“Salwa!!!"Seorang gadis yang sedang berkutat dengan peralatan dapur hanya bisa menghela napas, saat teriakan itu mengejutkannya.Selalu saja seperti ini. Padahal, pendengarannya tidaklah bermasalah.Gegas, Salwa mematikan kompor, lalu melangkah menuju ke arah suara itu—kamar suaminya.Ya, satu minggu yang lalu, Salwa boyong dari pesantren dan ia langsung dijodohkan oleh ibunya dengan putra majikannya di kota. Padahal gadis muda itu tidak pernah bermimpi akan menikah muda. Ia masih memiliki cita-cita untuk menjadi seorang sarjana, tetapi Salwa tidak mampu menolak permintaan perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya itu.Kaif Safiraz, seorang CEO dari perusahaan ternama di Jakarta. Siapa yang tidak kenal dengan pria itu? Orang-orang selalu memujinya. Namanya sangat berpengaruh di ibu kota dan dalam dunia bisnis. Ia laki-laki tampan, memiliki tubuh atletis, bermata elang, wajah yang sempurna seperti ke-Arab-Araban. Kaif Safiras, selalu membuat siapa saja akan menunduk jika
“Ya sudah, Mama mau pulang ya, Salwa. Ini Mama ada belikan gamis untukmu. Tadi pergi ke mall gak sengaja lihat ini, lalu keingat menantu. Langsung saja Mama beli. Semoga kamu suka ya.” Sofia tersenyum sembari memberikan paper bag di tangannya pada Salwa.Salwa mengambil paper bag itu meski merasa canggung. Baru satu minggu Salwa menjadi menantunya, tapi entah sudah berapa pakaian baru yang mertuanya itu belikan untuk Salwa.Apa orang kaya memang sebebas itu? Bebas membeli apa saja yang menarik dimatanya…Cukup lama keduanya di rumah Salwa. Bahkan, mereka menikmati masakan yang Salwa masak meski Erina masih menatap Salwa dengan tatapan tidak suka.Hanya saja, Salwa tak memedulikan itu semua dan tetap melayani mertua dan iparnya sebaik yang ia bisa.***Di malam hari, Kaif baru saja pulang kerja mendadak membuka pintu dengan kasar.Salwa dikejutkan dengan sikapnya, terlebih ia melempar uang merah beberapa lembar ke wajah Salwa yang entah berapa jumlahnya.“Dasar perempuan mu
Sayangnya, keinginan itu tak tercapai. Meski demikian, hubungan Salwa dengan Kaif tidak ada perubahan setelah perdebatan tiga bulan yang lalu. Salwa hanya bicara seperlunya saja, mendadak menjadi perempuan pendiam, padahal itu bukanlah sifatnya yang sebenarnya.Mereka memang tinggal satu atap, tapi seperti orang asing yang tak pernah saling kenal, kegiatan Salwa setiap harinya mengerjakan pekerjaan rumah, memasak meskipun Kaif tidak pernah menyentuh masakan Salwa."Ini siapa yang masak?" tanya Kaif pada pembantu di rumah itu, Bi' Maryam. Yah sesuai permintaan Sofia. Kaif mempekerjakan pembantu di rumahnya."Ini masakan nyonya, tuan," jawab Bi' Maryam."Singkirkan sampah-sampah ini, dan masak lagi, saya tunggu 15 menit," perintah Kaif.Salwa yang masih ada di dapur hanya bisa mengusap dada, padahal sudah sering kali iamendapatkan penolakan, tapi tetap saja ia terus mencoba, dengan harapan tuan Kaif akan luluh.Salwa perempuan paham akan ilmu agama, itu sebabnya berat baginya u
Salwa bingung harus bereaksi apa, selain memegang dadanya yang terasa perih mendengar tangisan wanita di hadapan Kaif–kian pecah. "Aku tahu sekarang, kamu sudah hidup bersamanya di bawah satu atap, menyentuhnya, membayangkan saja membuatku sangat hancur." Kaif menghela napas. "Aku tidak mencintainya, aku tidak sudi menyentuhnya, kami memang tinggal satu atap, tapi aku tidak melayaninya sebagai seorang istri," jujur Kaif, “perempuan kampung itu bukan seleraku. Aku bahkan tersiksa selalu bersandiwara di depan keluarga jika aku mencintainya. Mimpiku untuk membangun bahtera rumah tangga masih tetap bersamamu bukan dengan dia." Cukup sudah.Dengan nafas tidak beraturan, Salwa menjauh dari tempat itu.Padahal sudah ia tegaskan pada hatinya untuk tidak manja? Untuk tidak terbawa perasaan atas ucapan suaminya? Tapi, malam ini Salwa gagal.Nyatanya Salwa sudah mencintai, Kaif, suami yang tak pernah menginginkannya.Di sinilah Salwa berada, di kamar mandi, ia hidupkan kran air dan menangis
Di dalam mobil yang melaju cepat di jalanan Jakarta, hanya ada keheningan yang memisahkan Kaif dan Salwa. Tiada kata terucap di antara keduanya, masing-masing larut dalam dunia pikirannya sendiri. Kaif dengan tegas memegang kemudi, pandangannya lurus ke depan, seolah mencoba untuk menembus kemacetan kota yang tak pernah tidur ini. Salwa, di sisi lain, terus menatap keluar jendela, mengamati pemandangan yang baginya tampak lebih menarik daripada kekacauan emosional yang ia alami saat ini. Di dalam dadanya, perih masih terasa membara. Berbagai upaya telah ia lakukan untuk menepis rasa sakit itu, tetapi semua terasa sia-sia. Pada akhirnya, Kaif memutuskan untuk memecah keheningan. "Kau tahu, perempuan cantik tadi?" suaranya cukup untuk membuat Salwa mengalihkan pandangannya sejenak dari jendela. Walaupun hatinya gundah, pendengarannya tajam menangkap setiap kata yang diucapkan Kaif. "Dia Hana Salsabila, perempuan pintar, cerdas, dan baik. Dan yang paling penting, dia adalah cint
"Uh, gimana ya." Salwa menggigit bibirnya, ragu. Perasaannya berkecamuk, antara ingin menerima atau menolak secara halus. "Mbak, please..." lanjut Fatih, matanya semakin memohon. Akhirnya, Salwa mengangguk perlahan. Dia kemudian melangkah menuju mobil tempat Bi Maryam sudah menunggu. "Bibi pulang dulu saja ya, aku mau makan siang dengan adik kelasku dulu," beritahu Salwa pada Bi Maryam. "Bagaimana jika kami menunggu nyonya," tawar Bi Maryam. "Tidak perlu Bi, nanti aku pesan taxi saja, bibi pulang dulu," suruh Salwa. "Baik, nyonya." Bi' Maryam mengangguk patuh. "Hati-hati ya, nyonya," tambahnya. *** Di restoran, Salwa dan Fatih, kini duduk berhadapan. Suasana semakin hangat ketika Fatih mulai bercerita, mendominasi pembicaraan. Dia mengamati Salwa dengan tatapan kagum. Akan tetapi, istri Kaif itu tak menyadarinya. "Aku perhatikan sepertinya banyak hal yang sudah terjadi dalam hidup Mbak, mbak Salwa baik-baik saja kan?" tanyanya dengan nada penuh kepedulian. "A
Kaif tersenyum mengejek lalu berkata, "Jika bukan perempuan murahan lalu perempuan yang bagaimana? Perempuan rendahan, perempuan kotor, perempuan pezina, perempuan apa lagi, kamu adalah perempuan yang tidak memiliki harga diri, murahan!""Ya Allah," ucap Salwa sembari tangannya menyentuh dadanya yang terasa tersayat karena setiap ucapan Kaif. Dimata Kaif Salwa seperti tidak ada harga dirinya, padahal Salwa baru pertama kali bertemu dengan seorang pria, itupun bukanlah kekasih gelapnya seperti yang dituduhkan, tapi adik kelas yang Salwa anggap seperti adiknya sendiri."Seharusnya kamu katakan dari awal jika kamu memiliki kekasih, saya pasti akan mempermudah kamu untuk bertemu dengannya, tapi kamu lakukan dengan cara diam-diam, sok-sokan izin ke supermarket tapi ternyata." Kaif geleng-geleng kepala, tidak habis fikir dengan apa yang dilihatnya."Rencana selanjutnya kalian apa? Jika saja saya tidak memergoki kalian, pasti kalian akan melakukan cek in, benar begitu bukan?""Tolong beri a
Ponsel Kaif berbunyi, segera pria itu keluar dari kamar dengan membanting pintu. Kaif masih memiliki kesadaran untuk tidak berbuat lebih pada Salwa, karena jika ia sampai kehilangan kendali maka dirinya sendiri yang akan rugi. Tubuh Salwa luruh ke lantai, ucapan Kaif sungguh sangat menyakitkan, pria itu menuduhnya tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. *** "Kamu kemana saja sih, Kaif. Kamu mengajak aku makan siang tapi kamu yang meninggalkan aku sendiri di restoran," gerutu Hana dari balik telepon. Kaif mengusap wajahnya dengan kasar, emosinya membuat ia lupa dengan sang kekasih yang masih ada di restoran. "Maafkan aku, kamu dimana sekarang? aku jemput ya?" tawar Kaif, suaranya terdengar lembut sangat berbeda saat berbicara pada Salwa. "Tidak usah, aku sudah pesan taxi," tolak Hana. "lain kali kalau tidak memiliki niat membawa aku makan siang, gak usah sama sekali," ketus Hana, suara gadis di balik telepon itu terdengar sangat kesal. "Maafkan a—" Belum selesai, Kai
Pagi yang cerah memantulkan sinar semangat di wajah Kaif, pria itu tampak bersemangat untuk menyambut hari dengan aktivitasnya, terutama karena sang istri, Salwa, yang telah setuju untuk menemaninya ke kantor. Kaif merasakan kebahagiaan luar biasa, seolah tidak ingin melepaskan bayang Salwa dari sisinya, bahkan meski dalam waktu berkerja pekerjaan. "Mas, aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu, kan, jika aku ikut?" tanya Salwa, saat dia mencoba memakaikan dasi pada Kaif dengan berdiri di atas sebuah meja kecil, supaya dapat mencapai tinggi suaminya. "Tidak, malah kehadiranmu membuat Mas semakin semangat untuk menyelesaikan pekerjaan hari ini, Sayang," jawab Kaif, sambil mengelus lembut perut buncit Salwa yang mengandung buah hati mereka. Salwa tersenyum, merasa lega dan penuh cinta, "Iya deh," katanya akhirnya dengan penuh kehangatan.Lagi pula di rumah ia tidak ada kegiatan apapun, tapi berada di kantor Kaif seharian, apa ia tidak akan bosan, ini adalah kali pertama Salwa menemani
"Salwa," suara Kaif bergumam lirih, seraya ia memejamkan mata, seakan-akan berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya bukan sekedar khayalan. Meski telah memastikan diri di kamar mandi tadi untuk bersabar terkait hubungan mereka, kini Kaif justru tak bisa menjauh dari Salwa yang terpaku duduk di ranjang, menatapnya dengan pandangan menggoda. "Salwa, kamu..." kata-kata Kaif tergantung, tercekat di tenggorokannya, tak mampu melanjutkan karena terpesona pada istrinya sendiri. "Kenapa? Mas tidak suka melihatku seperti ini?" raut wajah Salwa memelas, membuat Kaif menggeleng cepat, nyaris dalam kepanikan. Dia malah merasa terpikat lebih dalam. Dengan perlahan, Kaif mendekati dan duduk di samping Salwa, mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh kelembutan dan saling menginginkan. "Mas, jangan diami aku, ya?" pinta Salwa dengan suara yang tiba-tiba terdengar begitu rapuh. "Kapan Mas mendiamimu, hm?" balas Kaif, suaranya tercampur dengan rasa bingung "Tadi, sebelum Mas ma
Salwa dengan lembut mengambil Al Qur'an terjemah yang selalu berada di sampingnya setiap malam, sebuah ritual yang telah menjadi bagian dari jiwa dan rutinitasnya. Di bawah sinar rembulan yang menerobos jendela, momen itu terasa begitu sakral, berbeda dari sebelumnya. Dahulu, Salwa selalu seorang diri dalam keteduhan malam, namun malam ini, ia ditemani oleh sang suami tercinta, Kaif, meskipun ia hanya terlelap dalam tidurnya. Sambil membaca ayat-ayat suci dengan lirih, Salwa merasakan kedamaian yang menyelubungi ruang hatinya. Tangan kirinya bergerak lembut, mengelus kepala Kaif dengan penuh kasih, memberi rasa tenang dan kedamaian pada tidurnya. Kehadiran Kaif, meski dalam kebisuan tidur, memberikan kebahagiaan yang tidak terkira bagi Salwa. Suasana hening malam itu semakin membuat setiap kata yang terucap dari Al Qur'an membawa Salwa ke dalam kedalaman kontemplasi dan rasa syukur yang mendalam. Kehadiran mereka berdua dalam doa dan cinta, menjadikan malam itu tak terlupakan, s
Salwa terjaga dari tidurnya yang tidak biasanya begitu lelap. Ada perasaan aneh menggelayuti pikirannya saat ia menyadari ada sesuatu yang berbeda malam ini. Meski biasanya ia sering terbangun di tengah malam, namun kali ini tubuhnya begitu nyaman dan tidak terganggu sama sekali. Seraya mencoba bangkit, tiba-tiba Salwa terhenyak, sebuah tangan kuat melingkar di perutnya. Dengan detak jantung yang berpacu, ia menoleh dan mendapati Kaif, pria yang kini ada di sampingnya. Dalam kebingungan dan sedikit rasa sesal, Salwa menyesali dirinya sendiri karena telah melupakan bahwa ia kini berada di Jakarta, dan lebih lagi, di kamar Kaif, rumah ibunya, Sofia. Salwa menatap Kaif yang masih terlelap di sampingnya, tangan besar pria itu hangat di perutnya. Mungkin, pikirnya, itulah yang membuat tidurnya terasa berbeda malam ini. Perlahan, dengan gerakan yang hampir tidak terdengar, Salwa berusaha melepaskan tangan Kaif dari perutnya. Ia berniat pergi ke kamar mandi, namun baru saja menyentu
"Istrimu sudah tidur, Kaif. Lebih baik l bermalam di sini saja," ucap Sofia lembut pada putranya yang baru saja tiba. Kaif mengangguk lelah. "Hari ini, energiku benar-benar terkuras habis, Ma."Jaga kesehatanmu, Nak. Kamu itu belum sembuh total," nasihat Sofia. "Kamu sudah makan malam belum?" Sofia bertanya pada putranya, penuh kekhawatiran. "Udah, Ma. Tadi sempat makan di kantor," jawab Kaif, suaranya lesu. "Baiklah, kamu mandi dan istirahatlah," kata Sofia. Kaif mengangguk, lalu melangkah menuju kamar. Begitu pintu kamar dibuka, suasana senyap menyambut Kaif. Di atas ranjang oper size, terlihat Salwa yang tertidur pulas, seolah sedang dalam pelukan mimpi. Cahaya kamar, menerangi wajah damai istrinya yang menjadi penawar lelah. Kaif tersenyum, seketika merasa semua kepenatan seolah terhapus. Berjalan hati-hati, ia meletakkan tas kerjanya, mengambil pakaian ganti dan melangkah ke kamar mandi, berusaha sebaik mungkin untuk tidak membangunkan mimpi indah yang sedang dijalani
"Ada apa, Bu?" tanya Bu Dokter dengan suara lembut sambil menatap Salwa yang terlihat sokKeterkejutan Salwa begitu nyata saat mendengar ucapan frontal Kaif, pria itu benar-benar tidak tahu tempat. Untuk saja dokter kandungan itu tidak mendengar."Oh, tidak, tidak ada yang salah, Dokter," jawab Salwa dengan suara kikuk, memaksakan senyum yang tak sempurna sementara Kaif hanya menampilkan senyum samar yang seolah menyembunyikan rahasia besar.Setelah meninggalkan ruangan dokter kandungan dan menebus obat, langkah mereka langsung pulang ke rumah. Tiba di depan pintu, Sofia, dengan tangan yang lembut, menarik lembut tangan menantunya."Kalian benaran tidak ingin menginap di rumah ini malam ini? Sungguh, rindu sekali Mama pada menantu cantik mama," tuturnya dengan suara yang meluapkan kerinduan mendalam.Salwa menoleh kepada suaminya, menunggu jawaban dari pria tampan itu. Raut wajah Kaif memendarkan keengganan, seakan mempertimbangkan seribu satu hal dalam benaknya sebelum akhirnya menja
"Oh, maaf maaf, Kak." Eriana segera berbalik, membelakangi Kaif dan Salwa."Ck, ganggu saja," gerutu Kaif tertuju pada Eriana. Sedangkan Salwa menunduk dengan wajah merona, Malu. Bagaimana ia tidak malu, jika adik iparnya itu melihat dirinya dan Kaif dalam posisi yang begitu intim."Maaf, Kak," ucap Eriana sekali lagi. Hubungan Eriana dan Kaif tidak terlalu baik, ia jadi semakin kawatir saudaranya itu akan semakin benci padanya."Itu, Kak. Di depan ada dokter yang mau memeriksa keadaan kak Kaif," ujar Eriana."Untuk apa dokter, suruh pulang saja dia. Saya sudah punya dokter pribadi," kata Kaif dengan santainya sembari melirik pada Salwa yang masih menunduk."Keluar kamu, dan tutup pintunya," perintah Kaif.Eriana nurut, perempuan itu langsung keluar dan menutup pintu kamar Salwa dengan rapat.Salwa melihat banyak perubahan yang terjadi pada Eriana. Dia tidak seperti Eriana yang Salwa kenal."Mas." Salwa terlonjak kaget, saat Kaif tiba-tiba menarik tubuhnya dalam pelukannya."Mas masi
"Mas tanganmu terluka!" Seruan itu pecah di keheningan kamar saat Salwa menyentuh punggung tangan Syakir yang tampak memar. Pria itu, Kaif, kini duduk di pinggir ranjang Tangan Kaif yang lebam itu seakan melukis kesakitan di matanya. "Ini hanya luka kecil, tak perlu khawatir," Kaif mencoba menenangkan, sambil membiarkan tangan hangat Salwa menelusuri lebamnya. Wajah Salwa, yang sedang hamil, menyiratkan kekhawatiran mendalam, lebih dari yang seharusnya untuk luka sekecil itu. "Pasti sakit, ya? Maaf, Mas," suara Salwa bergetar, mata berkaca-kaca menatap Kaif, menyuarakan kepedulian dan kegentaran seorang ibu hamil yang hormonnya melonjak. Kaif hanya mengangguk, gesturnya memperdalam cemas di hati Salwa. Dia bahkan mulai beranjak ingin mengambil perlengkapan obat. Namun, tangan Kaif dengan cepat meraihnya, menghentikan gerak langkahnya. "Bukan di sini yang sakit, Salwa," suara Kaif mendadak serius dan dalam, memotong atmosfer ruangan dengan berat. Salwa mendongak, menatap
Di dalam kamar Salwa yang tidak begitu luas. Sofia dengan setia menjaga Salwa yang sedang tidur di ranjangnya setelah diperiksa oleh dokter beberapa menit yang lalu.Sementara itu, di luar, Hasbi dan Kaif tengah sibuk di halaman rumah, berbicara dengan polisi mengenai Halik yang sedang mereka upayakan untuk mendapatkan hukuman berat di penjara, seraya api keadilan berkobar di dalam hati mereka.Di dalam kamar.Salwa membuka matanya perlahan, tersadar dari tidur yang tampaknya tidak memberikan kekuatan apa pun kepadanya."Eriana, tolong ambilkan air," suruh Sofia pada Eriana yang juga ada di sana.Tanpa menunda, Eriana segera mengambil segelas air yang sudah tersedia di kamar itu."Ayo minum dulu, Nak," ucap Sofia sambil menopang tubuh Salwa yang terasa seperti puing-puing yang lelah. Salwa hanya dapat menelan dengan susah payah, tiap tegukan terasa seperti pejuangan. Kejadian pagi tadi, membuat Salwa merasa tubuhnya lemas.Kepedulian Sofia terpancar jelas saat ia dengan sabar membantu