Sky pintar, kan? Tunggu bab selanjutnya, ya.
Sky mengangguk. "Ya, itu hadiah dari salah seorang wisatawan yang pernah Mama tolong saat tersesat dulu. Dia sempat ingin memberi Mama uang, tapi karena Mama menolak, dia memberi Mama anggrek itu." Mulut wanita itu sontak membulat. Matanya yang berbinar menatap Alice dengan penuh kekaguman. Menyadari hal itu, Elizabeth menggertakkan geraham. "Sky, kamu tidak perlu menceritakan soal itu. Bunga itu pemberian orang lain. Tidak seharusnya kamu banggakan." "Aku bukan menyombongkan diri, Nenek. Aku hanya menjelaskan kalau motif cantik di pakaian Nyonya ini adalah anggrek langka yang sangat mahal harganya. Kamu beruntung memiliki teman sekeren ini, Nenek. Kalau sudah besar nanti, aku juga mau membeli pakaian dengan motif anggrek." Wanita pemilik rok hitam bermotif emas itu pun terkekeh. Sambil tersenyum, ia mencubit pipi Sky. "Terima kasih, Anak Manis. Kau masih kecil tapi sudah tahu caranya membahagiakan orang lain." "Aku bukannya ingin membuatmu bahagia, Nyonya. Aku berkata jujur. Rok
Begitu duduk di paviliun, Sky langsung membongkar tas ranselnya. Ia keluarkan dua buah buku dari dalam sana. Disusunnya dengan rapi di atas meja. Kemudian, ia mendongak menatap sang ibu di seberang meja. Kedua tangannya ditumpuk seperti seorang murid sekolahan yang sudah siap belajar. "Mama tahu? Aku sudah selesai melakukan analisis." Mata Alice membulat. "Analisis?" Sky mengangguk mantap. "Ya, belakangan ini aku mengamati gerak-gerik semua orang. Aku melakukan analisis dan sudah menemukan kesimpulannya." Alice tercengang. Hatinya tergelitik oleh kelakuan putri kecilnya itu. "Baiklah. Apa kesimpulan yang kamu dapat?" Dengan raut serius, Sky menarik salah satu buku dan membukanya. Alice pun mencondongkan kepalanya maju. Gambar-gambar lucu telah memenuhi halaman. "Aku membuat ini semalam," Sky menancapkan telunjuk di atas kertas. "Ini adalah rangkuman dari intaksi Mama dengan Nenek dan Giselle." Alice berkedip-kedip dengan senyum tertahan. "Apakah yang kamu maksud interaksi?" Bi
"Mana mungkin aku melupakan ulang tahun calon suamiku? Edmund adalah laki-laki yang paling kucintai. Tentu saja aku harus menyiapkan kejutan besar untuknya," tutur Giselle sembari tersenyum simpul. Elizabeth menjadi semakin tertarik. "Memangnya apa yang kau rencanakan untuk Ed?" Giselle melirik Elizabeth dengan tatapan penuh makna. "Aku akan memperlihatkan sesuatu yang membuat Edmund tercengang. Dia akan langsung sadar bahwa aku bukanlah perempuan biasa. Dia pasti menyesal telah mengabaikanku dan lebih memilih Alice dulu." Elizabeth tidak mengerti apa yang Giselle katakan. Namun, melihat kepercayaan diri gadis itu, ia ikut tersenyum. "Kau yakin rencanamu kali ini akan berhasil?" "Ya, aku yakin dia akan bertekuk lutut padaku. Dia pasti mengagumiku dan mulai berpikir untuk meninggalkan Alice, asalkan ...." Gisel sengaja menggantungkan perkataannya. Penasaran dengan kelanjutannya, Elizabeth memajukan kepala. "Asalkan apa?" Sambil tersenyum simpul, Giselle mengangkat sebelah bahu. "A
Alice berkedip-kedip heran. Bukan karena apa yang dituduhkan sang mertua, tetapi karena penampilannya. "Mama, apakah kau baik-baik saja? Kenapa mukamu begitu merah?" "Jangan mengalihkan pembicaraan! Aku tanya kenapa kau berani berfoya-foya? Kau pikir itu uangmu? Itu uang putraku!" Alice tidak memedulikan omelan Elizabeth. Ia perhatikan angka yang berkedip-kedip pada layar. Bukan hanya detak jantung Elizabeth yang meningkat, tetapi juga tekanan darahnya. "Astaga," desah Alice samar. Sebelah tangannya langsung meraih pundak Sky. "Sayang, bisa tolong kau panggilkan perawat?" "Apakah Nenek sakit parah lagi?" Gadis mungil itu terbelalak. Dalam hati, ia merasa was-was. Ia sudah membuat Elizabeth kesal tadi. "Ya, tolong cepat panggil dia.""Baiklah, Mama."Sementara Sky berlari keluar, Alice menatap Elizabeth lekat-lekat. "Ma, tolong jangan marah-marah. Tensimu tinggi lagi.""Tinggi apanya? Aku baik-baik saja. Kau jangan mengada-ada. Apakah kau takut aku memintamu untuk mengembalikan u
Sambil menggembungkan pipi, Sky berkacak pinggang. "Nenek menyebalkan sekali. Dia sedang sakit tapi masih bisa menyulitkan Mama. Lihat saja kalau dia sudah sembuh nanti. Aku akan menasihatinya panjang lebar."Alice membelai rambut Sky dengan lembut. Ia bisa memaklumi kekesalan putrinya. "Apakah kamu butuh yang lain untuk membantumu?" Sky menggeleng. "Tidak, Mama. Ini adalah hadiah spesial dari kita untuk Paman Ed. Hanya kita berdua yang boleh mengerjakannya." "Baiklah, kalau begitu, Mama harus menjalankan tugas sekarang. Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk memanggil Mama, hmm?" "Oke, Mama."Dengan berat hati, Alice pergi ke ruang kerja Edmund. Di hadapan rak yang penuh dengan album foto, ia mendesah pasrah. "Ini demi Edmund. Dia pasti sedih kalau harus kehilangan ibunya," gumam Alice, memberi kekuatan untuk dirinya sendiri. "Mari memulai dari album foto yang paling tua."*** Sepulang kerja, Edmund langsung memeriksa kamar Sky. Ia mengira Alice berbaring di sana. Namun,
"Halo, Paman Ed." "Oh, halo, Sayang. Aku pikir ibumu yang menelepon. Ada apa?" Sky menutupi mulut dengan sebelah tangan, takut kegembiraannya terdengar. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya penasaran kapan Paman pulang. Paman jadi pulang cepat, kan?" "Ya, pekerjaanku sudah hampir selesai. Aku tinggal membereskan beberapa hal, lalu pulang. Kau sudah tidak sabar berkemas untuk perjalanan besok, hmm?" Sky melompat kecil. Gaun di tubuhnya mengembang terisi angin. "Ya! Aku benar-benar sudah tidak sabar. Seminggu ini kita tidak sempat bermain. Kita bahkan jarang berbincang. Aku punya banyak hal untuk diceritakan." Edmund terkekeh. "Oke, tunggulah sekitar satu jam lagi. Begitu aku sampai di rumah, mari bersenang-senang." "Ya!" Begitu percakapan berakhir, Edmund meletakkan ponsel sambil geleng-geleng kepala. Melihat keceriaan di wajah yang lelah itu, Scott tersenyum tipis. "Apakah itu Sky? Aku bisa mendengar semangatnya dari sini." "Ya, dia sudah tidak sabar ingin bermain denganku. Walaupun
Sky melirik Alice dengan bibir mencebik. "Ya. Paman mau bicara dengan Mama?" "Ya." Sky menyodorkan ponsel dengan raut jengkel. "Paman mau bicara dengan Mama. Dia pasti mau meminta Mama untuk menghiburku karena dia tidak bisa menepati janji." Hati Edmund bertambah berat mendengar gerutuan itu. Saat suara resah Alice menyambutnya, dadanya terasa sedikit sakit. "Alice, maaf. Mereka meminta penandatanganan kontrak dimajukan ke hari ini. Presdir mereka harus terbang ke luar negeri besok pagi. Tidak ada waktu lagi." Alice sebetulnya juga sedih, apalagi, Sky sudah berhenti menari-nari. Ia tidak tega melihat pundak sang putri terkulai lesu. Namun, demi meringankan beban Edmund, ia harus menahan diri. "Kontrak akan ditandatangani malam ini? Bukankah itu kabar baik? Wah, kita harus merayakannya! Bagaimana kalau kita mengadakan makan malam spesial hari ini? Aku bisa meminta para pelayan untuk menyiapkan menu kesukaanmu dan Sky."Mendengar suara ceria sang ibu, kepala Sky kembali tegak. Kese
"Apakah kau sedang meledekku? Kau menyebutku kekanakan dan bodoh?" Pita suara Elizabeth semakin terjepit. Matanya pun terpelotot. Khawatir tensi mertuanya naik lagi, Alice menepuk pundak Sky. "Sayang, cukup. Jangan membuat Nenek marah. Dia bisa sakit lagi," bisiknya. Bukannya menggubris, Sky malah meruncingkan telunjuk di samping kepala. "Bagaimana juga respons teman-teman Nenek kalau mereka tahu Nenek menolak makanan sehat? Nenek bahkan merengek meminta pizza yang banyak kejunya. Padahal, itu selera anak kecil. Mereka pasti akan tertawa dan menganggap tingkah Nenek konyol." "Kau! Berhenti mengolokku!" "Oh, aku ingat!" Sky mengacungkan telunjuk lebih tinggi. Matanya membulat memancarkan semangat. "Nenek bukan cuma menolak makan, tapi Nenek juga tidak mau minum obat. Padahal sudah kubilang kalau pilnya kecil, tapi Nenek tetap tidak mau meminumnya. Bukankah sikap Nenek saat itu sangat mirip dengan anak kecil? Kalau saja teman-teman Nenek tahu, mereka pasti akan mengolok Nenek.""Cuk