Duh, apa lagi nih rencana Giselle dan Elizabeth? Pantau terus yaaa
Alice berkedip-kedip heran. Bukan karena apa yang dituduhkan sang mertua, tetapi karena penampilannya. "Mama, apakah kau baik-baik saja? Kenapa mukamu begitu merah?" "Jangan mengalihkan pembicaraan! Aku tanya kenapa kau berani berfoya-foya? Kau pikir itu uangmu? Itu uang putraku!" Alice tidak memedulikan omelan Elizabeth. Ia perhatikan angka yang berkedip-kedip pada layar. Bukan hanya detak jantung Elizabeth yang meningkat, tetapi juga tekanan darahnya. "Astaga," desah Alice samar. Sebelah tangannya langsung meraih pundak Sky. "Sayang, bisa tolong kau panggilkan perawat?" "Apakah Nenek sakit parah lagi?" Gadis mungil itu terbelalak. Dalam hati, ia merasa was-was. Ia sudah membuat Elizabeth kesal tadi. "Ya, tolong cepat panggil dia.""Baiklah, Mama."Sementara Sky berlari keluar, Alice menatap Elizabeth lekat-lekat. "Ma, tolong jangan marah-marah. Tensimu tinggi lagi.""Tinggi apanya? Aku baik-baik saja. Kau jangan mengada-ada. Apakah kau takut aku memintamu untuk mengembalikan u
Sambil menggembungkan pipi, Sky berkacak pinggang. "Nenek menyebalkan sekali. Dia sedang sakit tapi masih bisa menyulitkan Mama. Lihat saja kalau dia sudah sembuh nanti. Aku akan menasihatinya panjang lebar."Alice membelai rambut Sky dengan lembut. Ia bisa memaklumi kekesalan putrinya. "Apakah kamu butuh yang lain untuk membantumu?" Sky menggeleng. "Tidak, Mama. Ini adalah hadiah spesial dari kita untuk Paman Ed. Hanya kita berdua yang boleh mengerjakannya." "Baiklah, kalau begitu, Mama harus menjalankan tugas sekarang. Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk memanggil Mama, hmm?" "Oke, Mama."Dengan berat hati, Alice pergi ke ruang kerja Edmund. Di hadapan rak yang penuh dengan album foto, ia mendesah pasrah. "Ini demi Edmund. Dia pasti sedih kalau harus kehilangan ibunya," gumam Alice, memberi kekuatan untuk dirinya sendiri. "Mari memulai dari album foto yang paling tua."*** Sepulang kerja, Edmund langsung memeriksa kamar Sky. Ia mengira Alice berbaring di sana. Namun,
"Halo, Paman Ed." "Oh, halo, Sayang. Aku pikir ibumu yang menelepon. Ada apa?" Sky menutupi mulut dengan sebelah tangan, takut kegembiraannya terdengar. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya penasaran kapan Paman pulang. Paman jadi pulang cepat, kan?" "Ya, pekerjaanku sudah hampir selesai. Aku tinggal membereskan beberapa hal, lalu pulang. Kau sudah tidak sabar berkemas untuk perjalanan besok, hmm?" Sky melompat kecil. Gaun di tubuhnya mengembang terisi angin. "Ya! Aku benar-benar sudah tidak sabar. Seminggu ini kita tidak sempat bermain. Kita bahkan jarang berbincang. Aku punya banyak hal untuk diceritakan." Edmund terkekeh. "Oke, tunggulah sekitar satu jam lagi. Begitu aku sampai di rumah, mari bersenang-senang." "Ya!" Begitu percakapan berakhir, Edmund meletakkan ponsel sambil geleng-geleng kepala. Melihat keceriaan di wajah yang lelah itu, Scott tersenyum tipis. "Apakah itu Sky? Aku bisa mendengar semangatnya dari sini." "Ya, dia sudah tidak sabar ingin bermain denganku. Walaupun
Sky melirik Alice dengan bibir mencebik. "Ya. Paman mau bicara dengan Mama?" "Ya." Sky menyodorkan ponsel dengan raut jengkel. "Paman mau bicara dengan Mama. Dia pasti mau meminta Mama untuk menghiburku karena dia tidak bisa menepati janji." Hati Edmund bertambah berat mendengar gerutuan itu. Saat suara resah Alice menyambutnya, dadanya terasa sedikit sakit. "Alice, maaf. Mereka meminta penandatanganan kontrak dimajukan ke hari ini. Presdir mereka harus terbang ke luar negeri besok pagi. Tidak ada waktu lagi." Alice sebetulnya juga sedih, apalagi, Sky sudah berhenti menari-nari. Ia tidak tega melihat pundak sang putri terkulai lesu. Namun, demi meringankan beban Edmund, ia harus menahan diri. "Kontrak akan ditandatangani malam ini? Bukankah itu kabar baik? Wah, kita harus merayakannya! Bagaimana kalau kita mengadakan makan malam spesial hari ini? Aku bisa meminta para pelayan untuk menyiapkan menu kesukaanmu dan Sky."Mendengar suara ceria sang ibu, kepala Sky kembali tegak. Kese
"Apakah kau sedang meledekku? Kau menyebutku kekanakan dan bodoh?" Pita suara Elizabeth semakin terjepit. Matanya pun terpelotot. Khawatir tensi mertuanya naik lagi, Alice menepuk pundak Sky. "Sayang, cukup. Jangan membuat Nenek marah. Dia bisa sakit lagi," bisiknya. Bukannya menggubris, Sky malah meruncingkan telunjuk di samping kepala. "Bagaimana juga respons teman-teman Nenek kalau mereka tahu Nenek menolak makanan sehat? Nenek bahkan merengek meminta pizza yang banyak kejunya. Padahal, itu selera anak kecil. Mereka pasti akan tertawa dan menganggap tingkah Nenek konyol." "Kau! Berhenti mengolokku!" "Oh, aku ingat!" Sky mengacungkan telunjuk lebih tinggi. Matanya membulat memancarkan semangat. "Nenek bukan cuma menolak makan, tapi Nenek juga tidak mau minum obat. Padahal sudah kubilang kalau pilnya kecil, tapi Nenek tetap tidak mau meminumnya. Bukankah sikap Nenek saat itu sangat mirip dengan anak kecil? Kalau saja teman-teman Nenek tahu, mereka pasti akan mengolok Nenek.""Cuk
"Presdir yang tidak becus itu .... Apakah dia berpikir dia lebih berkuasa karena mendanai proyek kerja sama denganku?" gerutu Edmund.Selang satu dengusan, ia mengeluarkan ponsel, hendak menghubungi Alice lagi. Namun, tak ingin Sky kecewa untuk yang kedua kalinya, ia bergegas kembali ke meja. Ia sadar dirinya harus lebih tegas."Tuan Cage, di mana presdir Anda sekarang?" tanya Edmund, terdengar sedikit kesal. Pria di seberang meja memeriksa ponselnya. "Maaf atas ketidaknyamanan Anda, Tuan. Dua menit lagi mereka tiba. Kita bisa langsung memproses penandatanganan begitu mereka datang." Alis Edmund berkerut lebih dalam. Ia heran mengapa sang pria menyebut "mereka". Apakah presdir Elles Investment lebih dari satu orang? Atau sopirnya dihitung juga? "Saya harap Anda tidak lupa kalau waktu saya terbatas. Jika lima menit lagi presdir Anda tidak berada di sini, saya terpaksa meninggalkan kontrak tanpa tanda tangan." Tuan Cage mengangguk. "Mengerti, Tuan." Namun, tak sampai semenit, seoran
"Jadi, setelah melihatku seperti ini, bukankah kau menyesal?" Giselle meninggikan sebelah alis. Tidak mendapat jawaban, ia tertawa kecil. "Kalau saja sejak dulu kau memilihku, hidupmu pasti akan lebih bahagia. Perusahaanmu lebih sukses dan namamu juga lebih gemilang. Kau tidak akan terseret rumor miring karena aku tidak sebodoh Alice. Kalau aku menjadi istrimu, kupastikan kau selalu bangga padaku." "Begitukah?" timpal Edmund dingin. "Menurutmu, hidupku akan sempurna kalau bersamamu?" Giselle mengangguk tanpa berpikir panjang. "Ya. Bukankah itu sudah jelas?" Edmund tiba-tiba tertunduk. Sambil menghela napas samar, ia menggeleng-gelengkan kepala. "Ini sungguh sulit dipercaya." Mendengar gumaman itu, mata Giselle membulat. Ia seperti baru saja menangkap harapan, salah memahami kata-kata Edmund. "Kau tahu? Belum terlambat untuk mengubah keputusanmu. Tinggalkan Alice dan kembalilah kepadaku. Aku masih bersedia menerimamu." "Kembali padamu?" Edmund menegakkan kepalanya lagi. "Ya," G
"Apa itu?" Edmund mengedipkan matanya yang membulat.Giselle memperlihatkan layarnya di hadapan Edmund. Namun, sebelum sang pria berhasil merebut ponselnya, ia cepat-cepat mengamankan. "Menurutmu apa yang akan terjadi begitu Alice melihat foto ini? Dia akan salah paham? Patah hati? Mencoba untuk mengakhiri hidupnya lagi?" Giselle menaikkan alis. Suaranya menegaskan bahwa dirinya merasa di atas angin. Di luar dugaan, Edmund malah mendengus remeh. "Kau mau menggunakan trik itu lagi? Kau pikir kami akan tertipu untuk yang kedua kali?" Giselle mengerjap. "Trik apa yang kau maksud?" Ia memperbesar foto pada layar, lalu menunjukkannya kepada Edmund dari jarak yang sama. Dalam gambar yang dikirimkan oleh anak buahnya itu, Giselle tampak hendak memeluk Edmund. Tangan Edmund masih belum terangkat untuk menepisnya. "Kau pikir ini foto editan? Ini foto asli, foto saat aku tiba tadi." Edmund menghela napas lelah. "Tapi foto itu menyatakan hal yang bertentangan dengan kenyataan. Aku jelas-jel