Suara langkah kaki terdengar menuruni satu persatu anak tangga yang memutar hingga berakhir di meja makan setelah melewati beberapa ruangan. Rumah bernuansa putih itu tampak begitu elegan dengan gayanya yang klasik. Dihiasi oleh furniture berkualitas tinggi dan beberapa guci berukuran besar yang pastinya tidak ditemukan di sembarang toko. Arsitekturnya memancarkan kemewahan dengan langit-langit yang tinggi dan jendela yang dilapisi tirai abu-abu. Setiap sudut ruangan itu tampak sangat serasi dan indah.
Gadis itu berhenti di depan meja makan mewah yang didominasi oleh warna emas dan memiliki 6 kursi.
“Ana, makanlah. Ini masakan pertamaku khusus untukmu.”
Suara itu mengalihkan pandangan gadis berpakaian kasual tersebut.
Ana lantas menarik sebelah ujung bibirnya, merasa canggung dengan kehadiran Ray. Bagaimanapun, ini pagi pertama mereka setelah menjadi sepasang suami istri dan itu membuatnya merasa canggung.
“Makasih.” Satu kata terucap di bibir Ana sebelum ia menarik kursi dan duduk di sana.
“Makanlah. Ini akan membuatmu lebih baik.” Ray menyerahkan sop ayam yang beberapa menit lalu ia masak.
“Makasih.” Ana kembali tersenyum canggung, kemudian menyicipi sop tersebut.
“Bagaimana persiapanmu? Sudah aman? Ini hari pertama kamu kuliah, jadi jangan sampai ada yang terlewatkan.” Ray menatap wajah Ana dengan intens.
Istrinya itu terlihat sangat cantik dan rapi dengan pakaian serba biru mudanya.
“Sudah.”
“Gimana kalau kita berangkat bareng? Sepertinya tidak akan ada yang curiga. Teman-temanmu juga pasti belum ada di sana saat kita tiba.” Ray memberi saran.
“Hm, terserah kamu aja.” Ana lagi-lagi mengulum senyum canggung.
Ray lalu menuangkan air di gelas milik Ana yang tinggal sedikit setelah menghabiskan makanannya lebih dulu, kemudian mengulurkan tangan dan merapikan rambut istrinya dengan gerakan perlahan.
“Anak rambutmu ini sepertinya sedikit mengganggu, ya? Kalau kamu mau, aku bisa menemanimu ke salon nanti sore.”
Ana mematung. Perlakuan tiba-tiba Ray membuatnya terhipnotis dan sulit untuk berkata-kata. Pria itu, tidak bisakah ia diam dan duduk manis saja di tempatnya? Perlakuannya membuat jantung Ana menggila.
Memangnya apa yang salah dengan rambutku? batin Ana seraya mengusap pelipisnya, menutupi rasa grogi yang kini menggerogoti dirinya.
“Aku lebih suka melihat rambutmu yang seperti ini ketimbang diikat seperti pertama kali kita bertemu,” tukas Ray seraya mengingat pertemuan pertama mereka yang sangat berkesan.
Saking berkesannya, mereka sampai harus menikah dan menghadapi amarah serta kekecewaan dari orangtua mereka.
“Makan yang banyak. Jangan sampai kamu kelaparan saat mengikuti kelas.” Ray mengalihkan pembicaraan dan tidak lagi memperpanjang perihal pertemuan mereka kala melihat raut wajah Ana yang berubah sedih.
“Gak, makasih. Aku takut mengantuk kalau kekenyangan.” Ana buru-buru menggeser piringnya saat Ray hendak meletakkan sepotong ayam goreng.
Ia kemudian bangkit dari kursi dan berujar,
“Aku sudah selesai. Kamu bergegaslah. Kutunggu di depan. Jangan lama.” Ana lalu pergi tanpa berani membalas tatapan suaminya itu.
Demi apa, ia tidak pernah menyangka Ray yang terkenal cuek dan tak berperasaan bisa mengucapkan kata-kata manis seperti tadi. Pria itu seperti bukan Ray yang ia kenal di kampus. Kalau teman-temannya tahu, mereka pasti histeris atau bahkan menganggapnya membual.
Sebuah rumah yang ditempati oleh pengantin baru itu merupakan rumah warisan kedua orangtua Ray. Pria yang berprofesi sebagai dosen di salah satu kampus ternama di kota itu merupakan anak tunggal di keluarganya dan selalu menjadi kebanggaan kedua orangtuanya.
Begitupun dengan Ana. Gadis cantik dengan tinggi semampai yang sukses mengambil tahta tertinggi di hidup Ray itu merupakan anak semata wayang pasangan Agus dan Lela. Ana sendiri berasal dari keluarga terpandang yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai norma dan adat istiadat di daerah mereka. Hal itu juga lah yang membuat Ana dan Ray bisa menikah dan berakhir seperti sekarang.
“Bisa kita berangkat sekarang?”
Ana terkejut,s lamunannya seketika buyar. Ia refleks menoleh ke arah Ray yang entah sudah berapa lama duduk di sebelahnya.
“Si-silahkan.”
Setelah mendapat jawaban dari sang istri, Ray langsung tancap gas meninggalkan pekarangan rumah yang masih sekitar 21 jam mereka tempati.
Di dalam mobil, Ana berulang kali menghela napas berat. Ray lagi-lagi membuatnya terkejut saat perlakuan pria itu memasangkan sealbeltnya saat mereka hendak berangkat tadi.
Rasanya sudah lebih dari 3 kali aku mengucapkan terimakasih pagi ini. Huh, bisa-bisanya aku segerogi ini. Ternyata begini yang dirasakan oleh Dinda dan Ratna saat berada di dekat Ray. Padahal, dulu aku selalu mengejek mereka, gumam Ana dalam hati.
Setelah melewati ratusan gedung dan beberapa lampu merah, mobil hitam yang dikendarai oleh sepasang suami istri itu tampak melambat hingga akhirnya berhenti di bahu jalan.
“Kamu yakin mau turun di sini? Gimana kalau turun di parkiran aja? Sepertinya di dalam belum banyak orang,” imbuh Ray setelah mobil yang dikemudinya benar-benar berhenti.
“Gak perlu. Belum banyak orang bukan berarti tidak ada orang. Satu orang aja ngeliat aku keluar dari mobil kamu, satu kampus bisa heboh. Aku gak mau nanggung resiko,” ucap Ana, penuh penekanan.
Mengenai rahasia antara hubungannya dan Ray, Ana tidak akan main-main. Karena ia tahu, jika hubungan mereka tersebar, dirinya lah yang pasti akan dibenci oleh anak-anak kampus, sedangkan Ray? Dosen tampan itu tetap akan menjadi idola semua orang.
Ray yang mendapat jawaban seperti itu hanya bisa pasrah dan bergegas mengambil bekal yang telah ia siapkan dari jok belakang dan menyerahkannya kepada Ana.
“Apa ini?”
“Jangan makan sembarangan. Hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu.” Mengabaikan pertanyaan Ana, Ray malah memberi wejangan yang lagi-lagi kembali membuat istrinya itu terkejut.
“Aku tahu apa yang terbaik untukku. Makasih untuk bekalnya. Aku pergi.” Seutas senyum simpul terukir di bibir ranum Ana dan itu cukup membuat Ray senang.
“Hati-hati. Sampai ketemu di kelas,” balas pria bertubuh atletis itu sembari tersenyum manis.
Ana turun dan buru-buru menjauh dari mobil Ray. Ia menatap sekitar dengan was-was, takut ada yang mengenal atau melihatnya keluar dari mobil dosen tampan sekaligus rebutan para mahasiswi itu. Yang benar saja, sejak kapan Ana mengakui ketampanan suaminya itu?
Tepat seperti dugaan Ana, ada beberapa mahasiswa yang sudah berada di kampus. Untung saja orang-orang itu tidak memperhatikannya dan ia bisa leluasa berjalan menuju kelasnya yang ada lantai tiga di fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam. Setelah menyimpan tas dan bekal pemberian Ray, Ana kembali keluar kelas dan melihat-lihat area lingkungan kampus.
Dari sudut balkon, Ana menatap pepohonan rindang yang mengelilingi setiap gedung di kampusnya itu. Berada di ketinggian membuatnya mudah untuk melihat gedung-gedung dan orang-orang yang berlalu lalang di bawah sana. Para mahasiswa tampak antusias menuju kelas mereka atau ke tempat nongkrong yang sudah menjadi seperti basecamp pribadi mereka.
Tidak disangka, aku akhirnya menempuh pendidikan di kampus ini dengan status sudah menjadi istri orang. Padahal sebelumnya, Mama dan Papa sangat ingin aku menempuh pendidikan hingga mendapat gelar magister baru memikirkan soal laki-laki dan pernikahan. Tapi sekarang, jangankan magister, sarjana saja belum. Wajar kalau mereka kecewa dan marah padaku. Mulai sekarang, aku harus berusaha untuk mengembalikan kepercayaan mereka. Bagaimanapun, aku harus membersihkan nama baikku yang rusak gara-gara Ray, batin Ana, berambisi.
“Dan satu-satunya orang yang pantas untuk disalahkan adalah kamu, Ray,” desisnya, dengan kedua tangan terkepal di samping paha.
“ANA … DEMI APA BARUSAN GUE KETEMU SAMA DOSEN RAY DAN DIA SENYUM SAMA GUE!”
Siapa yang tidak mengenal suara cempreng dan menggelegar yang nyaris memekakkan telinga itu? Melihat cara jalan dan stylenya dari kejauhan saja orang-orang sudah pasti tahu siapa orang itu.
“Santai dikit kali, Din. Dosen titisan kutub itu gak mungkin senyum sama lo,” sarkas Ana seraya memutar bola matanya jengah.
Mana mungkin Ray mau senyum kepada gadis lain selain dirinya. Tidak mungkin, pikir Ana, kelewat percaya diri.
“Gue serius, guys, Dosen Ray senyumin gue. Tadi gue sengaja lewat dari depan ruangannya dan ternyata tuh dosen lagi duduk-duduk di bawah pohon besar yang ada di depan ruangannya. Awalnya dia mendongak gitu, gak tahu lagi liatin apa, terus gak sengaja tatapan kami ketemu dan dia senyum. Demi apa, hari ini gue bakalan belajar dengan giat dan serius. Dosen Ray harus tahu kalau senyuman dia itu udah memotivasi gue untuk belajar. Gue harus buat dia bangga sama IPK gue nanti.” Tidak berhenti di lorong, Dinda terus melanjutkan ceritanya sampai ke dalam kelas dan kali ini tidak lagi bercerita kepada Ana, melainkan kepada Balqis, Roy dan juga Agung. Sayangnya, ketiga orang itu tidak menggubris ke antusiasan Dinda. Mereka hanya mengulum senyum sesekali dan tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tampak jelas kalau mereka sedang malas mendengarkan curhatan, lebih tepatnya karangan Dinda yang menurut mereka tidak benar dan sangat kentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Ayolah, siapa juga ya
Tinggi, pintar, tegas dan rapi. Ana baru menyadari kalau suaminya se-perfect itu. Tatapannya tegas, kata-katanya tak terbantah dan suara baritonnya yang khas membuat Ana sedikit kesulitan untuk fokus. Sampai-sampai, Ray berkali-kali menyindirnya yang banyak melamun di pertemuan pertama ini. Tidak terasa, kelas yang dibawakan oleh Ray akan segera berakhir. Dosen tampan itu telah selesai menjelaskan materi dan para mahasiswa juga telah menyelesaikan tugas mereka. Ray kini sedang mengabsen satu persatu mahasiswanya, membuat suasana di ruangan itu tampak sedikit riuh. “Agus Bagaskara.” Ray sudah memanggil nama yang ada di urutan ke 20. “Saya, Pak.” “Dinda Ajni.”“Saya, Pak.” Gadis berkemeja hitam yang tadi merasa disenyumi oleh Ray menatap dosen itu dengan rasa kagum yang amat kentara. “Listyana Wuri.” Kali ini, Ray menyerukan nama istri rahasianya.“Saya, Pak.” “Nicholas Anderson.” Ray mengedarkan pandangannya mencari-cari pemilik nama tersebut. “Nicholas Anderson.” Ray me
“Nasi uduknya enak, kamu beli dimana?” Ana tidak lagi menunggu suapan demi suapan dari Ray, melainkan menyuap sendiri makanan khas Betawi yang sangat populer dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jakarta itu. “Minum dulu, An.” Ray menyodorkan segelas air yang baru saja ia ambil dari dispenser yang tersedia di ruangan itu. “Saya beli di tempat yang kamu bilang tadi. Kalau beli tempat lain takutnya kamu gak suka,” sahut pria itu, kemudian.“Makasih ya, kamu jadi repot gara-gara aku. Lain kali kamu gak harus gini juga.”“Gak masalah. Saya malah senang kalau kamu minta sesuatu ke saya.” Ray menatap wajah cantik istrinya.Ana yang mendengar pernyataan tersebut hanya membalas dengan sebuah anggukan kecil.Ray sadar kalau Ana masih merasa sungkan. Gadis itu bahkan tidak berani membalas tatapannya secara terang-terangan. Beberapa menit kemudian, meja yang ada di hadapan sepasang suami istri itu telah kosong. Bungkus-bungkus makanan telah mereka bersihkan dan dibuang pada tempatnya. Ray
Langit yang tadinya cerah kini berubah gelap ditaburi bintang yang nampak begitu indah dan menenangkan. Siapapun pasti akan terpana melihat keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu, tidak terkecuali sosok Ana yang tengah bersantai menikmati hembusan angin dan merenungi langit malam dari balkon kamarnya.Ana duduk di sebuah kursi rotan yang berada di sisi kiri balkon dengan pikiran yang sedang menerawang jauh seraya menatap langit. Gadis itu tampak dilema dan banyak pikiran. “Ini malam kedua aku dan Ray menjadi pasangan suami istri. Semuanya benar-benar tidak terduga. Entah aku harus bersyukur atau apa, rasanya ada banyak hal yang harus ku korbankan karena pernikahan ini. Andai saja waktu itu aku dan Ratna tidak pergi ke tempat itu, semua ini pasti tidak akan terjadi.” Ana menghela napas berat, menyesali kecerobohannya hanya untuk kesenangan sesaat. “Apa aku pantas menyalahkan Ray atas semua yang terjadi?” Mengalihkan pandangannya kepada segelas air hangat yang mungkin telah sejuk, Ana
Tersadar akan posisi mereka yang kurang aman, Ana buru-buru melepas cekalan tangan Ray dari lengannya dan segera pindah ke sofa yang ada di seberang meja. Ana meneguk salivanya kasar. Atmosfer di ruangan itu terasa menipis hingga membuatnya gerah dan sesak. Tidak jauh berbeda dari Ana, Ray juga langsung menyibukkan diri dengan pura-pura merapikan rambutnya yang memang sedikit berantakan. Ray bahkan merasa telingannya memanas dan wajahnya memerah menahan malu yang tiba-tiba menghinggap di hatinya. Melihat Ana hendak beranjak dari tempatnya, Ray langsung menghentikan gadis itu dengan pernyataannya. “Ana, saya tau kamu belum bisa menerima semua ini. Pernikahan kita, saya tau kamu sangat tidak menginginkannya. Kamu mungkin beranggapan kalau saya pria paling jahat yang sudah merusak hidup dan masa depanmu.” Ray berhenti sejenak, melihat reaksi Ana atas perkataannya. “Kamu boleh menyalahkan saya atas semua yang terjadi, sekalipun kita sama-sam
Jam kosong tiba. Mengubah suasana kelas yang tenang menjadi riuh kala dosen yang mengajar telah pergi meninggalkan ruangan. Para mahasiswa juga demikian, segera keluar untuk menghirup udara segar atau mencari kesenangan lain yang dapat meredakan penat di kepala mereka.Sementara itu, para mahasiswi yang merupakan fans dari seorang Ray, kini bersorak heboh setelah beberapa jam menahan diri untuk tetap tenang selama proses belajar berlangsung setelah mendengar cerita dari Tasya dan Amel. Tampaknya, kedua sejoli itu telah berhasil menyebar berita yang paling ditunggu-tunggu oleh seantero kampus.“Tasya, lo harus ceritain ke gue semua yang lo tau tentang Dosen Ray. Gue gak mau tau.” Dinda dengan heboh menghampiri Tasya.Padahal biasanya gadis berkulit sawo matang itu paling anti berdekatan dengan Tasya dan Amel. Mereka sudah seperti musuh bebuyutan yang selalu cekcok hanya karena hal sepele.“Iya, Tas. Gue mau denger juga. Kalau benar Dosen Ray dan Miss Rahel jadian, kita harus ngerayain
Puluhan pasang mata tertuju pada kedua dosen itu. Bisikan demi bisikan terus mengalir seiring dengan datang dan perginya Ray dan Rahel dari tempat tersebut. Kedua dosen yang dirumorkan sedang berkencan itu pergi setelah menghabiskan minuman mereka tanpa menghiraukan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh para mahasiswa pada mereka.Tidak lama setelah itu, Ana dan teman-temannya juga tampak bergegas meninggalkan kantin. Selanjutnya, mereka naik ke lantai 3 untuk kembali mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh Pak Syamsuddin, atau yang sering disapa dengan Pak Syam.Tidak terasa, kelas tersebut akhirnya selesai dan dilanjutkan oleh mata kuliah lain yang dibawakan oleh dosen lain yang usianya sudah cukup tua. Mungkin, tidak lama lagi beliau akan segera pensiun. Lagi-lagi, para mahasiswa dengan tertib menyelesaikan perkuliahan tersebut hingga tibalah saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Para mahasiswa dari berbagai kelas tampak meninggalkan ruangan mereka, tapi tid
Langit sudah gelap dan Ana mulai merasa keroncongan menahan lapar. Tapi gadis itu tidak ambil pusing, karena Nicho akan segera datang mengantarkan makanan untuknya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada gadis itu, karena satu jam yang lalu Nicho menghubunginya dan menanyakan apakah Ana ingin makan sesuatu atau tidak, karena ia sedang luar membeli makanan untuk kedua orangtuanya. Alhasil, Ana memberitahu makanan apa yang sedang ingin ia makan tanpa rasa sungkan. Lebih tepatnya, ia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi. “Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak,” imbuhnya, pada Ray yang entah sedang dimana. Tidak lama kemudian, bell di rumah mewah itu terdengar hingga ke ruang tamu, sehingga Ana lekas-lekas beranjak dari sofa dan menyambut kedatangan Nicho dengan senyum mengembang. Ternyata, Nicho sangat pandai dalam mencari alamat rumahnya yang sekarang. Pintu terbuka. Sepasang mantan kekasih itu refleks saling melempar senyum terba
Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray y
Langit sudah gelap dan Ana mulai merasa keroncongan menahan lapar. Tapi gadis itu tidak ambil pusing, karena Nicho akan segera datang mengantarkan makanan untuknya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada gadis itu, karena satu jam yang lalu Nicho menghubunginya dan menanyakan apakah Ana ingin makan sesuatu atau tidak, karena ia sedang luar membeli makanan untuk kedua orangtuanya. Alhasil, Ana memberitahu makanan apa yang sedang ingin ia makan tanpa rasa sungkan. Lebih tepatnya, ia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi. “Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak,” imbuhnya, pada Ray yang entah sedang dimana. Tidak lama kemudian, bell di rumah mewah itu terdengar hingga ke ruang tamu, sehingga Ana lekas-lekas beranjak dari sofa dan menyambut kedatangan Nicho dengan senyum mengembang. Ternyata, Nicho sangat pandai dalam mencari alamat rumahnya yang sekarang. Pintu terbuka. Sepasang mantan kekasih itu refleks saling melempar senyum terba
Puluhan pasang mata tertuju pada kedua dosen itu. Bisikan demi bisikan terus mengalir seiring dengan datang dan perginya Ray dan Rahel dari tempat tersebut. Kedua dosen yang dirumorkan sedang berkencan itu pergi setelah menghabiskan minuman mereka tanpa menghiraukan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh para mahasiswa pada mereka.Tidak lama setelah itu, Ana dan teman-temannya juga tampak bergegas meninggalkan kantin. Selanjutnya, mereka naik ke lantai 3 untuk kembali mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh Pak Syamsuddin, atau yang sering disapa dengan Pak Syam.Tidak terasa, kelas tersebut akhirnya selesai dan dilanjutkan oleh mata kuliah lain yang dibawakan oleh dosen lain yang usianya sudah cukup tua. Mungkin, tidak lama lagi beliau akan segera pensiun. Lagi-lagi, para mahasiswa dengan tertib menyelesaikan perkuliahan tersebut hingga tibalah saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Para mahasiswa dari berbagai kelas tampak meninggalkan ruangan mereka, tapi tid
Jam kosong tiba. Mengubah suasana kelas yang tenang menjadi riuh kala dosen yang mengajar telah pergi meninggalkan ruangan. Para mahasiswa juga demikian, segera keluar untuk menghirup udara segar atau mencari kesenangan lain yang dapat meredakan penat di kepala mereka.Sementara itu, para mahasiswi yang merupakan fans dari seorang Ray, kini bersorak heboh setelah beberapa jam menahan diri untuk tetap tenang selama proses belajar berlangsung setelah mendengar cerita dari Tasya dan Amel. Tampaknya, kedua sejoli itu telah berhasil menyebar berita yang paling ditunggu-tunggu oleh seantero kampus.“Tasya, lo harus ceritain ke gue semua yang lo tau tentang Dosen Ray. Gue gak mau tau.” Dinda dengan heboh menghampiri Tasya.Padahal biasanya gadis berkulit sawo matang itu paling anti berdekatan dengan Tasya dan Amel. Mereka sudah seperti musuh bebuyutan yang selalu cekcok hanya karena hal sepele.“Iya, Tas. Gue mau denger juga. Kalau benar Dosen Ray dan Miss Rahel jadian, kita harus ngerayain
Tersadar akan posisi mereka yang kurang aman, Ana buru-buru melepas cekalan tangan Ray dari lengannya dan segera pindah ke sofa yang ada di seberang meja. Ana meneguk salivanya kasar. Atmosfer di ruangan itu terasa menipis hingga membuatnya gerah dan sesak. Tidak jauh berbeda dari Ana, Ray juga langsung menyibukkan diri dengan pura-pura merapikan rambutnya yang memang sedikit berantakan. Ray bahkan merasa telingannya memanas dan wajahnya memerah menahan malu yang tiba-tiba menghinggap di hatinya. Melihat Ana hendak beranjak dari tempatnya, Ray langsung menghentikan gadis itu dengan pernyataannya. “Ana, saya tau kamu belum bisa menerima semua ini. Pernikahan kita, saya tau kamu sangat tidak menginginkannya. Kamu mungkin beranggapan kalau saya pria paling jahat yang sudah merusak hidup dan masa depanmu.” Ray berhenti sejenak, melihat reaksi Ana atas perkataannya. “Kamu boleh menyalahkan saya atas semua yang terjadi, sekalipun kita sama-sam
Langit yang tadinya cerah kini berubah gelap ditaburi bintang yang nampak begitu indah dan menenangkan. Siapapun pasti akan terpana melihat keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu, tidak terkecuali sosok Ana yang tengah bersantai menikmati hembusan angin dan merenungi langit malam dari balkon kamarnya.Ana duduk di sebuah kursi rotan yang berada di sisi kiri balkon dengan pikiran yang sedang menerawang jauh seraya menatap langit. Gadis itu tampak dilema dan banyak pikiran. “Ini malam kedua aku dan Ray menjadi pasangan suami istri. Semuanya benar-benar tidak terduga. Entah aku harus bersyukur atau apa, rasanya ada banyak hal yang harus ku korbankan karena pernikahan ini. Andai saja waktu itu aku dan Ratna tidak pergi ke tempat itu, semua ini pasti tidak akan terjadi.” Ana menghela napas berat, menyesali kecerobohannya hanya untuk kesenangan sesaat. “Apa aku pantas menyalahkan Ray atas semua yang terjadi?” Mengalihkan pandangannya kepada segelas air hangat yang mungkin telah sejuk, Ana
“Nasi uduknya enak, kamu beli dimana?” Ana tidak lagi menunggu suapan demi suapan dari Ray, melainkan menyuap sendiri makanan khas Betawi yang sangat populer dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jakarta itu. “Minum dulu, An.” Ray menyodorkan segelas air yang baru saja ia ambil dari dispenser yang tersedia di ruangan itu. “Saya beli di tempat yang kamu bilang tadi. Kalau beli tempat lain takutnya kamu gak suka,” sahut pria itu, kemudian.“Makasih ya, kamu jadi repot gara-gara aku. Lain kali kamu gak harus gini juga.”“Gak masalah. Saya malah senang kalau kamu minta sesuatu ke saya.” Ray menatap wajah cantik istrinya.Ana yang mendengar pernyataan tersebut hanya membalas dengan sebuah anggukan kecil.Ray sadar kalau Ana masih merasa sungkan. Gadis itu bahkan tidak berani membalas tatapannya secara terang-terangan. Beberapa menit kemudian, meja yang ada di hadapan sepasang suami istri itu telah kosong. Bungkus-bungkus makanan telah mereka bersihkan dan dibuang pada tempatnya. Ray
Tinggi, pintar, tegas dan rapi. Ana baru menyadari kalau suaminya se-perfect itu. Tatapannya tegas, kata-katanya tak terbantah dan suara baritonnya yang khas membuat Ana sedikit kesulitan untuk fokus. Sampai-sampai, Ray berkali-kali menyindirnya yang banyak melamun di pertemuan pertama ini. Tidak terasa, kelas yang dibawakan oleh Ray akan segera berakhir. Dosen tampan itu telah selesai menjelaskan materi dan para mahasiswa juga telah menyelesaikan tugas mereka. Ray kini sedang mengabsen satu persatu mahasiswanya, membuat suasana di ruangan itu tampak sedikit riuh. “Agus Bagaskara.” Ray sudah memanggil nama yang ada di urutan ke 20. “Saya, Pak.” “Dinda Ajni.”“Saya, Pak.” Gadis berkemeja hitam yang tadi merasa disenyumi oleh Ray menatap dosen itu dengan rasa kagum yang amat kentara. “Listyana Wuri.” Kali ini, Ray menyerukan nama istri rahasianya.“Saya, Pak.” “Nicholas Anderson.” Ray mengedarkan pandangannya mencari-cari pemilik nama tersebut. “Nicholas Anderson.” Ray me
“Gue serius, guys, Dosen Ray senyumin gue. Tadi gue sengaja lewat dari depan ruangannya dan ternyata tuh dosen lagi duduk-duduk di bawah pohon besar yang ada di depan ruangannya. Awalnya dia mendongak gitu, gak tahu lagi liatin apa, terus gak sengaja tatapan kami ketemu dan dia senyum. Demi apa, hari ini gue bakalan belajar dengan giat dan serius. Dosen Ray harus tahu kalau senyuman dia itu udah memotivasi gue untuk belajar. Gue harus buat dia bangga sama IPK gue nanti.” Tidak berhenti di lorong, Dinda terus melanjutkan ceritanya sampai ke dalam kelas dan kali ini tidak lagi bercerita kepada Ana, melainkan kepada Balqis, Roy dan juga Agung. Sayangnya, ketiga orang itu tidak menggubris ke antusiasan Dinda. Mereka hanya mengulum senyum sesekali dan tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tampak jelas kalau mereka sedang malas mendengarkan curhatan, lebih tepatnya karangan Dinda yang menurut mereka tidak benar dan sangat kentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Ayolah, siapa juga ya