“Nasi uduknya enak, kamu beli dimana?”
Ana tidak lagi menunggu suapan demi suapan dari Ray, melainkan menyuap sendiri makanan khas Betawi yang sangat populer dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jakarta itu.“Minum dulu, An.” Ray menyodorkan segelas air yang baru saja ia ambil dari dispenser yang tersedia di ruangan itu.“Saya beli di tempat yang kamu bilang tadi. Kalau beli tempat lain takutnya kamu gak suka,” sahut pria itu, kemudian.“Makasih ya, kamu jadi repot gara-gara aku. Lain kali kamu gak harus gini juga.”“Gak masalah. Saya malah senang kalau kamu minta sesuatu ke saya.” Ray menatap wajah cantik istrinya.Ana yang mendengar pernyataan tersebut hanya membalas dengan sebuah anggukan kecil.Ray sadar kalau Ana masih merasa sungkan. Gadis itu bahkan tidak berani membalas tatapannya secara terang-terangan.Beberapa menit kemudian, meja yang ada di hadapan sepasang suami istri itu telah kosong. Bungkus-bungkus makanan telah mereka bersihkan dan dibuang pada tempatnya. Ray kembali mendekati sofa setelah memeriksa sesuatu di laptopnya. Kini, lengan kemeja pria itu juga tampak kembali rapi, tidak seperti tadi yang ditarik hingga siku.“Jam istirahat udah hampir selesai. Nanti kamu masuk di kelas siapa?” tanya Ray pada Ana yang sedang bersantai sambil memainkan ponsel.Ana langsung melihat jam yang tertera di layar ponselnya dan segera bangkit dari sofa seraya berujar,“Pak Syam, mata kuliah Kimia Fisik.”“Okay. Belajar yang serius. Jangan melamun seperti tadi.” Ray mengingatkan.“Tadi, aku gak melamun kok.” Ana dengan cepat membantah.“Jadi, apa?”“Ng-nggak, gak ada. Pokoknya aku gak ngelamun. Kamu aja yang salah paham.” Ana grogi.Jangan sampai Ray tahu kalau tadi ia sedang terpana melihat ketampanannya.“Baiklah, tapi kamu tetap harus mengerjakan tugas yang saya beri.”“Iya-iya. Gitu amat,” sahut Ana sewot, lalu beranjak dari sofa menuju pintu keluar.Dua langkah mencapai pintu, Ana tiba-tiba berhenti dan berbalik menatap Ray yang ternyata telah berdiri tepat di belakangnya. Sontak, hal tersebut membuat Ana kembali canggung karena jarak mereka yang terlalu dekat.“Kamu mau ngomong sesuatu?” Ray tersenyum kecil melihat Ana yang tampak gugup.“Makasih makanannya,” gumam gadis itu, nyaris tak terdengar.“Sama-sama.”Detik selanjutnya, Ray mengulurkan tangan memegang kedua sisi lengan Ana lalu mencondongkan tubuh dan mendaratkan kecupan pada kening istrinya itu.Ana menegang. Tubuhnya kaku merasakan sentuhan Ray yang hangat. Pria itu benar-benar ahli dalam membuat perasaannya tidak karuan. Sementara itu, Ray menutup lembut kedua matanya menikmati apa yang ia lakukan, sebelum akhirnya menjauh dari Ana dan tersenyum lembut.“Pergilah,” titahnya.Ana lagi-lagi menurut. Ia langsung pergi dari hadapan Ray dan meninggalkan ruangan itu dengan wajah memerah dan jantung yang berdebar kencang. Demi apapun, ia sangat malu dan merasa telah melakukan kesalahan besar.“Bodoh bodoh bodoh, kenapa tadi gue gak menghindar, sih?” tukasnya, antara kesal dan senang.Saat melintasi lorong menuju kelas, Ana berkali kali terlihat mengusap keningnya tempat dimana Ray meninggalkan kecupan. Ana tidak bisa membohongi dirinya kalau perlakuan Ray berhasil membuat perasaannya berbunga-bunga. Hanya saja, ia masih sangat canggung mendapat perlakuan seperti itu. Sekalipun Ray adalah suaminya, tapi mereka baru saling mengenal tidak lebih dari 1 minggu. Mereka juga menikah bukan karena cinta, dan yang paling membuat Ana heran, bisa-bisanya Ray semudah itu bersikap baik kepadanya.“Ana, tunggu!”Seseorang memanggil namanya, membuat sang empu langsung berhenti dan menoleh ke sumber suara.“Nicholas, lo kenapa?” tanya Ana kebingungan saat melihat raut kelelahan pria itu.Nicholas Anderson, pria keturunan Indonesia dan Belanda itu melemparkan senyum manis seraya menetralkan napasnya begitu berhadapan dengan Ana.“Lo dari mana aja? Dari pagi gak keliatan,” tanya Ana, kembali melanjutkan langkah menuju kelas.“Tadi gue ada urusan, jadi gak bisa masuk kelas. Ini juga gue sempet-sempetin biar bisa masuk di kelasnya Pak Syam,” jelas pria itu seraya mengimbangi langkah Ana yang terkesan terburu-buru.“Gimana tadi sama Dosen Ray? Asik gak belajarnya?” tanya pria itu setelah Ana hanya mengangguk kecil menyahuti pernyataannya.“Biasa aja. Tugasnya banyak. Gue sama Agung kena masalah sama tuh dosen.”“Loh, masalah? Tumben-tumbenan lo.”“Ya gitu deh. Gue gak konsen saat ngikutin kelasnya dia, terus disuruh buat jurnal sama makalah,” ungkap Ana, sedikit lesu mengingat tugasya yang semakin menumpuk.“Ada-ada aja tuh dosen.”Ana mengedikkan bahunya acuh, tidak lagi melanjutkan percakapan dengan Nicho hingga mereka sampai ke kelas dan mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh dosen berkepala botak itu***Para mahasiswa berhamburan begitu dosen yang mengajar pada mata kuliah terakhir pergi meninggalkan kelas. Raut lesu yang sempat menyelimuti wajah para mahasiswa itu seketika sirna dan digantikan oleh senyum cerah setelah mereka berhasil menyelesaikan perkuliahan hari ini.“Ana, lo pulang naik apa? Dijemput, gak?” Dinda langsung melontarkan pertanyaan begitu ia selesai menyimpan buku-buku dan alat tulisnya ke dalam tas.“Nggak, Gue naik taksi,” sahut Ana yang juga telah melakukan hal yang sama dengan Dinda.“Pulang bareng gue aja, An.” Nicholas menimpali.Pria berkemeja abu-abu yang duduk tepat di samping Ana dan Agung itu menatap gadis itu dengan penuh harap.“Gak usah, Nich, makasih. Gue naik taksi aja.”Nicholas hanya bisa tersenyum kecut mendapat jawaban tersebut. Bagaimana tidak, perubahan Ana terasa begitu jelas baginya.Kamu bener-bener udah berubah, An, batinnya.Sementara Agung dan Roy menghibur Nicho, Ana menyibukkan diri dengan ponselnya yang baru saja menerima sebuah pesan dari Ray.Kamu pulang sendiri gak papa, kan? Aku masih ada sedikit kerjaan.Ana sedikit kecewa membaca pesan tersebut. Padahal, ia berencana mengajak Ray ke toko buku untuk membeli buku yang berkaitan dengan mata kuliah yang diajarkan oleh suaminya itu.Gapapa. Pesan terkirim.Ana kembali menyimpan ponselnya dan segera menenteng tas hendak meninggalkan kelas bersama para temannya.Kelima sejoli itu kemudian tampak berjalan beriringan menyusuri lorong fakultas sambil membicarakan beberapa hal yang sesekali diiringi oleh canda tawa. Mereka melewati puluhan anak tangga dan beberapa kelas yang kini tampak kosong karena penghuninya telah pergi ke tempat tujuan masing-masing.“Nich, gue pulang bareng lo aja deh, boleh, gak?” Di tengah perjalanan menuju parkiran, Ana menimbang kembali tawaran Nicho, membuat pria itu langsung tersenyum senang.“Boleh dong, An. Boleh banget,” sahut Nicho yang kini berjalan di samping kanan Ana.“Tapi, nanti gue mau singgah ke toko buku bentar, boleh gak?”“No problem. Kebetulan gue juga lagi mau nyari-nyari buku.” Senyum di wajah Nicho semakin mengembang.Demi apapun, ia tidak menyangka Ana akan berubah pikiran dan hendak ditemani ke toko buku. Membicarakan tentang toko buku, Nicho jadi teringat dengan beberapa kenangan mereka. Dulu, ia dan Ana sangat sering pergi ke toko buku yang berada tidak jauh dari sekolah mereka, mau itu untuk membeli buku atau sekedar menemani Ana melihat-lihat novel keluaran terbaru.“Guys, kita berdua duluan ya.”Sesampainya di parkiran, Roy dan Agung bersiap memasuki sebuah mobil yang terparkir di antara puluhan mobil lainnya, tidak terkecuali mobil Nicho.“Yoi, hati-hati, Bro,” sahut Nicho.“Yoi, Bro.”Kedua pria manis itu kemudian memasuki mobil mereka dan pergi meninggalkan area kampus. Begitupun dengan Dinda, gadis itu telah pergi beberapa saat yang lalu meninggalkan keempat temannya dengan menaiki sebuah taksi yang ia order secara online. Dinda sengaja tidak ikut dengan Ana dan Nicho karena tidak ingin mengganggu kebersamaan kedua temannya itu. Selain itu, ia juga telah memiliki janji temu dengan seseorang.Tidak buang-buang waktu, Ana dan Nicho juga langsung memasuki mobil dan segera meninggalkan kampus setelah memasang seltbealt di tubuh mereka.Tepat setelah mobil sport berwarna merah itu keluar dari area parkir, Ray menghentikan langkahnya saat melihat sosok Ana berada di dalam mobil yang barusan melintas tidak jauh dari tempatnya. Pria itu terdiam seraya memandangi mobil tersebut hingga benar-benar menghilang dari pandangannya.“Ray, ayo.”Suara tersebut menyadarkan Ray. Ia lalu mengangguk kecil dan kembali melanjutkan langkah bersama Rahel.Langit yang tadinya cerah kini berubah gelap ditaburi bintang yang nampak begitu indah dan menenangkan. Siapapun pasti akan terpana melihat keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu, tidak terkecuali sosok Ana yang tengah bersantai menikmati hembusan angin dan merenungi langit malam dari balkon kamarnya.Ana duduk di sebuah kursi rotan yang berada di sisi kiri balkon dengan pikiran yang sedang menerawang jauh seraya menatap langit. Gadis itu tampak dilema dan banyak pikiran. “Ini malam kedua aku dan Ray menjadi pasangan suami istri. Semuanya benar-benar tidak terduga. Entah aku harus bersyukur atau apa, rasanya ada banyak hal yang harus ku korbankan karena pernikahan ini. Andai saja waktu itu aku dan Ratna tidak pergi ke tempat itu, semua ini pasti tidak akan terjadi.” Ana menghela napas berat, menyesali kecerobohannya hanya untuk kesenangan sesaat. “Apa aku pantas menyalahkan Ray atas semua yang terjadi?” Mengalihkan pandangannya kepada segelas air hangat yang mungkin telah sejuk, Ana
Tersadar akan posisi mereka yang kurang aman, Ana buru-buru melepas cekalan tangan Ray dari lengannya dan segera pindah ke sofa yang ada di seberang meja. Ana meneguk salivanya kasar. Atmosfer di ruangan itu terasa menipis hingga membuatnya gerah dan sesak. Tidak jauh berbeda dari Ana, Ray juga langsung menyibukkan diri dengan pura-pura merapikan rambutnya yang memang sedikit berantakan. Ray bahkan merasa telingannya memanas dan wajahnya memerah menahan malu yang tiba-tiba menghinggap di hatinya. Melihat Ana hendak beranjak dari tempatnya, Ray langsung menghentikan gadis itu dengan pernyataannya. “Ana, saya tau kamu belum bisa menerima semua ini. Pernikahan kita, saya tau kamu sangat tidak menginginkannya. Kamu mungkin beranggapan kalau saya pria paling jahat yang sudah merusak hidup dan masa depanmu.” Ray berhenti sejenak, melihat reaksi Ana atas perkataannya. “Kamu boleh menyalahkan saya atas semua yang terjadi, sekalipun kita sama-sam
Jam kosong tiba. Mengubah suasana kelas yang tenang menjadi riuh kala dosen yang mengajar telah pergi meninggalkan ruangan. Para mahasiswa juga demikian, segera keluar untuk menghirup udara segar atau mencari kesenangan lain yang dapat meredakan penat di kepala mereka.Sementara itu, para mahasiswi yang merupakan fans dari seorang Ray, kini bersorak heboh setelah beberapa jam menahan diri untuk tetap tenang selama proses belajar berlangsung setelah mendengar cerita dari Tasya dan Amel. Tampaknya, kedua sejoli itu telah berhasil menyebar berita yang paling ditunggu-tunggu oleh seantero kampus.“Tasya, lo harus ceritain ke gue semua yang lo tau tentang Dosen Ray. Gue gak mau tau.” Dinda dengan heboh menghampiri Tasya.Padahal biasanya gadis berkulit sawo matang itu paling anti berdekatan dengan Tasya dan Amel. Mereka sudah seperti musuh bebuyutan yang selalu cekcok hanya karena hal sepele.“Iya, Tas. Gue mau denger juga. Kalau benar Dosen Ray dan Miss Rahel jadian, kita harus ngerayain
Puluhan pasang mata tertuju pada kedua dosen itu. Bisikan demi bisikan terus mengalir seiring dengan datang dan perginya Ray dan Rahel dari tempat tersebut. Kedua dosen yang dirumorkan sedang berkencan itu pergi setelah menghabiskan minuman mereka tanpa menghiraukan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh para mahasiswa pada mereka.Tidak lama setelah itu, Ana dan teman-temannya juga tampak bergegas meninggalkan kantin. Selanjutnya, mereka naik ke lantai 3 untuk kembali mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh Pak Syamsuddin, atau yang sering disapa dengan Pak Syam.Tidak terasa, kelas tersebut akhirnya selesai dan dilanjutkan oleh mata kuliah lain yang dibawakan oleh dosen lain yang usianya sudah cukup tua. Mungkin, tidak lama lagi beliau akan segera pensiun. Lagi-lagi, para mahasiswa dengan tertib menyelesaikan perkuliahan tersebut hingga tibalah saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Para mahasiswa dari berbagai kelas tampak meninggalkan ruangan mereka, tapi tid
Langit sudah gelap dan Ana mulai merasa keroncongan menahan lapar. Tapi gadis itu tidak ambil pusing, karena Nicho akan segera datang mengantarkan makanan untuknya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada gadis itu, karena satu jam yang lalu Nicho menghubunginya dan menanyakan apakah Ana ingin makan sesuatu atau tidak, karena ia sedang luar membeli makanan untuk kedua orangtuanya. Alhasil, Ana memberitahu makanan apa yang sedang ingin ia makan tanpa rasa sungkan. Lebih tepatnya, ia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi. “Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak,” imbuhnya, pada Ray yang entah sedang dimana. Tidak lama kemudian, bell di rumah mewah itu terdengar hingga ke ruang tamu, sehingga Ana lekas-lekas beranjak dari sofa dan menyambut kedatangan Nicho dengan senyum mengembang. Ternyata, Nicho sangat pandai dalam mencari alamat rumahnya yang sekarang. Pintu terbuka. Sepasang mantan kekasih itu refleks saling melempar senyum terba
Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray y
Suara langkah kaki terdengar menuruni satu persatu anak tangga yang memutar hingga berakhir di meja makan setelah melewati beberapa ruangan. Rumah bernuansa putih itu tampak begitu elegan dengan gayanya yang klasik. Dihiasi oleh furniture berkualitas tinggi dan beberapa guci berukuran besar yang pastinya tidak ditemukan di sembarang toko. Arsitekturnya memancarkan kemewahan dengan langit-langit yang tinggi dan jendela yang dilapisi tirai abu-abu. Setiap sudut ruangan itu tampak sangat serasi dan indah. Gadis itu berhenti di depan meja makan mewah yang didominasi oleh warna emas dan memiliki 6 kursi.“Ana, makanlah. Ini masakan pertamaku khusus untukmu.”Suara itu mengalihkan pandangan gadis berpakaian kasual tersebut. Ana lantas menarik sebelah ujung bibirnya, merasa canggung dengan kehadiran Ray. Bagaimanapun, ini pagi pertama mereka setelah menjadi sepasang suami istri dan itu membuatnya merasa canggung.“Makasih.” Satu kata terucap di bibir Ana sebelum ia menarik kursi dan duduk
“Gue serius, guys, Dosen Ray senyumin gue. Tadi gue sengaja lewat dari depan ruangannya dan ternyata tuh dosen lagi duduk-duduk di bawah pohon besar yang ada di depan ruangannya. Awalnya dia mendongak gitu, gak tahu lagi liatin apa, terus gak sengaja tatapan kami ketemu dan dia senyum. Demi apa, hari ini gue bakalan belajar dengan giat dan serius. Dosen Ray harus tahu kalau senyuman dia itu udah memotivasi gue untuk belajar. Gue harus buat dia bangga sama IPK gue nanti.” Tidak berhenti di lorong, Dinda terus melanjutkan ceritanya sampai ke dalam kelas dan kali ini tidak lagi bercerita kepada Ana, melainkan kepada Balqis, Roy dan juga Agung. Sayangnya, ketiga orang itu tidak menggubris ke antusiasan Dinda. Mereka hanya mengulum senyum sesekali dan tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tampak jelas kalau mereka sedang malas mendengarkan curhatan, lebih tepatnya karangan Dinda yang menurut mereka tidak benar dan sangat kentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Ayolah, siapa juga ya
Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray y
Langit sudah gelap dan Ana mulai merasa keroncongan menahan lapar. Tapi gadis itu tidak ambil pusing, karena Nicho akan segera datang mengantarkan makanan untuknya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada gadis itu, karena satu jam yang lalu Nicho menghubunginya dan menanyakan apakah Ana ingin makan sesuatu atau tidak, karena ia sedang luar membeli makanan untuk kedua orangtuanya. Alhasil, Ana memberitahu makanan apa yang sedang ingin ia makan tanpa rasa sungkan. Lebih tepatnya, ia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi. “Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak,” imbuhnya, pada Ray yang entah sedang dimana. Tidak lama kemudian, bell di rumah mewah itu terdengar hingga ke ruang tamu, sehingga Ana lekas-lekas beranjak dari sofa dan menyambut kedatangan Nicho dengan senyum mengembang. Ternyata, Nicho sangat pandai dalam mencari alamat rumahnya yang sekarang. Pintu terbuka. Sepasang mantan kekasih itu refleks saling melempar senyum terba
Puluhan pasang mata tertuju pada kedua dosen itu. Bisikan demi bisikan terus mengalir seiring dengan datang dan perginya Ray dan Rahel dari tempat tersebut. Kedua dosen yang dirumorkan sedang berkencan itu pergi setelah menghabiskan minuman mereka tanpa menghiraukan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh para mahasiswa pada mereka.Tidak lama setelah itu, Ana dan teman-temannya juga tampak bergegas meninggalkan kantin. Selanjutnya, mereka naik ke lantai 3 untuk kembali mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh Pak Syamsuddin, atau yang sering disapa dengan Pak Syam.Tidak terasa, kelas tersebut akhirnya selesai dan dilanjutkan oleh mata kuliah lain yang dibawakan oleh dosen lain yang usianya sudah cukup tua. Mungkin, tidak lama lagi beliau akan segera pensiun. Lagi-lagi, para mahasiswa dengan tertib menyelesaikan perkuliahan tersebut hingga tibalah saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Para mahasiswa dari berbagai kelas tampak meninggalkan ruangan mereka, tapi tid
Jam kosong tiba. Mengubah suasana kelas yang tenang menjadi riuh kala dosen yang mengajar telah pergi meninggalkan ruangan. Para mahasiswa juga demikian, segera keluar untuk menghirup udara segar atau mencari kesenangan lain yang dapat meredakan penat di kepala mereka.Sementara itu, para mahasiswi yang merupakan fans dari seorang Ray, kini bersorak heboh setelah beberapa jam menahan diri untuk tetap tenang selama proses belajar berlangsung setelah mendengar cerita dari Tasya dan Amel. Tampaknya, kedua sejoli itu telah berhasil menyebar berita yang paling ditunggu-tunggu oleh seantero kampus.“Tasya, lo harus ceritain ke gue semua yang lo tau tentang Dosen Ray. Gue gak mau tau.” Dinda dengan heboh menghampiri Tasya.Padahal biasanya gadis berkulit sawo matang itu paling anti berdekatan dengan Tasya dan Amel. Mereka sudah seperti musuh bebuyutan yang selalu cekcok hanya karena hal sepele.“Iya, Tas. Gue mau denger juga. Kalau benar Dosen Ray dan Miss Rahel jadian, kita harus ngerayain
Tersadar akan posisi mereka yang kurang aman, Ana buru-buru melepas cekalan tangan Ray dari lengannya dan segera pindah ke sofa yang ada di seberang meja. Ana meneguk salivanya kasar. Atmosfer di ruangan itu terasa menipis hingga membuatnya gerah dan sesak. Tidak jauh berbeda dari Ana, Ray juga langsung menyibukkan diri dengan pura-pura merapikan rambutnya yang memang sedikit berantakan. Ray bahkan merasa telingannya memanas dan wajahnya memerah menahan malu yang tiba-tiba menghinggap di hatinya. Melihat Ana hendak beranjak dari tempatnya, Ray langsung menghentikan gadis itu dengan pernyataannya. “Ana, saya tau kamu belum bisa menerima semua ini. Pernikahan kita, saya tau kamu sangat tidak menginginkannya. Kamu mungkin beranggapan kalau saya pria paling jahat yang sudah merusak hidup dan masa depanmu.” Ray berhenti sejenak, melihat reaksi Ana atas perkataannya. “Kamu boleh menyalahkan saya atas semua yang terjadi, sekalipun kita sama-sam
Langit yang tadinya cerah kini berubah gelap ditaburi bintang yang nampak begitu indah dan menenangkan. Siapapun pasti akan terpana melihat keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu, tidak terkecuali sosok Ana yang tengah bersantai menikmati hembusan angin dan merenungi langit malam dari balkon kamarnya.Ana duduk di sebuah kursi rotan yang berada di sisi kiri balkon dengan pikiran yang sedang menerawang jauh seraya menatap langit. Gadis itu tampak dilema dan banyak pikiran. “Ini malam kedua aku dan Ray menjadi pasangan suami istri. Semuanya benar-benar tidak terduga. Entah aku harus bersyukur atau apa, rasanya ada banyak hal yang harus ku korbankan karena pernikahan ini. Andai saja waktu itu aku dan Ratna tidak pergi ke tempat itu, semua ini pasti tidak akan terjadi.” Ana menghela napas berat, menyesali kecerobohannya hanya untuk kesenangan sesaat. “Apa aku pantas menyalahkan Ray atas semua yang terjadi?” Mengalihkan pandangannya kepada segelas air hangat yang mungkin telah sejuk, Ana
“Nasi uduknya enak, kamu beli dimana?” Ana tidak lagi menunggu suapan demi suapan dari Ray, melainkan menyuap sendiri makanan khas Betawi yang sangat populer dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jakarta itu. “Minum dulu, An.” Ray menyodorkan segelas air yang baru saja ia ambil dari dispenser yang tersedia di ruangan itu. “Saya beli di tempat yang kamu bilang tadi. Kalau beli tempat lain takutnya kamu gak suka,” sahut pria itu, kemudian.“Makasih ya, kamu jadi repot gara-gara aku. Lain kali kamu gak harus gini juga.”“Gak masalah. Saya malah senang kalau kamu minta sesuatu ke saya.” Ray menatap wajah cantik istrinya.Ana yang mendengar pernyataan tersebut hanya membalas dengan sebuah anggukan kecil.Ray sadar kalau Ana masih merasa sungkan. Gadis itu bahkan tidak berani membalas tatapannya secara terang-terangan. Beberapa menit kemudian, meja yang ada di hadapan sepasang suami istri itu telah kosong. Bungkus-bungkus makanan telah mereka bersihkan dan dibuang pada tempatnya. Ray
Tinggi, pintar, tegas dan rapi. Ana baru menyadari kalau suaminya se-perfect itu. Tatapannya tegas, kata-katanya tak terbantah dan suara baritonnya yang khas membuat Ana sedikit kesulitan untuk fokus. Sampai-sampai, Ray berkali-kali menyindirnya yang banyak melamun di pertemuan pertama ini. Tidak terasa, kelas yang dibawakan oleh Ray akan segera berakhir. Dosen tampan itu telah selesai menjelaskan materi dan para mahasiswa juga telah menyelesaikan tugas mereka. Ray kini sedang mengabsen satu persatu mahasiswanya, membuat suasana di ruangan itu tampak sedikit riuh. “Agus Bagaskara.” Ray sudah memanggil nama yang ada di urutan ke 20. “Saya, Pak.” “Dinda Ajni.”“Saya, Pak.” Gadis berkemeja hitam yang tadi merasa disenyumi oleh Ray menatap dosen itu dengan rasa kagum yang amat kentara. “Listyana Wuri.” Kali ini, Ray menyerukan nama istri rahasianya.“Saya, Pak.” “Nicholas Anderson.” Ray mengedarkan pandangannya mencari-cari pemilik nama tersebut. “Nicholas Anderson.” Ray me
“Gue serius, guys, Dosen Ray senyumin gue. Tadi gue sengaja lewat dari depan ruangannya dan ternyata tuh dosen lagi duduk-duduk di bawah pohon besar yang ada di depan ruangannya. Awalnya dia mendongak gitu, gak tahu lagi liatin apa, terus gak sengaja tatapan kami ketemu dan dia senyum. Demi apa, hari ini gue bakalan belajar dengan giat dan serius. Dosen Ray harus tahu kalau senyuman dia itu udah memotivasi gue untuk belajar. Gue harus buat dia bangga sama IPK gue nanti.” Tidak berhenti di lorong, Dinda terus melanjutkan ceritanya sampai ke dalam kelas dan kali ini tidak lagi bercerita kepada Ana, melainkan kepada Balqis, Roy dan juga Agung. Sayangnya, ketiga orang itu tidak menggubris ke antusiasan Dinda. Mereka hanya mengulum senyum sesekali dan tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tampak jelas kalau mereka sedang malas mendengarkan curhatan, lebih tepatnya karangan Dinda yang menurut mereka tidak benar dan sangat kentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Ayolah, siapa juga ya