Share

5. Ketika Malam Bicara

last update Last Updated: 2025-03-05 07:30:59

Angela terbangun saat langit di luar sana masih gelap. Kamar kembali sunyi. Refleks menoleh ke sofa. Kosong.

Alaric sudah pergi.

Tidak ada jejak keberadaan pria itu, kecuali aroma samar sabun yang menempel di sprei, meski si suami tidak berbaring di sisinya semalaman. Angela menarik napas pelan, mencoba mengusir kecewa yang bahkan dia sendiri tidak mau mengakuinya.

Dia tahu. Harusnya sudah terbiasa. Semestinya tidak masalah, karena dia punya alasan kuat saat memulai dan tetap bertahan sampai akhir tanpa harapan berlebihan.

Turun dari tempat tidur, Angela melangkah menuju kamar mandi, membasuh wajah. Begitu menatap pantulan dirinya di cermin, dia sadar. Tidak ada bekas ciuman, pelukan, atau kata manis nan lembut tadi malam.

Cuma tubuh yang dipakai, lalu ditinggalkan.

Angela menyeka wajahnya dengan handuk. Kalau begini terus, dia akan cepat menua sebelum waktunya.

***

Alaric baru pulang dari berolahraga. Dia masuk ke kamar Sienna tanpa mengetuk, langsung menuju lemari. Mengambil setelan kerjanya. Sejak menikah dengan Angela, Alaric lebih sering berpakaian di kamar mandi setelah mandi.

Sienna yang tadinya tidur miring, membuka mata perlahan. Tatapannya buram, tapi cukup jelas untuk melihat punggung suaminya yang sibuk di depan lemari.

“Mas?” Serak, hampir berbisik Sienna memanggil.

Alaric tidak menoleh. “Tidur aja lagi.”

Sienna duduk perlahan, menarik selimut sampai ke dada. Matanya memperhatikan gerakan Alaric yang terasa jauh, meskipun jarak mereka cuma beberapa langkah.

“Mas sama Angela tadi malam?” Sudah tahu jawabannya, masih saja ditanya. Jelas terluka, tapi bersedia bertahan.

Alaric berhenti sebentar, menghela napas pendek. “Kamu udah tau jawabannya.” Meraih dasi tanpa menoleh. 

Sienna mengabaikan ucapan kekesalan halus Alaric padanya. “Kalau aku hamil, Mas masih bakal tidur sama dia?”

Pertanyaan itu membuat Alaric menoleh untuk pertama kalinya, sejak tadi sibuk sendiri di depan lemari. Tatapannya tidak menutupi apa pun. Lelah yang teramat jelas. “Kalau kamu hamil, itu karena kehendak Tuhan, bukan karena kita kurang usaha.”

Jawaban itu seperti tamparan halus. Jelas dan tegas maknanya. 

Sienna menggigit bibir, matanya mulai berkaca-kaca. Padahal sebelumnya dia sudah mampu menahan diri agar tidak menangis. Apa kali ini terlalu melukai harga dirinya?

Alaric melangkah ke pintu, batal mandi di kamar Sienna. Mungkin lebih baik ke ruang kerjanya saja. Di sana juga ada kamar mandi. Sebelum mencapai ambang, tanpa menoleh, keluar satu peringatan tegas. “Jangan naik ke lantai tiga lagi.” 

Sienna tetap duduk di ranjang, menggenggam selimut erat-erat.

Tidak. Ini belum selesai. Selama Angela masih ada di antara mereka, tidak ada kata selesai baginya.

***

Tidak setiap malam Alaric bercinta dengan Sienna. Terlalu sering bukannya bosan? Apalagi saat dia sedang sibuk-sibuknya di kantor. Malam ini, seperti kemarin malam, dia masuk ke kamar Angela, masih dengan setelan kerja dan tas di tangan.

Sudah dua malam ini mereka ‘libur’ lantaran Alaric tenggelam dalam pekerjaannya. Ada banyak hal yang harus dia selesaikan, dan Sienna tentu tidak akan mengganggu lagi karena peringatannya sudah sangat jelas diucapkan pagi itu.

Yang penting, kamera CCTV dan para pelayan mata-mata menangkap dirinya masuk ke kamar Angela setiap malam. Itu cukup menutupi ekspektasi Darmawan, setidaknya untuk sementara. Alaric tahu trik ini. Selama dia terlihat menjalankan perintah, si kakek tidak akan bertanya lebih jauh.

Kemarin malam, begitu melihat Alaric masuk, Angela sempat bersiap. Namun, Alaric menahannya. “Malam ini enggak usah, ya? Saya lagi banyak kerjaan. Kalau kamu terganggu saya di sini, dua jam lagi saya keluar.”

Angela malah tertawa tanpa sadar. Meminta Alaric bersikap layaknya pemilik kamar, karena sejatinya, Alaric lebih berhak. Sebab ini rumah keluarganya, termasuk kamar di lantai tiga ini.

Angela masih ingat jawabannya. “Ini bukan kamar saya, tapi kamarnya kamu, Mas. Senyamannya Mas aja. Saya enggak akan ganggu.”

Malam ini pun sama. Angela sudah berbaring, sementara Alaric duduk di sofa, laptop terbuka di pangkuannya. Lampu kamar redup, hanya menyisakan cahaya dari layar yang memantulkan bayangan samar di wajahnya.

Angela mengintip dari balik selimut. “Mas belum mau tidur?”

Alaric tidak langsung menjawab. Jari-jarinya masih mengetik, ekspresinya serius. Beberapa saat kemudian, dia menutup laptop dan menghela napas panjang. “Nanti.”

Angela mengangkat kepala sedikit, menatap si suami. “Kalau Mas enggak nyaman tidurnya seranjang sama saya, kita gantian aja. Biar malam ini saya di sofa. Gimana?”

Alaric menoleh, menatap Angela hampir tanpa ekspresi. “Saya aja yang di sini.”

Angela tersenyum tipis. “Tapi sofanya kan sempit, Mas.”

“Enggak masalah.”

Angela menghela napas. Dia bangkit, duduk di tepi kasur sambil menatap Alaric yang masih duduk di sofa dengan posisi bersandar. “Mas, kalau saya yang tidur di sofa, Mas bisa lebih nyaman di kasur.”

Alaric menatap Angela sedetik. “Enggak masalah, Angela. Saya tidur di sini aja.”

Angela mengalah. Mengangguk pelan, kembali merebahkan diri, lalu menarik selimut lebih tinggi. “Selamat tidur, Mas.”

Alaric tidak menjawab. Melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi.

***

Malam sudah larut, tapi Alaric masih duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya. Dia tidak benar-benar bekerja lagi, hanya terlalu malas untuk pindah. Memang sempit di sini. Malam ini lebih terasa begitu, karena sepertinya tubuhnya membutuhkan tempat yang lebih nyaman.

Angela sudah tidur sejak tadi. Tampak nyenyak dengan napas naik turun yang teratur.

Tapi, sekitar pukul tiga dini hari, sesuatu terjadi.

Bruk!

Suara benda jatuh menggema di kamar yang hening. Angela mengerjap, sontak terbangun dengan kepala menoleh ke sumber suara. Alaric tergeletak di lantai, laptop yang tadi ada di pangkuan kini menindih perutnya.

Angela sempat ingin tertawa, tapi dia menahan diri. “Mas?”

Alaric tidak langsung menjawab. Hanya menyingkirkan laptop dengan satu tangan dan mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan kesadaran. “Sial,” gumamnya pendek.

Angela menghela napas, duduk bersandar di kepala ranjang. “Sofa itu sempit, Mas.” Diulangnya lagi ucapan yang sama sejak semalam.

Alaric bangkit, mengusap tengkuknya yang terasa kaku. Dia tidak membalas, tapi akhirnya naik ke tempat tidur juga, meskipun memilih sisi yang agak jauh dari Angela.

Angela memperhatikan gerakan suaminya sekilas. Alaric melepas kancing kemeja satu persatu. Begitu duduk di tepi kasur, mendesah pelan. Lelah yang biasa dialaminya hampir setiap waktu.

Angela tahu, Alaric pasti merasa gerah.

Benar saja. Setelah beberapa detik, Alaric menarik kaos dalamnya ke atas, melepaskannya tanpa banyak pikir, lalu melemparkannya begitu saja ke ujung kasur.

Angela buru-buru membalikkan badan, memunggungi suaminya. “Mas belum mandi?” Pelan suaranya.

Alaric merebahkan diri, menatap langit-langit. “Males,” jawabnya pendek.

Angela tersenyum kecil dalam diam, tanpa sadar. Sepertinya bukan karena jawaban Alaric, tapi karena dia mulai bisa membaca pria itu sedikit demi sedikit.

Enam menit setelahnya, Angela masih terjaga. Dia membalikkan badan pelan, sekadar mengintip Alaric yang berbaring diam di sisi lain kasur dengan mata yang masih menatap langit-langit. “Mas belum mau tidur?” 

Setelah dua detik berlalu, Alaric baru menjawab. “Belum.”

Angela menarik napas. “Kalau gitu, kita ngobrol aja.” Berusaha mengatasi canggung. Sudah seminggu mereka menikah, dua malam tanpa bercinta. Cukup memberi ruang untuk momen seperti ini, seharusnya.

“Ngobrol apa?”

Angela ikut menatap langit-langit kamar, berpikir. “Apa ya? Apa aja, deh. Misalnya … Mas paling suka musim apa?”

“Dingin.”

Angela tertawa kecil. “Itu bukan musim.”

Alaric menoleh sedikit, lalu kembali menatap langit-langit. “Ya, dingin aja.”

Angela mendesah pelan sambil tersenyum, sengaja menggoda. Dia tahu maksud Alaric pasti winter, tapi sepertinya pria itu memang selalu berbicara sesingkat mungkin. Jawaban ‘dingin’ itu khas Alaric—ringkas, tapi tetap mewakili perasaannya. “Mas tipe orang yang jawabannya pendek banget, ya?” 

“Hm.”

“Lihat? Bahkan ‘iya’ aja malas,” cibir Angela pelan.

Kali ini, Alaric tidak menanggapi. 

Angela diam sebentar, lalu bertanya lagi. “Mas suka anjing atau kucing?”

Alaric bergumam pelan. “Bebas.”

Angela berdecak, merasa kurang puas dengan jawaban seadanya itu. Mulai berani, karena Alaric ternyata mau menjawab setiap kali dia bertanya, walau pendek-pendek. “Kalau disuruh pelihara salah satu?”

Alaric bergeser sedikit, mencari posisi lebih nyaman. “Bebas.”

“Ya, ampun.” Angela menatap suaminya seolah tidak percaya sebagai tindakan wajar. Padahal baginya, sudah mau diajak bicara santai begini saja sudah terasa lebih baik.

Alaric melirik sekilas, lalu menutup mata. “Udah, lanjut tidur aja.”

Angela mendesis. “Enggak bisa tidur lagi. Mas udah buat saya kebangun tadi.”

Alaric menarik napas pelan, malas menanggapi. Tapi beberapa detik kemudian, dia berkata lirih, hampir tidak terdengar. “Kucing.”

Angela tersenyum kecil. “Hah?”

“Kucing,” ulang Alaric, masih dengan nada rendah. Berbalik, memunggungi Angela.

“Kenapa?” Si istri kedua menatap punggung suaminya dengan mata berbinar.

“Enggak tau.”

Angela tertawa kecil. “Ah, Mas ini.”

Alaric tidak menyahut lagi.

Angela tahu, pria itu pasti sedang berusaha tidur. Jadi, dia memutuskan untuk melakukan hal yang sama.

Mungkin Angela memang tidak akan pernah bisa mengenal Alaric sepenuhnya. Namun setidaknya, dia tahu satu hal baru malam ini. Alaric lebih suka kucing.

Related chapters

  • Istri Rahasia Sang Maharaja   1. Sebagaimana Seharusnya

    “Mas,” rintih Angela, gemetar dan berusaha mengendalikan diri sekuat tenaga.“Tahan. Jangan mendahului saya.” Alaric memperingatkan. Gerakannya tetap teratur, tapi dia sengaja memperlambat, seperti sedang menguji batas kesabaran Angela.“Ngh!” Angela makin tak tahan. Tubuhnya menegang, siap mencapai puncak, tapi tatapan kosong Alaric membuatnya ragu.“Fokus,” bisik Alaric, tegas. Entah kenapa, dia sendiri belum merasakan pelepasan. Pikirannya terpecah—antara tugas yang dipaksakan kakeknya dan bayangan Sienna yang entah sedang apa sekarang. Ini pertama kalinya dia bercinta dengan wanita lain. Matanya tertuju ke dinding, gerakannya kaku, hampir tanpa perasaan.“Saya ubah posisi, Mas?” Angela menawarkan, suaranya parau. Dia juga tidak nyaman—bukan cuma fisik, tapi perasaan aneh yang terus mengusik. Alaric bukan miliknya. Dia cuma istri kedua yang keberadaannya disembunyikan.“Oke,” angguk Alaric singkat. Tangannya menarik lengan Angela, memaksa bangkit bersamanya. “Duduk di pangkuan saya

    Last Updated : 2025-01-08
  • Istri Rahasia Sang Maharaja   2. Bukan Milikmu Sepenuhnya

    Memang tidak ada larangan bagi Sienna untuk ‘berkunjung’ ke lantai tiga, tapi kemunculan wanita itu untuk kedua kalinya di sana membuat Angela merasa tidak nyaman.Tepat ketika Angela sedang sarapan sendirian di meja makan bundar berlapis marmer hitam, yang berdiri kokoh di tengah ruang makan pribadinya, suara langkah Sienna terdengar mendekat.Sienna melirik ke tengah meja. Melihat lili putih segar yang berada di dalam vas bunga tinggi—bunga kesukaannya. Terendus aroma samar dari kelopak lili bercampur dengan wangi kopi yang mengepul dari cangkir Angela.Karena lantai tiga adalah wilayahnya, Angela akan bertindak selayaknya pemilik tempat. Tidak mungkin juga bersikap pura-pura tidak melihat seperti pagi tadi, ketika si istri pertama masuk tanpa permisi ke kamar si istri kedua.Melihat sikap Sienna yang bersedekap anggun, Angela menebak kalau wanita itu tidak akan bertindak brutal dengan menjambak rambutnya, menampar wajah, apalagi menyiramnya dengan kopi. “Silakan duduk, Mbak.” Sie

    Last Updated : 2025-01-09
  • Istri Rahasia Sang Maharaja   3. Lima Tahun Vs. Lima Hari

    Alaric sedang fokus pada pekerjaannya, ketika ponsel di atas meja bergetar. Meletakkan pena dengan gerakan perlahan, lalu memandang layar. Nama ‘Kakek’ tertera di sana. Tanpa ragu menjawab, meski lelah sudah dirasakannya sejak tadi.“Iya, Kek?” Daripada takut, Alaric hanya merasa terbebani. Tetap datar, seperti biasa.“Mau apa Sienna ke lantai tiga?” tanya Darmawan Maharaja, nadanya tegas tanpa basa-basi. “Dua kali dia ke sana hari ini.”Alaric diam sejenak. Tangannya tanpa sadar memutar pena di atas meja. Tidak terkejut kalau cuma satu kali, karena dia tahu Sienna masuk saat dia dan Angela sedang bercinta pagi tadi—kejadian yang coba dia lupakan karena hanya menambah beban pikiran. “Saya enggak tau, Kek. Mungkin sekedar sapa, karena Sienna belum pernah tatap muka langsung sama Angela.”“Sekedar sapa apanya?” Darmawan tiba-tiba berang. Suaranya meninggi menjadi bentakan kecil yang khas. “Udah saya bilang ceraikan dia, kenapa kamu kalah sama perempuan enggak berguna itu?”“Kek, kan ud

    Last Updated : 2025-01-17
  • Istri Rahasia Sang Maharaja   4. Rutinitas Malam

    Alaric membuka pintu kamar Angela tanpa mengetuk lebih dulu. Kebiasaan selama lima hari ini. Dia tahu Angela tidak pernah mengunci pintu, karena selain dia, tidak ada yang naik ke lantai tiga. Sienna pun baru pagi tadi.Angela yang sedang duduk di ujung ranjang sontak menoleh. Rambut masih setengah basah, dia baru saja mandi. Pandangannya langsung bertemu dengan Alaric. Singkat keterkejutannya, lalu cepat-cepat mengalihkan mata, seperti biasa.“Baru nyampe, Mas?” Pelan Angela bertanya.Alaric melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Iya.” Singkat jawabnya, tapi cukup.Suasana kamar langsung terasa aneh. Keduanya masih saja canggung saat bertemu, meski alasan mereka berada dalam situasi ini sangat jelas.Angela memainkan jemarinya di atas paha, berusaha mengisi keheningan. “Saya pikir Mas bakal telat.”“Meeting-nya cepat selesai.” Sebelum akhirnya duduk di sofa dekat ranjang. Alaric tidak langsung menatap Angela, malah sibuk melepas jam tangan. “Ada masalah?”Angela menggeleng. “

    Last Updated : 2025-01-19

Latest chapter

  • Istri Rahasia Sang Maharaja   5. Ketika Malam Bicara

    Angela terbangun saat langit di luar sana masih gelap. Kamar kembali sunyi. Refleks menoleh ke sofa. Kosong.Alaric sudah pergi.Tidak ada jejak keberadaan pria itu, kecuali aroma samar sabun yang menempel di sprei, meski si suami tidak berbaring di sisinya semalaman. Angela menarik napas pelan, mencoba mengusir kecewa yang bahkan dia sendiri tidak mau mengakuinya.Dia tahu. Harusnya sudah terbiasa. Semestinya tidak masalah, karena dia punya alasan kuat saat memulai dan tetap bertahan sampai akhir tanpa harapan berlebihan.Turun dari tempat tidur, Angela melangkah menuju kamar mandi, membasuh wajah. Begitu menatap pantulan dirinya di cermin, dia sadar. Tidak ada bekas ciuman, pelukan, atau kata manis nan lembut tadi malam.Cuma tubuh yang dipakai, lalu ditinggalkan.Angela menyeka wajahnya dengan handuk. Kalau begini terus, dia akan cepat menua sebelum waktunya.***Alaric baru pulang dari berolahraga. Dia masuk ke kamar Sienna tanpa mengetuk, langsung menuju lemari. Mengambil setelan

  • Istri Rahasia Sang Maharaja   4. Rutinitas Malam

    Alaric membuka pintu kamar Angela tanpa mengetuk lebih dulu. Kebiasaan selama lima hari ini. Dia tahu Angela tidak pernah mengunci pintu, karena selain dia, tidak ada yang naik ke lantai tiga. Sienna pun baru pagi tadi.Angela yang sedang duduk di ujung ranjang sontak menoleh. Rambut masih setengah basah, dia baru saja mandi. Pandangannya langsung bertemu dengan Alaric. Singkat keterkejutannya, lalu cepat-cepat mengalihkan mata, seperti biasa.“Baru nyampe, Mas?” Pelan Angela bertanya.Alaric melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Iya.” Singkat jawabnya, tapi cukup.Suasana kamar langsung terasa aneh. Keduanya masih saja canggung saat bertemu, meski alasan mereka berada dalam situasi ini sangat jelas.Angela memainkan jemarinya di atas paha, berusaha mengisi keheningan. “Saya pikir Mas bakal telat.”“Meeting-nya cepat selesai.” Sebelum akhirnya duduk di sofa dekat ranjang. Alaric tidak langsung menatap Angela, malah sibuk melepas jam tangan. “Ada masalah?”Angela menggeleng. “

  • Istri Rahasia Sang Maharaja   3. Lima Tahun Vs. Lima Hari

    Alaric sedang fokus pada pekerjaannya, ketika ponsel di atas meja bergetar. Meletakkan pena dengan gerakan perlahan, lalu memandang layar. Nama ‘Kakek’ tertera di sana. Tanpa ragu menjawab, meski lelah sudah dirasakannya sejak tadi.“Iya, Kek?” Daripada takut, Alaric hanya merasa terbebani. Tetap datar, seperti biasa.“Mau apa Sienna ke lantai tiga?” tanya Darmawan Maharaja, nadanya tegas tanpa basa-basi. “Dua kali dia ke sana hari ini.”Alaric diam sejenak. Tangannya tanpa sadar memutar pena di atas meja. Tidak terkejut kalau cuma satu kali, karena dia tahu Sienna masuk saat dia dan Angela sedang bercinta pagi tadi—kejadian yang coba dia lupakan karena hanya menambah beban pikiran. “Saya enggak tau, Kek. Mungkin sekedar sapa, karena Sienna belum pernah tatap muka langsung sama Angela.”“Sekedar sapa apanya?” Darmawan tiba-tiba berang. Suaranya meninggi menjadi bentakan kecil yang khas. “Udah saya bilang ceraikan dia, kenapa kamu kalah sama perempuan enggak berguna itu?”“Kek, kan ud

  • Istri Rahasia Sang Maharaja   2. Bukan Milikmu Sepenuhnya

    Memang tidak ada larangan bagi Sienna untuk ‘berkunjung’ ke lantai tiga, tapi kemunculan wanita itu untuk kedua kalinya di sana membuat Angela merasa tidak nyaman.Tepat ketika Angela sedang sarapan sendirian di meja makan bundar berlapis marmer hitam, yang berdiri kokoh di tengah ruang makan pribadinya, suara langkah Sienna terdengar mendekat.Sienna melirik ke tengah meja. Melihat lili putih segar yang berada di dalam vas bunga tinggi—bunga kesukaannya. Terendus aroma samar dari kelopak lili bercampur dengan wangi kopi yang mengepul dari cangkir Angela.Karena lantai tiga adalah wilayahnya, Angela akan bertindak selayaknya pemilik tempat. Tidak mungkin juga bersikap pura-pura tidak melihat seperti pagi tadi, ketika si istri pertama masuk tanpa permisi ke kamar si istri kedua.Melihat sikap Sienna yang bersedekap anggun, Angela menebak kalau wanita itu tidak akan bertindak brutal dengan menjambak rambutnya, menampar wajah, apalagi menyiramnya dengan kopi. “Silakan duduk, Mbak.” Sie

  • Istri Rahasia Sang Maharaja   1. Sebagaimana Seharusnya

    “Mas,” rintih Angela, gemetar dan berusaha mengendalikan diri sekuat tenaga.“Tahan. Jangan mendahului saya.” Alaric memperingatkan. Gerakannya tetap teratur, tapi dia sengaja memperlambat, seperti sedang menguji batas kesabaran Angela.“Ngh!” Angela makin tak tahan. Tubuhnya menegang, siap mencapai puncak, tapi tatapan kosong Alaric membuatnya ragu.“Fokus,” bisik Alaric, tegas. Entah kenapa, dia sendiri belum merasakan pelepasan. Pikirannya terpecah—antara tugas yang dipaksakan kakeknya dan bayangan Sienna yang entah sedang apa sekarang. Ini pertama kalinya dia bercinta dengan wanita lain. Matanya tertuju ke dinding, gerakannya kaku, hampir tanpa perasaan.“Saya ubah posisi, Mas?” Angela menawarkan, suaranya parau. Dia juga tidak nyaman—bukan cuma fisik, tapi perasaan aneh yang terus mengusik. Alaric bukan miliknya. Dia cuma istri kedua yang keberadaannya disembunyikan.“Oke,” angguk Alaric singkat. Tangannya menarik lengan Angela, memaksa bangkit bersamanya. “Duduk di pangkuan saya

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status