Pagi, guuuys! Ada yang mau kalian sampaikan buat Alice dan Ed? Atau ke Sky mungkin? Terima kasih sudah membaca.
"Selamat pagi, Sayang. Apakah tidurmu nyenyak?" sapa Edmund begitu Alice membuka mata. Melihat wajah cerah sang suami, Alice tersenyum kecil. "Pagi, Ed. Kau tampak bersemangat sekali hari ini. Apakah kau sama sekali tidak lelah?" Edmund menggeleng sigap. "Sama sekali tidak. Aku justru merasa sangat segar." "Bukankah kamu kurang tidur?" "Tidak, aku tidur bersamamu sepanjang malam. Bagaimana bisa kurang?" Alice mendengus samar. "Kamu memang sulit dipercaya, Ed. Dari mana datangnya staminamu itu?" "Aku sudah menabungnya selama lima tahun. Jadi, tidak perlu heran. Apakah kamu kelelahan?" Alice mengangguk kecil. "Rasanya aku mau tidur saja hari ini. Badanku lemas." "Sayang sekali, ini hari Senin. Kamu adalah asistenku, jadi kamu harus ikut aku ke kantor." Mendengar celetukan itu, raut wajah Alice berubah kaku. Keraguan mewarnai matanya. "Ed, bisakah hari ini aku izin? Ibumu belum sembuh. Aku merasa tidak tenang kalau tidak ada yang menjaganya." "Ada dokter, perawat, Nyonya Klein
"Selamat pagi, Nenek. Bagaimana kabarmu hari ini? Kudengar tekanan darahmu sudah turun. Kamu pasti lebih sehat," sapa Sky saat memasuki kamar dengan buku gambar dan pensil warnanya. Melihat itu, Elizabeth langsung cemberut. Apalagi, Alice menyusul masuk dengan senyum cantik seperti biasa. "Selamat pagi, Ma. Apakah kepalamu masih sakit?" Elizabeth mendengus. Matanya berputar sejenak. "Jangan berpura-pura peduli padaku. Aku tahu, kau pasti senang aku menderita begini, kan?" Sky sangat ingin menegur. Akan tetapi, ia sudah diingatkan oleh Alice dan Edmund untuk tidak banyak bicara. Biar sang ibu yang menghadapi Elizabeth. Alhasil, ia hanya bisa menggerutu dalam hati. 'Kenapa Nenek jahat sekali? Padahal Mama sudah baik kepadanya, tapi dia masih saja berulah. Haruskah aku memberinya nasihat kalau dia sudah sembuh nanti?' Sementara Sky berpikir, Alice berjalan mendekati kasur. Ujaran ibu mertuanya tadi seolah tidak berarti. "Mama mau makan apa pagi ini? Nyonya Klein dan yang lain menyi
Sky mengangguk. "Ya, itu hadiah dari salah seorang wisatawan yang pernah Mama tolong saat tersesat dulu. Dia sempat ingin memberi Mama uang, tapi karena Mama menolak, dia memberi Mama anggrek itu." Mulut wanita itu sontak membulat. Matanya yang berbinar menatap Alice dengan penuh kekaguman. Menyadari hal itu, Elizabeth menggertakkan geraham. "Sky, kamu tidak perlu menceritakan soal itu. Bunga itu pemberian orang lain. Tidak seharusnya kamu banggakan." "Aku bukan menyombongkan diri, Nenek. Aku hanya menjelaskan kalau motif cantik di pakaian Nyonya ini adalah anggrek langka yang sangat mahal harganya. Kamu beruntung memiliki teman sekeren ini, Nenek. Kalau sudah besar nanti, aku juga mau membeli pakaian dengan motif anggrek." Wanita pemilik rok hitam bermotif emas itu pun terkekeh. Sambil tersenyum, ia mencubit pipi Sky. "Terima kasih, Anak Manis. Kau masih kecil tapi sudah tahu caranya membahagiakan orang lain." "Aku bukannya ingin membuatmu bahagia, Nyonya. Aku berkata jujur. Rok
Begitu duduk di paviliun, Sky langsung membongkar tas ranselnya. Ia keluarkan dua buah buku dari dalam sana. Disusunnya dengan rapi di atas meja. Kemudian, ia mendongak menatap sang ibu di seberang meja. Kedua tangannya ditumpuk seperti seorang murid sekolahan yang sudah siap belajar. "Mama tahu? Aku sudah selesai melakukan analisis." Mata Alice membulat. "Analisis?" Sky mengangguk mantap. "Ya, belakangan ini aku mengamati gerak-gerik semua orang. Aku melakukan analisis dan sudah menemukan kesimpulannya." Alice tercengang. Hatinya tergelitik oleh kelakuan putri kecilnya itu. "Baiklah. Apa kesimpulan yang kamu dapat?" Dengan raut serius, Sky menarik salah satu buku dan membukanya. Alice pun mencondongkan kepalanya maju. Gambar-gambar lucu telah memenuhi halaman. "Aku membuat ini semalam," Sky menancapkan telunjuk di atas kertas. "Ini adalah rangkuman dari intaksi Mama dengan Nenek dan Giselle." Alice berkedip-kedip dengan senyum tertahan. "Apakah yang kamu maksud interaksi?" Bi
"Mana mungkin aku melupakan ulang tahun calon suamiku? Edmund adalah laki-laki yang paling kucintai. Tentu saja aku harus menyiapkan kejutan besar untuknya," tutur Giselle sembari tersenyum simpul. Elizabeth menjadi semakin tertarik. "Memangnya apa yang kau rencanakan untuk Ed?" Giselle melirik Elizabeth dengan tatapan penuh makna. "Aku akan memperlihatkan sesuatu yang membuat Edmund tercengang. Dia akan langsung sadar bahwa aku bukanlah perempuan biasa. Dia pasti menyesal telah mengabaikanku dan lebih memilih Alice dulu." Elizabeth tidak mengerti apa yang Giselle katakan. Namun, melihat kepercayaan diri gadis itu, ia ikut tersenyum. "Kau yakin rencanamu kali ini akan berhasil?" "Ya, aku yakin dia akan bertekuk lutut padaku. Dia pasti mengagumiku dan mulai berpikir untuk meninggalkan Alice, asalkan ...." Gisel sengaja menggantungkan perkataannya. Penasaran dengan kelanjutannya, Elizabeth memajukan kepala. "Asalkan apa?" Sambil tersenyum simpul, Giselle mengangkat sebelah bahu. "A
Alice berkedip-kedip heran. Bukan karena apa yang dituduhkan sang mertua, tetapi karena penampilannya. "Mama, apakah kau baik-baik saja? Kenapa mukamu begitu merah?" "Jangan mengalihkan pembicaraan! Aku tanya kenapa kau berani berfoya-foya? Kau pikir itu uangmu? Itu uang putraku!" Alice tidak memedulikan omelan Elizabeth. Ia perhatikan angka yang berkedip-kedip pada layar. Bukan hanya detak jantung Elizabeth yang meningkat, tetapi juga tekanan darahnya. "Astaga," desah Alice samar. Sebelah tangannya langsung meraih pundak Sky. "Sayang, bisa tolong kau panggilkan perawat?" "Apakah Nenek sakit parah lagi?" Gadis mungil itu terbelalak. Dalam hati, ia merasa was-was. Ia sudah membuat Elizabeth kesal tadi. "Ya, tolong cepat panggil dia.""Baiklah, Mama."Sementara Sky berlari keluar, Alice menatap Elizabeth lekat-lekat. "Ma, tolong jangan marah-marah. Tensimu tinggi lagi.""Tinggi apanya? Aku baik-baik saja. Kau jangan mengada-ada. Apakah kau takut aku memintamu untuk mengembalikan u
Sambil menggembungkan pipi, Sky berkacak pinggang. "Nenek menyebalkan sekali. Dia sedang sakit tapi masih bisa menyulitkan Mama. Lihat saja kalau dia sudah sembuh nanti. Aku akan menasihatinya panjang lebar."Alice membelai rambut Sky dengan lembut. Ia bisa memaklumi kekesalan putrinya. "Apakah kamu butuh yang lain untuk membantumu?" Sky menggeleng. "Tidak, Mama. Ini adalah hadiah spesial dari kita untuk Paman Ed. Hanya kita berdua yang boleh mengerjakannya." "Baiklah, kalau begitu, Mama harus menjalankan tugas sekarang. Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk memanggil Mama, hmm?" "Oke, Mama."Dengan berat hati, Alice pergi ke ruang kerja Edmund. Di hadapan rak yang penuh dengan album foto, ia mendesah pasrah. "Ini demi Edmund. Dia pasti sedih kalau harus kehilangan ibunya," gumam Alice, memberi kekuatan untuk dirinya sendiri. "Mari memulai dari album foto yang paling tua."*** Sepulang kerja, Edmund langsung memeriksa kamar Sky. Ia mengira Alice berbaring di sana. Namun,
"Halo, Paman Ed." "Oh, halo, Sayang. Aku pikir ibumu yang menelepon. Ada apa?" Sky menutupi mulut dengan sebelah tangan, takut kegembiraannya terdengar. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya penasaran kapan Paman pulang. Paman jadi pulang cepat, kan?" "Ya, pekerjaanku sudah hampir selesai. Aku tinggal membereskan beberapa hal, lalu pulang. Kau sudah tidak sabar berkemas untuk perjalanan besok, hmm?" Sky melompat kecil. Gaun di tubuhnya mengembang terisi angin. "Ya! Aku benar-benar sudah tidak sabar. Seminggu ini kita tidak sempat bermain. Kita bahkan jarang berbincang. Aku punya banyak hal untuk diceritakan." Edmund terkekeh. "Oke, tunggulah sekitar satu jam lagi. Begitu aku sampai di rumah, mari bersenang-senang." "Ya!" Begitu percakapan berakhir, Edmund meletakkan ponsel sambil geleng-geleng kepala. Melihat keceriaan di wajah yang lelah itu, Scott tersenyum tipis. "Apakah itu Sky? Aku bisa mendengar semangatnya dari sini." "Ya, dia sudah tidak sabar ingin bermain denganku. Walaupun