Memang tidak ada larangan bagi Sienna untuk ‘berkunjung’ ke lantai tiga, tapi kemunculan wanita itu untuk kedua kalinya di sana membuat Angela merasa tidak nyaman.
Tepat ketika Angela sedang sarapan sendirian di meja makan bundar berlapis marmer hitam, yang berdiri kokoh di tengah ruang makan pribadinya, suara langkah Sienna terdengar mendekat.
Sienna melirik ke tengah meja. Melihat lili putih segar yang berada di dalam vas bunga tinggi—bunga kesukaannya. Terendus aroma samar dari kelopak lili bercampur dengan wangi kopi yang mengepul dari cangkir Angela.
Karena lantai tiga adalah wilayahnya, Angela akan bertindak selayaknya pemilik tempat. Tidak mungkin juga bersikap pura-pura tidak melihat seperti pagi tadi, ketika si istri pertama masuk tanpa permisi ke kamar si istri kedua.
Melihat sikap Sienna yang bersedekap anggun, Angela menebak kalau wanita itu tidak akan bertindak brutal dengan menjambak rambutnya, menampar wajah, apalagi menyiramnya dengan kopi.
“Silakan duduk, Mbak.”
Sienna mendengus pelan, senyumnya memang lebar, tapi itu bentuk dari rasa tersinggungnya. “Sienna aja. Aku enggak mau keliatan tua di depan maduku.”
Angela mengangguk pelan, meski nada Sienna terdengar lebih seperti sindiran tajam daripada basa-basi ramah. Menarik napas dalam, menghembuskannya pelan, berusaha menjaga ekspresinya tetap netral. Cangkir kopi di tangannya diletakkan perlahan di atas meja marmer.
Sienna tetap berdiri, tidak langsung menerima tawaran duduk, tatapan matanya kini beralih dari bunga lili ke wajah Angela dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Ada apa lagi, Mbak—Sienna?” tanya Angela, pelan tapi ada nada waspada yang memang jelas diperdengarkan. “Tadi pagi kan udah ketemu.”
Sienna mengangkat alis, senyumnya melebar sedikit, tapi tatapannya berarti lain. “Lucu ya. Ini rumahku juga, Angela. Terserah aku mau datang kapan aja.”
Angela menggigit bibir bawahnya sekilas, menahan dorongan untuk membalas dengan nada dan tatapan yang sama. Dia tahu posisinya di sini rapuh—istri kedua, rahasia yang disembunyikan, bukan pilihan utama. Tapi di lantai tiga ini, setidaknya, dia ingin merasa punya kendali, walau cuma sedikit.
“Bukan gitu maksudku,” jawab Angela, nada suaranya tetap terkendali. “Cuma aku pikir … kamu udah cukup melihat apa yang mestinya enggak perlu kamu liat tadi pagi. Jadi, apa kamu mau protes soal itu?”
Sienna tertawa kecil, suara yang lebih mirip hembusan napas penuh ejekan daripada tawa sungguhan. “Protes? Aku? Buat apa? Aku cuma penasaran, Angela. Kamu kok bisa santai banget sarapan sendirian begini, seolah enggak ada apa-apa. Padahal aku tahu, posisimu di sini … ya Tuhan, gimana ya, susah dilupain apa yang aku lihat tadi.”
Angela menatap Sienna tajam sesaat sebelum buru-buru menunduk ke cangkir. Ujung jarinya melingkari tepian, mencoba menenangkan diri. Kata-kata Sienna mengingatkan tentang kejadian tadi pagi, saat Sienna membuka pintu dan melihatnya dalam posisi yang begitu rentan bersama Alaric, bercinta dengan kekakuan satu sama lain. “Aku bukannya santai,” jawabnya pelan, hampir berbisik. “Aku cuma jalani aja. Emang gitu seharusnya.”
“Jalani aja?” Sienna melangkah mendekat, akhirnya menarik kursi di seberang Angela dengan gerakan anggun yang hampir terlihat dipaksakan, tertawa sinis. “Emang gitu seharusnya, ya?” Duduk, menyilangkan kaki, dan bersandar ke belakang. Tangannya masih bersedekap. “Kamu beneran enggak punya malu apa cuma pura-pura? Aku lihat sendiri, Angela. Aku lihat gimana kamu sama Mas Alaric tadi. Dan kamu masih bisa duduk santai di sini menikmati semuanya kayak orang enggak bersalah?”
Angela menyesap kopinya perlahan, membiarkan cairan hangat itu menahan getaran di tangannya. “Justru kamu yang salah besar. Coba tanya sama diri kamu sendiri. Ngapain tadi kamu masuk ke kamar madumu? Aku di sini karena memenuhi tanggung jawabku, kasih keturunan buat Alaric. Hal yang jelas enggak bisa kamu lakuin, ‘kan? Jadi jangan salahkan aku. Berkaca, Sienna.”
Sienna membeku sejenak, wajahnya mengeras kaku. Kata-kata Angela menusuk tepat di titik paling lemahnya, membuka luka yang selama ini coba ditutupi dengan sikap anggun dan dingin. Tangan yang tadinya bersedekap perlahan turun, mencengkeram sisi kursi dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya menyipit, tapi di balik itu ada kilatan sakit yang terlihat jelas semahir apa pun dia coba menutupinya.
“Berkaca?” ulang Sienna, bergetar dan penuh amarah yang tertahan. “Berani banget kamu ngomong gitu ke aku? Lima tahun aku di sini, Angela. Lima tahun aku di samping Mas Alaric, bertahan walau sesulit apa pun. Terus kamu?” Dia mendengus pendek. “Baru juga lima hari, udah sok hebat.”
“Aku bukan sok hebat. Aku cuma bilang apa adanya. Kamu tanya aku punya malu apa enggak? Aku tanya balik, kamu masuk ke kamarku tadi pagi buat apa? Mau buktiin apa? Kalau Mas Alaric milih aku, itu bukan salahku.” Sebenarnya, Angela semakin gemetar, namun tetap sekuat tenaga menyembunyikannya.
“Pilih kamu?” Sienna tertawa lagi, tapi kali ini suaranya pecah, penuh kepahitan dan amarah. “Kamu bener-bener polos apa cuma akting, ya? Mas Alaric enggak milih kamu, Angela. Dia dipaksa sama Kakek Darmawan. Dia cuma nurut perintah, sama kayak aku dulu. Bedanya, aku punya hati buat dia. Kamu? Kamu cuma alat.”
Kata ‘alat’ terdengar tajam dan menyakitkan. Angela merasakan dadanya sesak, jari-jarinya yang memegang cangkir makin bergetar, tapi dia buru-buru menurunkan tangan, mengepalkannya di bawah meja. “Alat atau bukan, sejak kami nikah, justru aku yang ada di samping dia tiap malam. Bukan kamu,” balasnya, menantang yang mulai terdengar jelas. “Hal itu yang buat kamu kesel sampe balik lagi ke sini, ‘kan? Lima tahun kamu temani dia, tapi aku cuma butuh lima hari buat bikin kamu goyah.”
Sienna bangkit dari kursi dengan gerakan cepat, terdengar bunyi bergeser yang kasar. Menatap Angela sengit, tangannya mengepal di sisi tubuh, kuku-kukunya meninggalkan bekas merah di telapak tangannya. “Goyah? Aku? Jangan kebanyakan mimpi, Angela. Kamu pikir aku bakal takut cuma gara-gara Mas Alaric bercinta sama kamu? Itu cuma tugas. Dia bilang ke aku—‘Sienna, ini cuma tugas.’ Kamu tau itu?”
Angela masih duduk di kursinya, tersenyum miring dengan bibir bergetar. “Aku tau, Sienna. Tapi tugas atau bukan, dia selalu tidur sama aku tiap malam. Jadi sekarang coba pikir lagi, siapa yang sebenarnya cuma tempat singgah? Aku yang baru lima hari, atau kamu yang lima tahun cuma sekadar pelengkap?”
Sienna menatap Angela lama. Menahan geram dengan dada yang naik-turun cepat. Wajah yang tadinya penuh amarah perlahan memucat, garis-garis kecil di sudut matanya terlihat lebih dalam. “Kamu enggak ngerti apa yang kamu hadapi. Hidup sama keluarga Maharaja itu enggak gampang. Aku kasih tahu satu hal, Mas Alaric enggak bakal pernah jadi milik kamu sepenuhnya. Nikmati aja lima hari keberuntunganmu ini, Angela. Kita lihat seberapa lama kamu bisa bertahan, karena kamu masih baru.”
Angela memilih untuk tidak membalas. Cuma diam sambil memandang Sienna yang langsung berbalik dan melangkah menuju pintu. Kalau sekadar dilihat, Sienna tampak tegas dan kuat, padahal sama sekali tidak. Beban lima tahun itu sekarang akhirnya terlihat.
“Aku juga enggak tau seberapa lama aku bisa bertahan,” gumam Angela, pada diri sendiri.
Alaric sedang fokus pada pekerjaannya, ketika ponsel di atas meja bergetar. Meletakkan pena dengan gerakan perlahan, lalu memandang layar. Nama ‘Kakek’ tertera di sana. Tanpa ragu menjawab, meski lelah sudah dirasakannya sejak tadi.“Iya, Kek?” Daripada takut, Alaric hanya merasa terbebani. Tetap datar, seperti biasa.“Mau apa Sienna ke lantai tiga?” tanya Darmawan Maharaja, nadanya tegas tanpa basa-basi. “Dua kali dia ke sana hari ini.”Alaric diam sejenak. Tangannya tanpa sadar memutar pena di atas meja. Tidak terkejut kalau cuma satu kali, karena dia tahu Sienna masuk saat dia dan Angela sedang bercinta pagi tadi—kejadian yang coba dia lupakan karena hanya menambah beban pikiran. “Saya enggak tau, Kek. Mungkin sekedar sapa, karena Sienna belum pernah tatap muka langsung sama Angela.”“Sekedar sapa apanya?” Darmawan tiba-tiba berang. Suaranya meninggi menjadi bentakan kecil yang khas. “Udah saya bilang ceraikan dia, kenapa kamu kalah sama perempuan enggak berguna itu?”“Kek, kan ud
Alaric membuka pintu kamar Angela tanpa mengetuk lebih dulu. Kebiasaan selama lima hari ini. Dia tahu Angela tidak pernah mengunci pintu, karena selain dia, tidak ada yang naik ke lantai tiga. Sienna pun baru pagi tadi.Angela yang sedang duduk di ujung ranjang sontak menoleh. Rambut masih setengah basah, dia baru saja mandi. Pandangannya langsung bertemu dengan Alaric. Singkat keterkejutannya, lalu cepat-cepat mengalihkan mata, seperti biasa.“Baru nyampe, Mas?” Pelan Angela bertanya.Alaric melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Iya.” Singkat jawabnya, tapi cukup.Suasana kamar langsung terasa aneh. Keduanya masih saja canggung saat bertemu, meski alasan mereka berada dalam situasi ini sangat jelas.Angela memainkan jemarinya di atas paha, berusaha mengisi keheningan. “Saya pikir Mas bakal telat.”“Meeting-nya cepat selesai.” Sebelum akhirnya duduk di sofa dekat ranjang. Alaric tidak langsung menatap Angela, malah sibuk melepas jam tangan. “Ada masalah?”Angela menggeleng. “
Angela terbangun saat langit di luar sana masih gelap. Kamar kembali sunyi. Refleks menoleh ke sofa. Kosong.Alaric sudah pergi.Tidak ada jejak keberadaan pria itu, kecuali aroma samar sabun yang menempel di sprei, meski si suami tidak berbaring di sisinya semalaman. Angela menarik napas pelan, mencoba mengusir kecewa yang bahkan dia sendiri tidak mau mengakuinya.Dia tahu. Harusnya sudah terbiasa. Semestinya tidak masalah, karena dia punya alasan kuat saat memulai dan tetap bertahan sampai akhir tanpa harapan berlebihan.Turun dari tempat tidur, Angela melangkah menuju kamar mandi, membasuh wajah. Begitu menatap pantulan dirinya di cermin, dia sadar. Tidak ada bekas ciuman, pelukan, atau kata manis nan lembut tadi malam.Cuma tubuh yang dipakai, lalu ditinggalkan.Angela menyeka wajahnya dengan handuk. Kalau begini terus, dia akan cepat menua sebelum waktunya.***Alaric baru pulang dari berolahraga. Dia masuk ke kamar Sienna tanpa mengetuk, langsung menuju lemari. Mengambil setelan
“Mas,” rintih Angela, gemetar dan berusaha mengendalikan diri sekuat tenaga.“Tahan. Jangan mendahului saya.” Alaric memperingatkan. Gerakannya tetap teratur, tapi dia sengaja memperlambat, seperti sedang menguji batas kesabaran Angela.“Ngh!” Angela makin tak tahan. Tubuhnya menegang, siap mencapai puncak, tapi tatapan kosong Alaric membuatnya ragu.“Fokus,” bisik Alaric, tegas. Entah kenapa, dia sendiri belum merasakan pelepasan. Pikirannya terpecah—antara tugas yang dipaksakan kakeknya dan bayangan Sienna yang entah sedang apa sekarang. Ini pertama kalinya dia bercinta dengan wanita lain. Matanya tertuju ke dinding, gerakannya kaku, hampir tanpa perasaan.“Saya ubah posisi, Mas?” Angela menawarkan, suaranya parau. Dia juga tidak nyaman—bukan cuma fisik, tapi perasaan aneh yang terus mengusik. Alaric bukan miliknya. Dia cuma istri kedua yang keberadaannya disembunyikan.“Oke,” angguk Alaric singkat. Tangannya menarik lengan Angela, memaksa bangkit bersamanya. “Duduk di pangkuan saya
Angela terbangun saat langit di luar sana masih gelap. Kamar kembali sunyi. Refleks menoleh ke sofa. Kosong.Alaric sudah pergi.Tidak ada jejak keberadaan pria itu, kecuali aroma samar sabun yang menempel di sprei, meski si suami tidak berbaring di sisinya semalaman. Angela menarik napas pelan, mencoba mengusir kecewa yang bahkan dia sendiri tidak mau mengakuinya.Dia tahu. Harusnya sudah terbiasa. Semestinya tidak masalah, karena dia punya alasan kuat saat memulai dan tetap bertahan sampai akhir tanpa harapan berlebihan.Turun dari tempat tidur, Angela melangkah menuju kamar mandi, membasuh wajah. Begitu menatap pantulan dirinya di cermin, dia sadar. Tidak ada bekas ciuman, pelukan, atau kata manis nan lembut tadi malam.Cuma tubuh yang dipakai, lalu ditinggalkan.Angela menyeka wajahnya dengan handuk. Kalau begini terus, dia akan cepat menua sebelum waktunya.***Alaric baru pulang dari berolahraga. Dia masuk ke kamar Sienna tanpa mengetuk, langsung menuju lemari. Mengambil setelan
Alaric membuka pintu kamar Angela tanpa mengetuk lebih dulu. Kebiasaan selama lima hari ini. Dia tahu Angela tidak pernah mengunci pintu, karena selain dia, tidak ada yang naik ke lantai tiga. Sienna pun baru pagi tadi.Angela yang sedang duduk di ujung ranjang sontak menoleh. Rambut masih setengah basah, dia baru saja mandi. Pandangannya langsung bertemu dengan Alaric. Singkat keterkejutannya, lalu cepat-cepat mengalihkan mata, seperti biasa.“Baru nyampe, Mas?” Pelan Angela bertanya.Alaric melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Iya.” Singkat jawabnya, tapi cukup.Suasana kamar langsung terasa aneh. Keduanya masih saja canggung saat bertemu, meski alasan mereka berada dalam situasi ini sangat jelas.Angela memainkan jemarinya di atas paha, berusaha mengisi keheningan. “Saya pikir Mas bakal telat.”“Meeting-nya cepat selesai.” Sebelum akhirnya duduk di sofa dekat ranjang. Alaric tidak langsung menatap Angela, malah sibuk melepas jam tangan. “Ada masalah?”Angela menggeleng. “
Alaric sedang fokus pada pekerjaannya, ketika ponsel di atas meja bergetar. Meletakkan pena dengan gerakan perlahan, lalu memandang layar. Nama ‘Kakek’ tertera di sana. Tanpa ragu menjawab, meski lelah sudah dirasakannya sejak tadi.“Iya, Kek?” Daripada takut, Alaric hanya merasa terbebani. Tetap datar, seperti biasa.“Mau apa Sienna ke lantai tiga?” tanya Darmawan Maharaja, nadanya tegas tanpa basa-basi. “Dua kali dia ke sana hari ini.”Alaric diam sejenak. Tangannya tanpa sadar memutar pena di atas meja. Tidak terkejut kalau cuma satu kali, karena dia tahu Sienna masuk saat dia dan Angela sedang bercinta pagi tadi—kejadian yang coba dia lupakan karena hanya menambah beban pikiran. “Saya enggak tau, Kek. Mungkin sekedar sapa, karena Sienna belum pernah tatap muka langsung sama Angela.”“Sekedar sapa apanya?” Darmawan tiba-tiba berang. Suaranya meninggi menjadi bentakan kecil yang khas. “Udah saya bilang ceraikan dia, kenapa kamu kalah sama perempuan enggak berguna itu?”“Kek, kan ud
Memang tidak ada larangan bagi Sienna untuk ‘berkunjung’ ke lantai tiga, tapi kemunculan wanita itu untuk kedua kalinya di sana membuat Angela merasa tidak nyaman.Tepat ketika Angela sedang sarapan sendirian di meja makan bundar berlapis marmer hitam, yang berdiri kokoh di tengah ruang makan pribadinya, suara langkah Sienna terdengar mendekat.Sienna melirik ke tengah meja. Melihat lili putih segar yang berada di dalam vas bunga tinggi—bunga kesukaannya. Terendus aroma samar dari kelopak lili bercampur dengan wangi kopi yang mengepul dari cangkir Angela.Karena lantai tiga adalah wilayahnya, Angela akan bertindak selayaknya pemilik tempat. Tidak mungkin juga bersikap pura-pura tidak melihat seperti pagi tadi, ketika si istri pertama masuk tanpa permisi ke kamar si istri kedua.Melihat sikap Sienna yang bersedekap anggun, Angela menebak kalau wanita itu tidak akan bertindak brutal dengan menjambak rambutnya, menampar wajah, apalagi menyiramnya dengan kopi. “Silakan duduk, Mbak.” Sie
“Mas,” rintih Angela, gemetar dan berusaha mengendalikan diri sekuat tenaga.“Tahan. Jangan mendahului saya.” Alaric memperingatkan. Gerakannya tetap teratur, tapi dia sengaja memperlambat, seperti sedang menguji batas kesabaran Angela.“Ngh!” Angela makin tak tahan. Tubuhnya menegang, siap mencapai puncak, tapi tatapan kosong Alaric membuatnya ragu.“Fokus,” bisik Alaric, tegas. Entah kenapa, dia sendiri belum merasakan pelepasan. Pikirannya terpecah—antara tugas yang dipaksakan kakeknya dan bayangan Sienna yang entah sedang apa sekarang. Ini pertama kalinya dia bercinta dengan wanita lain. Matanya tertuju ke dinding, gerakannya kaku, hampir tanpa perasaan.“Saya ubah posisi, Mas?” Angela menawarkan, suaranya parau. Dia juga tidak nyaman—bukan cuma fisik, tapi perasaan aneh yang terus mengusik. Alaric bukan miliknya. Dia cuma istri kedua yang keberadaannya disembunyikan.“Oke,” angguk Alaric singkat. Tangannya menarik lengan Angela, memaksa bangkit bersamanya. “Duduk di pangkuan saya