati menginap di hotel selama empat hari. " Kalian bisa jalan-jalan naik speedboat, bisa ke Dufan sekalian, bisa main ke sea world. Menikmati makan malam romantis di depan pantai Ancol." Bu Umi menjelaskan dengan penuh antusias. Ia memang sudah menyiapkan semua untuk Syamil dan juga Hani. "Mi, terima kasih ya," ujar Hani akhirnya, setelah sejak tadi hanya memperhatikan Syamil dan ummi-nya berbincang. "Sama-sama Hani. Ummi lega ternyata kamu ibu kandung Syam, sehingga Ummi dan Syam tidak akan dipisahkan." Bu Umi sudah berkaca-kaca. Hani memeluk mertuanya. "
Salah satu orang yang paling tersedu-sedan di ruangan itu adalah Bu Restu. Dengan baju kebaya sederhana yang dipinjamkan Bu Umi, serta selendang panjang yang ia pakai di kepala, Bu Restu terus terisak. Ia begitu terharu bisa menyaksikan momen anak bungsunya menikah dengan sebenar-benarnya menikah."Mama, maafkan Hani. Mohon ... d-doa restu Mama." Kalimat itu ia ucapkan terbata-bata diantara linangan air matanya. "Pasti Mama doakan, Sayang. Semoga bahagia selalu ya, Nak. Maafkan Mama." Keduanya saling berpelukan erat. Dilanjut dengan sungkem pada Hadi."Akhirnya adik Abang menikah juga. Selamat yq, Hani. Semoga sakinah, mawaddah, wa rohmah." "Makasih, Bang. Hani minta doa dan restunya." Adik dan kakak itu pun saling berpelukan sambil menangis Syamil yang ikut sungkem pada Bu Restu."Mohon doa restunya, Ma," bisik Syamil dengan suara bergetar menahan tangis."Titip Hani ya. Mama pesan, tolong jaga Hani. Jika kamu sedang marah, tolong jangan berkata kasar pada Hani. Mama percayakan an
"Beneran kamu gak mau ikut melamar wanita yang akan menjadi kakak ipar kamu?" tanya Pak Rahmat pada Zahra. Dirinya dan Raka sudah bersiap berangkat karena taksi online sudah menunggu di depan pagar rumah. "Nggak, Pa, semoga acaranya lancar." Zahra tidak berani menoleh pada Raka. Ia hanya menatap papanya saja sambil tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, Papa dan Raka berangkat dulu. Besok pagi Papa InsyaAllah sudah ada di rumah." Zahra mengangguk paham. Wanita itu masih berdiri di depan pintu sampai taksi yang ditumpangi papa dan Raka meluncur pergi. Kemarahan Raka kemarin, sangat membuatnya syok dan sadar, bahwa selama bertahun-tahun hanya dirinya yang memendam perasaan itu, sedangkan Raka tetap menganggapnya sebagai adik. Zahra merapikan semua baju untuk ia masukkan ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat untuk kembali bekerja dan tinggal di kosan saja. Jika ia tetap di rumah, maka kenangan almarhumah mamanya dan Raka pasti mengusiknya dan membuatnya susah sadar diri. "Mbak Zahra
Kehadiran Raka di rumah tentu saja membuat Pak Rahmat sedikit lega. Meskipun hanya satu malam saja putranya menginap, paling tidak, pria itu merasa ada teman bicara. Masalah yang menumpuk membuatnya stres memikirkan masalah anak-anaknya.Jika Pak Rahmat senang dengan kehadiran Raka, menemani Raka makan di ruang makan, tetapi tidak dengan Zahra yang masih belum keluar kamar sejak mulai Raka tiba di rumah. "Ck, ya ampun Zahra belom sembuh juga ngambeknya," gumam Raka saat nasi dalam piring hampir habis. "Ya, nanti kamu bicara saja dengan Zahra. Ada hal yang harus kamu ketahui, tetapi lebih baik Zahra sendiri yang memberitahu." "Maksud Papa? Hal penting apa, Pa? Berkaitan dengan Syamil?" Pak Rahmat mengangkat bahunya. "Bisa jadi." Jawaban ambigu Pak Rahmat membuat Raka menghela napas. Pasti ada ha besar yang ditutupi papa dan adiknya. Pak Rahmat memang sudah menimbang untuk tidak membicarakan masalah perasaan putrinya pada Raka. Ia tidak mau ikut campur terlalu dalam, apalagi soal
"Wah, calon pengantin jangan suudzon dulu!" Raka mengulurkan tangan ingin berjabat dengan Syamil. Pemuda itu pun membalas jabat tangan Raka tanpa senyuman. Wajahnya masih masam karena merasa cemburu dengan Raka. "Mas Raka udah tahu status kita, Sya. Mas Raka ke sini hanya mau anter oleh-oleh dan meluruskan masalah dengan saya. Semua udah selesai kok." Hani menambahkan dengan bijak. Syamil tidak menyahut. Ia duduk memutuskan duduk di samping Raka dengan muka yang masih ditekuk. "Ya sudah, menurut saya masalah diantara kita sudah selesai. Doakan masalah saya juga selesai ya, Hani." Raka berdiri dari duduknya. "Mas, habiskan dulu tehnya!" Hani mengangkat cangkir teh yang masih ada setengah cangkir lagi. Raka pun duduk untuk menghabiskan tehnya. Hani dan Syamil saling pandang. Hani mendelik karena wajah Syamil masih saja masam, padahal Raka sudah menjelaskan. "Saya pamit deh, naik taksi online-nya dari depan saja. Oh, iya, Sya, jangan lupa undang saya saat kalian menikah ya. Selagi se
"Zahra, kamu dari mana saja? Ini sudah malam," tanya Pak Rahmat saat membukakan pintu untuk Zahra. Putrinya dengan tampilan amat berantakan pergi sejak siang dan baru kembali pukul sebelas malam. Zahra tidak menjawab pertanyaan papanya. Ia berjalan lunglai menuju kamar. Pak Rahmat hanya bisa menggelengkan kepala. Ia mengunci kembali pintu rumah, lalu mematikan lampu. Tidak mungkin mengajak putrinya bicara dalam keadaan kacau seperti ini. Pak Rahmat memutuskan masuk ke kamar juga. Pagi harinya, tepat pukul lima pagi. Siti sudah sampai di rumah Zahra dan tengah bersih-bersih saat Pak Rahmat baru pulang dari solat subuh di masjid. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Siti tersenyum sambil mengangguk. "Zahra belom bangun, Ti?" tanya Pak Rahmat, sambil melirik kamar putrinya yang masih tertutup rapat. "Belum, Pak, mungkin sebentar lagi atau bisa juga lagi datang bulan, makanya bangunnya santai," jawab Siti. "Benar juga sih. Oh iya, mulai hari ini saya sudah kerja kembali. Jadi
"Kenapa kamu tega sama aku Hani?" Zahra terisak di depan Hani yang menatapnya dengan wajah bingung."Tega apa, Ra? Coba kamu tenang dulu. Cerita sambil sesegukan gitu, mana aku bisa paham," ujar Hani sembari menyentuh pundak sahabatnya. Zahra menepis tangan Hani dengan cepat. "Kamu kenapa gak bisa menahan diri? Paling tidak sampai aku benar-benar bercerai dari Syamil. Kamu gak mau dibilang pelakor'kan, Hani?" sindiran Zahra tentu saja sama sekali tidak membuat Hani tersinggung. Ujian lebih berat dari ini pernah ia lewati dan ia tidak mau tersulut emosi untuk hal yang tidak jelas."Poligami itu bolehkan? Bukan suatu hal yang dosa. Apalagi setahu saya, istri Syamil yang meninggalkannya. Saya gak masalah jadi istri kedua." Jawaban Hani membuat Zahra semakin menangis. "Kalau bukan karena aku, kamu pasti udah jadi pelacur di luar sana, Hani! Kamu aku berikan tempat tinggal layak. Aku bantu mencarikan pekerjaan. Aku pinjamkan HP untuk kamu jualan. Lalu setelah kamu mandiri, kamu lupa." H
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki