Keesokan paginya. "Mas, aku berangkat ke kampus dulu, ya," pamit Luna padaku saat hendak mengambil ponsel yang tertinggal di kamar. "Naik apa?" tanyaku berbasa-basi. "Aku udah pesan ojek online," jawabnya. "Oh, nanti pulangnya kapan?" "Mungkin agak sorean. Sudah ya Mas. Aku berangkat dulu, sebentar lagi ojeknya datang," ujar Luna bergegas meraih punggung tanganku dan menciumnya. "Hati hati," ucapku cepat. Jujur saja aku agak cemas membiarkannya naik ojek dengan orang yang tidak dikenal. Tapi jika aku menawarkan diri mengantarnya ke kampus, nanti dia bisa besar kepala. Ah, tidak, aku tak mau itu terjadi! Biarkan saja ia pergi naik ojek. Bukankah tadi ia bilang sudah biasa? Lagipula aku masih kesal dengan kejadian semalam. Ia begitu sukses membuatku malu. Bayangkan seorang Reshwara yang tampan dan mapan, pria yang diinginkan banyak wanita cantik tiba- tiba jatuh dalam tipuan seorang gadis remaja berusia sembilan tahun? Benar benar memalukan dan menjatuhkan wibawaku saja seba
"Terima kasih banyak, mas. Luna pasti senang mendengarnya." Ucapan Keenan barusan membuatku seketika melongo, apa tadi katanya, Luna? Spontan aku teringat akan Mak lampir itu. Seseorang yang menyebabkanku bisa nyasar ke tempat ini. "Luna? Apa dia temanmu?" Tanyaku penasaran. Entah mengapa rasanya tidak nyaman jika mendengar nama gadis menyebalkan itu disebut oleh pria lain. Tapi mengapa aku tiba-tiba kesal begini bukankah gadis yang bernama Luna itu banyak? Lagipula, rasanya tak mungkin Keenan tidak mengenal sosok Mak lampir itu, karena Tante Wina, Ibunya sempat berfoto bersama Luna selepas acara akad nikah kami. Ah, mungkin ini karena aku terlalu banyak berpikir. Apalagi jika mengingat perbuatan Luna semalam. Sungguh rasanya ingin menghukum gadis itu. "Tentu saja, ia gadis yang kuincar," ucap Keenan dengan mata berbinar. Tampak jelas sekali jika pria muda ini sedang jatuh cinta. Sinar matahari yang mulai terasa menyengat di wajah, membuatku sadar jika tak seharusn
"Jadi, Luna yang kau maksud itu adalah dia?" Tanyaku penuh selidik. Mencoba menahan gejolak amarah."Iya, itu Luna. Gadis yang sedari tadi kita bicarakan. Kenapa mas? Apa kau mengenalnya?" tanya Keenan sumringah. Taklama, tangannya melambai ke arah Luna. "Aku tak ...." Ucapanku terhenti karena kulihat pandangan Keenan kini fokus pada istri kecilku itu. Untuk sesaat aku merasa lega, karena tak perlu menjawab pertanyaannya, namun, bagaimana dengan Luna?Aku menatap Luna yang berjalan kearah kami dengan perasaan marah bercampur gelisah. Tanganku kini mengetuk meja, mencoba meredakan dan menutupi rasa ketidaknyamananku. Ingin rasanya aku beranjak pergi dari sini dan menarik tangan Luna, namun entah mengapa kakiku seolah tertahan.Reshwara, apa yang sedang kau lakukan di tempat ini? Batinku kini berbisik.Langkah Luna semakin dekat, membuatku semakin gelisah, bagaimana jika ia bertanya mengapa aku bisa ada di kampusnya?Bisa puas Mak Lampir itu menertawakanku jika sampai Ia mengetahui
"Ada apa kau melihatku begitu?" Ketusku lalu menyilangkan tangan di depan dada, mencoba menutupi rasa gugup ini. "Tidak, aku hanya tidak menyangka kalau Mas bisa ada di kampusku?!" Sahutnya cepat. "Memangnya kenapa kalau aku ada di sini? Ada aturan yang tidak memperbolehkanku datang kesini? Jangan lupa kalau aku adalah salah satu sponsor acara amal nanti. Jadi bersikap baiklah padaku," ucapku dengan sedikit menaikkan volume suara. Mencoba menunjukkan eksistensiku padanya. "Oh, tapi aku tak yakin jika kedatangan mas kesini hanya untuk membahas masalah acara amal itu. Mas kan seorang direktur, punya anak buah. Seharusnya kan bisa menyuruh seseorang atau mungkin tinggal menelpon saja perwakilan dari kampus untuk membicarakannya, apalagi ini hanya soal sponsor. Bagi seorang direktur utama, ini bukanlah perkara penting." "Maksudmu apa? Jangan membuatku bingung," aku mendesis. Pandangan mata Luna kini semakin tajam padaku, membuatku seakan menjadi seorang pesakitan di hadapan hakim. T
Darimana Luna tahu soal Saskia? Bukankah selama ini aku tidak pernah menceritakan tentang Saskia padanya? "Saskia siapa?" Tanyaku berpura-pura. "Masa sih kau tidak mengenalnya, Mas? Bukankah ia model terkenal?" Mata Luna menyipit padaku, seakan tengah mengintrogasi. Membuat rasa gugup ini semakin mendera sekujur tubuh. "A-aku tidak mengenalnya," jawabku gugup lalu memalingkan wajah. Sungguh tidak nyaman ditatap seperti itu oleh Luna. "Oh, kupikir Mas adalah kekasihnya, soalnya, aku lihat berita tentang kalian berdua saling berpelukan saat sedang berlibur di Paris empat bulan lalu. Sungguh mesra," ejek Luna dengan seringai anehnya itu. "Hmm itu hanya kebetulan. Saat itu aku ada proyek yang sama dengannya. Haha iya ... seperti itu," entah mengapa aku salah tingkah menjawabnya. Oh, ayolah Reshwara. Kau pria yang diimpikan banyak wanita, masa takut menghadapi seorang Luna? Gunakan pesonamu atau setidaknya keluarkan jurus terakhir yang selalu ampuh kau gunakan untuk menaklukkan
Ada rasa bersalah dalam hatiku jika ternyata dugaanku itu benar. Mungkinkah Luna tak seburuk pikiranku selama ini? Kututup kembali pintu kamarku, lalu mengenakan kembali kemejaku. Perlahan kakiku melangkah pelan meninggalkan kamar menuju ke lantai bawah di mana dapur berada. Dari balik dinding aku melihat Luna duduk sendiri menikmati makanannya. Tak banyak, hanya sepiring nasi dan telur dadar. Tunggu hanya telur dadar saja? Tak ada yang lainnya seperti ayam atau setidaknya ikan goreng? Seketika rasa bersalahku kembali timbul, jika membandingkan dengan menu makan mewahku bersama Saskia tadi di restoran, apa yang di makan Luna di sana seakan menamparku. Aku memberanikan diri menghampirinya, berpura-pura hendak mengambil minuman dingin di kulkas yang berada tepat di belakang kursi yang di dudukinya, kulihat ia hanya menoleh sebentar lalu kembali menikmati makanannya. "Kau makan hanya dengan itu?" tanyaku ketus. "Iya. Ini enak kok. Mas Rei mau coba?" Tawarnya. "Tidak, aku tak terbi
"Ma-mama, kesini? Kok nggak ngabarin sebelumnya sih?" Tanyaku terkejut sambil memaksakan diri tersenyum. Mata mama menyipit padaku, menatap tiap-tiap jengkal tubuhku yang hanya mengenakan celana pendek dan kaus saja. Seakan aku adalah seorang pencuri yang sedang kepergok mencuri uang dalam dompetnya. "Apa yang kulakukan di dalam kamar ini? Tak malu membiarkan Luna membereskan pekerjaan rumah sendiri, sementara kau tidur sampai siang?" Tuding mama. Aku menelan ludah mendengarnya, mengapa pula Luna tidak memberi tahu sebelumnya jika mama ada di sini, atau jangan-jangan dia sedang balas dendam? Tapi balas dendam untuk apa? Rasanya aku tidak membuat kesalahan. Ekor mata mama terlihat ingin mengintip isi kamarku, segera saja kuhalangi pandangannya, lalu perlahan menggeser tubuhku dan menutup rapat pintunya. Untung saja aku cepat menyadari sikap mama, bisa gawat kalau ia mengetahui bahwa aku dan Luna tidak tidur dalam satu kamar, Ah, Reshwara mengapa hidupmu sampai serumit ini.
"Aku juga sudah jelasin sama Mama, kalau tiap malam kita berikhtiar, ya kan Mas?" lanjut Luna, entah mengapa tiba-tiba saja tawa mama pecah. "Aduh Luna, mama tidak tahan mau ketawa. Raina benar, kau memang anak yang menyenangkan." Entah mengapa mama memujinya. Rasanya tidak ada yang lucu. Justru aku ingin protes, karena semua yang dikatakan Luna tak lebih dari sebuah kebohongan belaka. Ikhtiar? Ikhtiar apaan? bahkan di sentuh saja belum?" "Kau ini Rei, makanya kalau orang tua lagi ngomong itu mbok ya didengerin dulu. Bukannya sibuk mikirin malam panas kalian." Ucapan mama membuatku melongo, malam panas? Istilah apa lagi itu? sebenarnya apa maksudnya? Ayolah Reshwara, jangan sampai kau terlihat menyedihkan seperti ini di depan ibumu sendiri. "Maksudnya apa sih ma?" "Luna tadi hanya asal bicara saja. Sebenarnya tadi mama bilang kalau Bi Asih belum bisa ke sini karena mau pulang kampung dulu, mau urus anaknya yang mau melahirkan," terang mama. "Makanya kalau orang tua ngomong i