"Ti-tidak!" teriak Airina dengan melindungi tubuhnya. Gelak tawa Arsen membuat Airina membelalakkan matanya lebar. Suasana kamar itu terlihat penuh rasa canggung. Tawa Arsen yang tidak lagi terdengar, dan Airina hanya mengambil duduk di sudut ranjang. "Arsen, kita besok kembali pulang ke apartemen," ucap Airina dengan lirih. Tatapan matanya sendu seolah tidak ingin meninggalkan Mitleburg. "Iya, lusa kita kembali bekerja. Apa kamu ingin lebih lama di sini?" tanya Arsen, langkahnya mendekati Airina yang masih duduk. "Em, tidak juga. Aku cukup khawatir dengan keadaan butik, sudah cukup lama aku tidak datang," tutur Airina. Arsen hanya menganggukkan kepalanya paham, kini tangannya mulai mengusap pelan pundak Airina. "Jika kamu masih rindu sama ibu, besok kita pulang sore saja. Untuk hari ini habiskan waktu bersama, aku akan mencari cafe terdekat untuk mengurus beberapa hal," ucap Arsen dengan lembut. "Arsen ... Waktu dengan ibu sudah cukup, dan aku ingin menghabiskan waktu denganm
"Iya, sebuah aset untuk kita saat sudah tua. Apa kamu tahu bahwa perencanaan pensiun itu harus matang dari sekarang?" tanya Arsen menolehkan kepalanya pada Airina. Airina hanya mengangguk, "Bukan, bukan tentang pensiun Arsen. Tapi, kontrak pernikahan kita hanya satu tahun, dan ini sudah berjalan 5 bulan," tutur Airina penuh keraguan. "Apa kamu tidak ingin memperpanjang kontrak kita?" todong tanya Arsen. Airina benar-benar kehabisan kata saat itu juga, ia memilih diam terpaku. Tanya Arsen yang terlalu menjurus dan membuatnya tidak bisa apa-apa. "Jangan bahas sekarang!" singkat dan ketus jawaban Airina, hanya itu yang mampu ia sampaikan saat ini. Perubahan raut mukanya sudah membuat Arsen terhenyak. Perjalanan yang kurang sedikit itu membuat seisi mobil canggung. Aron yang menyetir hanya bisa diam, celoteh ramai yang biasanya ada kini sepi. "Kita sudah sampai, Nona, Tuan," ucap Aron. Mobil itu berhenti tepat di depan ruang pameran, sebuah gedung serbaguna yang disulap menjadi sa
"Setelahnya apa?" tanya Airina dengan raut wajah yang penuh rasa penasaran. "Menyamakan rasa," jawab Arsen singkat. Airina hanya bisa diam, detak jantungnya yang kini berdetak tidak beraturan. "Hah, ngaco kamu!" gerutu Airina lirih. "Nggak ngaco, lakukan apa pun sesukamu saja. Ini ambil," titah Arsen dengan menyerahkan satu ice cream. "Enak," gumam Airina lirih. Satu sentuhan dari ibu jari tangan Arsen pada bibirnya, mata Airina menggulir menatap wajah Arsen. "Jangan seperti anak kecil yang belepotan saat menikmati ice cream!" ucap Arsen dengan membersihkan bibir Airina. Airina masih terdiam! "Raut wajahmu jangan seperti itu, Airina. Kamu terlihat sangat gugup," ledek Arsen dengan terkekeh. "Arsen!" pekik Airina keras. Langkahnya berdiri meninggalkan Arsen begitu saja, tidak peduli laki-laki itu sedang menertawakannya. Malu! Rasa malu yang ada dalam dirinya membuat Airina memilih diam dan beranjak pergi. "Airin, kembalilah!" teriak Arsen keras. "Airina, iya-iya maaf," p
Amelia membelalakkan matanya lebar, ia merasa bersalah pada Airina karena tidak sengaja mengutarakan kalimat itu. "Ti-tidak, Arsen. Ya kamu tahu sendiri kalau ibu ini sudah tua, bagaimana nasib mereka jika ibu di panggil yang kuasa," tukas Amelia dengan sendu. "Bu, semoga ibu sehat selalu, meskipun hidup ini tidak ada yang tahu akan sampai kapan. Setidaknya ibu sudah bertahan hidup," ucap Arsen lirih. Amelia menganggukkan kepalanya, ia sangat paham maksud Arsen. Kini keduanya kembali terdiam tanpa banyak kata. "Arsen, kenapa kamu tidak ikut istirahat bersama Airina? Kalian besok kan pergi pagi-pagi sekali," tanya Amelia yang kini menoleh. "Tidak, Ibu. Em, aku ingin mengenal Airina dari sudut pandang ibu. Apa ibu berkenan?" tanya Arsen dengan lembut. "Airina itu anak yang kuat, dan ... pandai menutupi perasaannya. Hanya itu yang bisa ibu sampaikan, selebihnya cari tahulah sendiri," tutur Amelia dengan kikikan pelan. Arsen hanya mengulas senyum tipis, lalu ia beranjak meninggalkan
"Hah?" beo Airina yang baru saja keluar kamar mandi. "Ti-tidak, aku hanya mandi pada umumnya," ketus Airina pada Arsen. "Katakan padaku, apa yang membuatmu melamun di kamar mandi? Aku mengkhawatirkanmu, Airina!" gerutu Arsen. Kedua bahu Airina kini dipegang erat oleh Arsen, hanya ada satu tatapan yang amat lekat. Namun, penuh dengan kesenduan. "Katakan padaku, apa yang kamu pikirkan hingga tidak menjawab saat aku panggil berulang kali?" todong tanya Arsen lirih. Airina terhenyak diam, ia tidak ingin banyak berbicara. Bahkan, tidak ada hal yang bisa ia katakan saat ini. "Tidak ada yang aku pikirkan, Arsen. Ayo, kita bergegas untuk pergi saja," tukas Airina. Setelah selesai dengan urusan mandinya, Airina hanya bisa duduk diam di tepi ranjang. Menatap Arsen yang masih sibuk dengan beberapa hal. "Ayo, kita pamit ke ibu," ajak Arsen lirih. Dengan berat hati Airina meninggalkan kamar penuh kenangan indah itu. Manik matanya menatap berulang ke arah Arsen, seolah tidak ingin pergi da
"Maksudmu?" tanya Arsen pada Airina. Manik matanya kini menatap lekat ke arah tatapan Airina, ia mendapati seorang wanita dengan baju yang terbuka. Matanya menatap lekat ke arah Arsen, entah mulutnya merapal kalimat apa. "Halo, Darl. Akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi," teriaknya keras dengan berlari ke arah Arsen. "Gemma, ada urusan apa kamu datang ke sini?" todong tanya Airina. Ia berdiri tegak di depan Gemma, menghalanginya untuk mendekati Arsen lebih intens. "Hah, apa maksudmu? Aku ingin bertemu dengan Arsen," sergahnya dengan memaksa. "Aku pemilik butik ini, jadi jika tidak ada kepentingan denganku. Silakan pergi!" pekik Airina dengan tegas. "Hei, Airina. Apa kau lupa?" teriak Gemma tanpa ragu. Arsen yang mulai geram kini menarik lengan Gemma secara paksa. "Biar aku urus dia terlebih dahulu, nikmati saja pestanya," bisik Arsen lirih pada telinga Airina. **** Keduanya kini duduk berhadapan di sebuah cafe yang tidak jauh dari butik Airina. Tatapan Arsen yang tajam m
Arsen terdiam sejenak, pertanyaan Airina yang secara tiba-tiba menyeruak dalam dirinya. Seperti hantaman benda tajam pada tubuhnya. "Kenapa kamu bertanya demikian?" tanya Arsen lirih. "Jika kamu percaya aku layak, harusnya kamu tidak perlu bertanya kenapa," ketus Airina tanpa ragu. "Kamu layak, Airina. Apa lagi yang harus kamu pertanyakan padaku?" tanya Arsen dengan menatap tajam wanita yang duduk di kursi kerjanya. Wanita yang kini hanya bisa menatap sekilas ke raut Arsen. Sudah tercetak jelas dari wajahnya, jika bukan jawaban itu yang ia mau. "Apa kamu berpikir karena keluargaku kaya dan keluargamu sederhana itu adalah halangannya?" todong tanya Arsen secara tiba-tiba. "Bahkan, aku tidak peduli dengan itu. Kamu tahu itu," tambahnya. "Sudahlah, kita bahas lain kali saja," ujar Airina dan kembali pada posisi duduknya. Arsen berdiri dari posisi duduknya, kini ia berjalan menuju meja kerja. Dengan menatap lekat ke arah Airina tanpa ragu, sorot matanya yang tajam dan jernih. "Ka
"Apakah ada masalah?" tanya Arsen dengan penuh kecemasan. Tatapan matanya lekat pada Airina yang kini duduk di hadapannya. Mata itu tidak beralih dari raut Airina yang terlihat lebih ceria. "Tidak ada apa-apa, aku hanya terharu saja. Hahaha, wajahmu sangat menggemaskan," ujar Airina dengan kekehan ringan. "Dasar kamu ya!" Arsen meringkuk tubuh Airina dalam dekapannya, menggelitik pinggang istri kontraknya sampai ia berteriak kencang. "Arsen, stop! Maafkan aku ... Arsen berhenti!" teriak Airina tidak ada hentinya. "Kamu sendiri yang berulah, Airina. Jadi rasakan saja," ujar Arsen dengan kekehan. "Arsen, aku mohon ...," rintih Airina lirih. Sontak Arsen melepaskan dekapannya dari wanita ini, dengan senyuman tipis ia menatap Airina. Tangan kanannya membelai pelan puncak kepala istri kontraknya. "Kamu tahu, Airina. Aku sekarang sudah lapar, jadi bagaimana kalau kita makan saja sekarang," ajak Arsen dengan lembut. Ia mendudukkan pantatnya pada kursi, menikmati setiap makanan yang