Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.
Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.
“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.
“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray yang tampak begitu rapi dan tampan.
“Gimana kalau kamu pastiin lagi. Kalau memang dia gak bisa jemput kamu, mending kita berangkat bareng.” Kedua belah sepatu telah terpasang sempurna di kaki jenjang Ray.
Pria jangkung itu kemudian mengambil tasnya dari genggaman Ana.
“Udah lah, Ray. Kamu pergi aja. Temanku bukan cuma Ratna. Aku pasti sampai ke kampus tepat waktu,” ujar Ana, penuh penekanan.
“Baiklah. Kalau begitu saya pergi dulu. Sampai ketemu di kampus.”
“Hm.”
Ray perlahan pergi meninggalkan pekarangan rumah bergaya klasik itu mengendari mobil hitamnya yang tampak mengkilat seperti baru.
Sementara itu, Ana bergegas mengambil ponselnya dan menghubungi Nicho.
“Kamu udah dimana? Aku udah nungguin loh.”
“Otw, kamu tunggu bentar ya.”
Sambungan telepon terputus dan Ana kembali menyimpan ponselnya, lalu segera mengambil tas dan beberapa buku berukuran besar dan tebal dari atas meja. Gadis itu sengaja tidak menyimpan buku-buku itu ke dalam tas, karena selain besar, buku-buku itu juga berat dan ia tidak mau menumpahkan semua beban itu pada bahunya.
Beberapa menit menunggu, tanda-tanda kehadiran Nicho mulai muncul. Mobil pria itu mulai terlihat mendekati gerbang utama rumah Ana. Melihat hal itu, Ana lantas bergegas menuju gerbang dan segera masuk ke mobil Nicho begitu mobil tersebut berhenti melaju.
Nicho kembali menginjak pedal gas dan mobil kembali melaju.
“Cantik banget hari ini.”
“Makasih, tapi aku memang selalu cantik,” sahut Ana, narsis.
“Kamu udah sarapan?” tanya pria itu, menatap Ana sekilas.
“Udah dong.” Di tanya seperti itu, Ana jadi teringat dengan Ray yang sengaja ia bohongi.
Ana tidak peduli jika nantinya pria itu akan marah saat tahu ia telah dibohongi. Toh, Ray lah yang lebih dulu bermain api dan merusak hubungan mereka yang sejak awal memang tidak begitu baik. Ana hanya mengikuti permainan Ray dan mencoba memperbaiki hubungannya dengan Nicho yang sempat renggang. Tidak ada salahnya berhubungan baik dengan mantan, bukan?
Hampir setangah jam perjalanan, mobil sport putih yang dikemudi oleh Nicho perlahan tampak memasuki area kampus. Para mahasiswa tampak berlalu lalang di setiap sudut kampus tersebut karena jam mata kuliah pertama akan segera dimulai, jadi tidak heran kalau para mahasiswa tampak bergegas menuju kelas mereka masing-masing.
Ana dan Nicho kompak menuju kelas mereka yang berada di lantai 3 sambil berbincang-bincang dan sesekali tertawa saat pria itu mengatakan sesuatu yang menggelitik. Nicho tampak begitu keren dalam balutan kaos hitam yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak perpaduan warna hitam dan merah yang kancingnya dibiarkan terbuka dan lengannya yang panjang di tarik hingga siku. Begitupun dengan Ana yang hari ini tampak begitu stylish dan anggun. Gadis itu memadukan celana cutbray dengan atasan putih yang dilapisi dengan kemeja croptop bermotif kota-kota hitam putih.
“An, lo masih ingat gak waktu itu kita pernah hujan-hujanan pulang dari Tangerang dan di tengah jalan kita berhenti karna mau nyelamatin kucing yang hampir ketabrak mobil?”
“Ingat dong. Kita cape-cape nyelametin dan berniat mau bawa kucing itu pulang, eh pemiliknya malah datang dan marah-marah nuduh kita nabrak kucingnya. Sial banget waktu. Gue sampek trauma mau bantuin kucing di jalanan. Takut dibuat malu lagi,” timpal Ana, kembali mengenang masa lalu mereka.
“Kemarin gue ketemu lagi sama ibu-ibu itu. Dia nyapa gue waktu nemenin nyokab ke tanah abang.”
“Seriusan lo?”
“Serius. Ibu itu juga nanyain lo. Katanya, dia mau ngasih kucingnya sama lo kalau kalian ketemu lagi.”
“Beneran?” Ana tampak antusias.
“Benerlah, Masa iya gue bohong.”
Sesaat kemudian, raut wajah Ana kembali biasa saja. Bibir gadis itu tampak manyun karena teringat dengan Ray yang alergi dengan bulu kucing dan ia baru mengetahui hal tersebut dua hari yang lalu saat kucing tetangga masuk ke rumah mereka.
Ray yang saat itu sedang tertidur di sofa ruang keluarga karena kelelahan sehabis olahraga tiba-tiba terbangun dan bersin-bersin karena seekor kucing merangkak naik ke tubuhnya.
Mengingat hal itu sedikit membuat Ana kecewa, karena ia tidak akan pernah bisa memelihara kucing. Padahal sebelum menikah dengan Ray, ia berencana ingin membeli kucing anggora dan memeliharanya.
Entah ini sebuah keberuntungan atau apa, Ana dan Nicho yang baru saja naik ke lantai 3 malah bertemu dengan Ray dan Rahel. Kedua dosen itu sedang berjalan berdampingan dari ujung lorong menuju ke arah mereka. Keempat orang itu saling menatap dari ujung ke ujung dan sama sama hendak memasuki ruangan yang kini berada di tengah lorong itu.
Ana mempercepat langkahnya seraya mengepalkan tangan. Ia juga sengaja mengalihkan pandangannya dari kedua dosen itu seakan tidak mengenal mereka dan langsung masuk ke ruangan bersama dengan Nicho yang berjalan di belakangnya. Ana sebisa mungkin bersikap biasa saja. Sekalipun, ia sudah cukup kesal melihat Ray yang semakin lengket dengan miss Rahel.
Tidak jauh berbeda dengan Ray. Pria itu sempat terkejut melihat Ana dan Nicho kembali bersama. Hanya saja, Ray tidak menunjukkan perubahan apapun. Pria itu cukup ahli dalam mengontrol dirinya.
Ray dan Rahel tiba di depan pintu ruangan jurusan ekonomi itu. Keduanya tampak kebingungan melihat pintu di depan mereka tertutup rapat dan tidak bisa dibuka.
“Ray, kenapa mahasiswamu menyuruhku ikut denganmu ke kelas ini? Terus, kenapa mereka mengunci pintu? Apa kita tidak diizinkan masuk?” tanya Rahel beruntun dan tampak kebingungan.
“Saya juga kurang tau, Ra. Mereka sulit ditebak.” Ray menjawab seraya menekan-nekan handle pintu agar segera terbuka.
“Kita coba dulu. Mungkin kuncinya macet,” lanjut pria itu.
Para mahasiswa laki-laki yang ada di ruangan itu tampak ogah-ogahan mengikuti rencana Tasya dan para mahasiswi lainnya. Mereka hanya diam memperhatikan saat Tasya dan Amel berdiri di balik pintu yang tertutup itu. Tidak lama kemudian, kedua gadis itu memutar sesuatu berukuran kecil yang menempel di daun pintu dan detik selanjutnya pintu tersebut terbuka lebar.
“SUPRISE!” seru para mahasiswi seraya menembakkan party popper ke arah Ray dan Rahel.
Ruangan itu nyaris dipenuhi oleh pernak-pernik party popper yang berserakan di lantai. Sedangkan Ray dan Rahel tampak kebingungan melihat apa yang sedang terjadi di depan mereka.
“Dosen Ray, Miss Rahel, silahkan masuk,” ucap Tasya, sopan dan lembut, yang dibalas oleh Rahel dengan anggukan kecil.
Wajah wanita bertubuh kecil dan berkulit putih itu masih tetap cantik sekalipun sedang dipenuhi oleh raut kebingungan.
Ray dan Rahel perlahan masuk ke ruangan tersebut dan duduk di kursi yang tersedia di sana. Mereka semakin dibuat bingung saat satu persatu mahasiswi datang menghampiri mereka dan mengucapkan selamat seraya memberi berbagai hadiah yang membuat meja di depan mereka terisi penuh.
“Dosen Ray, Miss Rahel, selamat atas hubungan kalian. Kami sangat senang melihat kalian seperti ini dan kami sangat mendukung kalau kalian segera menikah.”
Tepat setelah kata-kata itu selesai terucap dari bibir Tasya yang dilapisi lipstick berwarna merah muda, Ray bangkit dari tempatnya dengan ekspresi terkejut.
Detik selanjutnya, tatapan pria itu tertuju kepada Ana yang duduk di pojok belakang, yang ternyata juga sedang menatapanya dengan lekat dan dalam. Tatapan mereka bertemu, saling mengunci satu sama lain dengan ekspresi yang jelas tidak terlihat santai.
Suara langkah kaki terdengar menuruni satu persatu anak tangga yang memutar hingga berakhir di meja makan setelah melewati beberapa ruangan. Rumah bernuansa putih itu tampak begitu elegan dengan gayanya yang klasik. Dihiasi oleh furniture berkualitas tinggi dan beberapa guci berukuran besar yang pastinya tidak ditemukan di sembarang toko. Arsitekturnya memancarkan kemewahan dengan langit-langit yang tinggi dan jendela yang dilapisi tirai abu-abu. Setiap sudut ruangan itu tampak sangat serasi dan indah. Gadis itu berhenti di depan meja makan mewah yang didominasi oleh warna emas dan memiliki 6 kursi.“Ana, makanlah. Ini masakan pertamaku khusus untukmu.”Suara itu mengalihkan pandangan gadis berpakaian kasual tersebut. Ana lantas menarik sebelah ujung bibirnya, merasa canggung dengan kehadiran Ray. Bagaimanapun, ini pagi pertama mereka setelah menjadi sepasang suami istri dan itu membuatnya merasa canggung.“Makasih.” Satu kata terucap di bibir Ana sebelum ia menarik kursi dan duduk
“Gue serius, guys, Dosen Ray senyumin gue. Tadi gue sengaja lewat dari depan ruangannya dan ternyata tuh dosen lagi duduk-duduk di bawah pohon besar yang ada di depan ruangannya. Awalnya dia mendongak gitu, gak tahu lagi liatin apa, terus gak sengaja tatapan kami ketemu dan dia senyum. Demi apa, hari ini gue bakalan belajar dengan giat dan serius. Dosen Ray harus tahu kalau senyuman dia itu udah memotivasi gue untuk belajar. Gue harus buat dia bangga sama IPK gue nanti.” Tidak berhenti di lorong, Dinda terus melanjutkan ceritanya sampai ke dalam kelas dan kali ini tidak lagi bercerita kepada Ana, melainkan kepada Balqis, Roy dan juga Agung. Sayangnya, ketiga orang itu tidak menggubris ke antusiasan Dinda. Mereka hanya mengulum senyum sesekali dan tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tampak jelas kalau mereka sedang malas mendengarkan curhatan, lebih tepatnya karangan Dinda yang menurut mereka tidak benar dan sangat kentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Ayolah, siapa juga ya
Tinggi, pintar, tegas dan rapi. Ana baru menyadari kalau suaminya se-perfect itu. Tatapannya tegas, kata-katanya tak terbantah dan suara baritonnya yang khas membuat Ana sedikit kesulitan untuk fokus. Sampai-sampai, Ray berkali-kali menyindirnya yang banyak melamun di pertemuan pertama ini. Tidak terasa, kelas yang dibawakan oleh Ray akan segera berakhir. Dosen tampan itu telah selesai menjelaskan materi dan para mahasiswa juga telah menyelesaikan tugas mereka. Ray kini sedang mengabsen satu persatu mahasiswanya, membuat suasana di ruangan itu tampak sedikit riuh. “Agus Bagaskara.” Ray sudah memanggil nama yang ada di urutan ke 20. “Saya, Pak.” “Dinda Ajni.”“Saya, Pak.” Gadis berkemeja hitam yang tadi merasa disenyumi oleh Ray menatap dosen itu dengan rasa kagum yang amat kentara. “Listyana Wuri.” Kali ini, Ray menyerukan nama istri rahasianya.“Saya, Pak.” “Nicholas Anderson.” Ray mengedarkan pandangannya mencari-cari pemilik nama tersebut. “Nicholas Anderson.” Ray me
“Nasi uduknya enak, kamu beli dimana?” Ana tidak lagi menunggu suapan demi suapan dari Ray, melainkan menyuap sendiri makanan khas Betawi yang sangat populer dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jakarta itu. “Minum dulu, An.” Ray menyodorkan segelas air yang baru saja ia ambil dari dispenser yang tersedia di ruangan itu. “Saya beli di tempat yang kamu bilang tadi. Kalau beli tempat lain takutnya kamu gak suka,” sahut pria itu, kemudian.“Makasih ya, kamu jadi repot gara-gara aku. Lain kali kamu gak harus gini juga.”“Gak masalah. Saya malah senang kalau kamu minta sesuatu ke saya.” Ray menatap wajah cantik istrinya.Ana yang mendengar pernyataan tersebut hanya membalas dengan sebuah anggukan kecil.Ray sadar kalau Ana masih merasa sungkan. Gadis itu bahkan tidak berani membalas tatapannya secara terang-terangan. Beberapa menit kemudian, meja yang ada di hadapan sepasang suami istri itu telah kosong. Bungkus-bungkus makanan telah mereka bersihkan dan dibuang pada tempatnya. Ray
Langit yang tadinya cerah kini berubah gelap ditaburi bintang yang nampak begitu indah dan menenangkan. Siapapun pasti akan terpana melihat keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu, tidak terkecuali sosok Ana yang tengah bersantai menikmati hembusan angin dan merenungi langit malam dari balkon kamarnya.Ana duduk di sebuah kursi rotan yang berada di sisi kiri balkon dengan pikiran yang sedang menerawang jauh seraya menatap langit. Gadis itu tampak dilema dan banyak pikiran. “Ini malam kedua aku dan Ray menjadi pasangan suami istri. Semuanya benar-benar tidak terduga. Entah aku harus bersyukur atau apa, rasanya ada banyak hal yang harus ku korbankan karena pernikahan ini. Andai saja waktu itu aku dan Ratna tidak pergi ke tempat itu, semua ini pasti tidak akan terjadi.” Ana menghela napas berat, menyesali kecerobohannya hanya untuk kesenangan sesaat. “Apa aku pantas menyalahkan Ray atas semua yang terjadi?” Mengalihkan pandangannya kepada segelas air hangat yang mungkin telah sejuk, Ana
Tersadar akan posisi mereka yang kurang aman, Ana buru-buru melepas cekalan tangan Ray dari lengannya dan segera pindah ke sofa yang ada di seberang meja. Ana meneguk salivanya kasar. Atmosfer di ruangan itu terasa menipis hingga membuatnya gerah dan sesak. Tidak jauh berbeda dari Ana, Ray juga langsung menyibukkan diri dengan pura-pura merapikan rambutnya yang memang sedikit berantakan. Ray bahkan merasa telingannya memanas dan wajahnya memerah menahan malu yang tiba-tiba menghinggap di hatinya. Melihat Ana hendak beranjak dari tempatnya, Ray langsung menghentikan gadis itu dengan pernyataannya. “Ana, saya tau kamu belum bisa menerima semua ini. Pernikahan kita, saya tau kamu sangat tidak menginginkannya. Kamu mungkin beranggapan kalau saya pria paling jahat yang sudah merusak hidup dan masa depanmu.” Ray berhenti sejenak, melihat reaksi Ana atas perkataannya. “Kamu boleh menyalahkan saya atas semua yang terjadi, sekalipun kita sama-sam
Jam kosong tiba. Mengubah suasana kelas yang tenang menjadi riuh kala dosen yang mengajar telah pergi meninggalkan ruangan. Para mahasiswa juga demikian, segera keluar untuk menghirup udara segar atau mencari kesenangan lain yang dapat meredakan penat di kepala mereka.Sementara itu, para mahasiswi yang merupakan fans dari seorang Ray, kini bersorak heboh setelah beberapa jam menahan diri untuk tetap tenang selama proses belajar berlangsung setelah mendengar cerita dari Tasya dan Amel. Tampaknya, kedua sejoli itu telah berhasil menyebar berita yang paling ditunggu-tunggu oleh seantero kampus.“Tasya, lo harus ceritain ke gue semua yang lo tau tentang Dosen Ray. Gue gak mau tau.” Dinda dengan heboh menghampiri Tasya.Padahal biasanya gadis berkulit sawo matang itu paling anti berdekatan dengan Tasya dan Amel. Mereka sudah seperti musuh bebuyutan yang selalu cekcok hanya karena hal sepele.“Iya, Tas. Gue mau denger juga. Kalau benar Dosen Ray dan Miss Rahel jadian, kita harus ngerayain
Puluhan pasang mata tertuju pada kedua dosen itu. Bisikan demi bisikan terus mengalir seiring dengan datang dan perginya Ray dan Rahel dari tempat tersebut. Kedua dosen yang dirumorkan sedang berkencan itu pergi setelah menghabiskan minuman mereka tanpa menghiraukan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh para mahasiswa pada mereka.Tidak lama setelah itu, Ana dan teman-temannya juga tampak bergegas meninggalkan kantin. Selanjutnya, mereka naik ke lantai 3 untuk kembali mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh Pak Syamsuddin, atau yang sering disapa dengan Pak Syam.Tidak terasa, kelas tersebut akhirnya selesai dan dilanjutkan oleh mata kuliah lain yang dibawakan oleh dosen lain yang usianya sudah cukup tua. Mungkin, tidak lama lagi beliau akan segera pensiun. Lagi-lagi, para mahasiswa dengan tertib menyelesaikan perkuliahan tersebut hingga tibalah saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Para mahasiswa dari berbagai kelas tampak meninggalkan ruangan mereka, tapi tid
Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray y
Langit sudah gelap dan Ana mulai merasa keroncongan menahan lapar. Tapi gadis itu tidak ambil pusing, karena Nicho akan segera datang mengantarkan makanan untuknya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada gadis itu, karena satu jam yang lalu Nicho menghubunginya dan menanyakan apakah Ana ingin makan sesuatu atau tidak, karena ia sedang luar membeli makanan untuk kedua orangtuanya. Alhasil, Ana memberitahu makanan apa yang sedang ingin ia makan tanpa rasa sungkan. Lebih tepatnya, ia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi. “Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak,” imbuhnya, pada Ray yang entah sedang dimana. Tidak lama kemudian, bell di rumah mewah itu terdengar hingga ke ruang tamu, sehingga Ana lekas-lekas beranjak dari sofa dan menyambut kedatangan Nicho dengan senyum mengembang. Ternyata, Nicho sangat pandai dalam mencari alamat rumahnya yang sekarang. Pintu terbuka. Sepasang mantan kekasih itu refleks saling melempar senyum terba
Puluhan pasang mata tertuju pada kedua dosen itu. Bisikan demi bisikan terus mengalir seiring dengan datang dan perginya Ray dan Rahel dari tempat tersebut. Kedua dosen yang dirumorkan sedang berkencan itu pergi setelah menghabiskan minuman mereka tanpa menghiraukan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh para mahasiswa pada mereka.Tidak lama setelah itu, Ana dan teman-temannya juga tampak bergegas meninggalkan kantin. Selanjutnya, mereka naik ke lantai 3 untuk kembali mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh Pak Syamsuddin, atau yang sering disapa dengan Pak Syam.Tidak terasa, kelas tersebut akhirnya selesai dan dilanjutkan oleh mata kuliah lain yang dibawakan oleh dosen lain yang usianya sudah cukup tua. Mungkin, tidak lama lagi beliau akan segera pensiun. Lagi-lagi, para mahasiswa dengan tertib menyelesaikan perkuliahan tersebut hingga tibalah saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Para mahasiswa dari berbagai kelas tampak meninggalkan ruangan mereka, tapi tid
Jam kosong tiba. Mengubah suasana kelas yang tenang menjadi riuh kala dosen yang mengajar telah pergi meninggalkan ruangan. Para mahasiswa juga demikian, segera keluar untuk menghirup udara segar atau mencari kesenangan lain yang dapat meredakan penat di kepala mereka.Sementara itu, para mahasiswi yang merupakan fans dari seorang Ray, kini bersorak heboh setelah beberapa jam menahan diri untuk tetap tenang selama proses belajar berlangsung setelah mendengar cerita dari Tasya dan Amel. Tampaknya, kedua sejoli itu telah berhasil menyebar berita yang paling ditunggu-tunggu oleh seantero kampus.“Tasya, lo harus ceritain ke gue semua yang lo tau tentang Dosen Ray. Gue gak mau tau.” Dinda dengan heboh menghampiri Tasya.Padahal biasanya gadis berkulit sawo matang itu paling anti berdekatan dengan Tasya dan Amel. Mereka sudah seperti musuh bebuyutan yang selalu cekcok hanya karena hal sepele.“Iya, Tas. Gue mau denger juga. Kalau benar Dosen Ray dan Miss Rahel jadian, kita harus ngerayain
Tersadar akan posisi mereka yang kurang aman, Ana buru-buru melepas cekalan tangan Ray dari lengannya dan segera pindah ke sofa yang ada di seberang meja. Ana meneguk salivanya kasar. Atmosfer di ruangan itu terasa menipis hingga membuatnya gerah dan sesak. Tidak jauh berbeda dari Ana, Ray juga langsung menyibukkan diri dengan pura-pura merapikan rambutnya yang memang sedikit berantakan. Ray bahkan merasa telingannya memanas dan wajahnya memerah menahan malu yang tiba-tiba menghinggap di hatinya. Melihat Ana hendak beranjak dari tempatnya, Ray langsung menghentikan gadis itu dengan pernyataannya. “Ana, saya tau kamu belum bisa menerima semua ini. Pernikahan kita, saya tau kamu sangat tidak menginginkannya. Kamu mungkin beranggapan kalau saya pria paling jahat yang sudah merusak hidup dan masa depanmu.” Ray berhenti sejenak, melihat reaksi Ana atas perkataannya. “Kamu boleh menyalahkan saya atas semua yang terjadi, sekalipun kita sama-sam
Langit yang tadinya cerah kini berubah gelap ditaburi bintang yang nampak begitu indah dan menenangkan. Siapapun pasti akan terpana melihat keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu, tidak terkecuali sosok Ana yang tengah bersantai menikmati hembusan angin dan merenungi langit malam dari balkon kamarnya.Ana duduk di sebuah kursi rotan yang berada di sisi kiri balkon dengan pikiran yang sedang menerawang jauh seraya menatap langit. Gadis itu tampak dilema dan banyak pikiran. “Ini malam kedua aku dan Ray menjadi pasangan suami istri. Semuanya benar-benar tidak terduga. Entah aku harus bersyukur atau apa, rasanya ada banyak hal yang harus ku korbankan karena pernikahan ini. Andai saja waktu itu aku dan Ratna tidak pergi ke tempat itu, semua ini pasti tidak akan terjadi.” Ana menghela napas berat, menyesali kecerobohannya hanya untuk kesenangan sesaat. “Apa aku pantas menyalahkan Ray atas semua yang terjadi?” Mengalihkan pandangannya kepada segelas air hangat yang mungkin telah sejuk, Ana
“Nasi uduknya enak, kamu beli dimana?” Ana tidak lagi menunggu suapan demi suapan dari Ray, melainkan menyuap sendiri makanan khas Betawi yang sangat populer dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jakarta itu. “Minum dulu, An.” Ray menyodorkan segelas air yang baru saja ia ambil dari dispenser yang tersedia di ruangan itu. “Saya beli di tempat yang kamu bilang tadi. Kalau beli tempat lain takutnya kamu gak suka,” sahut pria itu, kemudian.“Makasih ya, kamu jadi repot gara-gara aku. Lain kali kamu gak harus gini juga.”“Gak masalah. Saya malah senang kalau kamu minta sesuatu ke saya.” Ray menatap wajah cantik istrinya.Ana yang mendengar pernyataan tersebut hanya membalas dengan sebuah anggukan kecil.Ray sadar kalau Ana masih merasa sungkan. Gadis itu bahkan tidak berani membalas tatapannya secara terang-terangan. Beberapa menit kemudian, meja yang ada di hadapan sepasang suami istri itu telah kosong. Bungkus-bungkus makanan telah mereka bersihkan dan dibuang pada tempatnya. Ray
Tinggi, pintar, tegas dan rapi. Ana baru menyadari kalau suaminya se-perfect itu. Tatapannya tegas, kata-katanya tak terbantah dan suara baritonnya yang khas membuat Ana sedikit kesulitan untuk fokus. Sampai-sampai, Ray berkali-kali menyindirnya yang banyak melamun di pertemuan pertama ini. Tidak terasa, kelas yang dibawakan oleh Ray akan segera berakhir. Dosen tampan itu telah selesai menjelaskan materi dan para mahasiswa juga telah menyelesaikan tugas mereka. Ray kini sedang mengabsen satu persatu mahasiswanya, membuat suasana di ruangan itu tampak sedikit riuh. “Agus Bagaskara.” Ray sudah memanggil nama yang ada di urutan ke 20. “Saya, Pak.” “Dinda Ajni.”“Saya, Pak.” Gadis berkemeja hitam yang tadi merasa disenyumi oleh Ray menatap dosen itu dengan rasa kagum yang amat kentara. “Listyana Wuri.” Kali ini, Ray menyerukan nama istri rahasianya.“Saya, Pak.” “Nicholas Anderson.” Ray mengedarkan pandangannya mencari-cari pemilik nama tersebut. “Nicholas Anderson.” Ray me
“Gue serius, guys, Dosen Ray senyumin gue. Tadi gue sengaja lewat dari depan ruangannya dan ternyata tuh dosen lagi duduk-duduk di bawah pohon besar yang ada di depan ruangannya. Awalnya dia mendongak gitu, gak tahu lagi liatin apa, terus gak sengaja tatapan kami ketemu dan dia senyum. Demi apa, hari ini gue bakalan belajar dengan giat dan serius. Dosen Ray harus tahu kalau senyuman dia itu udah memotivasi gue untuk belajar. Gue harus buat dia bangga sama IPK gue nanti.” Tidak berhenti di lorong, Dinda terus melanjutkan ceritanya sampai ke dalam kelas dan kali ini tidak lagi bercerita kepada Ana, melainkan kepada Balqis, Roy dan juga Agung. Sayangnya, ketiga orang itu tidak menggubris ke antusiasan Dinda. Mereka hanya mengulum senyum sesekali dan tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tampak jelas kalau mereka sedang malas mendengarkan curhatan, lebih tepatnya karangan Dinda yang menurut mereka tidak benar dan sangat kentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Ayolah, siapa juga ya