Di kantor, Axel keluar dari ruang rapat dengan perut kosong. Kekacauan pagi itu membuatnya kesal, fokusnya hilang.
“Tuan Axel, ada tamu,” kata Oliver—salah satu karyawan terpercaya Axel, mendekat cepat.
“Tamu?” Axel mengerutkan kening. Seingatnya, tidak ada jadwal tamu hari ini sampai nanti.
“Itu Nyonya Zuri Everlyn. Istri baru Anda,” bisik Caden—asisten sekaligus sekretaris Axel yang berdiri tepat di sisinya.
Axel menegang, pikirannya melayang ke Elysia sebelum tersadar pada kenyataan. “Biarkan dia menunggu. Aku perlu mengecek beberapa dokumen dulu,” katanya dingin, lalu masuk ke ruangan.
Belum lama duduk, Axel gelisah tanpa alasan pasti. Zuri di Nightvale Corporation mengusiknya. Dia selalu melarang wanita masuk ke sini—bahkan Elysia. Tapi Zuri ada di sini sekarang. Hal itu membuatnya merasa terganggu dan tidak nyaman.
Akhirnya, dia bergegas ke ruang yang biasa dijadikan tempat para tamu untuk bertemu dengannya. Membuka pintu, dia melihat Zuri duduk kaku, memegang kotak bekal ungu tua.
“Axel, kau pergi tanpa sarapan,” kata Zuri cepat. “Kubawakan ini. Kata Dottie, kau tidak biasa sarapan di luar.” Dia menyodorkan kotak itu, tangannya gemetar.
Axel menatap kotak itu, perutnya berbunyi pelan—terlalu pelan untuk terdengar oleh Zuri.
“Ambil ini,” desak Zuri, wajahnya pucat tapi ada keberanian kecil di matanya.
Axel merenggut kotak itu tanpa kata. Dia terkejut pada nyali Zuri, meski ketakutan wanita itu masih terpancar jelas. Sebelum dia sempat mengusir, Zuri bangkit dan bersiap pergi.
“Hei, sebaiknya kau pulang diantar sopir.”
***
Duduk kaku di kursi belakang mobil, Zuri menatap keluar jendela dengan ekspresi kosong. Perintah Axel—memaksanya pulang bersama sopir pribadi pria itu. Dia tidak membantah, hanya mengangguk pelan, tapi rasa hina menyeruak di dadanya. Ketakutannya pada Axel terasa tidak masuk akal, dan itu membuatnya merasa kecil—bahkan di mata sopir muda yang duduk di depan. Sopir itu mungkin dua atau tiga tahun lebih muda darinya. Zuri menduga-duga.
Mobil melaju melewati jalan yang tidak asing, dan tiba-tiba ingatan tentang rumah mendiang bibi Isolde muncul di benak Zuri. Jalan ini adalah jalur cepat menuju ke sana. Axel tidak melarangnya berkunjung ke tempat itu, bukan? Dia menarik napas, lalu memutuskan.
“Bisa tolong antarkan aku sebentar ke rumah bibiku di jalan Fairview?” tanyanya pada si sopir, suaranya lembut tapi tegas. “Jalannya lurus dari arah kiri di depan.”
Sopir itu melirik Zuri lewat kaca spion, tidak menoleh langsung. “Baik, Nyonya,” jawabnya sambil mengangguk, lalu meminta nomor rumah tanpa pertanyaan lain.
Zuri menghargai sikap profesionalnya. Ternyata masih ada orang baik di sekitarnya. Ah, iya—Dottie juga termasuk salah satunya.
Sesampai di tempat tujuan, sopir itu memarkir mobil dan berkata dia akan menunggu di luar. Dia sempat melempar senyum ramah sebelum Zuri turun. Zuri pun membalasnya.
Zuri melangkah lima meter, lalu tiba-tiba berhenti. Dia menoleh. “Siapa namamu?” Bukan basa-basi. Dia sungguh ingin tahu.
Sopir itu tampak sedikit terkejut, lalu tersenyum lagi. “Cole Mercer, Nyonya.”
“Berapa usiamu?” Zuri melanjutkan, rasa penasaran menguasainya.
“Tiga puluh dua tahun, Nyonya.”
Zuri mengangguk kecil. Ternyata Cole lebih tua darinya—wajah Cole tidak menunjukkan itu. “Aku hanya ingin bilang, usiaku dua tahun lebih muda darimu,” katanya sambil membalas senyum ramah, lalu berbalik. Dalam hati, dia berharap suatu hari Cole bisa memanggilnya tanpa ‘Nyonya’ meski dia tahu Axel takkan mengizinkan.
Rumah bibi Isolde masih seperti dulu, tidak berubah. Zuri melangkah perlahan, memandang bangunan itu dengan tatapan lembut namun sedih.
Kepergian bibi Isolde meninggalkan luka baginya dan Elysia, tapi Zuri berharap wanita itu damai di sana. Bibi Isolde tidak menikah, sehingga tak punya ahli waris. Rumah ini tidak diberikan pada Zuri atau Elysia—tak ada wasiat yang dibacakan. Lagipula, Zuri tidak mengharapkan apa-apa. Tinggal di sini justru akan membuatnya merasa tertekan.
Orang tua yang sudah lama tiada, bibi Isolde yang pergi selamanya, dan Elysia yang melarikan diri entah ke mana—ketiganya membuat Zuri merasa kehilangan pijakan. Namun, dia tetap menyimpan harapan. Elysia akan kembali, dia yakin. Kakaknya itu menyayanginya dengan caranya sendiri. Suatu hari, pasti mereka bisa bertemu lagi.
Karena tak punya kunci, Zuri memilih mengelilingi rumah. Tanaman di halaman masih hijau, terawat rapi, seolah ada yang merawatnya setelah bibi tiada. Tetangga, mungkin? Dia berjalan ke halaman belakang, menemukan kursi kayu panjang di depan deretan cemara kipas yang rapi seperti pembatas.
Rindu pada bibi Isolde dan Elysia menyeruak. Dengan langkah mantap, Zuri duduk di kursi itu, merentangkan tangan, dan memejamkan mata. Dia menghirup udara segar yang dibawa cemara, mengingat kenangan terakhir bertiga di sini—menikmati senja musim panas. Hangat, damai. Dia ingin mengulanginya, setidaknya dengan Elysia.
Tapi kenyataan membantingnya. Dia kini hidup di bawah bayang-bayang kakaknya, dipaksa menjadi istri Axel—hanya alat untuk memberi keturunan laki-laki. Jaxon Holt, cinta yang terpaksa ditinggalkan, juga menghantuinya. Kebencian Jaxon membakar semua harapan Zuri, dan dia menerima itu.
Matanya terbuka. Zuri nyaris berteriak saat melihat sosok di depannya. Axel Nightvale berdiri tegak, ekspresinya dingin. Zuri menelan suaranya, ketakutan langsung menguasai. Rasa takut itu selalu lebih kuat daripada keterkejutan—keanehan yang dia sendiri tidak bisa pahami.
“Katamu kau akan pulang. Jadi sedang apa kau di sini?” Axel membentak, suaranya tajam menusuk.
Zuri bangkit cepat, tangannya merapikan rambut yang tertiup angin. “Ini rumah bibiku,” jawabnya gugup. “Jalannya searah. Aku singgah sebentar, karena merindukan tempat ini.”
“Aku tahu ini rumah bibimu.” Axel melangkah mendekat, lalu duduk di kursi tanpa peduli Zuri masih berdiri tegang. Dia menyilangkan kaki, merentangkan tangan, dan memejamkan mata—persis seperti yang Zuri lakukan tadi.
Zuri menatap Axel, bingung. Apa pria itu sedang mengejeknya?
Axel menghirup udara dalam-dalam, wajahnya tetap datar. “Bukan hal konyol,” katanya tiba-tiba. “Kau boleh ke sini, tapi izin padaku dulu. Dan jangan terlalu sering.” Dia membuka mata, menatap Zuri dengan sorot tajam. “Duduk. Ada yang harus kau dengar.”
Zuri menghela napas pelan, duduk dengan jarak aman dari Axel. Pria itu menatap lurus ke pintu belakang rumah yang tertutup, ekspresinya tidak terbaca.
“Aku punya aturan untukmu,” lanjut Axel. “Hanya beberapa untuk hari ini. Aturan lain menyusul kalau kuanggap perlu. Aku akan bilang saat waktunya tiba.”
Zuri mengangguk, mencoba memahami. Dia tidak bodoh, tapi tekanan Axel selalu membuatnya ragu.
“Tadi di rumah, kau salah. Kau tahu apa itu?” Axel menoleh, tatapannya menuntut.
Zuri berpikir cepat. “Menumpahkan air ke pakaianmu,” jawabnya mantap, yakin itu pemicu kemarahan Axel seharian.
Axel menggeleng. “Yang lain.”
Zuri mengerutkan kening, bingung. “Terlambat bangun?” Dia melihat Axel menggeleng lagi. “Terlambat menyiapkan sarapan?”
“Bukan.” Nada Axel mulai kesal.
Zuri tak menyerah. “Membuatmu tergoda karena gaun tidurku semalam?” ucapnya pelan, wajahnya memanas karena malu.
Axel tertawa keras, suaranya menggema di halaman kosong. Tatapannya penuh ejekan. “Kau pikir aku tergoda padamu?”
Zuri menunduk, menahan sakit hati. Bukankah Axel yang menuntut keturunan darinya? Lalu apa maksud perkataan itu? Menghela napas, coba menenangkan diri dengan tidak memedulikan hinaan Axel padanya. “Jadi apa salahku?”Axel Nightvale menatap Zuri dengan ekspresi dingin. “Pikirkan sendiri,” katanya ketus, lalu bangkit. Dia kesal—pada Zuri, tapi lebih lagi pada dirinya sendiri.Zuri bergeser gelisah di kursinya, tubuhnya kaku. Axel memperhatikan. Merasa ragu wanita itu bisa memenuhi tujuannya dalam waktu dekat. Tapi tidak masalah. Dia berniat memanfaatkan Zuri dengan caranya sendiri, mulai malam ini. Tunggu saja.“Ayo pulang,” perintahnya, melirik pintu rumah bibi Isolde tanpa maksud, tapi punya firasat.Zuri menoleh. “Kau sudah selesai?”“Memangnya kau mau apa dariku?” Axel balas bertanya, sengaja membuat Zuri terpojok. Dia ingin wanita itu merasa tak berdaya, meski hanya untuk kepuasannya sendiri.Zuri gugup, tangannya mencengkeram tepi kursi.Ketakutan itu lagi—tapi Axel yakin bukan dir
Axel Nightvale berdiri di sana. Zuri langsung gemetar. Tubuhnya berputar cepat menghadap suaminya. Dia berdoa dalam hati agar Axel tak mempermalukannya di tempat ini. Mungkin tidak sekarang, tapi di rumah, intimidasi pasti menanti.“Aku bertanya, istriku. Kenapa kau masih di sini dan belum pulang?” Nada Axel berubah lembut, tidak biasa. Dia bahkan menyebut Zuri ‘istriku.’Zuri melirik Cole, yang berdiri diam lima meter di sisinya. Axel melangkah mendekat, tersenyum hangat—senyum yang tidak pernah Zuri lihat sebelumnya. Apakah pria ini punya sisi seperti itu? Tetap saja, ketakutan menguasainya. Senyum itu terasa seperti topeng yang menyembunyikan ancaman.“Maaf, aku hanya turun sebentar untuk melihat kecelakaan di depan,” jawab Zuri pelan, tidak berani menatap mata Axel langsung. Pandangannya tertuju pada sepatunya sendiri.Axel menghela napas panjang. Zuri tidak tahu apakah itu tanda amarah atau kekesalan.“Lihat aku, Zuri. Angkat kepalamu,” perintahnya, tegas meski terkendali.Zuri me
Zuri menunduk, fokus menyabuni lengan Axel. “Belum. Kami belum pernah melakukannya,” jawabnya pelan.“Aku hanya bertanya tanpa tujuan,” kata Axel cepat, berusaha menutupi nada ingin tahunya.“Aku tahu,” angguk Zuri singkat.Axel mengerutkan kening. Apa Zuri sudah menebak rencananya? “Kita akan melakukannya malam ini. Kalau kau belum siap, kuberi waktu sampai tengah malam.” Menatap Zuri tajam, dia tidak mau menunda lagi.Zuri berhenti bergerak, tangannya diam di sana, lalu menatap Axel langsung—bukan dengan ketakutan, tapi keberanian kecil. Axel balas menatap, menantang Zuri. Tapi Zuri langsung menciut, menunduk dan melanjutkan menyabuni Axel.“Katakan apa yang ingin kau katakan,” desak Axel, kesal dengan sikap Zuri. Bergerak menuju bathtub, masuk ke dalam dan menegakkan punggung agar kembali disabuni Zuri.“Aku akan berusaha siap sebelum tengah malam,” balas Zuri, beralih ke punggung Axel. Pas sekali momen ini untuk menghindari tatapan si suami.“Harus. Kau harus siap. Ingat perjanjian
Zuri merinding, bulu kuduknya berdiri. Bercinta lagi? “Berbalik dan lihat aku,” perintah Axel, nadanya lebih tajam.Zuri menurut, berbalik perlahan. Wajah Axel tampan meski rambutnya berantakan—ulahnya semalam, menjambak dan mengacak-ngacak selagi menahan serangan Axel. Mereka saling menatap, hawa dingin pagi terasa dari tatapan pria itu.“Kau tidak mendengarku?” tanya Axel, suaranya nyaris kasar.“Aku mendengarmu,” jawab Zuri hati-hati, mengangguk. Axel suaminya, jadi dia harus menjalani ini dengan benar.“Karena aku yang menginginkannya lagi, apa itu artinya aku juga yang harus memulainya?” tanya Axel sinis.Zuri menelan ludah. “Kau suka aku memulainya dengan cara seperti apa?” balasnya pelan, langsung menyesal bertanya.“Kau minta diajari lagi?” Axel menyeringai, alisnya bertaut. Zuri mengangguk, tidak tahu harus jawab apa. Jujur, ini sungguh pengalaman pertamanya.“Coba mulai dengan menggodaku,” perintah Axel.Zuri mengerjap bingung, lalu bangkit duduk. Selimutnya merosot, memperl
Kini, Aurelia kembali ke Valmont bersama Ronan dan Alina. Ibunya terkejut, begitu pula Axel, tapi bedanya, ibunya selalu ingin tahu, sementara Axel tidak ambil pusing.Kemarin, Gideon Cross—orang kepercayaan Axel, memberitahu bahwa Aurelia bercerai dari Ronan Donovan, pria kasar yang menghabiskan kekayaannya di meja judi.Axel melirik jam tangannya. Pukul sebelas lewat dua puluh menit. Zuri pasti sudah tidur. Terakhir dia melihat istrinya itu mengeringkan rambut sambil menatap ponsel, tidak menyadari kepergiannya. Dia sengaja tak memberitahu ke mana dia pergi atau di mana dia akan bermalam. Menurutnya, Zuri tidak berhak tahu.“Alina memang sudah mengantuk. Ini jam tidurnya, tapi karena terus batuk, dia gelisah dan sulit tidur,” kata Aurelia, muncul kembali. Kali ini, dia tak duduk di seberang Axel, melainkan di sisinya.“Sekarang bagaimana?” tanya Axel, nadanya tetap datar.Aurelia tersenyum lembut—senyum yang bisa membuat hati bergetar. “Dia sudah tertidur pulas setelah aku ikut tidur
“Oh, sebentar. Biar aku ambil ponselku dulu, Nyonya,” jawab Dottie, bergegas mengambilnya.Zuri lega—Dottie tidak curiga. Dia mendapat nomor Axel dan ragu menelepon, takut mengganggu. Akhirnya, dia memilih mengirimkan pesan.[Axel, ini Zuri. Aku minta izin untuk ke rumah mendiang bibi Isolde. Aku janji tidak akan lama.]Dia menghela napas, lalu memanggil Cole yang sedang duduk membaca buku di ruang tamu. Pemandangan itu menghibur hatinya—pria dengan buku.“Ke jalan Fairview, Nyonya?” tanya Cole, berdiri tegak. Seolah tahu ke mana tujuan Zuri. Sebab selama ini, sang nyonya memang jarang minta diantarkan selain ke rumah mendiang bibinya.Zuri mengangguk. “Ya,” jawabnya singkat dengan senyum.Perjalanan delapan belas menit berlalu dalam diam yang canggung. Cole masih memanggilnya ‘Nyonya’, membuat Zuri merasa jarak itu tidak pernah berkurang.“Silakan hubungi aku ketika Anda selesai, Nyonya,” kata Cole, menyerahkan secarik kertas dengan nomornya.Zuri mengangguk, menerimanya. Cole jelas m
[Axel, ini Zuri. Aku minta izin untuk ke rumah mendiang bibi Isolde Brooks. Aku janji tidak akan lama.] Axel menghela napas, langsung menghubungi Caden, sebelum mencerna pesan Zuri yang sebenarnya sudah jelas. Ada apa dengannya? Pikirannya terasa kacau. Axel melirik ke kiri. Daphne Fontaine duduk di kursi tunggal, kaki bersila, memandangnya dengan tatapan menusuk. Tingkah Daphne selalu mengkhawatirkan, membuatnya harus waspada. “Kenapa menatapku begitu? Jam tidurmu masih kurang?” tanya Daphne ketus, matanya tak lepas dari Axel. “Tutup mulutmu. Kau penyebab aku berada di sini. Sangat menderita tidur di sofa,” balas Axel tidak kalah tajam, lalu kembali berbaring. Terlambat ke kantor, dia sudah merencanakan alasan untuk mengelabui Caden agar mengerjakan semua tugasnya tanpa banyak tanya. “Salahmu,” kata Daphne, mengangkat sebelah bahu. “Karena tidak mau masuk ke kamar dan tidur di ranjang bersamaku.” Axel berdecak, memelototi gadis itu. “Aku pria beristri,” tegasnya, kesal. “Ah, al
Zuri melangkah masuk ke rumah, jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara Axel di ambang pintu.“Aku tiba di rumah lebih dulu darimu, Zuri.” Nada pria itu dingin, penuh tekanan, seolah menyindir keterlambatannya.Zuri menelan ludah. Axel bukan sedang menyambutnya, pria itu menegaskan kemenangannya. Semalam pria itu tidak pulang, dan kini menatap Zuri dengan wajah masam.Zuri terlambat membaca pesan peringatan Axel karena terpaku pada cerita Lennox Fairfax—putra angkat bibi Isolde yang baru dia kenal.“Apa alasanmu?” tanya Axel, suaranya setengah membentak, membuat Zuri tersentak.“Aku ... aku bertemu seseorang,” jawabnya pelan, tidak yakin harus menyebut Lennox atau tidak. Ceritanya terlalu panjang untuk dijelaskan sekarang.“Sepenting itukah dia sampai kau mengabaikan peringatanku?” lanjut Axel, nadanya hati-hati tapi tajam, menusuk telinga Zuri.Zuri menunduk, sesekali melirik wajah Axel yang muram, lalu mengalihkan pandang ke sofa, dinding—apa saja selain mata si suami yang ta
“Hm-mh,” jawab Zuri, suaranya parau seperti bersenandung.“Tidurlah. Akan kubangunkan saat hujannya reda,” kata Axel.“Baiklah,” jawab Zuri. Entah nadanya kecewa atau tidak, tapi setengah sadar, dia mengecup leher Axel pelan sebelum memejamkan mata.Saat terbangun beberapa belas menit kemudian, Zuri melihat embun sisa hujan di kaca mobil. Axel sudah menyetir, alunan musik lembut mengalir—pengantar tidur. Untuknya? Dia pikir mungkin saja begitu. Menggeliat dalam selimut, Zuri mendengar Axel berdeham.“Jangan sampai selimutmu terlepas, Zuri. Atau aku akan menghukummu. Kau mengerti?” ancam Axel.Bercanda atau serius, tetap saja Zuri merasa panik. “Aku mengerti.”“Bagus,” kata Axel.Jalan menuju rumah di Fairview sudah dekat. Zuri menghela napas. Seperti rasa kecewa karena kebersamaan mereka segera berakhir.“Ponselmu terus berdering sejak tadi. Periksalah,” ujar Axel.Zuri menemukan tas di bawah kakinya. Melihat ponsel, jantungnya berdebar cepat. Lennox menelepon lima belas kali dan meni
Mendapatkan undangan dari salah satu kenalan Nyonya Marina Edelina Swiss untuk peragaan busana di aula terbesar di Valmont, Zuri mengajak Rara bersamanya. Acara itu dipenuhi perancang busana ternama dari Valmont dan sekitarnya. Setelah selesai, Zuri melihat Rara lebih banyak diam, sesuatu yang tidak biasa.Namun, Zuri bisa merasakan kepercayaan diri Rara memudar perlahan. Sepertinya, itu cuma dugaan Zuri.“Zuri, kurasa kita butuh seorang perancang busana,” ujar Rara saat mereka melangkah melewati lobi. “Selama ini, aku dan Sila hanya mengikuti selera dan permintaan pelanggan sesuai model yang mereka inginkan—entah meniru foto majalah atau gambar model pakaian. Bagaimana menurutmu?”Zuri tersenyum, mengangguk setuju. “Ide bagus, Rara. Tapi menurutku, bukankah kau bisa menjadi keduanya?”Rara menatap Zuri, mengerjapkan matanya berulang kali, seolah Zuri baru saja mengucapkan sesuatu yang tidak masuk akal. “Zuri, akan kuberitahu padamu,” kata Rara serius. “Sebenarnya, tidak ada yang sala
Axel membongkar itu di depan Lennox, sengaja. Dia tak pernah memberitahu Zuri semua yang diketahuinya. Baginya, Zuri tidak perlu tahu betapa dalam dia menggali setiap detail hidup istrinya itu. Penasaran adalah kekuatan Axel, dan tak ada yang bisa disembunyikan dari dirinya.Lennox berusaha menyembunyikan keterkejutannya, tapi Axel melihatnya—senyum sekilas yang canggung, penuh cemas.“Aku juga benar-benar tidak tahu kenapa kakak tiriku bisa tiba di sini tanpa tanda apa pun yang terbaca olehku. Biasanya, aku selalu tahu keberadaannya. Aku yakin, beberapa hari lalu dia masih di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Axel, aku sungguh-sungguh minta maaf,” pintanya tulus.Tatapan Lennox penuh penyesalan, sorot mata yang jujur—Axel mengerti itu. Mereka sesama pria, bisa membaca isyarat seperti ini. Tapi kejujuran itu tidak cukup untuk Axel.“Jauhkan dia dari Zuri, atau aku yang akan bertindak,” ancam Axel, nadanya datar tapi tegas.“Tentu. Aku pasti akan menjauhkan Zuri dari kakakku. Aku ber
“Kau belum siap untuk itu,” kata Axel, menarik Zuri dari dinding dan mendorongnya ke meja rias di sudut kamar.Axel membalikkan tubuh Zuri, menekuk pinggang si istri hingga tangan bertumpu di meja, bokong Zuri terangkat sempurna di hadapannya.Cermin di depan Zuri memantulkan wajahnya—pucat, penuh hasrat, dan ketakutan yang selalu membuat Axel terobsesi.“Lihat dirimu,” perintah Axel, tangannya menyentuh punggung Zuri, menelusuri lekuk tubuh istrinya yang gemetar. “Kau harus tahu betapa kau cuma milikku.”Axel membuka laci meja rias, mengambil sabuk kulit yang tersimpan di sana.Zuri menoleh, matanya melebar. “Axel, apa—”“Diam,” bentak Axel, melipat sabuk itu dan menampar bokong Zuri pelan—tidak terlalu keras, tapi cukup membuat Zuri tersentak dan mengerang. “Ini baru. Kau akan belajar menikmatinya.”Axel menggesekkan kejantanannya di antara bokong Zuri, tak langsung masuk, hanya menggoda—seperti kebiasaannya. Ujung batangnya menyentuh kewanitaan Zuri. Basah dan panas, tapi Axel mena
“Axel, tolong ….” Zuri memohon, tidak tahan lagi dengan siksaan ini.“Tolong apa?” Axel menggesekkan kejantanannya di bibir kewanitaan Zuri, menggoda si istri tanpa masuk. “Katakan kau membutuhkanku.”“Aku membutuhkanmu,” bisik Zuri, putus asa.Senyum kemenangan Axel muncul sekilas sebelum dia mendorong masuk penuh, miliknya mengisi Zuri dengan penuh dan satu hantaman keras. Zuri menjerit, tubuhnya melengkung karena sensasi yang luar biasa. Axel tidak memberi istrinya itu waktu, langsung bergerak dengan ritme brutal, ranjang berderit di bawah tekanannya.“Kau milikku, Zuri,” kata Axel, tangannya mencengkeram pinggul Zuri erat. “Hanya aku yang boleh membuatmu begini.”Zuri mencakar seprai, mencoba menahan orgasme yang mengancam. Kewanitaannya berkedut mengelilingi kejantanan Axel, basah dan licin, tapi dia tahu kalau harus menunggu.Axel mempercepat gerakan, napasnya semakin berat, keringat menetes dari dahinya. “Tahan,” perintah Axel, parau.Zuri menggigit bibir hingga terasa perih, t
Axel membalikkan tubuh Zuri tiba-tiba, menekan ke sofa hingga wajah si istri terbenam di bantal. “Angkat pinggulmu,” perintahnya.Zuri menurut, merasakan tangan Axel mencengkeram bokongnya. Kejantanan Axel masuk lagi dari belakang, lebih dalam, lebih brutal. Dia mencakar bantal, menahan jeritan.“Jangan berani selesai, Zuri,” ancam Axel, tangannya menampar bokong Zuri keras hingga pasti menyisakan perih. “Aku belum selesai denganmu.”Zuri terengah, mencoba mengendalikan tubuhnya yang sudah di ambang puncak. Axel terus menghantam, suara kulit bertemu kulit mengisi ruangan.Napas Axel semakin berat, tanda dia mendekati klimaks. “Kau milikku,” desisnya. Tangannya mencengkeram pinggul Zuri erat. “Hanya aku yang boleh membuatmu begini.”Akhirnya, Axel mengerang keras, miliknya berdenyut di dalam Zuri saat dia mencapai puncak. Cairan panasnya mengisi si istri sepenuhnya dan baru saat itulah Axel berkata. “Sekarang, selesai untukku.”Zuri tidak bisa menahan lagi. Dengan satu dorongan terakhi
Zuri terengah saat Axel mencium lehernya. Tangan si suami merayap ke bawah, membuka resleting rok-nya. Ketakutan Zuri bercampur sensasi aneh—dia tidak bisa melawan. Bibir Axel turun ke dadanya, lidah panas itu menari di kulitnya, dan Zuri mendesah tanpa sadar. Axel membuka kedua kaki Zuri, jari-jarinya menyelinap ke dalam, menggoda si istri hingga Zuri terengah.“Axel ….” Zuri merintih, tubuhnya mengkhianatinya.“Katakan kau menginginkanku,” desis Axel, menekan Zuri lebih dalam.Zuri tak bisa menolak. “Aku menginginkannya,” bisik Zuri, dan Axel tersenyum puas, meneruskan hingga mereka tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang panas dan liar.Zuri lemah, menyerah pada tatapan gelap Axel yang penuh kemenangan. Senyum Axel melebar, tapi tidak ada kehangatan di dalamnya—hanya hasrat dingin yang membakar.Axel mendorong Zuri lebih keras ke sofa, blus-nya sudah terbuka penuh, bra-nya direnggut Axel dengan satu gerakan kasar hingga dia tersentak. Napas Zuri memburu saat jari-jari Axel meraya
Zuri merasa ini terlalu aneh.Axel mencium Zuri begitu dalam, hingga napasnya tersendat. Kenapa? Apa ini pertanda Axel ingin naik ke tempat tidur untuk bercinta? Jantung Zuri berdegup kencang, hampir meledak di depan sorot mata suaminya yang gelap dan tajam.Mereka terengah bersama saat Axel melepaskan Zuri. Sudut bibir Axel tertarik—sinis, dingin. Dan Zuri tidak bisa memahami maksudnya.“Ayo, masuk,” ajak Axel, bernada rendah dan menggoda.Bulu kuduk Zuri berdiri. Dia takut—selalu begitu di dekat sang suami. Tapi di saat yang sama, ada getar aneh di tubuhnya. Axel melingkarkan lengannya hampir menyentuh perut Zuri, mengingatkan wanita itu pada tujuan Axel menikahinya, bayi laki-laki.Oh, seketika Zuri ingat. Dia lupa pamit pada Lennox! Ketakutan pada Axel membuatnya berlari begitu si suami memanggil, meninggalkan Lennox tanpa sepatah kata.“Apa yang kau lihat?” bentak Axel tiba-tiba.Zuri terperanjat, cepat berbalik dari menoleh ke belakang. “Tidak. Itu ….”Haruskah dia memberitahu A
“Takut padaku? Oh, Zuri Everlyn. Kau terlalu manis,” kata Axel dalam hati. Dia selalu sadar bahwa garis antara kebodohan dan sikap menggemaskan si istri begitu tipis, namun memabukkan. Jangan berubah—tetaplah seperti itu. Inilah keinginan serius seorang Axel.“Mau kusiapkan teh lemon atau cokelat panas?” tawar Zuri, lembut namun terjaga jarak. Dia selalu begitu—menjaga ruang kosong di antara mereka, kecuali saat keduanya berada di atas ranjang.“Tidak ke dua-duanya,” jawab Axel.Karena Zuri yang tampak menciut karena jawabannya, membuat Axel nyaris tertawa geli. “Kopi saja, kalau begitu,” tambahnya. Dia sudah berniat mematikan ponselnya, tapi menemukan banyak pesan masuk, termasuk dari si istri.Axel membuka pesan itu sambil mengingat kejadian pagi tadi. Saat Zuri mengirim pesan ini, Axel masih sibuk menenangkan Alina dari tangisnya. Beruntung, Ronan akhirnya datang menjemput setelah mereka sarapan donat kayu manis dan sereal cokelat. Entah bagaimana Ronan memenangkan perdebatan denga