Langit yang tadinya cerah kini berubah gelap ditaburi bintang yang nampak begitu indah dan menenangkan. Siapapun pasti akan terpana melihat keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu, tidak terkecuali sosok Ana yang tengah bersantai menikmati hembusan angin dan merenungi langit malam dari balkon kamarnya.
Ana duduk di sebuah kursi rotan yang berada di sisi kiri balkon dengan pikiran yang sedang menerawang jauh seraya menatap langit. Gadis itu tampak dilema dan banyak pikiran.
“Ini malam kedua aku dan Ray menjadi pasangan suami istri. Semuanya benar-benar tidak terduga. Entah aku harus bersyukur atau apa, rasanya ada banyak hal yang harus ku korbankan karena pernikahan ini. Andai saja waktu itu aku dan Ratna tidak pergi ke tempat itu, semua ini pasti tidak akan terjadi.” Ana menghela napas berat, menyesali kecerobohannya hanya untuk kesenangan sesaat.
“Apa aku pantas menyalahkan Ray atas semua yang terjadi?” Mengalihkan pandangannya kepada segelas air hangat yang mungkin telah sejuk, Ana kembali menghela napas.
Beban dipundaknya terasa begitu berat. Kehidupannya seketika berubah sejak kejadian malam itu. Andai saja waktu bisa diputar kembali, Ana tidak akan pergi ke club, tempat dimana ia menghabiskan malam bersama Ray. Hal ini lah yang membuat keluarga mereka salah paham.
Mereka beranggapan kalau Ana dan Ray telah melakukan hal yang diluar batas, sehingga pernikahan keduanya harus segera dilaksanakan. Padahal, Ana ingat betul kalau malam itu, ia dan Ratna hanya sedikit mabuk dan entah bagaimana ceritanya ia bisa tertidur di sebuah kamar bersama Ray yang ternyata juga sedang terpengaruh oleh alcohol.
Saat itu, Ana benar-benar marah, kesal, kecewa dan tidak berdaya. Tekanan kedua orangtuanya berhasil membuatnya tidak bisa membela diri. Padahal, Ratna telah bersaksi kalau ia dan Ray benar-benar tidak melakukan hal yang aneh. Mereka hanya tidur di ranjang yang sama dengan posisi saling berpelukan. Hanya berpelukan, tidak lebih!
Sialnya lagi, entah dari mana kedua orangnya bisa tahu kalau malam itu ia pergi ke club dan memergoki dirinya sedang bersama Ray. Demi Tuhan, kepala Ana terasa ingin pecah memikirkan hal tersebut.
“Ana, makan malam sudah siap. Ayo, makan.”
Suara itu berhasil menarik Ana dari lamunannya. Gadis itu lantas menoleh dan mendapati Ray yang sedang berdiri di ambang pintu yang sedikit terbuka.
Ana memperhatikan Ray dengan seksama. Jas yang tadi begitu rapi membalut tubuh atletis pria itu telah dilepas dan menyisakan kemeja putih yang lengannya ditarik hingga siku. Tapi, Ana sedang tidak tertarik untuk memuji penampilan Ray yang malah terlihat semakin tampan. Ia lantas buru-buru membuka lebih lebar lagi pintu kaca balkon lalu melewati Ray begitu saja.
“Ana, kamu kenapa?”
Keluar dari kamar, Ray mengikuti langkah Ana menuruni satu persatu anak tangga yang memutar.
“Gapapa.”
“Kamu marah sama aku?” tanya Ray, lagi.
“Gak. Ngapain juga?”
Ray tidak lagi menyahut, sudah mengerti kalau Ana benar-benar sedang dalam mood yang kurang baik. Ia lantas membiarkan gadis itu berjalan lebih dulu menuju dapur tanpa mengatakan apapun lagi.
Sepasang suami yang sedang berjalan beriringan itu terlihat melewati beberapa ruangan sebelum tiba di meja makan yang berhadapan dengan dapur. Di atas meja makan berukuran besar dan memiliki 6 kursi itu tampak berjejer rapi menu makan malam yang baru saja dimasak oleh Ray.
Berbeda dari ruangan lainnya, dapur tempat dimana Ray menghabiskan waktunya untuk menyiapkan makanan itu memiliki konsep modern mewah dengan nuansa monokrom. Desain dengan kombinasi monokrom hitam putih itu menciptakan tampilan yang maskulin tanpa terlihat berlebihan. Keseimbangan antara dua warna yang kontras mencolok menonjolkan kesan mewah nan estetik secara seimbang.
Tentu saja konsep dapur tersebut dipilih langsung oleh Ray sebelum ia menikah dengan Ana. Lebih tepatnya, 1 tahun yang lalu saat rumah bergaya klasik itu dibangun. Kendati demikian, saat Ana tiba di rumah itu kemarin, Ray juga sudah menawari istrinya itu untuk mengganti desain dapur tersebut dengan desain yang ia mau, tapi Ana menolak dan tidak ingin mengubah apapun di rumah tersebut.
Setelah memastikan Ana duduk dengan tenang, Ray mulai mengisi piring di depan istrinya itu sebanyak satu sendok nasi.
“Cukup?” tanyanya, sejenak.
“Hm.”
Ray tersenyum tipis melihat Ana yang tampak malas bicara dengannya. Ia lantas membiarkan gadis itu memilih lauk pauk sendiri.
Sesaat kemudian, sepasang suami istri itu tampak menikmati makanan mereka dengan tenang tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Di hadapan Ray, Ana terlihat santai menyantap makanannya, padahal dalam hati gadis itu, ia sangat memuji masakan Ray yang terasa enak dan pas di lidahnya. Ana tidak menyangka kalau Ray benar-benar bisa diandalkan dalam segala hal. Kepiawaian pria itu dalam memasak membuatnya merasa insecure sebagai seorang perempuan.
Masa bodo dengan ini semua. Aku tetap benci kamu, Ray, Ana membatin.
Selesai menyantap makanannya, Ana bergegas pergi meninggalkan dapur tanpa berniat membantu Ray yang sedang merapikan meja makan dan hendak mencuci piring kotor. Ana sengaja mengabaikan semua itu. Ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak andil dalam melakukan pekerjaan rumah sebelum ia benar-benar menerima Ray sebagai suaminya.
Pria itu juga tidak masalah dengan hal tersebut saat Ana mengutarakan hal tersebut saat mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah itu pertama kali dua hari yang lalu.
Keluar dari dapur, Ana bergegas menuju ruang keluarga untuk menonton TV sembari menunggu Ray menyelesaikan pekerjaannya.
Sebagai seorang istri, seharusnya ia lah yang melayani dan merawat Ray, tapi itu tidak ia lakukan karena rasa kecewanya masih begitu besar.
“Maafin aku, Ray. Aku belum bisa nerima semua ini.” lirihnya, merasa bersalah.
Ana menyalakan TV di depannya, lalu mencari-cari siaran yang mungkin menarik untuk ditonton. Namun, sudah hampir 3 menit, ia belum juga menemukan tayangan yang cocok untuk memperbaiki moodnya yang rusak, sehingga ia memutuskan untuk memainkan ponsel dan membiarkan TV tetap menyala.
Tidak terasa sudah hampir 20 menit Ray berkutat dengan pekerjaannya di dapur. Pria itu kemudian tampak keluar dari sana dan berjalan menuju ruang keluarga tempat dimana ia mendengar suara percakapan yang berasal dari TV.
Ana yang melihat kedatangan pria itu langsung bangkit dari tempatnya.
“Bisa kita bicara sebentar, An.” Instruksi Ray, menghentikan niat Ana yang hendak kembali ke kamarnya.
Gadis itu lantas kembali duduk dan bersandar di punggung sofa yang empuk.
Ray pun begitu, mengambil tempat di samping Ana dan menyenderkan tubuhnya yang terasa letih. Bangun subuh-subuh untuk menyiapkan sarapan, mengajar hingga sore dan mengerjakan tugas tambahan hingga lembur, serta memasak makan malam dan bersih-bersih cukup membuatnya lumayan letih. Ray lantas merentangkan tangannya di punggung atas sofa, hingga membuatnya tampak seperti sedang merangkul Ana jika dilihat dari depan.
Cukup lama kedua orang itu diam, membuat Ana mulai bosan dan merasa atmosfer di sekitarnya menipis. Entah itu hanya perasaannya saja atau bagaimana, ia merasa Ray duduk semakin dekat dengannya.
“Ray, ada apa? Aku mau kembali ke kamar,” tukasnya, membuka percakapan.
“Temani aku sebentar.”
“Tapi ini udah 10 menit aku nemenin kamu,” sahut Ana, cepat.
“Sebentar lagi.” Ray menjawab dengan posisi kepala yang masih bersandar di punggung sofa sambil memejamkan mata.
Ana manyun mendengar jawaban tersebut, lalu membiarkan pandangannya menatap wajah Ray dengan lekat dan dalam. Dari jarak yang tidak lebih dari 30 centi meter, ia bisa melihat wajah tampan pria itu dengan jelas. Hidung Ray yang manjung. Bulu matanya yang lentik dan alis yang tebal, serta rambutnya yang hitam lurus dengan model slicked-back undercut, yang belakangan ini cukup populer di kalangan pria Indonesia. Gaya rambut tersebut membuat penampilan Ray terkesan lebih fresh dan menarik.
Saat memperhatikan wajah Ray, Ana melihat bulu mata pria itu jatuh di pipi kanan.
“Sepertinya ada seseorang yang rindu kamu, Ray,” gumamnya, pelan.
Ana kemudian berinisiatif mengambil bulu mata itu. Dengan sedikit mencondongkan tubuhnya, ia perlahan mengulurkan tangan ke wajah mulus Ray. Ana bahkan refleks mengulum bibirnya dan menahan napas agar Ray tidak terusik.
Namun, belum sampai jari-jari lentik itu menyentuh kulit mulus Ray, sang empu telah mencekal tangan Ana dengan gerakan yang teramat cepat.
Terkejut. Ana benar-benar terkejut karena Ray tiba-tiba membuka mata dan menggenggam tangannya, membuatnya mematung dan membisu. Mata gadis itu membulat sempurna melihat Ray yang kini menatapnya dengan lekat dan sangat dalam.
“Ra-Ray ….”
Seakan waktu berhenti berputar, keduanya mematung dan saling menatap dengan intens dan dalam.
Tersadar akan posisi mereka yang kurang aman, Ana buru-buru melepas cekalan tangan Ray dari lengannya dan segera pindah ke sofa yang ada di seberang meja. Ana meneguk salivanya kasar. Atmosfer di ruangan itu terasa menipis hingga membuatnya gerah dan sesak. Tidak jauh berbeda dari Ana, Ray juga langsung menyibukkan diri dengan pura-pura merapikan rambutnya yang memang sedikit berantakan. Ray bahkan merasa telingannya memanas dan wajahnya memerah menahan malu yang tiba-tiba menghinggap di hatinya. Melihat Ana hendak beranjak dari tempatnya, Ray langsung menghentikan gadis itu dengan pernyataannya. “Ana, saya tau kamu belum bisa menerima semua ini. Pernikahan kita, saya tau kamu sangat tidak menginginkannya. Kamu mungkin beranggapan kalau saya pria paling jahat yang sudah merusak hidup dan masa depanmu.” Ray berhenti sejenak, melihat reaksi Ana atas perkataannya. “Kamu boleh menyalahkan saya atas semua yang terjadi, sekalipun kita sama-sam
Jam kosong tiba. Mengubah suasana kelas yang tenang menjadi riuh kala dosen yang mengajar telah pergi meninggalkan ruangan. Para mahasiswa juga demikian, segera keluar untuk menghirup udara segar atau mencari kesenangan lain yang dapat meredakan penat di kepala mereka.Sementara itu, para mahasiswi yang merupakan fans dari seorang Ray, kini bersorak heboh setelah beberapa jam menahan diri untuk tetap tenang selama proses belajar berlangsung setelah mendengar cerita dari Tasya dan Amel. Tampaknya, kedua sejoli itu telah berhasil menyebar berita yang paling ditunggu-tunggu oleh seantero kampus.“Tasya, lo harus ceritain ke gue semua yang lo tau tentang Dosen Ray. Gue gak mau tau.” Dinda dengan heboh menghampiri Tasya.Padahal biasanya gadis berkulit sawo matang itu paling anti berdekatan dengan Tasya dan Amel. Mereka sudah seperti musuh bebuyutan yang selalu cekcok hanya karena hal sepele.“Iya, Tas. Gue mau denger juga. Kalau benar Dosen Ray dan Miss Rahel jadian, kita harus ngerayain
Puluhan pasang mata tertuju pada kedua dosen itu. Bisikan demi bisikan terus mengalir seiring dengan datang dan perginya Ray dan Rahel dari tempat tersebut. Kedua dosen yang dirumorkan sedang berkencan itu pergi setelah menghabiskan minuman mereka tanpa menghiraukan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh para mahasiswa pada mereka.Tidak lama setelah itu, Ana dan teman-temannya juga tampak bergegas meninggalkan kantin. Selanjutnya, mereka naik ke lantai 3 untuk kembali mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh Pak Syamsuddin, atau yang sering disapa dengan Pak Syam.Tidak terasa, kelas tersebut akhirnya selesai dan dilanjutkan oleh mata kuliah lain yang dibawakan oleh dosen lain yang usianya sudah cukup tua. Mungkin, tidak lama lagi beliau akan segera pensiun. Lagi-lagi, para mahasiswa dengan tertib menyelesaikan perkuliahan tersebut hingga tibalah saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Para mahasiswa dari berbagai kelas tampak meninggalkan ruangan mereka, tapi tid
Langit sudah gelap dan Ana mulai merasa keroncongan menahan lapar. Tapi gadis itu tidak ambil pusing, karena Nicho akan segera datang mengantarkan makanan untuknya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada gadis itu, karena satu jam yang lalu Nicho menghubunginya dan menanyakan apakah Ana ingin makan sesuatu atau tidak, karena ia sedang luar membeli makanan untuk kedua orangtuanya. Alhasil, Ana memberitahu makanan apa yang sedang ingin ia makan tanpa rasa sungkan. Lebih tepatnya, ia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi. “Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak,” imbuhnya, pada Ray yang entah sedang dimana. Tidak lama kemudian, bell di rumah mewah itu terdengar hingga ke ruang tamu, sehingga Ana lekas-lekas beranjak dari sofa dan menyambut kedatangan Nicho dengan senyum mengembang. Ternyata, Nicho sangat pandai dalam mencari alamat rumahnya yang sekarang. Pintu terbuka. Sepasang mantan kekasih itu refleks saling melempar senyum terba
Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray y
Suara langkah kaki terdengar menuruni satu persatu anak tangga yang memutar hingga berakhir di meja makan setelah melewati beberapa ruangan. Rumah bernuansa putih itu tampak begitu elegan dengan gayanya yang klasik. Dihiasi oleh furniture berkualitas tinggi dan beberapa guci berukuran besar yang pastinya tidak ditemukan di sembarang toko. Arsitekturnya memancarkan kemewahan dengan langit-langit yang tinggi dan jendela yang dilapisi tirai abu-abu. Setiap sudut ruangan itu tampak sangat serasi dan indah. Gadis itu berhenti di depan meja makan mewah yang didominasi oleh warna emas dan memiliki 6 kursi.“Ana, makanlah. Ini masakan pertamaku khusus untukmu.”Suara itu mengalihkan pandangan gadis berpakaian kasual tersebut. Ana lantas menarik sebelah ujung bibirnya, merasa canggung dengan kehadiran Ray. Bagaimanapun, ini pagi pertama mereka setelah menjadi sepasang suami istri dan itu membuatnya merasa canggung.“Makasih.” Satu kata terucap di bibir Ana sebelum ia menarik kursi dan duduk
“Gue serius, guys, Dosen Ray senyumin gue. Tadi gue sengaja lewat dari depan ruangannya dan ternyata tuh dosen lagi duduk-duduk di bawah pohon besar yang ada di depan ruangannya. Awalnya dia mendongak gitu, gak tahu lagi liatin apa, terus gak sengaja tatapan kami ketemu dan dia senyum. Demi apa, hari ini gue bakalan belajar dengan giat dan serius. Dosen Ray harus tahu kalau senyuman dia itu udah memotivasi gue untuk belajar. Gue harus buat dia bangga sama IPK gue nanti.” Tidak berhenti di lorong, Dinda terus melanjutkan ceritanya sampai ke dalam kelas dan kali ini tidak lagi bercerita kepada Ana, melainkan kepada Balqis, Roy dan juga Agung. Sayangnya, ketiga orang itu tidak menggubris ke antusiasan Dinda. Mereka hanya mengulum senyum sesekali dan tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tampak jelas kalau mereka sedang malas mendengarkan curhatan, lebih tepatnya karangan Dinda yang menurut mereka tidak benar dan sangat kentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Ayolah, siapa juga ya
Tinggi, pintar, tegas dan rapi. Ana baru menyadari kalau suaminya se-perfect itu. Tatapannya tegas, kata-katanya tak terbantah dan suara baritonnya yang khas membuat Ana sedikit kesulitan untuk fokus. Sampai-sampai, Ray berkali-kali menyindirnya yang banyak melamun di pertemuan pertama ini. Tidak terasa, kelas yang dibawakan oleh Ray akan segera berakhir. Dosen tampan itu telah selesai menjelaskan materi dan para mahasiswa juga telah menyelesaikan tugas mereka. Ray kini sedang mengabsen satu persatu mahasiswanya, membuat suasana di ruangan itu tampak sedikit riuh. “Agus Bagaskara.” Ray sudah memanggil nama yang ada di urutan ke 20. “Saya, Pak.” “Dinda Ajni.”“Saya, Pak.” Gadis berkemeja hitam yang tadi merasa disenyumi oleh Ray menatap dosen itu dengan rasa kagum yang amat kentara. “Listyana Wuri.” Kali ini, Ray menyerukan nama istri rahasianya.“Saya, Pak.” “Nicholas Anderson.” Ray mengedarkan pandangannya mencari-cari pemilik nama tersebut. “Nicholas Anderson.” Ray me
Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray y
Langit sudah gelap dan Ana mulai merasa keroncongan menahan lapar. Tapi gadis itu tidak ambil pusing, karena Nicho akan segera datang mengantarkan makanan untuknya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada gadis itu, karena satu jam yang lalu Nicho menghubunginya dan menanyakan apakah Ana ingin makan sesuatu atau tidak, karena ia sedang luar membeli makanan untuk kedua orangtuanya. Alhasil, Ana memberitahu makanan apa yang sedang ingin ia makan tanpa rasa sungkan. Lebih tepatnya, ia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi. “Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak,” imbuhnya, pada Ray yang entah sedang dimana. Tidak lama kemudian, bell di rumah mewah itu terdengar hingga ke ruang tamu, sehingga Ana lekas-lekas beranjak dari sofa dan menyambut kedatangan Nicho dengan senyum mengembang. Ternyata, Nicho sangat pandai dalam mencari alamat rumahnya yang sekarang. Pintu terbuka. Sepasang mantan kekasih itu refleks saling melempar senyum terba
Puluhan pasang mata tertuju pada kedua dosen itu. Bisikan demi bisikan terus mengalir seiring dengan datang dan perginya Ray dan Rahel dari tempat tersebut. Kedua dosen yang dirumorkan sedang berkencan itu pergi setelah menghabiskan minuman mereka tanpa menghiraukan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh para mahasiswa pada mereka.Tidak lama setelah itu, Ana dan teman-temannya juga tampak bergegas meninggalkan kantin. Selanjutnya, mereka naik ke lantai 3 untuk kembali mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh Pak Syamsuddin, atau yang sering disapa dengan Pak Syam.Tidak terasa, kelas tersebut akhirnya selesai dan dilanjutkan oleh mata kuliah lain yang dibawakan oleh dosen lain yang usianya sudah cukup tua. Mungkin, tidak lama lagi beliau akan segera pensiun. Lagi-lagi, para mahasiswa dengan tertib menyelesaikan perkuliahan tersebut hingga tibalah saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Para mahasiswa dari berbagai kelas tampak meninggalkan ruangan mereka, tapi tid
Jam kosong tiba. Mengubah suasana kelas yang tenang menjadi riuh kala dosen yang mengajar telah pergi meninggalkan ruangan. Para mahasiswa juga demikian, segera keluar untuk menghirup udara segar atau mencari kesenangan lain yang dapat meredakan penat di kepala mereka.Sementara itu, para mahasiswi yang merupakan fans dari seorang Ray, kini bersorak heboh setelah beberapa jam menahan diri untuk tetap tenang selama proses belajar berlangsung setelah mendengar cerita dari Tasya dan Amel. Tampaknya, kedua sejoli itu telah berhasil menyebar berita yang paling ditunggu-tunggu oleh seantero kampus.“Tasya, lo harus ceritain ke gue semua yang lo tau tentang Dosen Ray. Gue gak mau tau.” Dinda dengan heboh menghampiri Tasya.Padahal biasanya gadis berkulit sawo matang itu paling anti berdekatan dengan Tasya dan Amel. Mereka sudah seperti musuh bebuyutan yang selalu cekcok hanya karena hal sepele.“Iya, Tas. Gue mau denger juga. Kalau benar Dosen Ray dan Miss Rahel jadian, kita harus ngerayain
Tersadar akan posisi mereka yang kurang aman, Ana buru-buru melepas cekalan tangan Ray dari lengannya dan segera pindah ke sofa yang ada di seberang meja. Ana meneguk salivanya kasar. Atmosfer di ruangan itu terasa menipis hingga membuatnya gerah dan sesak. Tidak jauh berbeda dari Ana, Ray juga langsung menyibukkan diri dengan pura-pura merapikan rambutnya yang memang sedikit berantakan. Ray bahkan merasa telingannya memanas dan wajahnya memerah menahan malu yang tiba-tiba menghinggap di hatinya. Melihat Ana hendak beranjak dari tempatnya, Ray langsung menghentikan gadis itu dengan pernyataannya. “Ana, saya tau kamu belum bisa menerima semua ini. Pernikahan kita, saya tau kamu sangat tidak menginginkannya. Kamu mungkin beranggapan kalau saya pria paling jahat yang sudah merusak hidup dan masa depanmu.” Ray berhenti sejenak, melihat reaksi Ana atas perkataannya. “Kamu boleh menyalahkan saya atas semua yang terjadi, sekalipun kita sama-sam
Langit yang tadinya cerah kini berubah gelap ditaburi bintang yang nampak begitu indah dan menenangkan. Siapapun pasti akan terpana melihat keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu, tidak terkecuali sosok Ana yang tengah bersantai menikmati hembusan angin dan merenungi langit malam dari balkon kamarnya.Ana duduk di sebuah kursi rotan yang berada di sisi kiri balkon dengan pikiran yang sedang menerawang jauh seraya menatap langit. Gadis itu tampak dilema dan banyak pikiran. “Ini malam kedua aku dan Ray menjadi pasangan suami istri. Semuanya benar-benar tidak terduga. Entah aku harus bersyukur atau apa, rasanya ada banyak hal yang harus ku korbankan karena pernikahan ini. Andai saja waktu itu aku dan Ratna tidak pergi ke tempat itu, semua ini pasti tidak akan terjadi.” Ana menghela napas berat, menyesali kecerobohannya hanya untuk kesenangan sesaat. “Apa aku pantas menyalahkan Ray atas semua yang terjadi?” Mengalihkan pandangannya kepada segelas air hangat yang mungkin telah sejuk, Ana
“Nasi uduknya enak, kamu beli dimana?” Ana tidak lagi menunggu suapan demi suapan dari Ray, melainkan menyuap sendiri makanan khas Betawi yang sangat populer dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jakarta itu. “Minum dulu, An.” Ray menyodorkan segelas air yang baru saja ia ambil dari dispenser yang tersedia di ruangan itu. “Saya beli di tempat yang kamu bilang tadi. Kalau beli tempat lain takutnya kamu gak suka,” sahut pria itu, kemudian.“Makasih ya, kamu jadi repot gara-gara aku. Lain kali kamu gak harus gini juga.”“Gak masalah. Saya malah senang kalau kamu minta sesuatu ke saya.” Ray menatap wajah cantik istrinya.Ana yang mendengar pernyataan tersebut hanya membalas dengan sebuah anggukan kecil.Ray sadar kalau Ana masih merasa sungkan. Gadis itu bahkan tidak berani membalas tatapannya secara terang-terangan. Beberapa menit kemudian, meja yang ada di hadapan sepasang suami istri itu telah kosong. Bungkus-bungkus makanan telah mereka bersihkan dan dibuang pada tempatnya. Ray
Tinggi, pintar, tegas dan rapi. Ana baru menyadari kalau suaminya se-perfect itu. Tatapannya tegas, kata-katanya tak terbantah dan suara baritonnya yang khas membuat Ana sedikit kesulitan untuk fokus. Sampai-sampai, Ray berkali-kali menyindirnya yang banyak melamun di pertemuan pertama ini. Tidak terasa, kelas yang dibawakan oleh Ray akan segera berakhir. Dosen tampan itu telah selesai menjelaskan materi dan para mahasiswa juga telah menyelesaikan tugas mereka. Ray kini sedang mengabsen satu persatu mahasiswanya, membuat suasana di ruangan itu tampak sedikit riuh. “Agus Bagaskara.” Ray sudah memanggil nama yang ada di urutan ke 20. “Saya, Pak.” “Dinda Ajni.”“Saya, Pak.” Gadis berkemeja hitam yang tadi merasa disenyumi oleh Ray menatap dosen itu dengan rasa kagum yang amat kentara. “Listyana Wuri.” Kali ini, Ray menyerukan nama istri rahasianya.“Saya, Pak.” “Nicholas Anderson.” Ray mengedarkan pandangannya mencari-cari pemilik nama tersebut. “Nicholas Anderson.” Ray me
“Gue serius, guys, Dosen Ray senyumin gue. Tadi gue sengaja lewat dari depan ruangannya dan ternyata tuh dosen lagi duduk-duduk di bawah pohon besar yang ada di depan ruangannya. Awalnya dia mendongak gitu, gak tahu lagi liatin apa, terus gak sengaja tatapan kami ketemu dan dia senyum. Demi apa, hari ini gue bakalan belajar dengan giat dan serius. Dosen Ray harus tahu kalau senyuman dia itu udah memotivasi gue untuk belajar. Gue harus buat dia bangga sama IPK gue nanti.” Tidak berhenti di lorong, Dinda terus melanjutkan ceritanya sampai ke dalam kelas dan kali ini tidak lagi bercerita kepada Ana, melainkan kepada Balqis, Roy dan juga Agung. Sayangnya, ketiga orang itu tidak menggubris ke antusiasan Dinda. Mereka hanya mengulum senyum sesekali dan tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tampak jelas kalau mereka sedang malas mendengarkan curhatan, lebih tepatnya karangan Dinda yang menurut mereka tidak benar dan sangat kentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Ayolah, siapa juga ya