"Siapa yang mengejarmu, Arsen?" tanya Airina lirih. Manik mata Arsen terlihat fokus pada penampilannya pagi ini. Sebuah dres midi dengan rambut yang sengaja dikuncir seperti ekor kuda. "Arsen," panggil Airina lirih. "Hei, Arsen!" seru Airina keras. Arsen terlihat terperanjat, ia melamun sepagi itu. Entah apa yang ada di kepalanya saat itu, ia hanya terlihat kikuk. "Ada wanita paruh baya mengejarku, katanya dia sangat ngefans dengan ayah. Tapi, kenapa dia mengejarku sih?" jelas Arsen dengan bergidik ngeri. Sontak, Airina dan Amelia tertawa keras. Bukannya prihatin dengan nasib sial Arsen di pagi hari, dua wanita itu malah asyik menertawakannya. "Aku tadi sudah bilang 'kan, hati-hati. Lalu, bagaimana dengan ibu-ibu itu?" tanya Airina masih dengan tawanya. "Aku sempat bersembunyi di balik pagar tetangga sampai dia pergi, untungnya dia cepat pergi dan aku cepat-cepat pulang saja. Aku sangat lelah," keluh Arsen, ia menyeka keringat yang ada di keningnya. "Duduklah, tunggu di meja
"Tapi apa, Airina?" tanya Arsen menelisik. "Tapi lupakan saja yang sudah berlalu, oh iya aku lupa jalan masuknya mana," ucap Airina dengan menatap sekeliling jalan yang ia lewati. "Bisa-bisanya kamu lupa!" seru Arsen dengan terkekeh. Arsen memilih berdiri bersandar di pagar, menatap Airina yang masih berdiri dengan celingak-celinguk ke sana-sini. "Aku benar-benar lupa, Arsen!" keluh Airina dengan keras. "Ya sudah, kita kembali saja ke rumah. Bagaimana?" tanya Arsen menawarkan. "Ah iya, aku sudah ingat jalannya." Airina menarik lengan Arsen melewati gang kecil di tengah pemukiman Mitleburg. Kebetulan Airina tinggal di kawasan pedesaannya, masih asri dengan suasana yang sunyi. "Kamu tahu dari mana di sini ada kedai?" tanya Arsen menelisik. "Dari Yoshi, dia suka memberikan referensi cafe atau kedai kopi kepadaku. Ya, mungkin dia aku suka ada di tempat-tempat seperti itu buat cari ide," jelas Airina. Kini ia mendongak ke arah Arsen, terlihat jelas raut wajah tidak suka darinya.
Arsen terhenyak kaget dengan pertanyaan Amelia. Ia hanya bisa berdiri mematung. Dalam benaknya ingin sekali mengatakan iya, di sisi lain ia seolah dihantam kenyataan akan pikirannya sendiri. "Kenapa ibu tanya seperti itu?" tanya Arsen membalikkan tanya. Tidak memberi jawaban, Amelia hanya mengulas senyum tipis. Ia menggelengkan kepalanya singkat, beranjak meninggalkan Arsen yang masih berdiri mematung. "Aku hanya ingin anakku bersama orang yang tulis mencintainya. Karena aku dulu juga demikian, hidup sederhana dengan orang yang tulus mencintai kita akan lebih baik. Daripada hidup berkecukupan tetapi dengan orang yang salah," tutur Amelia pada Arsen. Seolah ditampar secara langsung, kalimat yang keluar dari mulut Amelia itu memang benar. Arsen memang mencintai Airina dengan tulus, namun rasa gengsi dan kurang percaya diri membuatnya bungkam. "Ibu," panggil Arsen lirih. Amelia menoleh, "Ada apa, Arsen? Jangan terlalu dipikirkan. Itu hanya sebuah pesan yang pernah aku dengar dari s
"Tidak keduanya," singkat jawaban Arsen membuat Airina tambah kesal. Wanita yang kini duduk di tepi ranjang itu menatap tajam, seolah siap menerkam siapa saja yang membuatnya kesal. "Aku tidak ingin bicara denganmu!" tegas Airina. Tangannya mendorong tubuh suami kontraknya keluar. "Jangan pernah masuk ke kamar, kalau kamu belum menyadari kesalahanmu, tuan muda!" tegas Airina tanpa basa-basi. Brak! Pintu kamar itu tertutup dengan sangat keras, siapa pun akan mengira terjadi sesuatu yang fatal. Sayup-sayup Aily dan Amelia berlari. "Ada apa?" kompak kalimat tanya dari anak dan ibu itu. Dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Arsen menjawab pertanyaan itu dengan kikuk. "Airina marah, aku tidak boleh masuk sebelum menyadari apa kesalahanku," hanya ulasan senyum yang tersungging di wajahnya. "Memangnya kakak ipar melakukan kesalahan apa?" tanya Aily. Dari raut wajahnya ia seperti menyimpan banyak tanya dalam benaknya. "Apa benar kalian semalam perang dunia?" timpal tanya Am
"Ti-tidak!" teriak Airina dengan melindungi tubuhnya. Gelak tawa Arsen membuat Airina membelalakkan matanya lebar. Suasana kamar itu terlihat penuh rasa canggung. Tawa Arsen yang tidak lagi terdengar, dan Airina hanya mengambil duduk di sudut ranjang. "Arsen, kita besok kembali pulang ke apartemen," ucap Airina dengan lirih. Tatapan matanya sendu seolah tidak ingin meninggalkan Mitleburg. "Iya, lusa kita kembali bekerja. Apa kamu ingin lebih lama di sini?" tanya Arsen, langkahnya mendekati Airina yang masih duduk. "Em, tidak juga. Aku cukup khawatir dengan keadaan butik, sudah cukup lama aku tidak datang," tutur Airina. Arsen hanya menganggukkan kepalanya paham, kini tangannya mulai mengusap pelan pundak Airina. "Jika kamu masih rindu sama ibu, besok kita pulang sore saja. Untuk hari ini habiskan waktu bersama, aku akan mencari cafe terdekat untuk mengurus beberapa hal," ucap Arsen dengan lembut. "Arsen ... Waktu dengan ibu sudah cukup, dan aku ingin menghabiskan waktu denganm
"Iya, sebuah aset untuk kita saat sudah tua. Apa kamu tahu bahwa perencanaan pensiun itu harus matang dari sekarang?" tanya Arsen menolehkan kepalanya pada Airina. Airina hanya mengangguk, "Bukan, bukan tentang pensiun Arsen. Tapi, kontrak pernikahan kita hanya satu tahun, dan ini sudah berjalan 5 bulan," tutur Airina penuh keraguan. "Apa kamu tidak ingin memperpanjang kontrak kita?" todong tanya Arsen. Airina benar-benar kehabisan kata saat itu juga, ia memilih diam terpaku. Tanya Arsen yang terlalu menjurus dan membuatnya tidak bisa apa-apa. "Jangan bahas sekarang!" singkat dan ketus jawaban Airina, hanya itu yang mampu ia sampaikan saat ini. Perubahan raut mukanya sudah membuat Arsen terhenyak. Perjalanan yang kurang sedikit itu membuat seisi mobil canggung. Aron yang menyetir hanya bisa diam, celoteh ramai yang biasanya ada kini sepi. "Kita sudah sampai, Nona, Tuan," ucap Aron. Mobil itu berhenti tepat di depan ruang pameran, sebuah gedung serbaguna yang disulap menjadi sa
"Setelahnya apa?" tanya Airina dengan raut wajah yang penuh rasa penasaran. "Menyamakan rasa," jawab Arsen singkat. Airina hanya bisa diam, detak jantungnya yang kini berdetak tidak beraturan. "Hah, ngaco kamu!" gerutu Airina lirih. "Nggak ngaco, lakukan apa pun sesukamu saja. Ini ambil," titah Arsen dengan menyerahkan satu ice cream. "Enak," gumam Airina lirih. Satu sentuhan dari ibu jari tangan Arsen pada bibirnya, mata Airina menggulir menatap wajah Arsen. "Jangan seperti anak kecil yang belepotan saat menikmati ice cream!" ucap Arsen dengan membersihkan bibir Airina. Airina masih terdiam! "Raut wajahmu jangan seperti itu, Airina. Kamu terlihat sangat gugup," ledek Arsen dengan terkekeh. "Arsen!" pekik Airina keras. Langkahnya berdiri meninggalkan Arsen begitu saja, tidak peduli laki-laki itu sedang menertawakannya. Malu! Rasa malu yang ada dalam dirinya membuat Airina memilih diam dan beranjak pergi. "Airin, kembalilah!" teriak Arsen keras. "Airina, iya-iya maaf," p
Amelia membelalakkan matanya lebar, ia merasa bersalah pada Airina karena tidak sengaja mengutarakan kalimat itu. "Ti-tidak, Arsen. Ya kamu tahu sendiri kalau ibu ini sudah tua, bagaimana nasib mereka jika ibu di panggil yang kuasa," tukas Amelia dengan sendu. "Bu, semoga ibu sehat selalu, meskipun hidup ini tidak ada yang tahu akan sampai kapan. Setidaknya ibu sudah bertahan hidup," ucap Arsen lirih. Amelia menganggukkan kepalanya, ia sangat paham maksud Arsen. Kini keduanya kembali terdiam tanpa banyak kata. "Arsen, kenapa kamu tidak ikut istirahat bersama Airina? Kalian besok kan pergi pagi-pagi sekali," tanya Amelia yang kini menoleh. "Tidak, Ibu. Em, aku ingin mengenal Airina dari sudut pandang ibu. Apa ibu berkenan?" tanya Arsen dengan lembut. "Airina itu anak yang kuat, dan ... pandai menutupi perasaannya. Hanya itu yang bisa ibu sampaikan, selebihnya cari tahulah sendiri," tutur Amelia dengan kikikan pelan. Arsen hanya mengulas senyum tipis, lalu ia beranjak meninggalkan