Setelah cukup lama berada di tempat Lunar, akhirnya Nyonya Della diajak pergi ke unit putranya. Entah kenapa Langit melakukan hal itu, sehingga tak lama kemudian Bumi datang dengan membawa bungkusan dengan logo rumah makan terkenal. "Makanlah. sebagai gantinya kamu harus membuatkanku makanan," kata Bumi dengan santai seraya duduk di ruang tamu. Lunar mengerucutkan bibirnya karena dia sedang malas untuk masak. Sehingga dia pun teringat bahwa masih ada kue yang tadi dia buat. "Aku tadi buat kue brownies. Mas Bumi mau?" tawarnya pada sang suami. Lelaki itu menoleh, lalu berkata, "Boleh. Tetapi aku juga mau makan nasi dengan tempe bacem dan sayur sop yang diberi pentol dan sosis."Mulut Lunar menganga tidak percaya dengan permintaan suaminya. Bagaimana bisa suaminya yang biasa hidup hedon mintanya masak makanan sederhana? Mungkinkah jika lelaki itu sudah tertular hidup sederhana dari perempuan itu?"Kenapa kamu malah melamun, Lunar? Apa bahan makannya tidak ada? Atau perlu aku minta Bi
Lunar menatap gadis di depannya yang terus tersenyum padahal dia sudah penasaran dengan kabar baik dimaksud oleh Anya. "Bagaimana kalau ngobrolnya sambil makan malam?" seru Tian memberi masukan. Si pemilik unit setuju dan mengajak kedua tamunya untuk ke meja makan. Di sana sudah tertata banyak makanan yang tersaji dengan begitu nikmat untuk Anya dan Tian. Bukan makanan mewah, tetapi cukup menggugah selera. "Kalau makananya tiap malam seperti ini, aku jadi betah makan di sini terus," ucap Tian yang sudah mengambil nasi dan beberapa lauk lainnya. "Kan apa aku bilang. Makan di sini tidak rugi, lagian Mbak Lunar hanya makam dengan pelayannya saja. Pasti banyak makanan yang tersisa, makanya kita bantu menghabiskan agar tidak mubazir," timpal Anya yang juga ikut mengambil makanan yang tersaji di atas meja. Mendengar hal itu Lunar jadi tergelak, lalu berkata, "Kalau ada sisanya dan mau kalian bawa pulang juga tidak apa-apa. Biasanya aku hanya makan sedikit bersama Bibi. Kecuali ada maka
Lunar menatap adik iparnya dengan tidak mengerti. Dia merasa bahwa Langit mengatakan hal ngawur karena sedang sakit. "Sebaiknya kamu istirahat saja, Lang. Kamu sudah makan? Biar aku buatkan kamu bubur," kata perempuan tersebut hendak pergi. Namun, tangannya dipegang oleh sang adik ipar hingga Lunar menoleh dan kembali duduk di di samping adiknya. "Aku sungguh-sungguh, Lunar. Kenapa bukan aku yang bertemu denganmu lebih awal atau sebaliknya? Kenapa harus Bang Bumi yang hanya ingin keturunan darimu?!" ucap Langit dengan tatapan nanar. "Aku juga ingin berada di posisi Bang Bumi, Lun. Bersama kamu yang selalu ada dan ... mencintainya."Lunar tidak tahu apa maksud dari ucapan dari adik iparnya. Namun, dia bisa merasakan bahwa suhu tubuh Langit semakin panas berdasarkan tangannya yang dipegang oleh pria itu. "Tidak bisakah kamu mencintaiku seperti kamu mencintai Bang Langit? Tidak bisakah kamu untukku juga, Lunar?" tanya pria itu sambil memejamkan matanya. Perempuan tersebut menjadi kh
Lunar menatap suaminya dengan sebal. Dia pikir sekali permainan akan membuat Bumi puas, nyatanya lelaki itu malah meminta hingga dua kali dan itu pun saat di kamar mandi. Alasannya agar bisa mandi lebih cepat dan efektif. "Kenapa? Kamu marah padaku, hm? Bukankah melayani suami adalah ibadah?" ucap Bumi seraya memeluk istrinya dari belakang. Saat ini mereka masih berada di dalam kamar dengan Lunar yang menghadap ke cermin. "Aku kesal pada Mas Bumi yang tidak tepat janji," katanya dengan wajah merajuk. Bumi melepas pelukannya, kemudian membalik tubuh Lunar hingga mereka saling berhadapan. Dielusnya wajah sang istri yang begitu natural dan lembut seperti kulit bayi. "Oke, maafkan aku karena sudah meminta lebih seperti yang aku ucapkan sebelumnya. Aku melakukannya karena aku rindu padamu. Lagian, aku melakukannya hanya denganmu saja, Lunar," katanya dengan penuh kesungguhan. Namun, hal itu malah menimbulkan kernyitan di dahinya. "Memangnya Mas tidak melakukannya dengan Mbak Clara? M
Lunar berdiri di depan unit milik Langit. Ditekannya bel selama tiga kali hingga pintu terbuka dan menunjukkan seorang perempuan paruh baya yang tersenyum begitu manis. "Tante," sapanya pada Ibu Langit. "Halo, Lunar. Ayo masuk," ajak Nyonya Mahendra pada perempuan itu. Sehingga mereka berdua berada di dalam unit secara beriringan. Keduanya melihat Langit yang keluar dari kamarnya. Lunar memperhatikan adik iparnya mulai mendekat dan terlihat lebih segar daripada semalam."Sudah lebih baik, Lang?" tanya perempuan itu sambil tersenyum. Langit membalas senyuman itu seraya berkata, "Hm, aku sudah lebih baik dari semalam. Terima kasih karena sempat datang ke sini sebelum Kakakku datang.""Iya, Lunar. Terima kasih loh ya kamu sudah datang dan membantu Langit. Kalau saja kamu tidak datang, pasti dia makin parah," timpal Ibu Langit dengan senang. "Kamu duduk dulu dengan Langit ya, biar Tante siapkan makan siang untuk kita. Pokoknya kamu makan di sini ya."Nyonya Mahendra pun pergi dari sa
Lunar tidak menyangka bahwa suaminya akan setuju untuk selalu tertawa saat bersamanya. Begitu pula saat mereka berada di unit Langit. Lelaki itu selalu bersikap manis dan dan tidak segan menunjukkan tawanya. "Kenapa melihat Mas Bumi begitu, Lang?" tanya Lunar yang merasa heran dengan tatapan adik iparnya. Pria itu menggeleng sambil tertawa pelan. "Tidak apa, hanya saja Bang Bumi terlihat lebih ceria. Tidak seperti biasanya yang terlihat menakutkan dan menyebalkan."Kini gantian Lunar yang tertawa dengan pelan. Dia tahu pasti akan aneh bagi yang kenal dan tahu bagaimana Bumi saat melihat lelaki tersebut tertawa bahkan terkesan ceria. "Bukankah lebih baik jika Mas Bumi seperti ini. Setidaknya dia terlihat lebih hidup dan berwarna. Tidak hanya satu warna saja ... gelap!" sahutnya melirik pada suaminya yang sudah menatap dengan tajam. "Hahaha, kamu benar Lunar. Hanya saja, pasti akan semakin banyak wanita yang tertarik dengannya. Kamu akan banyak saingan," timpal Langit masih sambil t
Seorang wanita paruh baya menatap dua orang di depannya dengan menelisik tajam. "Jadi, apa penjelasan kalian? Lunar? Bumi?" serunya dengan suara yang cukup dalam. Perempuan yang disebut namanya melirik pada lelaki yang ada di sebelahnya. Tidak ada raut ketakutan atau penyesalan dari wajah Bumi. "Kenapa diam?! Jawab!" sentak Nyonya Mahendra dengan begitu kesal karena tidak ada jawaban dari dua orang di depannya itu. "Kenapa Mama harus bertanya seperti itu kalau sudah tahu jawabann?!" Bukan Bumi yang yang menyahut, melainkan Langit yang ada di samping ibunya. Sehingga wanita paruh baya itu mendengus sebal pada anak bungsunya. "Bisakah kamu diam, Langit? Mama sedang bicara dengan Kakakmu dan ... Kakak iparmu, mungkin?" cibir Nyonya Mahendra melirik pada Lunar yang menundukkan kepalanya. "Ck, Mama tidak kasihan dengan Lunar yang dari tadi terlihat ketakutan? Dia sedang hamil, Ma! Kalau ada apa-apa dengan kandungannya, bagaimana? Mama mau kehilangan cucu pertama Mama? Bukannya Mama
Seorang perempuan keluar dari dalam kamarnya dan melihat sang suami yang masih tertidur di sofa. Dihampiri lelaki itu sambil dia tepuk pelan pipinya. "Mas Bumi, ayo bangun. Sudah pagi," serunya dengan lembut. Lelaki yang di panggil namanya melenguh pelan sembari membuka matanya yang memerah seperti kurang tidur. "Jam berapa sekarang?" tanya Bumi sambil mengubah posisinya menjadi duduk. "Masih setengah enam. Kalau Mas mau tidur lagi tidak apa-apa. Nanti aku bangunkan lagi," kata Lunar yang kasihan saat melihat suaminya menutup mulut karena menguap. Pasti lelaki itu tidak bisa tidur dengan nyenyak di atas sofa. Karena semalam ibu mertuanya meminta untuk menginap dan tidur dengannya di dalam kamar. Meski ditolak atau tidak diperbolehkan olehkan Bumi, tetapi Nyonya Mahendra tetap memaksa bahkan mengancam akan membawa Lunar benar-benar pergi dengan bantuan suaminya, Tuan Besar Mahendra. "Aku ada meeting pagi ini," sahut Langit seraya berkata lagi, "Mama di mana? Apakah dia sudah pula