Lunar menatap suaminya dengan sebal. Dia pikir sekali permainan akan membuat Bumi puas, nyatanya lelaki itu malah meminta hingga dua kali dan itu pun saat di kamar mandi. Alasannya agar bisa mandi lebih cepat dan efektif. "Kenapa? Kamu marah padaku, hm? Bukankah melayani suami adalah ibadah?" ucap Bumi seraya memeluk istrinya dari belakang. Saat ini mereka masih berada di dalam kamar dengan Lunar yang menghadap ke cermin. "Aku kesal pada Mas Bumi yang tidak tepat janji," katanya dengan wajah merajuk. Bumi melepas pelukannya, kemudian membalik tubuh Lunar hingga mereka saling berhadapan. Dielusnya wajah sang istri yang begitu natural dan lembut seperti kulit bayi. "Oke, maafkan aku karena sudah meminta lebih seperti yang aku ucapkan sebelumnya. Aku melakukannya karena aku rindu padamu. Lagian, aku melakukannya hanya denganmu saja, Lunar," katanya dengan penuh kesungguhan. Namun, hal itu malah menimbulkan kernyitan di dahinya. "Memangnya Mas tidak melakukannya dengan Mbak Clara? M
Lunar berdiri di depan unit milik Langit. Ditekannya bel selama tiga kali hingga pintu terbuka dan menunjukkan seorang perempuan paruh baya yang tersenyum begitu manis. "Tante," sapanya pada Ibu Langit. "Halo, Lunar. Ayo masuk," ajak Nyonya Mahendra pada perempuan itu. Sehingga mereka berdua berada di dalam unit secara beriringan. Keduanya melihat Langit yang keluar dari kamarnya. Lunar memperhatikan adik iparnya mulai mendekat dan terlihat lebih segar daripada semalam."Sudah lebih baik, Lang?" tanya perempuan itu sambil tersenyum. Langit membalas senyuman itu seraya berkata, "Hm, aku sudah lebih baik dari semalam. Terima kasih karena sempat datang ke sini sebelum Kakakku datang.""Iya, Lunar. Terima kasih loh ya kamu sudah datang dan membantu Langit. Kalau saja kamu tidak datang, pasti dia makin parah," timpal Ibu Langit dengan senang. "Kamu duduk dulu dengan Langit ya, biar Tante siapkan makan siang untuk kita. Pokoknya kamu makan di sini ya."Nyonya Mahendra pun pergi dari sa
Lunar tidak menyangka bahwa suaminya akan setuju untuk selalu tertawa saat bersamanya. Begitu pula saat mereka berada di unit Langit. Lelaki itu selalu bersikap manis dan dan tidak segan menunjukkan tawanya. "Kenapa melihat Mas Bumi begitu, Lang?" tanya Lunar yang merasa heran dengan tatapan adik iparnya. Pria itu menggeleng sambil tertawa pelan. "Tidak apa, hanya saja Bang Bumi terlihat lebih ceria. Tidak seperti biasanya yang terlihat menakutkan dan menyebalkan."Kini gantian Lunar yang tertawa dengan pelan. Dia tahu pasti akan aneh bagi yang kenal dan tahu bagaimana Bumi saat melihat lelaki tersebut tertawa bahkan terkesan ceria. "Bukankah lebih baik jika Mas Bumi seperti ini. Setidaknya dia terlihat lebih hidup dan berwarna. Tidak hanya satu warna saja ... gelap!" sahutnya melirik pada suaminya yang sudah menatap dengan tajam. "Hahaha, kamu benar Lunar. Hanya saja, pasti akan semakin banyak wanita yang tertarik dengannya. Kamu akan banyak saingan," timpal Langit masih sambil t
Seorang wanita paruh baya menatap dua orang di depannya dengan menelisik tajam. "Jadi, apa penjelasan kalian? Lunar? Bumi?" serunya dengan suara yang cukup dalam. Perempuan yang disebut namanya melirik pada lelaki yang ada di sebelahnya. Tidak ada raut ketakutan atau penyesalan dari wajah Bumi. "Kenapa diam?! Jawab!" sentak Nyonya Mahendra dengan begitu kesal karena tidak ada jawaban dari dua orang di depannya itu. "Kenapa Mama harus bertanya seperti itu kalau sudah tahu jawabann?!" Bukan Bumi yang yang menyahut, melainkan Langit yang ada di samping ibunya. Sehingga wanita paruh baya itu mendengus sebal pada anak bungsunya. "Bisakah kamu diam, Langit? Mama sedang bicara dengan Kakakmu dan ... Kakak iparmu, mungkin?" cibir Nyonya Mahendra melirik pada Lunar yang menundukkan kepalanya. "Ck, Mama tidak kasihan dengan Lunar yang dari tadi terlihat ketakutan? Dia sedang hamil, Ma! Kalau ada apa-apa dengan kandungannya, bagaimana? Mama mau kehilangan cucu pertama Mama? Bukannya Mama
Seorang perempuan keluar dari dalam kamarnya dan melihat sang suami yang masih tertidur di sofa. Dihampiri lelaki itu sambil dia tepuk pelan pipinya. "Mas Bumi, ayo bangun. Sudah pagi," serunya dengan lembut. Lelaki yang di panggil namanya melenguh pelan sembari membuka matanya yang memerah seperti kurang tidur. "Jam berapa sekarang?" tanya Bumi sambil mengubah posisinya menjadi duduk. "Masih setengah enam. Kalau Mas mau tidur lagi tidak apa-apa. Nanti aku bangunkan lagi," kata Lunar yang kasihan saat melihat suaminya menutup mulut karena menguap. Pasti lelaki itu tidak bisa tidur dengan nyenyak di atas sofa. Karena semalam ibu mertuanya meminta untuk menginap dan tidur dengannya di dalam kamar. Meski ditolak atau tidak diperbolehkan olehkan Bumi, tetapi Nyonya Mahendra tetap memaksa bahkan mengancam akan membawa Lunar benar-benar pergi dengan bantuan suaminya, Tuan Besar Mahendra. "Aku ada meeting pagi ini," sahut Langit seraya berkata lagi, "Mama di mana? Apakah dia sudah pula
Hari yang Lunar tunggu sudah tiba, yaitu saatnya dia datang ke pabrik sebagai pemilik. Perempuan itu sangat antusias bahkan ibu mertuanya menyiapkan pakaian yang harus dia kenakan. "Tuh 'kan, kamu cocok sekali dengan baju kerja itu. Tapi ... perut kamu sudah mulai kelihatan, seperti hamil empat bulan," komentar Nyonya Mahendra pada penampilan menantunya saat perempuan itu keluar dari kamarnya. Lunar melihat pada perutnya yang memang sedikit menonjol padahal saat cek kemarin dokter mengatakan bahwa dia hamil 12 bulan, hanya saja karena hamil anak kembar membuat perutnya lebih kelihatan besar. "Namanya juga hamil anak kembar, ya begitu Ma! lagian, kenapa Mama tidak punya anak kembar juga?" seru Bumi yang merangkul pinggang istrinya seraya mengelus pelan perut perempuan itu. Ya, kemarin Lunar sudah ke dokter bersama ibu mertuanya yang menyamar agar tidak ketahuan oleh orang-orang. Sedangkan Bumi menunggu di dalam mobil dengan ibunya yang merekam secara tersembunyi. Hal itu membuat le
Tidak ada rasa gentar dalam diri Lunar melihat wajah pamannya yang mengetat marah. Justru dia tetap duduk santai seraya memandang dengan senyum amat tipis. "Tuan Andre, tolong duduk dengan tenang! Dan jangan kurang ajar pada Nyonya Lunar! Beliau 'lah yang sudah membeli pabrik yang hampir bangkrut ini! Jika bukan beliau sudah pasti pabrik ini akan terbengkalau begitu saja!" seru pengacara yang ikut berdiri karena istri atasannya yang diperlakukan tidak sopan. Merasa tidak mampu untuk melawan, Tuan Andre kembali duduk. Apalagi sang anak dan menantu yang menarik tangannya untuk tidak berbuat gegabah. "Mulai saja, Pak!" kata Anya yang mewakili Lunar. Pengacara itu pun mengangguk seraya memberikan berkas pada perempuan di sampingnya. "Berkas tersebut adalah bukti bahwa pabrik ini dan seluruh isinya sudah menjadi milik Nyonya. Bahkan pekerja di sini ... ."Lunar mengangkat tangannya tanda agar pengacara tersebut berhenti. "Aku ingin data semua pekerja dan mungkin akan ada beberapa yang
Setelah menyelesaikan masalah di pabrik, Lunar memberikan tugas selanjutnya pada Anya. Sedangkan dia keluar pabrik karena sudah janjian dengan sang suami. "Kita ke rumah utama, Pak," serunya pada sopir di depannya. Tak lupa juga dia mengirimkan pesan pada sang suami yang akhirnya akan dibaca saja tanpa ada niatan untuk membalas. "Ish, Mas Bumi selalu saja begitu! Lihat saja nanti kalau bertemu!" ucapnya dengan sebal. Mobil pun melaju dengan pelan karena sang majikan yang tidak mau jika terjadi apa-apa dengan istrinya. Padahal, Lunar sangat ingin segera lekas sampai. Meski di sisi lain, dia juga khawatir jika nanti ditolak oleh ayah dari suaminya. Hingga beberapa menit berlalu dan Lunar tidak menyangka bahwa mobil yang dia naiki sudah masuk dalam area perumahan yang sangat mewah sampai membuatnya melongo tidak percaya. "Ini rumah apa istana? Bagus dan mewah sekali," pujinya dengan tidak percaya. "Tuan sudah menunggu ada di dalam, Nyonya," kata sopir yang sudah membukakan pintun
Gundukan tanah basah masih ramai pelayat yang datang untuk melihat pemakaman Satria. Begitupun dengan Lunar yang datang bersama keluarga suaminya. Mereka datang sebagai bentuk rasa terima kasih karena Satria sudah memberikan mereka informasi serta secara tidak langsung merenggang nyawa demi menyelamatkan Lunar. "Semua ini pasti rencanamu 'kan Lunar?! Kamu sengaja menyuruh Satria naik mobilmu agar bisa kamu celakai! Kamu licik, Lunar!" sentak Mella yang hendak melayangkan tangannya pada Lunar, akan tetapi dia orang pengawal langsung mencegah bahkan mendorongnya dengan kasar. "Sialan kamu Lunar! Tidak cukup mengambil harta kami, kamu juga mengambil nyawa menantuku! Kamu sengaja melakukannya, iya 'kan?!" ucap Tuan Andre seraya membantu anaknya untuk berdiri tegak. Lunar yang mendengarkannya merasa jegah, bahkan sang suami sudah tampak kesal dengan wajah mengeratnya. Dia tahu, pasti keluarga benalu itu sengaja mengatakan hal tersebut karena banyak orang di sana dengan harapan dapat men
Seminggu berlalu setelah konferensi pers yang Bumi lakukan. Hal itu membuat sedikit perubahan, di antaranya adalah pandangan orang tentang Lunar yang tidak lagi negatif, meskipun masih ada yang membela Clara dan menyalahkan perempuan tersebut. Saat ini Lunar sudah berada di pabrik bersama mertuanya. Nyonya Mahendra tidak mau terjadi apa pun pada menantunya, sehingga dia memilih untuk ikut menantunya bekerja sekaligus untuk mengawasi perempuan itu agar tidak lelah bekerja. "Jangan capek-capek, Lunar. Kamu harus istirahat," ujar Mama Bumi pada menantunya yang mengecek berkas dari Anya yang selama ini meng-handle pabrik. "Baru beberapa menit, Ma. Kalau capek aku akan istirahat," sahut Lunar sambil tersenyum. Nyonya Mahendra tidak lagi berkata apa pun dan membiarkan menantunya untuk kembali bekerja dan membahas masalah pabrik.Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan di depan pintu membuat ketiga wanita yang ada di sana menoleh dan melihat seorang pria paruh baya dengan seragam khas pab
Beberapa jam setelah ucapan yang dikatakan oleh Bumi, konferensi pers segera diadakan. Seluruh keluarga Mahendra, termasuk Lunar ada di sana seraya menatap pada wartawan yang berada di pihak mereka. "Tujuanku mengadakan konferensi pers ini adalah untuk memberitahu semua orang bahwa aku sudah menikah dengan perempuan di sampingku dan kami akan segera memiliki anak!" ujar Bumi sebagai pembuka. "Berita yang mengatakan bahwa istriku adalah pelakor, sangat salah besar. Akulah yang memintanya menikah denganku karena memang dialah yang layak untuk menjadi istriku!"Semua yang ada di sana memotret serta merekam perkataan pewaris Mahendra Corp itu. "Maksud anda apa dengan mengatakan bahwa perempuan di samping anda yang layak berada di posisi Nyonya Clara?" tanya seorang wartawan wanita dengan kacamata tebal. Lunar yang bersebelahan dengan suaminya menatap lelaki itu dengan perasaan yang tidak menentu. Namun, Bumi tersenyum seolah semua akan baik-baik saja. "Aku mengatakan hal itu karena ak
Lunar tidak menyangka bahwa apa yang dikatakan oleh kepala pelayan ada benarnya bahwa jika tidak ada yang mengaku siapa yang sudah melukainya, maka semua pelayan serta penjaga yang bersamanya akan kena hukuman. "Jadi ... belum ada yang mau mengaku? Ah, kalian lebih suka dipotong gaji rupanya!" ucap Nyonya Mahendra seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Yang melakukannya Suci, Nyonya," jawab kepala pelayan yang tidak mau semua temannya kena imbas hanya karena seorang pelayan yang tidak kompeten. "Benarkah?" seru Langit yang sedari tadi menyaksikan apa yang ibunya lakukan. "Ah, bukannya di dapur ada CCTV, kalau begitu kita lihat saja di sana. Dia sengaja atau tidak mencelakai Kakak Ipar."Sebenarnya Lunar kurang setuju dengan ide Langit karena dia yakin kalau pelayan itu tidak sengaja. Namun, dia tidak bisa melakukan apa pun selain menuruti apa yang hendak keluarga Mahendra lakukan. "Aku punya salinan CCTV di sini!" seru Bumi yang duduk di samping perempuan itu sambil memega
Tidak terasa sudah seminggu Lunar tinggal di rumah utama bersama suaminya. Tak ada hal cukup mengkhawatirkan, tetapi tetap saja semua yang ada di sana sangat protektif dan posesif padanya. Sama seperti saat ini, di mana Lunar tidak diperbolehkan untuk masak atau membuat kue. Akan tetapi, sang ibu mertua melarangnya seperti biasa. "Ayolah, Ma. Aku mau buat kue brownies keju buat Mas Bumi. Sekali ini saja, oke?" kekeuh Lunar dengan wajah memelasnya. Tidak tega melihat menantunya seperti itu, Nyonya Mahendra terpaksa mengijinkan perempuan itu untuk melakukan apa yang diinginkan. "Terima kasih, Mama," seru Lunar dengan girang seraya memeluk ibu mertuanya. "Asal Mama ada di sana! Kamu tidak boleh di sana sendiri dan cukup mengadonnya saja! Kalau butuh apa-apa, biar pelayan yang ambilkan. Oke nggak oke, harus oke!"Pasrah, itulah yang Lunar lakukan. Yang penting dia sudah diijinkan untuk membuat kue. Dari pada nanti anaknya ileran dan dia yang sebenarnya merasa bosan. Hingga kedua per
Setelah pembicaraan dengan papa mertuanya sudah selesai, Bumi, Langit, dan Nyonya Mahendra diperbolehkan masuk kembali ke ruangan itu. Langsung saja Bumi duduk di samping Lunar dan memeriksa keadaan istrinya yang memang tidak kenapa-napa. "Aku tidak apa-apa, Mas. Tadi hanya bicara biasa tentang apa yang harus aku lakukan selama menjadi menantu di sini," sahut Lunar sambil tersenyum pada sang suami. "Ck, kamu akan selamanya menjadi istriku!" balas Bumi dengan penuh keyakinan. "Baguslah kalau begitu! Tapi Mas harus selesaikan masalah dengan Mbak Clara dulu! Aku yakin bahwa dia tidak akan baik- baik saja setelah tahu apa yang terjadi dengan kita! Bisa saja dia akan ... ."Lunar menghentikan kalimatnya karena tidak sanggup membayangkan jika apa yang ada dalam benaknya sungguh-sungguh terjadi. "Kamu takut kalau Clara mencelakai kamu dan anak kita?" seru Bumi seraya memegang sebelah wajah istrinya. Anggukan dilakukan oleh Lunar karena dia sudah tahu betapa terobsesinya wanita itu ingi
Lunar tidak mengerti kenapa ayah mertuanya mau bicara berdua dengan dirinya. Banyak hal yang bercokol dalam benaknya, baik pikiran baik ataupun pikiran buruk yang saling beradu. "Aku tidak akan biarkan Papa berdua saja dengan istriku! Kalau memang Papa memaksa, maka aku akan membawanya pergi dari sini!" seru Bumi menatap tajam ayahnya. Tuan Mahendra mendengus sebal dengan kelakuan anaknya yang begitu posesif pada perempuan yang di samping lelaki itu. "Aku juga tidak akan membiarkan Lunar di sini bersama Papa! Bisa saja nanti Papa menggodanya! Awws, sakit, Ma!" sambung Langit yang seketika meringis karena dicubit oleh sang Mama. "Makanya kamu kalau bicara jangan sembarangan! Papa mau bicara dengan Lunar pasti memang ada hal penting yang mau dibicarakan!" ucap Nyonya Mahendra pada kedua anaknya, lalu melihat pada sang suami. "Kalau Papa mau bicara dengan Lunar, ada baiknya Mama juga di sini agar kedua anak kita tidak perlu khawatir."Dengusan dilakukan oleh Bumi dan Langit setelah
Setelah menyelesaikan masalah di pabrik, Lunar memberikan tugas selanjutnya pada Anya. Sedangkan dia keluar pabrik karena sudah janjian dengan sang suami. "Kita ke rumah utama, Pak," serunya pada sopir di depannya. Tak lupa juga dia mengirimkan pesan pada sang suami yang akhirnya akan dibaca saja tanpa ada niatan untuk membalas. "Ish, Mas Bumi selalu saja begitu! Lihat saja nanti kalau bertemu!" ucapnya dengan sebal. Mobil pun melaju dengan pelan karena sang majikan yang tidak mau jika terjadi apa-apa dengan istrinya. Padahal, Lunar sangat ingin segera lekas sampai. Meski di sisi lain, dia juga khawatir jika nanti ditolak oleh ayah dari suaminya. Hingga beberapa menit berlalu dan Lunar tidak menyangka bahwa mobil yang dia naiki sudah masuk dalam area perumahan yang sangat mewah sampai membuatnya melongo tidak percaya. "Ini rumah apa istana? Bagus dan mewah sekali," pujinya dengan tidak percaya. "Tuan sudah menunggu ada di dalam, Nyonya," kata sopir yang sudah membukakan pintun
Tidak ada rasa gentar dalam diri Lunar melihat wajah pamannya yang mengetat marah. Justru dia tetap duduk santai seraya memandang dengan senyum amat tipis. "Tuan Andre, tolong duduk dengan tenang! Dan jangan kurang ajar pada Nyonya Lunar! Beliau 'lah yang sudah membeli pabrik yang hampir bangkrut ini! Jika bukan beliau sudah pasti pabrik ini akan terbengkalau begitu saja!" seru pengacara yang ikut berdiri karena istri atasannya yang diperlakukan tidak sopan. Merasa tidak mampu untuk melawan, Tuan Andre kembali duduk. Apalagi sang anak dan menantu yang menarik tangannya untuk tidak berbuat gegabah. "Mulai saja, Pak!" kata Anya yang mewakili Lunar. Pengacara itu pun mengangguk seraya memberikan berkas pada perempuan di sampingnya. "Berkas tersebut adalah bukti bahwa pabrik ini dan seluruh isinya sudah menjadi milik Nyonya. Bahkan pekerja di sini ... ."Lunar mengangkat tangannya tanda agar pengacara tersebut berhenti. "Aku ingin data semua pekerja dan mungkin akan ada beberapa yang