Lunar berdiri di depan unit milik Langit. Ditekannya bel selama tiga kali hingga pintu terbuka dan menunjukkan seorang perempuan paruh baya yang tersenyum begitu manis. "Tante," sapanya pada Ibu Langit. "Halo, Lunar. Ayo masuk," ajak Nyonya Mahendra pada perempuan itu. Sehingga mereka berdua berada di dalam unit secara beriringan. Keduanya melihat Langit yang keluar dari kamarnya. Lunar memperhatikan adik iparnya mulai mendekat dan terlihat lebih segar daripada semalam."Sudah lebih baik, Lang?" tanya perempuan itu sambil tersenyum. Langit membalas senyuman itu seraya berkata, "Hm, aku sudah lebih baik dari semalam. Terima kasih karena sempat datang ke sini sebelum Kakakku datang.""Iya, Lunar. Terima kasih loh ya kamu sudah datang dan membantu Langit. Kalau saja kamu tidak datang, pasti dia makin parah," timpal Ibu Langit dengan senang. "Kamu duduk dulu dengan Langit ya, biar Tante siapkan makan siang untuk kita. Pokoknya kamu makan di sini ya."Nyonya Mahendra pun pergi dari sa
Lunar tidak menyangka bahwa suaminya akan setuju untuk selalu tertawa saat bersamanya. Begitu pula saat mereka berada di unit Langit. Lelaki itu selalu bersikap manis dan dan tidak segan menunjukkan tawanya. "Kenapa melihat Mas Bumi begitu, Lang?" tanya Lunar yang merasa heran dengan tatapan adik iparnya. Pria itu menggeleng sambil tertawa pelan. "Tidak apa, hanya saja Bang Bumi terlihat lebih ceria. Tidak seperti biasanya yang terlihat menakutkan dan menyebalkan."Kini gantian Lunar yang tertawa dengan pelan. Dia tahu pasti akan aneh bagi yang kenal dan tahu bagaimana Bumi saat melihat lelaki tersebut tertawa bahkan terkesan ceria. "Bukankah lebih baik jika Mas Bumi seperti ini. Setidaknya dia terlihat lebih hidup dan berwarna. Tidak hanya satu warna saja ... gelap!" sahutnya melirik pada suaminya yang sudah menatap dengan tajam. "Hahaha, kamu benar Lunar. Hanya saja, pasti akan semakin banyak wanita yang tertarik dengannya. Kamu akan banyak saingan," timpal Langit masih sambil t
Seorang wanita paruh baya menatap dua orang di depannya dengan menelisik tajam. "Jadi, apa penjelasan kalian? Lunar? Bumi?" serunya dengan suara yang cukup dalam. Perempuan yang disebut namanya melirik pada lelaki yang ada di sebelahnya. Tidak ada raut ketakutan atau penyesalan dari wajah Bumi. "Kenapa diam?! Jawab!" sentak Nyonya Mahendra dengan begitu kesal karena tidak ada jawaban dari dua orang di depannya itu. "Kenapa Mama harus bertanya seperti itu kalau sudah tahu jawabann?!" Bukan Bumi yang yang menyahut, melainkan Langit yang ada di samping ibunya. Sehingga wanita paruh baya itu mendengus sebal pada anak bungsunya. "Bisakah kamu diam, Langit? Mama sedang bicara dengan Kakakmu dan ... Kakak iparmu, mungkin?" cibir Nyonya Mahendra melirik pada Lunar yang menundukkan kepalanya. "Ck, Mama tidak kasihan dengan Lunar yang dari tadi terlihat ketakutan? Dia sedang hamil, Ma! Kalau ada apa-apa dengan kandungannya, bagaimana? Mama mau kehilangan cucu pertama Mama? Bukannya Mama
Seorang perempuan keluar dari dalam kamarnya dan melihat sang suami yang masih tertidur di sofa. Dihampiri lelaki itu sambil dia tepuk pelan pipinya. "Mas Bumi, ayo bangun. Sudah pagi," serunya dengan lembut. Lelaki yang di panggil namanya melenguh pelan sembari membuka matanya yang memerah seperti kurang tidur. "Jam berapa sekarang?" tanya Bumi sambil mengubah posisinya menjadi duduk. "Masih setengah enam. Kalau Mas mau tidur lagi tidak apa-apa. Nanti aku bangunkan lagi," kata Lunar yang kasihan saat melihat suaminya menutup mulut karena menguap. Pasti lelaki itu tidak bisa tidur dengan nyenyak di atas sofa. Karena semalam ibu mertuanya meminta untuk menginap dan tidur dengannya di dalam kamar. Meski ditolak atau tidak diperbolehkan olehkan Bumi, tetapi Nyonya Mahendra tetap memaksa bahkan mengancam akan membawa Lunar benar-benar pergi dengan bantuan suaminya, Tuan Besar Mahendra. "Aku ada meeting pagi ini," sahut Langit seraya berkata lagi, "Mama di mana? Apakah dia sudah pula
Hari yang Lunar tunggu sudah tiba, yaitu saatnya dia datang ke pabrik sebagai pemilik. Perempuan itu sangat antusias bahkan ibu mertuanya menyiapkan pakaian yang harus dia kenakan. "Tuh 'kan, kamu cocok sekali dengan baju kerja itu. Tapi ... perut kamu sudah mulai kelihatan, seperti hamil empat bulan," komentar Nyonya Mahendra pada penampilan menantunya saat perempuan itu keluar dari kamarnya. Lunar melihat pada perutnya yang memang sedikit menonjol padahal saat cek kemarin dokter mengatakan bahwa dia hamil 12 bulan, hanya saja karena hamil anak kembar membuat perutnya lebih kelihatan besar. "Namanya juga hamil anak kembar, ya begitu Ma! lagian, kenapa Mama tidak punya anak kembar juga?" seru Bumi yang merangkul pinggang istrinya seraya mengelus pelan perut perempuan itu. Ya, kemarin Lunar sudah ke dokter bersama ibu mertuanya yang menyamar agar tidak ketahuan oleh orang-orang. Sedangkan Bumi menunggu di dalam mobil dengan ibunya yang merekam secara tersembunyi. Hal itu membuat le
Tidak ada rasa gentar dalam diri Lunar melihat wajah pamannya yang mengetat marah. Justru dia tetap duduk santai seraya memandang dengan senyum amat tipis. "Tuan Andre, tolong duduk dengan tenang! Dan jangan kurang ajar pada Nyonya Lunar! Beliau 'lah yang sudah membeli pabrik yang hampir bangkrut ini! Jika bukan beliau sudah pasti pabrik ini akan terbengkalau begitu saja!" seru pengacara yang ikut berdiri karena istri atasannya yang diperlakukan tidak sopan. Merasa tidak mampu untuk melawan, Tuan Andre kembali duduk. Apalagi sang anak dan menantu yang menarik tangannya untuk tidak berbuat gegabah. "Mulai saja, Pak!" kata Anya yang mewakili Lunar. Pengacara itu pun mengangguk seraya memberikan berkas pada perempuan di sampingnya. "Berkas tersebut adalah bukti bahwa pabrik ini dan seluruh isinya sudah menjadi milik Nyonya. Bahkan pekerja di sini ... ."Lunar mengangkat tangannya tanda agar pengacara tersebut berhenti. "Aku ingin data semua pekerja dan mungkin akan ada beberapa yang
Setelah menyelesaikan masalah di pabrik, Lunar memberikan tugas selanjutnya pada Anya. Sedangkan dia keluar pabrik karena sudah janjian dengan sang suami. "Kita ke rumah utama, Pak," serunya pada sopir di depannya. Tak lupa juga dia mengirimkan pesan pada sang suami yang akhirnya akan dibaca saja tanpa ada niatan untuk membalas. "Ish, Mas Bumi selalu saja begitu! Lihat saja nanti kalau bertemu!" ucapnya dengan sebal. Mobil pun melaju dengan pelan karena sang majikan yang tidak mau jika terjadi apa-apa dengan istrinya. Padahal, Lunar sangat ingin segera lekas sampai. Meski di sisi lain, dia juga khawatir jika nanti ditolak oleh ayah dari suaminya. Hingga beberapa menit berlalu dan Lunar tidak menyangka bahwa mobil yang dia naiki sudah masuk dalam area perumahan yang sangat mewah sampai membuatnya melongo tidak percaya. "Ini rumah apa istana? Bagus dan mewah sekali," pujinya dengan tidak percaya. "Tuan sudah menunggu ada di dalam, Nyonya," kata sopir yang sudah membukakan pintun
Lunar tidak mengerti kenapa ayah mertuanya mau bicara berdua dengan dirinya. Banyak hal yang bercokol dalam benaknya, baik pikiran baik ataupun pikiran buruk yang saling beradu. "Aku tidak akan biarkan Papa berdua saja dengan istriku! Kalau memang Papa memaksa, maka aku akan membawanya pergi dari sini!" seru Bumi menatap tajam ayahnya. Tuan Mahendra mendengus sebal dengan kelakuan anaknya yang begitu posesif pada perempuan yang di samping lelaki itu. "Aku juga tidak akan membiarkan Lunar di sini bersama Papa! Bisa saja nanti Papa menggodanya! Awws, sakit, Ma!" sambung Langit yang seketika meringis karena dicubit oleh sang Mama. "Makanya kamu kalau bicara jangan sembarangan! Papa mau bicara dengan Lunar pasti memang ada hal penting yang mau dibicarakan!" ucap Nyonya Mahendra pada kedua anaknya, lalu melihat pada sang suami. "Kalau Papa mau bicara dengan Lunar, ada baiknya Mama juga di sini agar kedua anak kita tidak perlu khawatir."Dengusan dilakukan oleh Bumi dan Langit setelah