Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.
Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.
“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.
“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray yang tampak begitu rapi dan tampan.
“Gimana kalau kamu pastiin lagi. Kalau memang dia gak bisa jemput kamu, mending kita berangkat bareng.” Kedua belah sepatu telah terpasang sempurna di kaki jenjang Ray.
Pria jangkung itu kemudian mengambil tasnya dari genggaman Ana.
“Udah lah, Ray. Kamu pergi aja. Temanku bukan cuma Ratna. Aku pasti sampai ke kampus tepat waktu,” ujar Ana, penuh penekanan.
“Baiklah. Kalau begitu saya pergi dulu. Sampai ketemu di kampus.”
“Hm.”
Ray perlahan pergi meninggalkan pekarangan rumah bergaya klasik itu mengendari mobil hitamnya yang tampak mengkilat seperti baru.
Sementara itu, Ana bergegas mengambil ponselnya dan menghubungi Nicho.
“Kamu udah dimana? Aku udah nungguin loh.”
“Otw, kamu tunggu bentar ya.”
Sambungan telepon terputus dan Ana kembali menyimpan ponselnya, lalu segera mengambil tas dan beberapa buku berukuran besar dan tebal dari atas meja. Gadis itu sengaja tidak menyimpan buku-buku itu ke dalam tas, karena selain besar, buku-buku itu juga berat dan ia tidak mau menumpahkan semua beban itu pada bahunya.
Beberapa menit menunggu, tanda-tanda kehadiran Nicho mulai muncul. Mobil pria itu mulai terlihat mendekati gerbang utama rumah Ana. Melihat hal itu, Ana lantas bergegas menuju gerbang dan segera masuk ke mobil Nicho begitu mobil tersebut berhenti melaju.
Nicho kembali menginjak pedal gas dan mobil kembali melaju.
“Cantik banget hari ini.”
“Makasih, tapi aku memang selalu cantik,” sahut Ana, narsis.
“Kamu udah sarapan?” tanya pria itu, menatap Ana sekilas.
“Udah dong.” Di tanya seperti itu, Ana jadi teringat dengan Ray yang sengaja ia bohongi.
Ana tidak peduli jika nantinya pria itu akan marah saat tahu ia telah dibohongi. Toh, Ray lah yang lebih dulu bermain api dan merusak hubungan mereka yang sejak awal memang tidak begitu baik. Ana hanya mengikuti permainan Ray dan mencoba memperbaiki hubungannya dengan Nicho yang sempat renggang. Tidak ada salahnya berhubungan baik dengan mantan, bukan?
Hampir setangah jam perjalanan, mobil sport putih yang dikemudi oleh Nicho perlahan tampak memasuki area kampus. Para mahasiswa tampak berlalu lalang di setiap sudut kampus tersebut karena jam mata kuliah pertama akan segera dimulai, jadi tidak heran kalau para mahasiswa tampak bergegas menuju kelas mereka masing-masing.
Ana dan Nicho kompak menuju kelas mereka yang berada di lantai 3 sambil berbincang-bincang dan sesekali tertawa saat pria itu mengatakan sesuatu yang menggelitik. Nicho tampak begitu keren dalam balutan kaos hitam yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak perpaduan warna hitam dan merah yang kancingnya dibiarkan terbuka dan lengannya yang panjang di tarik hingga siku. Begitupun dengan Ana yang hari ini tampak begitu stylish dan anggun. Gadis itu memadukan celana cutbray dengan atasan putih yang dilapisi dengan kemeja croptop bermotif kota-kota hitam putih.
“An, lo masih ingat gak waktu itu kita pernah hujan-hujanan pulang dari Tangerang dan di tengah jalan kita berhenti karna mau nyelamatin kucing yang hampir ketabrak mobil?”
“Ingat dong. Kita cape-cape nyelametin dan berniat mau bawa kucing itu pulang, eh pemiliknya malah datang dan marah-marah nuduh kita nabrak kucingnya. Sial banget waktu. Gue sampek trauma mau bantuin kucing di jalanan. Takut dibuat malu lagi,” timpal Ana, kembali mengenang masa lalu mereka.
“Kemarin gue ketemu lagi sama ibu-ibu itu. Dia nyapa gue waktu nemenin nyokab ke tanah abang.”
“Seriusan lo?”
“Serius. Ibu itu juga nanyain lo. Katanya, dia mau ngasih kucingnya sama lo kalau kalian ketemu lagi.”
“Beneran?” Ana tampak antusias.
“Benerlah, Masa iya gue bohong.”
Sesaat kemudian, raut wajah Ana kembali biasa saja. Bibir gadis itu tampak manyun karena teringat dengan Ray yang alergi dengan bulu kucing dan ia baru mengetahui hal tersebut dua hari yang lalu saat kucing tetangga masuk ke rumah mereka.
Ray yang saat itu sedang tertidur di sofa ruang keluarga karena kelelahan sehabis olahraga tiba-tiba terbangun dan bersin-bersin karena seekor kucing merangkak naik ke tubuhnya.
Mengingat hal itu sedikit membuat Ana kecewa, karena ia tidak akan pernah bisa memelihara kucing. Padahal sebelum menikah dengan Ray, ia berencana ingin membeli kucing anggora dan memeliharanya.
Entah ini sebuah keberuntungan atau apa, Ana dan Nicho yang baru saja naik ke lantai 3 malah bertemu dengan Ray dan Rahel. Kedua dosen itu sedang berjalan berdampingan dari ujung lorong menuju ke arah mereka. Keempat orang itu saling menatap dari ujung ke ujung dan sama sama hendak memasuki ruangan yang kini berada di tengah lorong itu.
Ana mempercepat langkahnya seraya mengepalkan tangan. Ia juga sengaja mengalihkan pandangannya dari kedua dosen itu seakan tidak mengenal mereka dan langsung masuk ke ruangan bersama dengan Nicho yang berjalan di belakangnya. Ana sebisa mungkin bersikap biasa saja. Sekalipun, ia sudah cukup kesal melihat Ray yang semakin lengket dengan miss Rahel.
Tidak jauh berbeda dengan Ray. Pria itu sempat terkejut melihat Ana dan Nicho kembali bersama. Hanya saja, Ray tidak menunjukkan perubahan apapun. Pria itu cukup ahli dalam mengontrol dirinya.
Ray dan Rahel tiba di depan pintu ruangan jurusan ekonomi itu. Keduanya tampak kebingungan melihat pintu di depan mereka tertutup rapat dan tidak bisa dibuka.
“Ray, kenapa mahasiswamu menyuruhku ikut denganmu ke kelas ini? Terus, kenapa mereka mengunci pintu? Apa kita tidak diizinkan masuk?” tanya Rahel beruntun dan tampak kebingungan.
“Saya juga kurang tau, Ra. Mereka sulit ditebak.” Ray menjawab seraya menekan-nekan handle pintu agar segera terbuka.
“Kita coba dulu. Mungkin kuncinya macet,” lanjut pria itu.
Para mahasiswa laki-laki yang ada di ruangan itu tampak ogah-ogahan mengikuti rencana Tasya dan para mahasiswi lainnya. Mereka hanya diam memperhatikan saat Tasya dan Amel berdiri di balik pintu yang tertutup itu. Tidak lama kemudian, kedua gadis itu memutar sesuatu berukuran kecil yang menempel di daun pintu dan detik selanjutnya pintu tersebut terbuka lebar.
“SUPRISE!” seru para mahasiswi seraya menembakkan party popper ke arah Ray dan Rahel.
Ruangan itu nyaris dipenuhi oleh pernak-pernik party popper yang berserakan di lantai. Sedangkan Ray dan Rahel tampak kebingungan melihat apa yang sedang terjadi di depan mereka.
“Dosen Ray, Miss Rahel, silahkan masuk,” ucap Tasya, sopan dan lembut, yang dibalas oleh Rahel dengan anggukan kecil.
Wajah wanita bertubuh kecil dan berkulit putih itu masih tetap cantik sekalipun sedang dipenuhi oleh raut kebingungan.
Ray dan Rahel perlahan masuk ke ruangan tersebut dan duduk di kursi yang tersedia di sana. Mereka semakin dibuat bingung saat satu persatu mahasiswi datang menghampiri mereka dan mengucapkan selamat seraya memberi berbagai hadiah yang membuat meja di depan mereka terisi penuh.
“Dosen Ray, Miss Rahel, selamat atas hubungan kalian. Kami sangat senang melihat kalian seperti ini dan kami sangat mendukung kalau kalian segera menikah.”
Tepat setelah kata-kata itu selesai terucap dari bibir Tasya yang dilapisi lipstick berwarna merah muda, Ray bangkit dari tempatnya dengan ekspresi terkejut.
Detik selanjutnya, tatapan pria itu tertuju kepada Ana yang duduk di pojok belakang, yang ternyata juga sedang menatapanya dengan lekat dan dalam. Tatapan mereka bertemu, saling mengunci satu sama lain dengan ekspresi yang jelas tidak terlihat santai.
Ruangan kelas seketika hening saat Ray bangkit dari kursinya dengan ekspresi yang tidak santai. Dosen titisan kutub itu langsung melayangkan tatapan elangnya kepada Tasya, Amel dan seluruh penghuni kelas. Ray nampak jelas menahan emosi. “Siapa yang meminta kalian melakukan semua ini?” desis pria itu, tajam. Sementara Rahel masih tampak bingung dan sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Tasya barusan. “Maaf, Dosen Ray. Ini semua inisiatif kami karena kami sangat senang Dosen Ray dan Miss Rahel akhirnya berkencan. Kami melakukan semua ini dengan tulus dan berharap kalian akan terus bersama,” imbuh Tasya, mulai merasa takut melihat ekspresi marah dosennya itu. “Kami mohon maaf kalau ternyata apa yang kami lakukan ini salah." Amel mengulum bibirnya membentuk sebuah garis lurus. “Saya tidak perlu permohonan maaf kalian. Saya pikir, apa yang kalian lakukan ini sudah kelewat batas. Memangnya kalian tahu pasti kalau saya dan Miss Rahel memiliki hubungan khusus? Memang
“Bagus, Ana, bagus. Teruslah benci saya tanpa sebab.” Setelah berujar demikian, Ray mundur satu langkah menjauhi Ana seraya mengusap wajahnya kasar. “Tanpa sebab? Okey, teruslah berpikir kalau aku membencimu tanpa sebab, Ray!” “Mulai sekarang, kamu tidak perlu peduli padaku lagi. Lakukan apapun yang kamu mau dan aku juga akan melakukan apapun yang ku mau. Persetan dengan orang ketiga yang katamu gak boleh masuk dalam hubungan kita!” lanjut Ana, sedikit keras. “Okay, silahkan. Saya juga tidak akan peduli lagi pada pembohong sepertimu!” bentak Ray. Kedua bola mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Sungguh, Ana tidak menyangka Ray akan semarah ini. Andai saja Ray tahu, ia tidak akan bersikap sejauh ini kalau bukan Ray yang lebih dulu bermain api di belakangnya. Tapi sepertinya, pria itu sama sekali tidak menyadari kesalahan yang telah ia lakukan. “Kalau kamu benar-benar berniat merusak pernikahan ini dengan kembali bersama Nicho, silahkan. Saya tidak akan halangi. Kamu bebas memilih
Siapa yang tidak suka bolos? Mungkin sebagian dari mahasiswa sangat menyukai hal tersebut. Bahkan, tidak sedikit juga yang rela pura-pura sakit agar bisa menghindari tugas atau dosen yang akan mengajar di kelas saat itu. Namun berbeda dengan Ana yang semakin merana karena sengaja bolos untuk menghindari berbagai pertanyaan teman-temannya. Bagaimana tidak, Ana sendiri saja sangat syok melihat wajahnya yang terlihat bengkak dan jelek karena kebanyakan menangis, apa lagi teman-temannya. Mereka pasti heran dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi padanya. Sungguh, Ana belum bisa menerima serangan pertanyaan rudal yang mungkin akan ditujukan kepadanya. Terlebih lagi, dosen yang mengajar kali ini adalah miss Rahel, yang membuatnya semakin membulatkan tekat untuk bolos. Setelah seharian mengurung diri di dalam kamar, Ana akhirnya bangkit dari tempat tidur dan turun ke lantai dasar untuk mencari sesuatu yang bisa ia makan. Sungguh, ia merasa sangat lapar dan kepalanya terasa pusing, sepe
“Ana, bangun, An. Ana, sadar.” Ray panik, buru-buru mengangkat tubuh Ana yang terkulai lemas ke atas tempat tidur. “Ana, kamu dengar suaraku? Tolong sadarlah, An.” Ray menepuk-nepuk lembut pipi Ana agar gadis itu segera membuka matanya. Ray bingung. Bertanya-tanya apa yang telah terjadi kepada gadis itu. Seraya berupaya menyadarkan Ana, Ray mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada kaleng-kaleng dan kotak minuman yang ada di atas meja depan sofa. “Kita harus ke rumah sakit sekarang.”Tidak buang-buang waktu, Ray langsung menggendong Ana ala bridal style dan membawa gadis itu keluar kamar. Sepertinya, Ray mulai tahu apa yang sedang terjadi kepada istrinya itu.Takut, cemas dan khawatir menjadi satu memenuhi perasaan dan tubuh Ray. Dengan rasa gelisah, ia mengendari mobil dan membelah kegelapan malam agar segera sampai ke rumah sakit terdekat. Ray yang sedang mengemudi sesekali menoleh ke belakang, melihat Ana yang terkulai lemas di ba
Ray kembali memasuki ruangan serba putih itu setelah kembali dari rumah mengambil ponsel dan perlengkapan yang mungkin akan dibutuhkan oleh Ana. Kali ini, pria itu tidak datang sendiri, melainkan bersama kedua orangtua Ana yang juga baru tiba. Ray sudah mewanti-wanti dirinya akan menerima amarah dari keluarga Ana, tapi hal itu tidak kunjung terjadi setelah hampir setengah jam mereka berada di ruangan tersebut.“Ray, kamu sudah makan malam, Nak?” Lela, mama Ana, mendekati Ray yang duduk di sofa sudut lalu ikut bergabung bersama pria itu sebelum melontarkan pertanyaan. “Sudah, Ma, tadi sore di kantin kampus.”Ray kembali khawatir, takut mama mertuanya bertanya lebih lanjut.“Kamu gak perlu takut. Kami tidak akan menyalahkan kamu atas apa yang terjadi pada Ana. Ini bukan yang pertama kalinya dia seperti ini, tapi mungkin ini yang paling parah. Sejak kecil, Ana memang susah diatur dalam urusan makan, hingga membuatnya terkena mag dan jadi separah ini.”Ray menatap wajah mertuany
Setelah mengenakan pakaiannya, Ray kembali melirik Ana yang sedang memainkan ponsel. Gadis itu tampak asik dengan benda pipih itu sehingga tidak menyadari kehadirannya. Lebih tepatnya, Ana sengaja mengabaikan Ray karena masih kesal pada pria itu. Ray berhemem, membasahi tenggorokannya yang kering lalu berdiri di samping kanan ranjang.“Berhenti main ponsel. Kamu harus istrirahat,” ujarnya tegas, lalu mengambil ponsel tersebut dari tangan Ana. “Ray, apa-apaan sih kamu? Balikin!” “Kamu harus istirahat.” Ulang Ray lagi, penuh penekanan. “Gak mau. Balikin dulu ponsel aku.” “Nggak.”“Balikin, Ray.”“Gak. Kamu istirahat dulu.”Ana menghembuskan napas kasar. Kedua tangannya terkepal kuat melihat kelakuan Ray. Pria itu mengabaikannya. “Menyebalkan,” gerutu Ana seraya memalingkan wajahnya.Bertepatan dengan Ana dan Ray yang saling mengabaikan, pintu di ruangan itu tampak terbuka dan menampilkan dua sosok yang begitu Ana kenal. Sontak, senyum di wajah gadis itu mengembang sempurn
Beberapa hari telah berlalu sejak Ana kembali dari rumah sakit. Kini, kondisi gadis itu benar-benar pulih dan kembali fit. Ana dan Ray juga kembali melanjutkan aktivitas mereka sebagai dosen dan mahasiswi. Mereka pergi dan pulang bersama ke tempat tujuan yang sama pula, yaitu rumah dan kampus yang menjadi saksi bisu hubungan mereka yang seperti roller coaster, naik turun yang menimbulkan rasa takut juga menyenangkan. Langit sore tampak begitu indah dari biasanya, entah itu hanya perasaan Ana saja atau apa, yang jelas kini senyum gadis itu tampak indah menghiasi wajahnya yang cantik dan mulus berseri. Ray yang sedang menyetir bahkan juga ikut tersenyum melihat hal tersebut. Pikiran Ana lagi-lagi melayang mengingat percakapannya dengan Sasa beberapa waktu lalu saat di rumah sakit. Pertanyaan Sasa mengenai apakah dirinya tidak merasa beruntung menikah dengan Ray kembali Ana tanyakan pada dirinya sendiri. Jujur saja, Ana mulai merasa sedikit bangga dan beruntung, setelah tadi ia lagi
Suara langkah kaki terdengar menuruni satu persatu anak tangga yang memutar hingga berakhir di meja makan setelah melewati beberapa ruangan. Rumah bernuansa putih itu tampak begitu elegan dengan gayanya yang klasik. Dihiasi oleh furniture berkualitas tinggi dan beberapa guci berukuran besar yang pastinya tidak ditemukan di sembarang toko. Arsitekturnya memancarkan kemewahan dengan langit-langit yang tinggi dan jendela yang dilapisi tirai abu-abu. Setiap sudut ruangan itu tampak sangat serasi dan indah. Gadis itu berhenti di depan meja makan mewah yang didominasi oleh warna emas dan memiliki 6 kursi. “Ana, makanlah. Ini masakan pertamaku khusus untukmu.” Suara itu mengalihkan pandangan gadis berpakaian kasual tersebut. Ana lantas menarik sebelah ujung bibirnya, merasa canggung dengan kehadiran Ray. Bagaimanapun, ini pagi pertama mereka setelah menjadi sepasang suami istri dan itu membuatnya merasa canggung. “Makasih.” Satu kata terucap di bibir Ana sebelum ia menarik kurs
Beberapa hari telah berlalu sejak Ana kembali dari rumah sakit. Kini, kondisi gadis itu benar-benar pulih dan kembali fit. Ana dan Ray juga kembali melanjutkan aktivitas mereka sebagai dosen dan mahasiswi. Mereka pergi dan pulang bersama ke tempat tujuan yang sama pula, yaitu rumah dan kampus yang menjadi saksi bisu hubungan mereka yang seperti roller coaster, naik turun yang menimbulkan rasa takut juga menyenangkan. Langit sore tampak begitu indah dari biasanya, entah itu hanya perasaan Ana saja atau apa, yang jelas kini senyum gadis itu tampak indah menghiasi wajahnya yang cantik dan mulus berseri. Ray yang sedang menyetir bahkan juga ikut tersenyum melihat hal tersebut. Pikiran Ana lagi-lagi melayang mengingat percakapannya dengan Sasa beberapa waktu lalu saat di rumah sakit. Pertanyaan Sasa mengenai apakah dirinya tidak merasa beruntung menikah dengan Ray kembali Ana tanyakan pada dirinya sendiri. Jujur saja, Ana mulai merasa sedikit bangga dan beruntung, setelah tadi ia lagi
Setelah mengenakan pakaiannya, Ray kembali melirik Ana yang sedang memainkan ponsel. Gadis itu tampak asik dengan benda pipih itu sehingga tidak menyadari kehadirannya. Lebih tepatnya, Ana sengaja mengabaikan Ray karena masih kesal pada pria itu. Ray berhemem, membasahi tenggorokannya yang kering lalu berdiri di samping kanan ranjang.“Berhenti main ponsel. Kamu harus istrirahat,” ujarnya tegas, lalu mengambil ponsel tersebut dari tangan Ana. “Ray, apa-apaan sih kamu? Balikin!” “Kamu harus istirahat.” Ulang Ray lagi, penuh penekanan. “Gak mau. Balikin dulu ponsel aku.” “Nggak.”“Balikin, Ray.”“Gak. Kamu istirahat dulu.”Ana menghembuskan napas kasar. Kedua tangannya terkepal kuat melihat kelakuan Ray. Pria itu mengabaikannya. “Menyebalkan,” gerutu Ana seraya memalingkan wajahnya.Bertepatan dengan Ana dan Ray yang saling mengabaikan, pintu di ruangan itu tampak terbuka dan menampilkan dua sosok yang begitu Ana kenal. Sontak, senyum di wajah gadis itu mengembang sempurn
Ray kembali memasuki ruangan serba putih itu setelah kembali dari rumah mengambil ponsel dan perlengkapan yang mungkin akan dibutuhkan oleh Ana. Kali ini, pria itu tidak datang sendiri, melainkan bersama kedua orangtua Ana yang juga baru tiba. Ray sudah mewanti-wanti dirinya akan menerima amarah dari keluarga Ana, tapi hal itu tidak kunjung terjadi setelah hampir setengah jam mereka berada di ruangan tersebut.“Ray, kamu sudah makan malam, Nak?” Lela, mama Ana, mendekati Ray yang duduk di sofa sudut lalu ikut bergabung bersama pria itu sebelum melontarkan pertanyaan. “Sudah, Ma, tadi sore di kantin kampus.”Ray kembali khawatir, takut mama mertuanya bertanya lebih lanjut.“Kamu gak perlu takut. Kami tidak akan menyalahkan kamu atas apa yang terjadi pada Ana. Ini bukan yang pertama kalinya dia seperti ini, tapi mungkin ini yang paling parah. Sejak kecil, Ana memang susah diatur dalam urusan makan, hingga membuatnya terkena mag dan jadi separah ini.”Ray menatap wajah mertuany
“Ana, bangun, An. Ana, sadar.” Ray panik, buru-buru mengangkat tubuh Ana yang terkulai lemas ke atas tempat tidur. “Ana, kamu dengar suaraku? Tolong sadarlah, An.” Ray menepuk-nepuk lembut pipi Ana agar gadis itu segera membuka matanya. Ray bingung. Bertanya-tanya apa yang telah terjadi kepada gadis itu. Seraya berupaya menyadarkan Ana, Ray mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada kaleng-kaleng dan kotak minuman yang ada di atas meja depan sofa. “Kita harus ke rumah sakit sekarang.”Tidak buang-buang waktu, Ray langsung menggendong Ana ala bridal style dan membawa gadis itu keluar kamar. Sepertinya, Ray mulai tahu apa yang sedang terjadi kepada istrinya itu.Takut, cemas dan khawatir menjadi satu memenuhi perasaan dan tubuh Ray. Dengan rasa gelisah, ia mengendari mobil dan membelah kegelapan malam agar segera sampai ke rumah sakit terdekat. Ray yang sedang mengemudi sesekali menoleh ke belakang, melihat Ana yang terkulai lemas di ba
Siapa yang tidak suka bolos? Mungkin sebagian dari mahasiswa sangat menyukai hal tersebut. Bahkan, tidak sedikit juga yang rela pura-pura sakit agar bisa menghindari tugas atau dosen yang akan mengajar di kelas saat itu. Namun berbeda dengan Ana yang semakin merana karena sengaja bolos untuk menghindari berbagai pertanyaan teman-temannya. Bagaimana tidak, Ana sendiri saja sangat syok melihat wajahnya yang terlihat bengkak dan jelek karena kebanyakan menangis, apa lagi teman-temannya. Mereka pasti heran dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi padanya. Sungguh, Ana belum bisa menerima serangan pertanyaan rudal yang mungkin akan ditujukan kepadanya. Terlebih lagi, dosen yang mengajar kali ini adalah miss Rahel, yang membuatnya semakin membulatkan tekat untuk bolos. Setelah seharian mengurung diri di dalam kamar, Ana akhirnya bangkit dari tempat tidur dan turun ke lantai dasar untuk mencari sesuatu yang bisa ia makan. Sungguh, ia merasa sangat lapar dan kepalanya terasa pusing, sepe
“Bagus, Ana, bagus. Teruslah benci saya tanpa sebab.” Setelah berujar demikian, Ray mundur satu langkah menjauhi Ana seraya mengusap wajahnya kasar. “Tanpa sebab? Okey, teruslah berpikir kalau aku membencimu tanpa sebab, Ray!” “Mulai sekarang, kamu tidak perlu peduli padaku lagi. Lakukan apapun yang kamu mau dan aku juga akan melakukan apapun yang ku mau. Persetan dengan orang ketiga yang katamu gak boleh masuk dalam hubungan kita!” lanjut Ana, sedikit keras. “Okay, silahkan. Saya juga tidak akan peduli lagi pada pembohong sepertimu!” bentak Ray. Kedua bola mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Sungguh, Ana tidak menyangka Ray akan semarah ini. Andai saja Ray tahu, ia tidak akan bersikap sejauh ini kalau bukan Ray yang lebih dulu bermain api di belakangnya. Tapi sepertinya, pria itu sama sekali tidak menyadari kesalahan yang telah ia lakukan. “Kalau kamu benar-benar berniat merusak pernikahan ini dengan kembali bersama Nicho, silahkan. Saya tidak akan halangi. Kamu bebas memilih
Ruangan kelas seketika hening saat Ray bangkit dari kursinya dengan ekspresi yang tidak santai. Dosen titisan kutub itu langsung melayangkan tatapan elangnya kepada Tasya, Amel dan seluruh penghuni kelas. Ray nampak jelas menahan emosi. “Siapa yang meminta kalian melakukan semua ini?” desis pria itu, tajam. Sementara Rahel masih tampak bingung dan sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Tasya barusan. “Maaf, Dosen Ray. Ini semua inisiatif kami karena kami sangat senang Dosen Ray dan Miss Rahel akhirnya berkencan. Kami melakukan semua ini dengan tulus dan berharap kalian akan terus bersama,” imbuh Tasya, mulai merasa takut melihat ekspresi marah dosennya itu. “Kami mohon maaf kalau ternyata apa yang kami lakukan ini salah." Amel mengulum bibirnya membentuk sebuah garis lurus. “Saya tidak perlu permohonan maaf kalian. Saya pikir, apa yang kalian lakukan ini sudah kelewat batas. Memangnya kalian tahu pasti kalau saya dan Miss Rahel memiliki hubungan khusus? Memang
Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray y
Langit sudah gelap dan Ana mulai merasa keroncongan menahan lapar. Tapi gadis itu tidak ambil pusing, karena Nicho akan segera datang mengantarkan makanan untuknya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada gadis itu, karena satu jam yang lalu Nicho menghubunginya dan menanyakan apakah Ana ingin makan sesuatu atau tidak, karena ia sedang luar membeli makanan untuk kedua orangtuanya. Alhasil, Ana memberitahu makanan apa yang sedang ingin ia makan tanpa rasa sungkan. Lebih tepatnya, ia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi. “Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak,” imbuhnya, pada Ray yang entah sedang dimana. Tidak lama kemudian, bell di rumah mewah itu terdengar hingga ke ruang tamu, sehingga Ana lekas-lekas beranjak dari sofa dan menyambut kedatangan Nicho dengan senyum mengembang. Ternyata, Nicho sangat pandai dalam mencari alamat rumahnya yang sekarang. Pintu terbuka. Sepasang mantan kekasih itu refleks saling melempar senyum terba