Axel Nightvale duduk tegak, ekspresinya datar, tapi tatapannya tajam mengunci Zuri Everlyn. Tanpa basa-basi, dia meletakkan sebuah amplop cokelat di atas meja.
“Buka dan pastikan sendiri.”
Zuri membuka amplop. Jari-jarinya sedikit gemetar saat menarik isinya. Beberapa lembar dokumen dan foto terselip di dalamnya.
Rekaman CCTV menunjukkan Elysia memasuki kamar Axel, membuka lemari, dan menemukan kotak-kotak perhiasan di bawah lipatan pakaian. Gambar berikutnya menangkap momen saat kakaknya itu berdiri di depan brankas, memasukkan kombinasi angka yang ternyata tanggal pertemuan pertama mereka, lalu mengambil uang dalam jumlah besar.
Di bawahnya, ada laporan transaksi rekening yang menunjukkan miliaran hilang pada malam yang sama. Beberapa foto memperlihatkan isi tas yang dibawa Elysia ke bandara—kotak-kotak perhiasan milik ibunya Axel masih utuh, tersembunyi di antara tumpukan uang tunai.
Laporan terakhir dari pihak bandara mencatat bagaimana dua polisi berpakaian preman mengikuti Elysia, sebelum akhirnya melarikan diri—menjadi buronan.
Semua bukti ada di sini. Tidak ada yang bisa dibantah.
“Dengarkan baik-baik, Zuri Everlyn. Tugasmu sekarang adalah menggantikan posisi Elysia Rosier—menjadi istriku. Kalau kau berani menolak, bayar semua uang dan perhiasan yang dia curi dari keluargaku. Pilihannya hanya itu.”
Zuri menegang. Suara Axel Nightvale, kakak iparnya, menggema di ruangan sepi itu, dingin dan tajam. Dia mencoba menetralkan ketakutan yang merayap di dadanya dengan berbicara pelan. “Mungkin Elysia akan kembali—”
“Dia tidak akan kembali,” potong Axel cepat, matanya menyipit penuh tekanan. “Kau pikir aku sebodoh itu, memilihmu sebagai pengganti kalau dia masih bisa ditemukan?”
Zuri menelan ludah. Axel bukan orang asing—dia kakak ipar yang pernah begitu memuja Elysia, kakak kandungnya. Tapi Elysia, wanita yang tidak pernah puas, telah meninggalkan kekacauan ini. Dan kini, Zuri yang harus menanggungnya.
Pria di depannya ini, dengan sorot mata yang tidak bisa ditebak, membuatnya cemas. Axel selalu bicara panjang saat emosi menguasainya—seperti sekarang. Zuri khawatir, tangan pria itu bisa saja lebih cepat bergerak daripada kata-katanya.
“Kenapa diam?” Axel menyandarkan dagunya pada tangan, sikapnya santai tapi mengintimidasi. “Kau ingin menolak? Apa kau sanggup membayar kerugianku secara tunai? Atau lebih suka ke penjara menggantikan kakakmu? Aku bisa mengatur itu dalam sekejap.”
Zuri merasa lantai di bawahnya runtuh. Dia hampir tak mengenal Axel—hanya secuil cerita dari Elysia saat kakaknya itu sesekali pulang untuk bertemu dengannya. Tapi sekarang, dia tahu satu hal, pria ini jauh lebih kejam dari yang pernah dibayangkannya.
“Aku perlu waktu untuk memikirkannya,” jawab Zuri pelan, suaranya nyaris hilang.
“Apa?” Axel mendengus, nada sinis terdengar jelas. “Ulangi. Aku tidak dengar.”
Zuri menarik napas dalam, berusaha menjaga ketenangan. “Aku perlu memikirkannya lagi. Aku sudah punya calon suami, dan kami akan segera menikah.”
Axel tertawa keras, suaranya memenuhi ruangan kosong itu hingga Zuri merasa telinganya berdengung. “Kau serius? Apa kau tidak sadar bahwa uangku jauh lebih berarti daripada nyawamu—atau bahkan nyawa Elysia sekalipun?”
Zuri terdiam, tak berani menatap Axel. Pikirannya kacau. Elysia yang melakukan semua ini, merugikan Axel, tapi kenapa dia yang harus membayar?
“Tidak ada cara lain?” Zuri akhirnya membuka suara, nada memohon terselip di sana. “Aku bersedia bekerja di perusahaanmu tanpa gaji. Setiap bulan, kau bisa ambil penghasilanku untuk mencicil utang itu.”
Axel memandangnya dengan ekspresi tak percaya, lalu mendengus lagi. “Kau gila? Aku tidak akan membiarkan siapa pun dari keluargamu masuk ke perusahaanku. Lagi pula, apa yang bisa kau lakukan? Membersihkan lantai? Sampai kapan utang itu lunas—saat kau sudah mati?”
Kata-kata itu menusuk, tapi Axel mengucapkannya dengan tenang, seolah hanya menyatakan fakta biasa. Zuri menahan air mata. Elysia adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Mau tak mau, dia harus menanggung akibat ulah kakaknya—meski itu berarti menyerahkan hidupnya pada pria ini.
“Lalu untuk apa aku menikah denganmu?” tanya Zuri, suaranya masih bergetar. “Aku tetap tidak akan mampu membayar semua kerugian itu.”
Axel menatapnya tajam, ada kilatan amarah di wajahnya. “Aku butuh penerus. Sebelum Elysia kabur dengan uang dan perhiasan itu, aku sudah menyampaikan keinginanku. Dia tidak menjawab—malah melarikan diri.”
Zuri terpaku. Jantungnya berdegup kencang. “Jadi, jika aku memberimu anak, utang itu akan lunas?”
Axel mengangkat alis. “Tergantung.”
“Apa maksudmu?” Zuri terlonjak, tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Jenis kelamin anaknya,” jawab Axel datar. “Jika kau melahirkan bayi laki-laki, utang itu lunas sepenuhnya. Jika tidak, kita lihat lagi.”
Zuri tersentak. Takut, marah, dan sedih bercampur jadi satu, mencekiknya. “Jadi hidupku hanya bernilai sebatas itu di matamu?”
Axel tersenyum tipis, dingin. “Semakin cepat kau memberiku anak laki-laki, semakin cepat aku menceraikanmu. Itu saja.”
Kalimat itu terngiang di kepala Zuri, berulang seperti mantra yang menghancurkan. Axel membenci Elysia—dan dia, sebagai adiknya, adalah alat balas dendam yang sempurna. Mereka berdua adalah satu-satunya yang tersisa dari keluarga mereka. Orang tua mereka meninggal akibat wabah di village, dan bibi yang menampung mereka di kota telah tiada karena kecelakaan. Zuri benar-benar sendirian sekarang.
“Aku mengerti,” gumam Zuri akhirnya. “Tapi beri aku waktu untuk menjelaskan pada calon suamiku.”
Dia memikirkan Jaxon Holt—pria sederhana yang hangat, pegawai negeri yang telah merencanakan hidup bersamanya. Rumah kecil yang disiapkan Jaxon untuk mereka sudah cukup baginya. Tapi kini, semua itu terancam sirna.
“Tidak perlu menunggu,” kata Axel tiba-tiba, matanya beralih ke arah pintu. “Dia sudah datang.”
Tekrejut, Zuri menoleh. Jaxon berjalan cepat mendekati mereka, wajahnya penuh tanya.
“Hai, calon istriku,” sapanya sambil mencium pipi Zuri, membuat wanita itu membeku. “Ada apa ini?”
Zuri tergagap. “Jax, ini tentang kakakku—”
“Aku kakak iparnya,” potong Axel dengan santai, “sekaligus calon suaminya. Zuri baru saja memintaku menikahinya.”
Zuri tersentak. Mulutnya ternganga, tapi tak ada suara yang keluar. Axel dengan sengaja membalikkan fakta, melemparkan tuduhan palsu tanpa ragu. Jaxon menoleh padanya, pandangannya berubah gelap.
“Apa ini, Zuri?” Jaxon menggeram, tangannya mengepal di atas meja. “Benar kau meminta kakak iparmu menikahimu?”
“Tentu saja,” jawab Axel lagi, mewakili Zuri. “Karena aku lebih kaya darimu, Tuan Jaxon.”
“Zuri, jawab!” bentak Jaxon, suaranya mengguncang. “Benar atau tidak?”
Zuri gemetar hebat. Dia ingin membantah, tapi tatapan Axel yang dingin dan penuh ancaman membungkamnya. “Itu … itu benar,” katanya akhirnya, suaranya nyaris tidak terdengar.
Jaxon menggebrak meja, berdiri, dan meraih gelas air di depan Zuri. Dalam sekejap, air itu disiramkan ke wajah Zuri. “Dasar wanita murahan! Kau dan kakakmu sama saja!” teriaknya, wajahnya memerah penuh amarah.
Zuri menangis tersedu. Air mata bercampur dengan air yang membasahi wajahnya. “Bukan begitu, Jax. Elysia—”
“Cukup!” potong Jaxon. “Apa pun alasannya, kau memilih jadi wanita seperti itu. Kau hancurkan aku dan keluargaku!”
Axel mengangkat tangan, menghentikan keributan itu. “Sudah, Tuan Jaxon. Jangan terus menyalahkan Zuri. Introspeksi diri sendiri. Sudah cukupkah penghasilanmu untuk menikahi seorang wanita?”
Jaxon terdiam, tangannya mengepal lebih erat. Dia tahu pekerjaannya sebagai pegawai negeri memang terbatas. Ada cicilan mobil, tanggungan untuk adik-adiknya. Andai dia dan Zuri menikah, mereka akan hidup pas-pasan.
“Baiklah,” ujar Jaxon dengan tawa getir. “Selamat atas pernikahan kalian. Semoga kalian tak pernah bahagia.” Dia berbalik, meninggalkan Zuri yang tidak sanggup menatap kepergiannya.
Axel bangkit, menatap Zuri yang basah dan pucat. “Aku sudah selesai. Kujemput kau nanti di hari pernikahan,” katanya dingin, lalu melangkah pergi.
Zuri mengusap wajahnya, air mata masih mengalir. “Apa yang kau lakukan, Ely?” gumamnya pada kakak yang tidak ada. Langkahnya tertatih menuju pintu, tapi sebuah seseorang menghadangnya. Wanita paruh baya dengan wajah penuh amarah.
“Ibu?” Zuri terpaku. Itu Margaret, ibunya Jaxon.
“Jangan panggil aku Ibu,” bentak Margaret. “Putraku menangis tadi, mengadu padaku kalau kau membatalkan pernikahan demi pria lain.” Tanpa aba-aba, tangannya melayang, menampar Zuri keras.
Zuri terhuyung, pipinya memanas. Kafe yang sepi—disewa khusus oleh Axel untuk pertemuan ini, sekarang terasa seperti panggung kehancurannya. Pelayan yang mulai berdatangan hanya bisa berbisik, menyaksikan wanita malang itu dihujani kesialan.
“Nyonya Margaret, maafkan aku,” lirih Zuri, menatap wanita yang pernah dia harapkan untuk menjadi mertuanya.
“Aku tidak akan memaafkanmu,” balas Margaret tajam. “Kau wanita rendah. Murahan!”
Zuri mengangguk lemah. “Anda benar. Aku memang seperti itu.”
Margaret mendengus, lalu pergi tanpa kata lagi. Zuri berdiri sendirian, basah dan hancur, dikelilingi tatapan asing. Tidak terlalu jauh, Axel melangkah keluar kafe dengan tidak peduli. Baginya, ini baru permulaan—dan Zuri adalah pion yang sempurna dalam permainannya.
Zuri berdiri kaku di ruang persiapan, menatap gaun pengantin berwarna putih gading yang tergeletak di sisinya. Sorot matanya redup, menyimpan kekecewaan yang mendalam. Ini bukan pernikahan dengan Jaxon Holt. Hari ini, Axel Nightvale—kakak iparnya yang kini tak lagi terikat dengan Elysia Rosier, akan mengikatnya dalam sebuah ikatan yang dia benci.Tiga puluh menit lagi, janji setia akan terucap. Tubuh Zuri menegang, jantungnya berdegup kencang. Dia ingin kabur, menghilang dari ruangan ini, tapi kenyataan menekannya seperti belenggu besi.“Kenapa belum berpakaian?” Suara Axel memecah hening, tajam dan dingin.Zuri mendongak cepat, melihat pria itu berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kaos putih dan celana olahraga hitam.Tatapan Axel yang menusuk, membuat Zuri tersentak hingga napasnya tersendat.Dia membuka mulut, tapi kata-katanya tercekat. “Aku … ingin istirahat sebentar,” jawabnya lemah, suaranya nyaris hilang.“Tidak ada waktu.” Axel melangkah masuk, posturnya tegak penuh otori
Di kantor, Axel keluar dari ruang rapat dengan perut kosong. Kekacauan pagi itu membuatnya kesal, fokusnya hilang.“Tuan Axel, ada tamu,” kata Oliver—salah satu karyawan terpercaya Axel, mendekat cepat.“Tamu?” Axel mengerutkan kening. Seingatnya, tidak ada jadwal tamu hari ini sampai nanti.“Itu Nyonya Zuri Everlyn. Istri baru Anda,” bisik Caden—asisten sekaligus sekretaris Axel yang berdiri tepat di sisinya.Axel menegang, pikirannya melayang ke Elysia sebelum tersadar pada kenyataan. “Biarkan dia menunggu. Aku perlu mengecek beberapa dokumen dulu,” katanya dingin, lalu masuk ke ruangan.Belum lama duduk, Axel gelisah tanpa alasan pasti. Zuri di Nightvale Corporation mengusiknya. Dia selalu melarang wanita masuk ke sini—bahkan Elysia. Tapi Zuri ada di sini sekarang. Hal itu membuatnya merasa terganggu dan tidak nyaman.Akhirnya, dia bergegas ke ruang yang biasa dijadikan tempat para tamu untuk bertemu dengannya. Membuka pintu, dia melihat Zuri duduk kaku, memegang kotak bekal ungu tu
Zuri menunduk, menahan sakit hati. Bukankah Axel yang menuntut keturunan darinya? Lalu apa maksud perkataan itu? Menghela napas, coba menenangkan diri dengan tidak memedulikan hinaan Axel padanya. “Jadi apa salahku?”Axel Nightvale menatap Zuri dengan ekspresi dingin. “Pikirkan sendiri,” katanya ketus, lalu bangkit. Dia kesal—pada Zuri, tapi lebih lagi pada dirinya sendiri.Zuri bergeser gelisah di kursinya, tubuhnya kaku. Axel memperhatikan. Merasa ragu wanita itu bisa memenuhi tujuannya dalam waktu dekat. Tapi tidak masalah. Dia berniat memanfaatkan Zuri dengan caranya sendiri, mulai malam ini. Tunggu saja.“Ayo pulang,” perintahnya, melirik pintu rumah bibi Isolde tanpa maksud, tapi punya firasat.Zuri menoleh. “Kau sudah selesai?”“Memangnya kau mau apa dariku?” Axel balas bertanya, sengaja membuat Zuri terpojok. Dia ingin wanita itu merasa tak berdaya, meski hanya untuk kepuasannya sendiri.Zuri gugup, tangannya mencengkeram tepi kursi.Ketakutan itu lagi—tapi Axel yakin bukan dir
Axel Nightvale berdiri di sana. Zuri langsung gemetar. Tubuhnya berputar cepat menghadap suaminya. Dia berdoa dalam hati agar Axel tak mempermalukannya di tempat ini. Mungkin tidak sekarang, tapi di rumah, intimidasi pasti menanti.“Aku bertanya, istriku. Kenapa kau masih di sini dan belum pulang?” Nada Axel berubah lembut, tidak biasa. Dia bahkan menyebut Zuri ‘istriku.’Zuri melirik Cole, yang berdiri diam lima meter di sisinya. Axel melangkah mendekat, tersenyum hangat—senyum yang tidak pernah Zuri lihat sebelumnya. Apakah pria ini punya sisi seperti itu? Tetap saja, ketakutan menguasainya. Senyum itu terasa seperti topeng yang menyembunyikan ancaman.“Maaf, aku hanya turun sebentar untuk melihat kecelakaan di depan,” jawab Zuri pelan, tidak berani menatap mata Axel langsung. Pandangannya tertuju pada sepatunya sendiri.Axel menghela napas panjang. Zuri tidak tahu apakah itu tanda amarah atau kekesalan.“Lihat aku, Zuri. Angkat kepalamu,” perintahnya, tegas meski terkendali.Zuri me
Zuri menunduk, fokus menyabuni lengan Axel. “Belum. Kami belum pernah melakukannya,” jawabnya pelan.“Aku hanya bertanya tanpa tujuan,” kata Axel cepat, berusaha menutupi nada ingin tahunya.“Aku tahu,” angguk Zuri singkat.Axel mengerutkan kening. Apa Zuri sudah menebak rencananya? “Kita akan melakukannya malam ini. Kalau kau belum siap, kuberi waktu sampai tengah malam.” Menatap Zuri tajam, dia tidak mau menunda lagi.Zuri berhenti bergerak, tangannya diam di sana, lalu menatap Axel langsung—bukan dengan ketakutan, tapi keberanian kecil. Axel balas menatap, menantang Zuri. Tapi Zuri langsung menciut, menunduk dan melanjutkan menyabuni Axel.“Katakan apa yang ingin kau katakan,” desak Axel, kesal dengan sikap Zuri. Bergerak menuju bathtub, masuk ke dalam dan menegakkan punggung agar kembali disabuni Zuri.“Aku akan berusaha siap sebelum tengah malam,” balas Zuri, beralih ke punggung Axel. Pas sekali momen ini untuk menghindari tatapan si suami.“Harus. Kau harus siap. Ingat perjanjian
Zuri merinding, bulu kuduknya berdiri. Bercinta lagi? “Berbalik dan lihat aku,” perintah Axel, nadanya lebih tajam.Zuri menurut, berbalik perlahan. Wajah Axel tampan meski rambutnya berantakan—ulahnya semalam, menjambak dan mengacak-ngacak selagi menahan serangan Axel. Mereka saling menatap, hawa dingin pagi terasa dari tatapan pria itu.“Kau tidak mendengarku?” tanya Axel, suaranya nyaris kasar.“Aku mendengarmu,” jawab Zuri hati-hati, mengangguk. Axel suaminya, jadi dia harus menjalani ini dengan benar.“Karena aku yang menginginkannya lagi, apa itu artinya aku juga yang harus memulainya?” tanya Axel sinis.Zuri menelan ludah. “Kau suka aku memulainya dengan cara seperti apa?” balasnya pelan, langsung menyesal bertanya.“Kau minta diajari lagi?” Axel menyeringai, alisnya bertaut. Zuri mengangguk, tidak tahu harus jawab apa. Jujur, ini sungguh pengalaman pertamanya.“Coba mulai dengan menggodaku,” perintah Axel.Zuri mengerjap bingung, lalu bangkit duduk. Selimutnya merosot, memperl
Kini, Aurelia kembali ke Valmont bersama Ronan dan Alina. Ibunya terkejut, begitu pula Axel, tapi bedanya, ibunya selalu ingin tahu, sementara Axel tidak ambil pusing.Kemarin, Gideon Cross—orang kepercayaan Axel, memberitahu bahwa Aurelia bercerai dari Ronan Donovan, pria kasar yang menghabiskan kekayaannya di meja judi.Axel melirik jam tangannya. Pukul sebelas lewat dua puluh menit. Zuri pasti sudah tidur. Terakhir dia melihat istrinya itu mengeringkan rambut sambil menatap ponsel, tidak menyadari kepergiannya. Dia sengaja tak memberitahu ke mana dia pergi atau di mana dia akan bermalam. Menurutnya, Zuri tidak berhak tahu.“Alina memang sudah mengantuk. Ini jam tidurnya, tapi karena terus batuk, dia gelisah dan sulit tidur,” kata Aurelia, muncul kembali. Kali ini, dia tak duduk di seberang Axel, melainkan di sisinya.“Sekarang bagaimana?” tanya Axel, nadanya tetap datar.Aurelia tersenyum lembut—senyum yang bisa membuat hati bergetar. “Dia sudah tertidur pulas setelah aku ikut tidur
“Oh, sebentar. Biar aku ambil ponselku dulu, Nyonya,” jawab Dottie, bergegas mengambilnya.Zuri lega—Dottie tidak curiga. Dia mendapat nomor Axel dan ragu menelepon, takut mengganggu. Akhirnya, dia memilih mengirimkan pesan.[Axel, ini Zuri. Aku minta izin untuk ke rumah mendiang bibi Isolde. Aku janji tidak akan lama.]Dia menghela napas, lalu memanggil Cole yang sedang duduk membaca buku di ruang tamu. Pemandangan itu menghibur hatinya—pria dengan buku.“Ke jalan Fairview, Nyonya?” tanya Cole, berdiri tegak. Seolah tahu ke mana tujuan Zuri. Sebab selama ini, sang nyonya memang jarang minta diantarkan selain ke rumah mendiang bibinya.Zuri mengangguk. “Ya,” jawabnya singkat dengan senyum.Perjalanan delapan belas menit berlalu dalam diam yang canggung. Cole masih memanggilnya ‘Nyonya’, membuat Zuri merasa jarak itu tidak pernah berkurang.“Silakan hubungi aku ketika Anda selesai, Nyonya,” kata Cole, menyerahkan secarik kertas dengan nomornya.Zuri mengangguk, menerimanya. Cole jelas m
“Hm-mh,” jawab Zuri, suaranya parau seperti bersenandung.“Tidurlah. Akan kubangunkan saat hujannya reda,” kata Axel.“Baiklah,” jawab Zuri. Entah nadanya kecewa atau tidak, tapi setengah sadar, dia mengecup leher Axel pelan sebelum memejamkan mata.Saat terbangun beberapa belas menit kemudian, Zuri melihat embun sisa hujan di kaca mobil. Axel sudah menyetir, alunan musik lembut mengalir—pengantar tidur. Untuknya? Dia pikir mungkin saja begitu. Menggeliat dalam selimut, Zuri mendengar Axel berdeham.“Jangan sampai selimutmu terlepas, Zuri. Atau aku akan menghukummu. Kau mengerti?” ancam Axel.Bercanda atau serius, tetap saja Zuri merasa panik. “Aku mengerti.”“Bagus,” kata Axel.Jalan menuju rumah di Fairview sudah dekat. Zuri menghela napas. Seperti rasa kecewa karena kebersamaan mereka segera berakhir.“Ponselmu terus berdering sejak tadi. Periksalah,” ujar Axel.Zuri menemukan tas di bawah kakinya. Melihat ponsel, jantungnya berdebar cepat. Lennox menelepon lima belas kali dan meni
Mendapatkan undangan dari salah satu kenalan Nyonya Marina Edelina Swiss untuk peragaan busana di aula terbesar di Valmont, Zuri mengajak Rara bersamanya. Acara itu dipenuhi perancang busana ternama dari Valmont dan sekitarnya. Setelah selesai, Zuri melihat Rara lebih banyak diam, sesuatu yang tidak biasa.Namun, Zuri bisa merasakan kepercayaan diri Rara memudar perlahan. Sepertinya, itu cuma dugaan Zuri.“Zuri, kurasa kita butuh seorang perancang busana,” ujar Rara saat mereka melangkah melewati lobi. “Selama ini, aku dan Sila hanya mengikuti selera dan permintaan pelanggan sesuai model yang mereka inginkan—entah meniru foto majalah atau gambar model pakaian. Bagaimana menurutmu?”Zuri tersenyum, mengangguk setuju. “Ide bagus, Rara. Tapi menurutku, bukankah kau bisa menjadi keduanya?”Rara menatap Zuri, mengerjapkan matanya berulang kali, seolah Zuri baru saja mengucapkan sesuatu yang tidak masuk akal. “Zuri, akan kuberitahu padamu,” kata Rara serius. “Sebenarnya, tidak ada yang sala
Axel membongkar itu di depan Lennox, sengaja. Dia tak pernah memberitahu Zuri semua yang diketahuinya. Baginya, Zuri tidak perlu tahu betapa dalam dia menggali setiap detail hidup istrinya itu. Penasaran adalah kekuatan Axel, dan tak ada yang bisa disembunyikan dari dirinya.Lennox berusaha menyembunyikan keterkejutannya, tapi Axel melihatnya—senyum sekilas yang canggung, penuh cemas.“Aku juga benar-benar tidak tahu kenapa kakak tiriku bisa tiba di sini tanpa tanda apa pun yang terbaca olehku. Biasanya, aku selalu tahu keberadaannya. Aku yakin, beberapa hari lalu dia masih di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Axel, aku sungguh-sungguh minta maaf,” pintanya tulus.Tatapan Lennox penuh penyesalan, sorot mata yang jujur—Axel mengerti itu. Mereka sesama pria, bisa membaca isyarat seperti ini. Tapi kejujuran itu tidak cukup untuk Axel.“Jauhkan dia dari Zuri, atau aku yang akan bertindak,” ancam Axel, nadanya datar tapi tegas.“Tentu. Aku pasti akan menjauhkan Zuri dari kakakku. Aku ber
“Kau belum siap untuk itu,” kata Axel, menarik Zuri dari dinding dan mendorongnya ke meja rias di sudut kamar.Axel membalikkan tubuh Zuri, menekuk pinggang si istri hingga tangan bertumpu di meja, bokong Zuri terangkat sempurna di hadapannya.Cermin di depan Zuri memantulkan wajahnya—pucat, penuh hasrat, dan ketakutan yang selalu membuat Axel terobsesi.“Lihat dirimu,” perintah Axel, tangannya menyentuh punggung Zuri, menelusuri lekuk tubuh istrinya yang gemetar. “Kau harus tahu betapa kau cuma milikku.”Axel membuka laci meja rias, mengambil sabuk kulit yang tersimpan di sana.Zuri menoleh, matanya melebar. “Axel, apa—”“Diam,” bentak Axel, melipat sabuk itu dan menampar bokong Zuri pelan—tidak terlalu keras, tapi cukup membuat Zuri tersentak dan mengerang. “Ini baru. Kau akan belajar menikmatinya.”Axel menggesekkan kejantanannya di antara bokong Zuri, tak langsung masuk, hanya menggoda—seperti kebiasaannya. Ujung batangnya menyentuh kewanitaan Zuri. Basah dan panas, tapi Axel mena
“Axel, tolong ….” Zuri memohon, tidak tahan lagi dengan siksaan ini.“Tolong apa?” Axel menggesekkan kejantanannya di bibir kewanitaan Zuri, menggoda si istri tanpa masuk. “Katakan kau membutuhkanku.”“Aku membutuhkanmu,” bisik Zuri, putus asa.Senyum kemenangan Axel muncul sekilas sebelum dia mendorong masuk penuh, miliknya mengisi Zuri dengan penuh dan satu hantaman keras. Zuri menjerit, tubuhnya melengkung karena sensasi yang luar biasa. Axel tidak memberi istrinya itu waktu, langsung bergerak dengan ritme brutal, ranjang berderit di bawah tekanannya.“Kau milikku, Zuri,” kata Axel, tangannya mencengkeram pinggul Zuri erat. “Hanya aku yang boleh membuatmu begini.”Zuri mencakar seprai, mencoba menahan orgasme yang mengancam. Kewanitaannya berkedut mengelilingi kejantanan Axel, basah dan licin, tapi dia tahu kalau harus menunggu.Axel mempercepat gerakan, napasnya semakin berat, keringat menetes dari dahinya. “Tahan,” perintah Axel, parau.Zuri menggigit bibir hingga terasa perih, t
Axel membalikkan tubuh Zuri tiba-tiba, menekan ke sofa hingga wajah si istri terbenam di bantal. “Angkat pinggulmu,” perintahnya.Zuri menurut, merasakan tangan Axel mencengkeram bokongnya. Kejantanan Axel masuk lagi dari belakang, lebih dalam, lebih brutal. Dia mencakar bantal, menahan jeritan.“Jangan berani selesai, Zuri,” ancam Axel, tangannya menampar bokong Zuri keras hingga pasti menyisakan perih. “Aku belum selesai denganmu.”Zuri terengah, mencoba mengendalikan tubuhnya yang sudah di ambang puncak. Axel terus menghantam, suara kulit bertemu kulit mengisi ruangan.Napas Axel semakin berat, tanda dia mendekati klimaks. “Kau milikku,” desisnya. Tangannya mencengkeram pinggul Zuri erat. “Hanya aku yang boleh membuatmu begini.”Akhirnya, Axel mengerang keras, miliknya berdenyut di dalam Zuri saat dia mencapai puncak. Cairan panasnya mengisi si istri sepenuhnya dan baru saat itulah Axel berkata. “Sekarang, selesai untukku.”Zuri tidak bisa menahan lagi. Dengan satu dorongan terakhi
Zuri terengah saat Axel mencium lehernya. Tangan si suami merayap ke bawah, membuka resleting rok-nya. Ketakutan Zuri bercampur sensasi aneh—dia tidak bisa melawan. Bibir Axel turun ke dadanya, lidah panas itu menari di kulitnya, dan Zuri mendesah tanpa sadar. Axel membuka kedua kaki Zuri, jari-jarinya menyelinap ke dalam, menggoda si istri hingga Zuri terengah.“Axel ….” Zuri merintih, tubuhnya mengkhianatinya.“Katakan kau menginginkanku,” desis Axel, menekan Zuri lebih dalam.Zuri tak bisa menolak. “Aku menginginkannya,” bisik Zuri, dan Axel tersenyum puas, meneruskan hingga mereka tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang panas dan liar.Zuri lemah, menyerah pada tatapan gelap Axel yang penuh kemenangan. Senyum Axel melebar, tapi tidak ada kehangatan di dalamnya—hanya hasrat dingin yang membakar.Axel mendorong Zuri lebih keras ke sofa, blus-nya sudah terbuka penuh, bra-nya direnggut Axel dengan satu gerakan kasar hingga dia tersentak. Napas Zuri memburu saat jari-jari Axel meraya
Zuri merasa ini terlalu aneh.Axel mencium Zuri begitu dalam, hingga napasnya tersendat. Kenapa? Apa ini pertanda Axel ingin naik ke tempat tidur untuk bercinta? Jantung Zuri berdegup kencang, hampir meledak di depan sorot mata suaminya yang gelap dan tajam.Mereka terengah bersama saat Axel melepaskan Zuri. Sudut bibir Axel tertarik—sinis, dingin. Dan Zuri tidak bisa memahami maksudnya.“Ayo, masuk,” ajak Axel, bernada rendah dan menggoda.Bulu kuduk Zuri berdiri. Dia takut—selalu begitu di dekat sang suami. Tapi di saat yang sama, ada getar aneh di tubuhnya. Axel melingkarkan lengannya hampir menyentuh perut Zuri, mengingatkan wanita itu pada tujuan Axel menikahinya, bayi laki-laki.Oh, seketika Zuri ingat. Dia lupa pamit pada Lennox! Ketakutan pada Axel membuatnya berlari begitu si suami memanggil, meninggalkan Lennox tanpa sepatah kata.“Apa yang kau lihat?” bentak Axel tiba-tiba.Zuri terperanjat, cepat berbalik dari menoleh ke belakang. “Tidak. Itu ….”Haruskah dia memberitahu A
“Takut padaku? Oh, Zuri Everlyn. Kau terlalu manis,” kata Axel dalam hati. Dia selalu sadar bahwa garis antara kebodohan dan sikap menggemaskan si istri begitu tipis, namun memabukkan. Jangan berubah—tetaplah seperti itu. Inilah keinginan serius seorang Axel.“Mau kusiapkan teh lemon atau cokelat panas?” tawar Zuri, lembut namun terjaga jarak. Dia selalu begitu—menjaga ruang kosong di antara mereka, kecuali saat keduanya berada di atas ranjang.“Tidak ke dua-duanya,” jawab Axel.Karena Zuri yang tampak menciut karena jawabannya, membuat Axel nyaris tertawa geli. “Kopi saja, kalau begitu,” tambahnya. Dia sudah berniat mematikan ponselnya, tapi menemukan banyak pesan masuk, termasuk dari si istri.Axel membuka pesan itu sambil mengingat kejadian pagi tadi. Saat Zuri mengirim pesan ini, Axel masih sibuk menenangkan Alina dari tangisnya. Beruntung, Ronan akhirnya datang menjemput setelah mereka sarapan donat kayu manis dan sereal cokelat. Entah bagaimana Ronan memenangkan perdebatan denga