Ada yang mau kalian sampaikan untuk Giselle?
"Mama, kenapa Paman Ed belum pulang juga? Kukira kita akan makan malam bersamanya," gumam Sky sambil mengaduk supnya dengan malas. "Baru beberapa jam kamu tidak bertemu Papa, kamu sudah merindukannya?" Alice tersenyum simpul. Sky mengangguk. "Ya, waktu terasa berjalan lebih lambat kalau tidak ada Paman Ed. Aku sampai bosan menunggu malam datang. Apalagi, Nenek dan Giselle sangat menyebalkan tadi." "Kenapa mereka menyebalkan?" Suara Edmund tiba-tiba datang dari pintu. Sky sontak menoleh. Mendapati kehadiran sang ayah, matanya membulat. "Paman Ed!" Sambil tertawa-tawa, ia turun dari kursi, berlari memeluk Edmund. "Paman Ed, kenapa baru pulang? Aku sudah menunggu sejak tadi. Kamu tahu seperti apa rasanya bermain sendirian? Sangat-sangat membosankan!" Edmund terkekeh mendengar gerutuan yang lucu itu. "Maaf, pekerjaanku banyak tadi. Aku juga tidak menduga kalau akan selama ini. Tapi, Sky, bukankah aku sudah memberimu tugas? Kau seharusnya tidak bosan kalau fokus melaksanakannya." "Ak
"Halo, Ma. Bagaimana kondisimu? Sudah lebih baik?" tanya Edmund saat Elizabeth terbangun di tengah malam. Elizabeth berkedip lemah. Ia melirik sekelilingnya. Tidak ada Alice ataupun Sky di sana. Hanya ada sang putra dan monitor pasien di sisi ranjang. "Apakah aku akan mati?" tanyanya lirih. Edmund menggeleng tipis. "Tensi Mama sudah turun, tapi masih tinggi. Mama perlu istirahat dan jangan terlalu banyak berpikir." Mendapat pengingat semacam itu, Elizabeth malah mengerutkan alis. Selang satu helaan napas cepat, ia menggerutu, "Ini pasti karena Alice. Kalau saja dia merawatku dengan benar, aku pasti tidak akan sakit begini." Kepala Edmund bergerak maju. Kerutan di dahinya bertambah banyak. "Apakah aku tidak salah dengar? Mama menyalahkan Alice?" "Siapa lagi yang bisa kusalahkan kalau bukan dia? Dia yang tidak becus mengurusku." Edmund menghela napas tak percaya. Sambil memiringkan kepala, ia menurunkan nada bicaranya. "Mama tahu dokter bilang apa? Tekanan darah Mama naik akibat
Edmund masuk ke kamar Sky tanpa bersuara. Meski lampu dimatikan, samar-samar, ia dapat melihat Alice berbaring miring memeluk putri kecil mereka. "Mengapa Mama begitu tega kepada Alice? Padahal, Alice adalah seorang istri dan ibu yang sangat baik. Dia juga seorang menantu yang perhatian. Mengapa Mama masih tidak bisa menerimanya dengan baik?" renung Edmund getir. Selang satu helaan napas, ia duduk di tepi ranjang. Ia perhatikan sang istri yang malang. Merasa iba, tangannya mulai mengelus rambut Alice lembut. "Maaf aku belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Maaf aku belum bisa mengubah perlakuan ibuku terhadapmu." Entah karena sentuhan atau bisikan Edmund, Alice terbangun. "Ed?" Ia melepas Sky dengan hati-hati lalu bangkit. "Ada apa? Apakah sesuatu terjadi pada Mama?" Mendengar kekhawatiran itu, napas Edmund semakin berat. "Tidak, Mama baik-baik saja. Tekanan darahnya sudah turun. Aku juga sudah meminta perawat untuk menemani dan memeriksanya sekali lagi." Alice berkedip-ked
"Selamat pagi, Sayang. Apakah tidurmu nyenyak?" sapa Edmund begitu Alice membuka mata. Melihat wajah cerah sang suami, Alice tersenyum kecil. "Pagi, Ed. Kau tampak bersemangat sekali hari ini. Apakah kau sama sekali tidak lelah?" Edmund menggeleng sigap. "Sama sekali tidak. Aku justru merasa sangat segar." "Bukankah kamu kurang tidur?" "Tidak, aku tidur bersamamu sepanjang malam. Bagaimana bisa kurang?" Alice mendengus samar. "Kamu memang sulit dipercaya, Ed. Dari mana datangnya staminamu itu?" "Aku sudah menabungnya selama lima tahun. Jadi, tidak perlu heran. Apakah kamu kelelahan?" Alice mengangguk kecil. "Rasanya aku mau tidur saja hari ini. Badanku lemas." "Sayang sekali, ini hari Senin. Kamu adalah asistenku, jadi kamu harus ikut aku ke kantor." Mendengar celetukan itu, raut wajah Alice berubah kaku. Keraguan mewarnai matanya. "Ed, bisakah hari ini aku izin? Ibumu belum sembuh. Aku merasa tidak tenang kalau tidak ada yang menjaganya." "Ada dokter, perawat, Nyonya Klein
"Selamat pagi, Nenek. Bagaimana kabarmu hari ini? Kudengar tekanan darahmu sudah turun. Kamu pasti lebih sehat," sapa Sky saat memasuki kamar dengan buku gambar dan pensil warnanya. Melihat itu, Elizabeth langsung cemberut. Apalagi, Alice menyusul masuk dengan senyum cantik seperti biasa. "Selamat pagi, Ma. Apakah kepalamu masih sakit?" Elizabeth mendengus. Matanya berputar sejenak. "Jangan berpura-pura peduli padaku. Aku tahu, kau pasti senang aku menderita begini, kan?" Sky sangat ingin menegur. Akan tetapi, ia sudah diingatkan oleh Alice dan Edmund untuk tidak banyak bicara. Biar sang ibu yang menghadapi Elizabeth. Alhasil, ia hanya bisa menggerutu dalam hati. 'Kenapa Nenek jahat sekali? Padahal Mama sudah baik kepadanya, tapi dia masih saja berulah. Haruskah aku memberinya nasihat kalau dia sudah sembuh nanti?' Sementara Sky berpikir, Alice berjalan mendekati kasur. Ujaran ibu mertuanya tadi seolah tidak berarti. "Mama mau makan apa pagi ini? Nyonya Klein dan yang lain menyi
Sky mengangguk. "Ya, itu hadiah dari salah seorang wisatawan yang pernah Mama tolong saat tersesat dulu. Dia sempat ingin memberi Mama uang, tapi karena Mama menolak, dia memberi Mama anggrek itu." Mulut wanita itu sontak membulat. Matanya yang berbinar menatap Alice dengan penuh kekaguman. Menyadari hal itu, Elizabeth menggertakkan geraham. "Sky, kamu tidak perlu menceritakan soal itu. Bunga itu pemberian orang lain. Tidak seharusnya kamu banggakan." "Aku bukan menyombongkan diri, Nenek. Aku hanya menjelaskan kalau motif cantik di pakaian Nyonya ini adalah anggrek langka yang sangat mahal harganya. Kamu beruntung memiliki teman sekeren ini, Nenek. Kalau sudah besar nanti, aku juga mau membeli pakaian dengan motif anggrek." Wanita pemilik rok hitam bermotif emas itu pun terkekeh. Sambil tersenyum, ia mencubit pipi Sky. "Terima kasih, Anak Manis. Kau masih kecil tapi sudah tahu caranya membahagiakan orang lain." "Aku bukannya ingin membuatmu bahagia, Nyonya. Aku berkata jujur. Rok
Begitu duduk di paviliun, Sky langsung membongkar tas ranselnya. Ia keluarkan dua buah buku dari dalam sana. Disusunnya dengan rapi di atas meja. Kemudian, ia mendongak menatap sang ibu di seberang meja. Kedua tangannya ditumpuk seperti seorang murid sekolahan yang sudah siap belajar. "Mama tahu? Aku sudah selesai melakukan analisis." Mata Alice membulat. "Analisis?" Sky mengangguk mantap. "Ya, belakangan ini aku mengamati gerak-gerik semua orang. Aku melakukan analisis dan sudah menemukan kesimpulannya." Alice tercengang. Hatinya tergelitik oleh kelakuan putri kecilnya itu. "Baiklah. Apa kesimpulan yang kamu dapat?" Dengan raut serius, Sky menarik salah satu buku dan membukanya. Alice pun mencondongkan kepalanya maju. Gambar-gambar lucu telah memenuhi halaman. "Aku membuat ini semalam," Sky menancapkan telunjuk di atas kertas. "Ini adalah rangkuman dari intaksi Mama dengan Nenek dan Giselle." Alice berkedip-kedip dengan senyum tertahan. "Apakah yang kamu maksud interaksi?" Bi
"Mana mungkin aku melupakan ulang tahun calon suamiku? Edmund adalah laki-laki yang paling kucintai. Tentu saja aku harus menyiapkan kejutan besar untuknya," tutur Giselle sembari tersenyum simpul. Elizabeth menjadi semakin tertarik. "Memangnya apa yang kau rencanakan untuk Ed?" Giselle melirik Elizabeth dengan tatapan penuh makna. "Aku akan memperlihatkan sesuatu yang membuat Edmund tercengang. Dia akan langsung sadar bahwa aku bukanlah perempuan biasa. Dia pasti menyesal telah mengabaikanku dan lebih memilih Alice dulu." Elizabeth tidak mengerti apa yang Giselle katakan. Namun, melihat kepercayaan diri gadis itu, ia ikut tersenyum. "Kau yakin rencanamu kali ini akan berhasil?" "Ya, aku yakin dia akan bertekuk lutut padaku. Dia pasti mengagumiku dan mulai berpikir untuk meninggalkan Alice, asalkan ...." Gisel sengaja menggantungkan perkataannya. Penasaran dengan kelanjutannya, Elizabeth memajukan kepala. "Asalkan apa?" Sambil tersenyum simpul, Giselle mengangkat sebelah bahu. "A