Tinggi, pintar, tegas dan rapi. Ana baru menyadari kalau suaminya se-perfect itu. Tatapannya tegas, kata-katanya tak terbantah dan suara baritonnya yang khas membuat Ana sedikit kesulitan untuk fokus. Sampai-sampai, Ray berkali-kali menyindirnya yang banyak melamun di pertemuan pertama ini.
Tidak terasa, kelas yang dibawakan oleh Ray akan segera berakhir. Dosen tampan itu telah selesai menjelaskan materi dan para mahasiswa juga telah menyelesaikan tugas mereka.Ray kini sedang mengabsen satu persatu mahasiswanya, membuat suasana di ruangan itu tampak sedikit riuh. “Agus Bagaskara.” Ray sudah memanggil nama yang ada di urutan ke 20.
“Saya, Pak.” “Dinda Ajni.”“
Saya, Pak.” Gadis berkemeja hitam yang tadi merasa disenyumi oleh Ray menatap dosen itu dengan rasa kagum yang amat kentara.
“Listyana Wuri.” Kali ini, Ray menyerukan nama istri rahasianya.
“Saya, Pak.” “Nicholas Anderson.” Ray mengedarkan pandangannya mencari-cari pemilik nama tersebut.
“Nicholas Anderson.” Ray mengulangi, namun lagi-lagi tidak melihat ada yang mengacungkan tangan di antara para mahasiswanya.
“Nicho gak datang, Pak. Gak ada kabar.”
Itu suara Ana. Gadis itu memberanikan diri menyahuti seruan Ray yang sedang memanggil nama temannya.Ray menatap Ana sekilas dan datar tanpa membalas penyataan gadis itu, lalu kembali melanjutkan tugasnya hingga seluruh nama di kolom absen pada laptopnya telah ia panggil semua.
“Sebelum saya menutup perkuliahan hari ini, saya ingin beritahukan kepada kalian semua kalau saya paling tidak suka ada yang tidak fokus saat saya mengajar. Apalagi, kalau ada yang membuat forum di dalam forum. Ada beberapa nama yang sudah saya tandai untuk mendapat hukuman dari saya karena tidak serius mengikuti perkuliahan hari ini.” Ray membiarkan matanya menyaksikan raut cemas para mahasiswa.
“Tasya, Amel, Agung dan Ana. Silahkan kalian buat 1 jurnal tentang materi hari ini dan masing-masing dari kalian buat 1 makalah untuk materi minggu depan. Silahkan kumpul 3 hari sebelum pertemuan selanjutnya. Tidak boleh ada yang terlambat atau hukuman akan saya tambah dua kali lipat.” Kata-kata itu terdengar begitu tegas dan tak terbantah.“Sekian untuk hari ini.” Setelah berujar demikian, Ray langsung mengambil laptopnya dari meja dan pergi meninggalkan ruangan tersebut.Tidak ada senyum. Tidak ada sapaan atau sekedar lirikan singkat yang tertuju kepada Ana, membuat gadis itu semakin dibuat terkejut melihat sikap Ray yang seakan mereka tidak saling kenal. Setelah Ray benar-benar menghilang di balik tembok kelas, barulah Ana mengalihkan pandangannya seraya menghembuskan napas lelah. “Salah gue apa, sih? Perasaan gue gak ribut deh. Gue gak terima nih kalo disuruh buat jurnal sama makalah. Heh, kalian cewek rempong, semua ini gara-gara kalian. Siapa suruh kalian buat forum dalam forum? Udah tau Dosen Ray gak suka sama yang begituan, kalian malah ngerumpi gak jelas.”
Agung yang duduk di tepat di samping Ana melontarkan kekesalannya kepada Tasya dan Amel.
Kedua gadis itu langsung bangkit dari bangku mereka dan berbalik badan menatap Agung.“Heh, Terong busuk, lo kalo ngomong mikir dulu. Emangnya lo pikir lo doang yang dihukum? Gue juga kali. Kalo lo dihukum itu artinya lo juga gak konsen waktu belajar,” sarkas Tasya, kesal. “Bener, tuh. Sok banget lo jadi cowok. Kalo emang berani dan gak merasa bersalah, kenapa tadi lo gak langsung complain aja sama Dosen Ray? Dasar, Terong busuk, bilang aja lo gak bisa buat jurnal sama makalah. Sini, gue siap jokiin tugas-tugas lo.” Amel menambahi, sedikit meledek Agung. “Jaga ya kata-kata lo berdua. Kalo kalian emang pinter, kita buktiin di akhir semester nanti, IPK siapa yang lebih tinggi,” sahut Agung, terpancing emosi.“Agung, udah. Gak usah diladeni.” Ana yang melihat perdebatan tersebut mulai cemas dan berupaya menengahi, begitu juga dengan Roy dan Dinda.
“Okay, siapa takut. Kalau IPK kita berdua lebih tinggi dari lo, lo harus jadi babu selama 1 semester penuh.” “Okay, gue terima tantangan lo.” Agung, Tasya dan Amel saling mengibarkan bendera perang. Mereka saling melempar tatapan nyalang yang penuh akan kebencian. Tidak sampai di situ, mereka kembali adu mulut setelah 2 SKS mata kuliah selesai dilaksanakan. Ketiganya bahkan tidak peduli dengan jam istirahat yang baru saja masuk sekitar 5 menit yang lalu. Di bangku yang sama, Ana merogoh tas kecilnya saat merasa ponselnya bergetar. Gadis dengan rambut dikuncir satu itu langsung mengecek dan membaca pesan masuk tersebut yang ternyata dari Ray, suaminya. Datang ke ruangan saya sekarang! Lima kata itu berhasil membuat Ana mengernyit dan bertanya-tanya kesalahan apa lagi yang telah ia lakukan sehingga Ray memanggilnya ke ruangan. Ada sedikit rasa kesal hinggap di hati Ana karena sikap Ray yang jauh berbeda dalam memperlakukannya. Pria itu seperti dua orang yang berbeda, tidak seperti Ray yang ia kenal tiga hari terakhir. Tidak ingin mendapat masalah lebih besar, Ana buru-buru merapikan buku-bukunya dan bergegas meninggalkan kelas. Ia sempat menarik Agung sebelum pergi meninggalkan kelas agar pria itu mau ikut ke kantin bersama Dinda dan Roy supaya perdebatan mereka dengan Tasya dan Amel selesai. Berpisah di lorong dengan teman-temannya, Ana kini berada tepat di depan ruangan Ray yang tertutup rapat. Gadis berkemeja biru muda itu tampak bimbang untuk masuk atau tidak ke ruangan tersebut. Ana bukan tipikal mahasiswi yang mudah akrab dengan dosen. Ia juga tidak pernah masuk sendirian ke ruangan dosen atau guru manapun selama menempuh pendidikan, sehingga ia lumayan kelimpungan saat harus masuk sendirian tanpa ditemani oleh siapapun. “Apa sebaiknya gue ajak Dinda ya biar dia nemenin gue ketemu? Tapi, gimana kalo Ray gak setuju gue bawa temen? Apa sebaiknya gue minta izin dulu?” Ana menghentak-hentakkan ujung sepatu kanannya ke lantai, mengalihkan rasa cemas yang mulai menggerogoti dirinya.
“Ayolah, Ana. Dosen yang mau lo temui ini Ray, suami dadakan lo. Dia gak akan sekiller itu sama lo. Untuk apa lo takut?” gumam Ana seraya menunduk memperhatikan ujung sepatunya yang mungkin jauh lebih menarik ketimbang bertemu dengan Ray. Ceklek! Suara gagang pintu diputar terdengar, diikuti dengan terbukanya pintu berukuran besar dan tinggi di hadapan Ana, membuat gadis itu kembali mengangkat kepalanya. Di ambang pintu itu, Ana melihat sosok dosen cantik yang ia ketahui digadang-dagang sebagai kekasih Dosen Ray. “Miss Rahel,” sapanya kemudian setelah sadar dari keterkejutan.
“Kamu mau ketemu sama Dosen Ray?” “Iya, Miss.” Ana tersenyum simpul membalas senyuman miss Rahel. Ia tidak tahu apakah dosen itu mengenalnya atau tidak. “Ya sudah. Silahkan masuk.
“Baik, Miss.” Dosen muda itu tidak lagi menyahut, dan Ana menatap kepergian wanita itu dengan raut datar yang sulit untuk dijelaskan.
“Ada urusan apa Miss Rahel dengan Ray?” gumamnya, tanpa mengalihkan pandangan dari punggung dosen cantik yang mulai menjauh itu. “Hanya urusan pekerjaan.”
Ana refleks menoleh, memutar tubuhnya dan mendapati Ray yang sedang berdiri di ambang pintu. “Cepat masuk,” suruh pria itu.
Ana langsung melakukan instruksi Ray dan melewati pria itu begitu saja. Tatapan Ana tidak lepas dari sosok Ray yang kini sedang menutup pintu dan memutar benda kecil yang menempel di sana. “Kenapa pintunya di kunci?” tanyanya, bingung, tapi Ray tidak menyahut.
“Ray, kenapa pintunya di kunci? Kalau ada yang mau masuk gimana?” tanya gadis itu, lagi. Ray yang telah selesai mengunci pintu bergegas mendekati Ana dan menuntun gadis itu untuk duduk di sofa empuk yang ada di ruangannya seraya berujar, “Justru karna saya takut ada yang tiba-tiba masuk makanya saya kunci. Kamu tenang aja, ruangan ini aman dari segala hal."
Ana bungkam, membiarkan tubuhnya duduk dengan santai dan memperhatikan Ray yang berjalan menuju meja kerjanya lalu kembali ke sofa. “Saya akan temani kamu makan,” ujar pria itu setelah meletakkan dua bungkus makanan di atas meja. Ana yang mendengar hal itu seketika mengernyit. “Tapi bekalku masih di kelas.” “Biarin aja. Saya udah beliin kamu makanan yang tadi pagi kamu bilang pengen kamu coba,” tutur Ray seraya membuka bungkus makanan di depannya.
Ana terdiam, tidak menyangka Ray akan mewujudkan keinginan sederhananya yang tadi pagi sempat ia ucapkan saat mereka dalam perjalan menuju kampus. “Aaaa ….” Ana mematung dan pasrah saat Ray mulai menyodorkan sendok dan menyuruhnya untuk membuka mulut.Apa ini benar Ray yang mengajar di kelas gue tadi pagi? batin gadis itu, kembali merasa canggung.
“Nasi uduknya enak, kamu beli dimana?” Ana tidak lagi menunggu suapan demi suapan dari Ray, melainkan menyuap sendiri makanan khas Betawi yang sangat populer dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jakarta itu. “Minum dulu, An.” Ray menyodorkan segelas air yang baru saja ia ambil dari dispenser yang tersedia di ruangan itu. “Saya beli di tempat yang kamu bilang tadi. Kalau beli tempat lain takutnya kamu gak suka,” sahut pria itu, kemudian.“Makasih ya, kamu jadi repot gara-gara aku. Lain kali kamu gak harus gini juga.”“Gak masalah. Saya malah senang kalau kamu minta sesuatu ke saya.” Ray menatap wajah cantik istrinya.Ana yang mendengar pernyataan tersebut hanya membalas dengan sebuah anggukan kecil.Ray sadar kalau Ana masih merasa sungkan. Gadis itu bahkan tidak berani membalas tatapannya secara terang-terangan. Beberapa menit kemudian, meja yang ada di hadapan sepasang suami istri itu telah kosong. Bungkus-bungkus makanan telah mereka bersihkan dan dibuang pada tempatnya. Ray
Langit yang tadinya cerah kini berubah gelap ditaburi bintang yang nampak begitu indah dan menenangkan. Siapapun pasti akan terpana melihat keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu, tidak terkecuali sosok Ana yang tengah bersantai menikmati hembusan angin dan merenungi langit malam dari balkon kamarnya.Ana duduk di sebuah kursi rotan yang berada di sisi kiri balkon dengan pikiran yang sedang menerawang jauh seraya menatap langit. Gadis itu tampak dilema dan banyak pikiran. “Ini malam kedua aku dan Ray menjadi pasangan suami istri. Semuanya benar-benar tidak terduga. Entah aku harus bersyukur atau apa, rasanya ada banyak hal yang harus ku korbankan karena pernikahan ini. Andai saja waktu itu aku dan Ratna tidak pergi ke tempat itu, semua ini pasti tidak akan terjadi.” Ana menghela napas berat, menyesali kecerobohannya hanya untuk kesenangan sesaat. “Apa aku pantas menyalahkan Ray atas semua yang terjadi?” Mengalihkan pandangannya kepada segelas air hangat yang mungkin telah sejuk, Ana
Tersadar akan posisi mereka yang kurang aman, Ana buru-buru melepas cekalan tangan Ray dari lengannya dan segera pindah ke sofa yang ada di seberang meja. Ana meneguk salivanya kasar. Atmosfer di ruangan itu terasa menipis hingga membuatnya gerah dan sesak. Tidak jauh berbeda dari Ana, Ray juga langsung menyibukkan diri dengan pura-pura merapikan rambutnya yang memang sedikit berantakan. Ray bahkan merasa telingannya memanas dan wajahnya memerah menahan malu yang tiba-tiba menghinggap di hatinya. Melihat Ana hendak beranjak dari tempatnya, Ray langsung menghentikan gadis itu dengan pernyataannya. “Ana, saya tau kamu belum bisa menerima semua ini. Pernikahan kita, saya tau kamu sangat tidak menginginkannya. Kamu mungkin beranggapan kalau saya pria paling jahat yang sudah merusak hidup dan masa depanmu.” Ray berhenti sejenak, melihat reaksi Ana atas perkataannya. “Kamu boleh menyalahkan saya atas semua yang terjadi, sekalipun kita sama-sam
Jam kosong tiba. Mengubah suasana kelas yang tenang menjadi riuh kala dosen yang mengajar telah pergi meninggalkan ruangan. Para mahasiswa juga demikian, segera keluar untuk menghirup udara segar atau mencari kesenangan lain yang dapat meredakan penat di kepala mereka.Sementara itu, para mahasiswi yang merupakan fans dari seorang Ray, kini bersorak heboh setelah beberapa jam menahan diri untuk tetap tenang selama proses belajar berlangsung setelah mendengar cerita dari Tasya dan Amel. Tampaknya, kedua sejoli itu telah berhasil menyebar berita yang paling ditunggu-tunggu oleh seantero kampus.“Tasya, lo harus ceritain ke gue semua yang lo tau tentang Dosen Ray. Gue gak mau tau.” Dinda dengan heboh menghampiri Tasya.Padahal biasanya gadis berkulit sawo matang itu paling anti berdekatan dengan Tasya dan Amel. Mereka sudah seperti musuh bebuyutan yang selalu cekcok hanya karena hal sepele.“Iya, Tas. Gue mau denger juga. Kalau benar Dosen Ray dan Miss Rahel jadian, kita harus ngerayain
Puluhan pasang mata tertuju pada kedua dosen itu. Bisikan demi bisikan terus mengalir seiring dengan datang dan perginya Ray dan Rahel dari tempat tersebut. Kedua dosen yang dirumorkan sedang berkencan itu pergi setelah menghabiskan minuman mereka tanpa menghiraukan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh para mahasiswa pada mereka.Tidak lama setelah itu, Ana dan teman-temannya juga tampak bergegas meninggalkan kantin. Selanjutnya, mereka naik ke lantai 3 untuk kembali mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh Pak Syamsuddin, atau yang sering disapa dengan Pak Syam.Tidak terasa, kelas tersebut akhirnya selesai dan dilanjutkan oleh mata kuliah lain yang dibawakan oleh dosen lain yang usianya sudah cukup tua. Mungkin, tidak lama lagi beliau akan segera pensiun. Lagi-lagi, para mahasiswa dengan tertib menyelesaikan perkuliahan tersebut hingga tibalah saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Para mahasiswa dari berbagai kelas tampak meninggalkan ruangan mereka, tapi tid
Langit sudah gelap dan Ana mulai merasa keroncongan menahan lapar. Tapi gadis itu tidak ambil pusing, karena Nicho akan segera datang mengantarkan makanan untuknya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada gadis itu, karena satu jam yang lalu Nicho menghubunginya dan menanyakan apakah Ana ingin makan sesuatu atau tidak, karena ia sedang luar membeli makanan untuk kedua orangtuanya. Alhasil, Ana memberitahu makanan apa yang sedang ingin ia makan tanpa rasa sungkan. Lebih tepatnya, ia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi. “Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak,” imbuhnya, pada Ray yang entah sedang dimana. Tidak lama kemudian, bell di rumah mewah itu terdengar hingga ke ruang tamu, sehingga Ana lekas-lekas beranjak dari sofa dan menyambut kedatangan Nicho dengan senyum mengembang. Ternyata, Nicho sangat pandai dalam mencari alamat rumahnya yang sekarang. Pintu terbuka. Sepasang mantan kekasih itu refleks saling melempar senyum terba
Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray y
Suara langkah kaki terdengar menuruni satu persatu anak tangga yang memutar hingga berakhir di meja makan setelah melewati beberapa ruangan. Rumah bernuansa putih itu tampak begitu elegan dengan gayanya yang klasik. Dihiasi oleh furniture berkualitas tinggi dan beberapa guci berukuran besar yang pastinya tidak ditemukan di sembarang toko. Arsitekturnya memancarkan kemewahan dengan langit-langit yang tinggi dan jendela yang dilapisi tirai abu-abu. Setiap sudut ruangan itu tampak sangat serasi dan indah. Gadis itu berhenti di depan meja makan mewah yang didominasi oleh warna emas dan memiliki 6 kursi.“Ana, makanlah. Ini masakan pertamaku khusus untukmu.”Suara itu mengalihkan pandangan gadis berpakaian kasual tersebut. Ana lantas menarik sebelah ujung bibirnya, merasa canggung dengan kehadiran Ray. Bagaimanapun, ini pagi pertama mereka setelah menjadi sepasang suami istri dan itu membuatnya merasa canggung.“Makasih.” Satu kata terucap di bibir Ana sebelum ia menarik kursi dan duduk
Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray y
Langit sudah gelap dan Ana mulai merasa keroncongan menahan lapar. Tapi gadis itu tidak ambil pusing, karena Nicho akan segera datang mengantarkan makanan untuknya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada gadis itu, karena satu jam yang lalu Nicho menghubunginya dan menanyakan apakah Ana ingin makan sesuatu atau tidak, karena ia sedang luar membeli makanan untuk kedua orangtuanya. Alhasil, Ana memberitahu makanan apa yang sedang ingin ia makan tanpa rasa sungkan. Lebih tepatnya, ia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi. “Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak,” imbuhnya, pada Ray yang entah sedang dimana. Tidak lama kemudian, bell di rumah mewah itu terdengar hingga ke ruang tamu, sehingga Ana lekas-lekas beranjak dari sofa dan menyambut kedatangan Nicho dengan senyum mengembang. Ternyata, Nicho sangat pandai dalam mencari alamat rumahnya yang sekarang. Pintu terbuka. Sepasang mantan kekasih itu refleks saling melempar senyum terba
Puluhan pasang mata tertuju pada kedua dosen itu. Bisikan demi bisikan terus mengalir seiring dengan datang dan perginya Ray dan Rahel dari tempat tersebut. Kedua dosen yang dirumorkan sedang berkencan itu pergi setelah menghabiskan minuman mereka tanpa menghiraukan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh para mahasiswa pada mereka.Tidak lama setelah itu, Ana dan teman-temannya juga tampak bergegas meninggalkan kantin. Selanjutnya, mereka naik ke lantai 3 untuk kembali mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh Pak Syamsuddin, atau yang sering disapa dengan Pak Syam.Tidak terasa, kelas tersebut akhirnya selesai dan dilanjutkan oleh mata kuliah lain yang dibawakan oleh dosen lain yang usianya sudah cukup tua. Mungkin, tidak lama lagi beliau akan segera pensiun. Lagi-lagi, para mahasiswa dengan tertib menyelesaikan perkuliahan tersebut hingga tibalah saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Para mahasiswa dari berbagai kelas tampak meninggalkan ruangan mereka, tapi tid
Jam kosong tiba. Mengubah suasana kelas yang tenang menjadi riuh kala dosen yang mengajar telah pergi meninggalkan ruangan. Para mahasiswa juga demikian, segera keluar untuk menghirup udara segar atau mencari kesenangan lain yang dapat meredakan penat di kepala mereka.Sementara itu, para mahasiswi yang merupakan fans dari seorang Ray, kini bersorak heboh setelah beberapa jam menahan diri untuk tetap tenang selama proses belajar berlangsung setelah mendengar cerita dari Tasya dan Amel. Tampaknya, kedua sejoli itu telah berhasil menyebar berita yang paling ditunggu-tunggu oleh seantero kampus.“Tasya, lo harus ceritain ke gue semua yang lo tau tentang Dosen Ray. Gue gak mau tau.” Dinda dengan heboh menghampiri Tasya.Padahal biasanya gadis berkulit sawo matang itu paling anti berdekatan dengan Tasya dan Amel. Mereka sudah seperti musuh bebuyutan yang selalu cekcok hanya karena hal sepele.“Iya, Tas. Gue mau denger juga. Kalau benar Dosen Ray dan Miss Rahel jadian, kita harus ngerayain
Tersadar akan posisi mereka yang kurang aman, Ana buru-buru melepas cekalan tangan Ray dari lengannya dan segera pindah ke sofa yang ada di seberang meja. Ana meneguk salivanya kasar. Atmosfer di ruangan itu terasa menipis hingga membuatnya gerah dan sesak. Tidak jauh berbeda dari Ana, Ray juga langsung menyibukkan diri dengan pura-pura merapikan rambutnya yang memang sedikit berantakan. Ray bahkan merasa telingannya memanas dan wajahnya memerah menahan malu yang tiba-tiba menghinggap di hatinya. Melihat Ana hendak beranjak dari tempatnya, Ray langsung menghentikan gadis itu dengan pernyataannya. “Ana, saya tau kamu belum bisa menerima semua ini. Pernikahan kita, saya tau kamu sangat tidak menginginkannya. Kamu mungkin beranggapan kalau saya pria paling jahat yang sudah merusak hidup dan masa depanmu.” Ray berhenti sejenak, melihat reaksi Ana atas perkataannya. “Kamu boleh menyalahkan saya atas semua yang terjadi, sekalipun kita sama-sam
Langit yang tadinya cerah kini berubah gelap ditaburi bintang yang nampak begitu indah dan menenangkan. Siapapun pasti akan terpana melihat keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu, tidak terkecuali sosok Ana yang tengah bersantai menikmati hembusan angin dan merenungi langit malam dari balkon kamarnya.Ana duduk di sebuah kursi rotan yang berada di sisi kiri balkon dengan pikiran yang sedang menerawang jauh seraya menatap langit. Gadis itu tampak dilema dan banyak pikiran. “Ini malam kedua aku dan Ray menjadi pasangan suami istri. Semuanya benar-benar tidak terduga. Entah aku harus bersyukur atau apa, rasanya ada banyak hal yang harus ku korbankan karena pernikahan ini. Andai saja waktu itu aku dan Ratna tidak pergi ke tempat itu, semua ini pasti tidak akan terjadi.” Ana menghela napas berat, menyesali kecerobohannya hanya untuk kesenangan sesaat. “Apa aku pantas menyalahkan Ray atas semua yang terjadi?” Mengalihkan pandangannya kepada segelas air hangat yang mungkin telah sejuk, Ana
“Nasi uduknya enak, kamu beli dimana?” Ana tidak lagi menunggu suapan demi suapan dari Ray, melainkan menyuap sendiri makanan khas Betawi yang sangat populer dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jakarta itu. “Minum dulu, An.” Ray menyodorkan segelas air yang baru saja ia ambil dari dispenser yang tersedia di ruangan itu. “Saya beli di tempat yang kamu bilang tadi. Kalau beli tempat lain takutnya kamu gak suka,” sahut pria itu, kemudian.“Makasih ya, kamu jadi repot gara-gara aku. Lain kali kamu gak harus gini juga.”“Gak masalah. Saya malah senang kalau kamu minta sesuatu ke saya.” Ray menatap wajah cantik istrinya.Ana yang mendengar pernyataan tersebut hanya membalas dengan sebuah anggukan kecil.Ray sadar kalau Ana masih merasa sungkan. Gadis itu bahkan tidak berani membalas tatapannya secara terang-terangan. Beberapa menit kemudian, meja yang ada di hadapan sepasang suami istri itu telah kosong. Bungkus-bungkus makanan telah mereka bersihkan dan dibuang pada tempatnya. Ray
Tinggi, pintar, tegas dan rapi. Ana baru menyadari kalau suaminya se-perfect itu. Tatapannya tegas, kata-katanya tak terbantah dan suara baritonnya yang khas membuat Ana sedikit kesulitan untuk fokus. Sampai-sampai, Ray berkali-kali menyindirnya yang banyak melamun di pertemuan pertama ini. Tidak terasa, kelas yang dibawakan oleh Ray akan segera berakhir. Dosen tampan itu telah selesai menjelaskan materi dan para mahasiswa juga telah menyelesaikan tugas mereka. Ray kini sedang mengabsen satu persatu mahasiswanya, membuat suasana di ruangan itu tampak sedikit riuh. “Agus Bagaskara.” Ray sudah memanggil nama yang ada di urutan ke 20. “Saya, Pak.” “Dinda Ajni.”“Saya, Pak.” Gadis berkemeja hitam yang tadi merasa disenyumi oleh Ray menatap dosen itu dengan rasa kagum yang amat kentara. “Listyana Wuri.” Kali ini, Ray menyerukan nama istri rahasianya.“Saya, Pak.” “Nicholas Anderson.” Ray mengedarkan pandangannya mencari-cari pemilik nama tersebut. “Nicholas Anderson.” Ray me
“Gue serius, guys, Dosen Ray senyumin gue. Tadi gue sengaja lewat dari depan ruangannya dan ternyata tuh dosen lagi duduk-duduk di bawah pohon besar yang ada di depan ruangannya. Awalnya dia mendongak gitu, gak tahu lagi liatin apa, terus gak sengaja tatapan kami ketemu dan dia senyum. Demi apa, hari ini gue bakalan belajar dengan giat dan serius. Dosen Ray harus tahu kalau senyuman dia itu udah memotivasi gue untuk belajar. Gue harus buat dia bangga sama IPK gue nanti.” Tidak berhenti di lorong, Dinda terus melanjutkan ceritanya sampai ke dalam kelas dan kali ini tidak lagi bercerita kepada Ana, melainkan kepada Balqis, Roy dan juga Agung. Sayangnya, ketiga orang itu tidak menggubris ke antusiasan Dinda. Mereka hanya mengulum senyum sesekali dan tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tampak jelas kalau mereka sedang malas mendengarkan curhatan, lebih tepatnya karangan Dinda yang menurut mereka tidak benar dan sangat kentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Ayolah, siapa juga ya