"Jadi, Luna yang kau maksud itu adalah dia?" Tanyaku penuh selidik. Mencoba menahan gejolak amarah."Iya, itu Luna. Gadis yang sedari tadi kita bicarakan. Kenapa mas? Apa kau mengenalnya?" tanya Keenan sumringah. Taklama, tangannya melambai ke arah Luna. "Aku tak ...." Ucapanku terhenti karena kulihat pandangan Keenan kini fokus pada istri kecilku itu. Untuk sesaat aku merasa lega, karena tak perlu menjawab pertanyaannya, namun, bagaimana dengan Luna?Aku menatap Luna yang berjalan kearah kami dengan perasaan marah bercampur gelisah. Tanganku kini mengetuk meja, mencoba meredakan dan menutupi rasa ketidaknyamananku. Ingin rasanya aku beranjak pergi dari sini dan menarik tangan Luna, namun entah mengapa kakiku seolah tertahan.Reshwara, apa yang sedang kau lakukan di tempat ini? Batinku kini berbisik.Langkah Luna semakin dekat, membuatku semakin gelisah, bagaimana jika ia bertanya mengapa aku bisa ada di kampusnya?Bisa puas Mak Lampir itu menertawakanku jika sampai Ia mengetahui
"Ada apa kau melihatku begitu?" Ketusku lalu menyilangkan tangan di depan dada, mencoba menutupi rasa gugup ini. "Tidak, aku hanya tidak menyangka kalau Mas bisa ada di kampusku?!" Sahutnya cepat. "Memangnya kenapa kalau aku ada di sini? Ada aturan yang tidak memperbolehkanku datang kesini? Jangan lupa kalau aku adalah salah satu sponsor acara amal nanti. Jadi bersikap baiklah padaku," ucapku dengan sedikit menaikkan volume suara. Mencoba menunjukkan eksistensiku padanya. "Oh, tapi aku tak yakin jika kedatangan mas kesini hanya untuk membahas masalah acara amal itu. Mas kan seorang direktur, punya anak buah. Seharusnya kan bisa menyuruh seseorang atau mungkin tinggal menelpon saja perwakilan dari kampus untuk membicarakannya, apalagi ini hanya soal sponsor. Bagi seorang direktur utama, ini bukanlah perkara penting." "Maksudmu apa? Jangan membuatku bingung," aku mendesis. Pandangan mata Luna kini semakin tajam padaku, membuatku seakan menjadi seorang pesakitan di hadapan hakim. T
Darimana Luna tahu soal Saskia? Bukankah selama ini aku tidak pernah menceritakan tentang Saskia padanya? "Saskia siapa?" Tanyaku berpura-pura. "Masa sih kau tidak mengenalnya, Mas? Bukankah ia model terkenal?" Mata Luna menyipit padaku, seakan tengah mengintrogasi. Membuat rasa gugup ini semakin mendera sekujur tubuh. "A-aku tidak mengenalnya," jawabku gugup lalu memalingkan wajah. Sungguh tidak nyaman ditatap seperti itu oleh Luna. "Oh, kupikir Mas adalah kekasihnya, soalnya, aku lihat berita tentang kalian berdua saling berpelukan saat sedang berlibur di Paris empat bulan lalu. Sungguh mesra," ejek Luna dengan seringai anehnya itu. "Hmm itu hanya kebetulan. Saat itu aku ada proyek yang sama dengannya. Haha iya ... seperti itu," entah mengapa aku salah tingkah menjawabnya. Oh, ayolah Reshwara. Kau pria yang diimpikan banyak wanita, masa takut menghadapi seorang Luna? Gunakan pesonamu atau setidaknya keluarkan jurus terakhir yang selalu ampuh kau gunakan untuk menaklukkan
Ada rasa bersalah dalam hatiku jika ternyata dugaanku itu benar. Mungkinkah Luna tak seburuk pikiranku selama ini? Kututup kembali pintu kamarku, lalu mengenakan kembali kemejaku. Perlahan kakiku melangkah pelan meninggalkan kamar menuju ke lantai bawah di mana dapur berada. Dari balik dinding aku melihat Luna duduk sendiri menikmati makanannya. Tak banyak, hanya sepiring nasi dan telur dadar. Tunggu hanya telur dadar saja? Tak ada yang lainnya seperti ayam atau setidaknya ikan goreng? Seketika rasa bersalahku kembali timbul, jika membandingkan dengan menu makan mewahku bersama Saskia tadi di restoran, apa yang di makan Luna di sana seakan menamparku. Aku memberanikan diri menghampirinya, berpura-pura hendak mengambil minuman dingin di kulkas yang berada tepat di belakang kursi yang di dudukinya, kulihat ia hanya menoleh sebentar lalu kembali menikmati makanannya. "Kau makan hanya dengan itu?" tanyaku ketus. "Iya. Ini enak kok. Mas Rei mau coba?" Tawarnya. "Tidak, aku tak terbi
"Ma-mama, kesini? Kok nggak ngabarin sebelumnya sih?" Tanyaku terkejut sambil memaksakan diri tersenyum. Mata mama menyipit padaku, menatap tiap-tiap jengkal tubuhku yang hanya mengenakan celana pendek dan kaus saja. Seakan aku adalah seorang pencuri yang sedang kepergok mencuri uang dalam dompetnya. "Apa yang kulakukan di dalam kamar ini? Tak malu membiarkan Luna membereskan pekerjaan rumah sendiri, sementara kau tidur sampai siang?" Tuding mama. Aku menelan ludah mendengarnya, mengapa pula Luna tidak memberi tahu sebelumnya jika mama ada di sini, atau jangan-jangan dia sedang balas dendam? Tapi balas dendam untuk apa? Rasanya aku tidak membuat kesalahan. Ekor mata mama terlihat ingin mengintip isi kamarku, segera saja kuhalangi pandangannya, lalu perlahan menggeser tubuhku dan menutup rapat pintunya. Untung saja aku cepat menyadari sikap mama, bisa gawat kalau ia mengetahui bahwa aku dan Luna tidak tidur dalam satu kamar, Ah, Reshwara mengapa hidupmu sampai serumit ini.
"Aku juga sudah jelasin sama Mama, kalau tiap malam kita berikhtiar, ya kan Mas?" lanjut Luna, entah mengapa tiba-tiba saja tawa mama pecah. "Aduh Luna, mama tidak tahan mau ketawa. Raina benar, kau memang anak yang menyenangkan." Entah mengapa mama memujinya. Rasanya tidak ada yang lucu. Justru aku ingin protes, karena semua yang dikatakan Luna tak lebih dari sebuah kebohongan belaka. Ikhtiar? Ikhtiar apaan? bahkan di sentuh saja belum?" "Kau ini Rei, makanya kalau orang tua lagi ngomong itu mbok ya didengerin dulu. Bukannya sibuk mikirin malam panas kalian." Ucapan mama membuatku melongo, malam panas? Istilah apa lagi itu? sebenarnya apa maksudnya? Ayolah Reshwara, jangan sampai kau terlihat menyedihkan seperti ini di depan ibumu sendiri. "Maksudnya apa sih ma?" "Luna tadi hanya asal bicara saja. Sebenarnya tadi mama bilang kalau Bi Asih belum bisa ke sini karena mau pulang kampung dulu, mau urus anaknya yang mau melahirkan," terang mama. "Makanya kalau orang tua ngomong i
"Iya, aku lupa kalau ada kencan, Mas. Lebih baik mas bawa kunci cadangan karena mungkin aku juga akan pulang malam," jawabnya. Entah mengapa mendadak aku merasa melihat kunang-kunang terbang di atas kepalaku. "Apa!" "Ke-kencan? Apa maksudmu?" Aku mengernyitkan dahi, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Iya, mas. Kenapa apa ada yang salah?" Sanggahnya. "Dengan siapa?" Mataku membulat menatapnya. Mendengar ucapanku, bukannya menjawab Luna malah menyeringai, lalu membalas tatapanku seakan ingin menantangku. "Apa aku harus memberi tahumu juga, Mas?" Untuk beberapa saat aku tak percaya dengan apa yang kudengar, kalimat itu, bukankah kalimat yang kuucapkan padanya tadi saat ia bertanya? Dan sekarang kalimat itu dikembalikannya padaku. Kami masih saling melempar pandangan, melihat sikapnya, entah mengapa aku seakan merasa tak dihargai. Berani sekali ia berkata seperti itu, di hadapanku, suaminya. "Aku harus tahu kau pergi kemana dan bersama siapa, bagaimanapun
"Halo sayang, temani aku belanja yuk," terdengar suara manja Saskia di ujung sambungan telepon ini menggelitik telingaku. ***Beberapa jam kemudian, Suasana rumah yang temaram membuat keningku berkerut. Kulihat tak ada satupun lampu yang menyala, mungkinkah Luna belum pulang dan masih menikmati kencannya bersama Keenan? Kulirik arloji di pergelangan tangan yang sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Apa yang dilakukan Luna dan Keenan hingga sampai malam begini masih belum pulang? Aku menghela nafas berat, saat mengingat apa yang kulihat saat di restoran tadi. Tampaknya mereka berdua janji bertemu lalu menghabiskan waktu bersama. Ah, Mengapa terasa sesak di dada membayangkan senyum Luna ketika ia melambaikan tangannya pada Keenan tadi? Ah, Reshwara. Kau benar-benar seorang suami yang tak terjamah. Di mana pesona ketampanan yang selalu kau banggakan itu? Bahkan wajah dan kemapanan yang selalu kau banggakan itu tidak mampu membuat Luna berpaling bahkan berselingkuh di belakan