Andini mendatangi tempat kerja Devan ditemani pelayan yang bekerja untuk Devan.
Tokk.. Tokkk.. Tok.."Permisi, Tuan! Nyonya Muda sedang bersama saya!" seru pelayan itu."Kau memanggilku? Ada apa?""Ah, Nyonya Muda kita sudah sampai rupanya! Kalian semua keluarlah!""Pelayan yang kuhukum kurungan itu, aku dengar kau sendiri yang menjemputnya di ruang bawah tanah. Bahkan kau memperlakukan dia dengan baik. Apa harus kau melakukan itu?" tanya Devan dengan sinis. Pandangannya seolah tidak suka dengan sikap Andini itu."Kau yang menghukumnya, lalu kenapa aku yang harus mengurusnya? Pertanyaan itu 'kan yang ingin kau tanyakan?" Dengan wajah yang datar Andini mengatakan itu, seolah ia menantang Devan."Sudah kuduga, kau memang pintar membaca situasi. Lalu, kenapa kau melakukan itu? Kau ingin semua orang memandang bahwa aku adalah orang yang kejam? Menghukum orang yang tidak bersalah! Itu 'kah yang ingin kau tampilkan?" teriak Devan.Bukannya takut atau terkejut dengan kemarahan Devan, Andini malah memandang wajah Devan dengan ekspresi datar dan tenang."Aku tidak berniat seperti itu. Pikiranmu saja yang berlebihan. Apakah salah kalau aku memperlakukan sahabatku dengan baik? Orang yang menjagaku selama ini, tanpa memikirkan dirinya!""Gara-gara perbuatanmu itu, aku jadi tidak bisa mengusirnya," geram Devan.Andini mengangkat sebelah alisnya. " Tidak baik mengusir orang yang telah menjagaku, ditambah lagi dia adalah sahabatku sejak kecil. Lagi pula, yang ia lakukan saat itu adalah hal yang wajar.""Hal yang wajar menurutmu, ya? Jadi, kau bersikeras untuk mempertahankan pelayan pembangkangmu itu?""Hanya karena Lia melarang gundikmu itu untuk mendekatiku, kau jadi semarah ini?" batin Andini."Lia bukan pembangkang! Dia hanya melakukan tugasnya sebagai pelayan pribadiku." Andini tak mau kalah."Pembangkang membela pembangkang!" sindir Devan. "Aku akan memecat pelayanmu itu," Devan mengancam Andini. Walau dia tahu bahwa itu tidak akan berhasil."Orang yang kutunjuk sebagai pelayan pribadiku, sepenuhnya keputusan ada di tanganku. Mau aku memecatnya atau tidak, itu bukan urusanmu! Kau tidak berhak melakukannya."Merasa benar apa yang dikatakan Andini, Devan tak dapat membalas ucapannya."Hah..! Lelah sekali beradu mulut denganmu," Devan terpaksa mengatakan itu supaya tidak ketahuan bahwa ia benar-benar kalah dengan ucapan Andini."Bisa tidak sekali saja kau patuh dengan ucapanku?" Pandangan matanya menatap Andini dengan sinis."Apa! Patuh? Kenapa aku harus patuh dengan ucapanmu yang tidak masuk akal ini?""Itulah sebabnya, kau selalu dibanding-bandingkan!"Andini menyerngit heran. "Aku dibandingkan? Dengan siapa?" batinnya."Aku lelah bicara denganmu, lebih baik kau pergi!" usir Devan.Tanpa tersinggung sedikit pun dengan pengusiran Devan, Andini menuju pintu keluar.Ketika memegang kenop pintu, Andini berbalik kemudian berkata kepada Devan, " Berhentilah bersikap semena-mena kepada orang! Walaupun mereka hanya seorang pelayan. Karena bersikap buruk terhadap orang lain yang bahkan sudah melakukan tugasnya dengan baik, maka keburukan itu akan berbalik menimpamu!" Setelah mengatakan itu, Andini keluar dan menutup pintu ruang kerja Devan.Devan sedikit kesal dengan perkataan Andini yang terakhir tadi, namun ia tak dapat membalasnya."Hah..! Menghadapi sikapnya yang keras kepala itu membuat tenagaku terkuras habis," gumam Devan. Dia membaringkan tubuhnya di atas sofa yang berada di ruang kerjanya itu.KLINGG...! KLING..!Devan membunyikan lonceng, memanggil pelayan."Haa..!" Devan menghela nafas."Memanggil saya, Tuan?" ujar seorang pelayan wanita yang Devan kenal suaranya.Merasa tak asing dengan suara itu, Devan melirik ke samping.Ia terkejut sekaligus senang melihat wajah gadis yang kemarin diselamatkannya. Lengkap mengenakan pakaian khusus pelayan."Silvi! Sejak kapan kamu melakukan hal ini? Aku 'kan sudah bilang tak perlu melakukan apa-apa dan berdiam diri saja di rumah kedua," ujar Devan lembut."Saya bosan kalau tidak melakukan apa-apa, Tuan!" Silvi bicara dengan aksen formal kepada Devan. Menurutnya hal itu akan membuat Devan semakin tertarik kepadanya."Lagi pula, saya tidak enak kalau hanya berdiam diri saja tanpa melakukan apa-apa. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan, Tuan Muda!""Lalu, apa kau tidak keberatan melakukan hal seperti ini?" tanya Devan."Tentu saja tidak, Tuan Muda!" jawabnya dengan penuh semangat."Haha..!" Devan tertawa melihat tingkah Silvi. "Kau memang gadis yang lucu, ya!" puji Devan."Padahal saat bertemu pertama kali denganku waktu itu, kau sangat pemalu. Tapi, malah dengan semangat melakukan hal seperti ini," ucap Devan sambil mengusap kepala Silvi."Karena kau sudah membuat suasana hatiku menjadi lebih baik, dessert itu untukmu saja. Makanlah!""Wah, yang benar, Tuan?" Mata Silvi berbinar ketika melihat kue coklat yang di atasnya disusun toping aneka buah premium."Terimakasih, Tuan Muda!" ujar Silvi tersenyum girang."Padahal hanya sebuah kue, tapi kau begitu senang!""Kenapa, Tuan Muda bicara begitu?""Nyonya Muda, diberikan emas dan berlian yang harganya sangat mahal, tanggapannya biasa saja. Berbeda denganmu!" Devan mengusap ujung bibir Silvi yang berlepotan coklat."Berbeda bagaimana, Tuan?" Silvi menikmati sentuhan Devan di bibirnya itu."Kau walau hanya diberikan kue saja, sudah sangat senang! Itulah bedanya.""Apa Nyonya Muda, tak suka diberikan perhiasan mewah?""Dia suka bahkan selalu berterimakasih atas apapun yang aku beri. Tetapi, memang orangnya pendiam dan tidak ekspresif. Jadi sangat susah untuknya menunjukkan perasaan.""Mungkin saja... Nyonya Muda, sejak kecil hidup di lingkungan yang mewah. Dan diberikan kemudahan hidup. Dia tidak tau bagaimana dunia di luar sana, sangat kejam bagi orang seperti kami," ujar Silvi dengan wajah sendu."Pasti dia sudah terbiasa dengan hal-hal mewah lainnya.""Hmmm!" Devan mencoba merenungi kata-kata Silvi.Takut salah bicara dan membuat Devan ilfil, Silvi segera tersadar dengan ucapannya."A-ah, tapi ini bukan berarti saya menyalahkan Nyonya Muda. Dan bukan salah Nyonya Muda sepenuhnya." Silvi panik."Hanya saja, orang yang kaya 'kan, biasanya begitu? Bukan hanya Nyonya Muda saja. Tapi semua orang yang merasakan kemewahan sejak kecil, pasti biasa saja saat diberikan hadiah, walau yang mewah sekalipun." Wajah paniknya itu terlihat lucu di mata Devan."Ternyata kau pintar juga, ya!" Devan membelai rambut panjang Silvi dan menciumnya. "Tak salah aku menargetkanmu sebagai hasil buruanku!" ujar Devan menyeringai. Bagaikan serigala yang bersiap untuk melahap mangsanya.Silvi mencebikkan bibirnya. "Mengatakan saya hasil buruan, seperti hewan saja!" ujar Silvi, pura-pura merajuk."Haha," Devan tertawa kecil. Kemudian ia mendudukkan Silvi di pangkuannya.Merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertanya, Silvi mencoba memastikan, "Anu, Tuan! Tuan bilang akan menjadikan Silvi istri kedua 'kan, apa itu sungguhan?""Tentu saja," jawab Devan, enteng."Tapi, apa Nyonya Muda sudah tau tentang ini?""Sepertinya belum. Kau tidak perlu memikirkan hal itu, tenang saja. Serahkan semuanya padaku." ujar Devan jumawa.Silvi merasa senang ketika mendengar hal itu. Dia merasa sudah maju selangkah untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang Nyonya Muda di rumah ini.****Bersambung..."Nyonya Muda! apa Nyonya sudah tau tentang berita itu?" tanya Lia saat sedang asyik merias wajah Andini. "Berita apa?" Andini yang sibuk dengan urusan pekerjaan berapa hari ini tidak terlalu memperhatikan pembicaraan yang beredar. "Berita bahwa Tuan Muda akan mengenalkan gundiknya ke acara pesta makan malam.""Pesta makan malam? Kapan? Kenapa Mas Devan tidak memberitahuku?" batin Andini. "Benarkah? Aku tidak tau! Bahkan aku tidak tau kalau akan diadakan pesta makan malam." sahut Andini apa adanya. "Hah, dasar! Apa sekarang Tuan Muda sudah lupa siapa istrinya setelah kedatangan wanita itu? Bahkan mereka tak malu bermesraan di depan kami," ucap Lia kesal. Andini termenung mendengar ucapan Lia. "Hey, Erick!" Devan melambaikan tangannya memanggil pelayan pribadinya. "Iya, Tuan!""Ikut aku sebentar!" Erick mengikuti Devan ke ruang kerjanya. "Kau, ajarkan Silvi tentang 𝘛𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘮𝘢𝘯𝘯𝘦𝘳! Jangan sampai membuatku malu nanti!""Baik, Tuan!" Erick menunduk. Erick melaksanakan per
David berjalan-jalan melihat taman luas yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang terawat itu. Saat tengah asyik berjalan sembari menikmati pemandangan taman yang asri. David melihat seorang wanita cantik yang tengah berdiri dengan anggunnya. David memperhatikan dari jauh wanita itu. Dia mencoba mengenali. "Bukankah itu istrinya Devan?" lirihnya."Sedang apa dia di sini?" gumamnya lagi. David berjalan mendekati Andini. "Selamat malam, Nyonya Andini!" sapa David. Andini memalingkan badan ketika mendengar sapaan itu. Setelah mengetahui kalau yang memanggil adalah rekan kerja suaminya. Andini mengangguk dengan penuh rasa hormat. "Selamat malam juga, Tuan David," jawab Andini dengan anggunnya. "Sedang apa, Tuan David di taman ini?" tanya Andini. "Apakah saya boleh bertanya hal yang sama kepada orang yang menanyai saya ini?" Bukannya menjawab, David malah bertanya balik. "Haha...!" Andini tertawa pelan. Membuat David sejenak terpikat akan kecantikannya. "Cantik...!" gumam David tanpa
"Apa maksudnya ini, Devan? Siapa wanita ini?" bentak Tuan Besar. Tuan Besar terlihat nampak sangat marah. Dia memanggil Devan beserta gundiknya itu setelah semua tamu sudah pulang. Silvi yang ketakutan memegang lengan baju Devan dengan wajah yang tertunduk. "Mas! Aku takut!" cicitnya. "Apa katamu tadi? Mas? Hah? Berani sekali kamu memanggil anak saya dengan sebutan, Mas!" Nyonya Besar memandangnya sinis. "Panggil dia, Tuan Muda! Ingat! TUAN MUDA!" sambungnya lagi dengan menekan kata-katanya. "Cepat, jelaskan pada kami Devan. Siapa perempuan ini?" Nyonya Muda semakin geram dengan kelakuan anaknya apalagi wanita itu selalu menempel kepada Devan. "Hei, kamu! Lepaskan anak saya!" bentaknya kepada Silvi. Silvi berusaha menahan tangis. Matanya memerah. "Mas!" Dia memandang Devan dengan wajah memelas. "Hei! Dasar nggak tau sopan santun kamu, ya? Panggil Devan dengan sebutan Tuan Muda," pekik Nyonya Besar. Andini diam saja melihat kedua orang itu di sidang oleh mertuanya. Dia tak ing
"Bagaimana, Dok, keadaan Silvi?" tanya Devan kepada dokter pribadi keluarganya. Setelah kejadian ambruk tadi, kedua orang tua Devan membiarkan anaknya membawa Silvi ke tempat tidur. "Tidak terjadi hal yang serius, Tuan Muda! Dia hanya kecapekan. Dan saya menyarankan, sebaiknya bawa dia periksa kedokter kandungan. Sepertinya dia hamil."Semua orang yang berada di sana tercengang. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter. "Apaa, Dok? Hamil?" Devan, mama dan juga papanya berkata bersamaan. Andini juga berada di sana. Mendengar kata hamil membuat hati Andini terasa nyeri. Jujur, meski pernikahan mereka karena bisnis. Namun, tak dipungkiri bahwa Andini sebenarnya juga menginginkan hal yang semua wanita bisa rasakan. Berbeda dengan Devan yang tersenyum semringah. Kedua orang tua Devan hanya terlihat bingung. Memiliki cucu dari Devan adalah impian mereka. Terlebih Devan adalah anak mereka satu-satunya yang akan mewarisi perusahaan yang mereka bangun dari dulu, tentu harus me
"Saya pelayan yang akan menemani Nona!" ucap pelayan di balik pintu. "Masuk saja!" balas Silvi. "Baik, Nona!""Kira-kira dia dengar tidak ya, apa yang aku katakan tadi?" batin Silvi. KRIETT... Si pelayan masuk dengan membawa senampan makanan. "Ini kudapan untuk memulihkan tenaga Nona!" ucap si pelayan ramah. "Terimakasih!" Silvi membalas sama ramahnya. "Silahkan dimakan Nona! Tuan Muda ingin anda memakan semua makanan ini."Mata Silvi berbinar melihat makanan enak yang selama ini tidak pernah ia rasakan. "Apa boleh saya habiskan?" Silvi menelan salivanya. "Tentu, Nona!"Silvi segera melahap makanan yang ada di atas nampan itu dengan cepat. Wajahnya pun sampai belepotan karenanya. "Wajahnya sih, cantik tapi makannya kok, serem banget ya? Kayak anak kecil. Apa orang hamil makannya seperti ini, ya?" batin si pelayan. "Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Silvia merasa risih diperhatikan begitu oleh pelayan. "Ah, maaf, Nona! Saya hanya terpesona melihat wajah Nona! Sangat ca
"Saya sudah menduga, Nyonya! Tidak mungkin Tuan Muda membawa seorang wanita ke rumah ini kalau tidak ada hubungan apa-apa," ucap Lia geram. "Pantas! Tuan Muda merasa sangat bertanggung jawab kepada wanita itu. Rupanya mereka..." Lia menggepalkan tangannya. "Sudahlah, Lia! Kau tidak perlu merasa kesal," ucap Andini menenangkan. "Bukankah sudah tau konsekuensinya seperti ini?" timpalnya lagi. "Tapi, Nyonya! Bukankah itu suatu penghinaan terhadap Nyonya? Kalau Tuan Muda ingin mencari istri siri, setidaknya harus yang derajatnya tidak terlalu jauh dengan Nyonya.""Apalagi wanita itu pandai sekali berkata manis. Sok polos!" Lia benar-benar terlihat kesal. "Apa Nyonya benar-benar tidak apa-apa? Pasti setelah ini wanita itu akan semakin kurang ajar!" "Haah!" Andini hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya dia pun sudah muak dengan wanita itu. Dia bisa membaca sifatnya yang manipulatif. ****Seminggu setelah kejadian itu. Devan kembali mengadakan pertemuan dengan para koleganya. Di rumah
Setelah sembilan menunggu kehadiran anak yang dikandungnya. Akhirnya keinginan Tuan William dapat diwujudkan oleh Nyonya Marissa. "Selamat, Tuan! Anak anda terlahir selamat dan berjenis kelamin laki-laki," ucap si dokter. Meski sudah yakin, kabar itu tentu saja membuat Nyonya Marissa kaget sekaligus senang. "Boleh saya melihat anak saya, Dokter?" pinta Nyonya Marissa. "Tentu, Nyonya!" Dokter wanita yang seumuran dengannya itu menyetujui. "Suster!" panggilnya. "Bawakan kemari anak Nyonya Marissa dan Tuan William.""Baik, Dok!" Suster itu bergegas menuruti perintah dokter. "Ini, Nyonya! Dia sangat tampan. Wajahnya perpaduan antara Nyonya dan Tuan," puji si Dokter. "Haaa... Anakku!" Nyonya Marissa memeluk Devan kecil dengan erat dan penuh kasih sayang kala itu. Tak sadar air matanya jatuh begitu saja. Dia menganggap anak ini pembawa keberuntungan baginya. Setelah puas menumpahkan perasaan harunya, Nyonya Marissa kembali menatap wajah suaminya. "Aku sudah memberikanmu anak laki-la
Silvi menangis saat Devan mendatanginya ke dalam kamar di rumah kedua. "Hei, kenapa kamu menangis?" Hatinya terenyuh melihat wanita yang kini sudah memikat hatinya itu menangis sesegukan. Silvi tidak menjawab. Dia masih menangis sesegukan. "Hei, jawab dong? Apa yang membuat kamu menangis?" Lagi, Devan bertanya dengan lembut. "Nggak apa-apa! Hiks... Aku... Hiks... nggak apa-apa kok , Tuan Muda, hiks... hiks..." ucapnya dengan tangisan yang semakin kencang. Pelayan itu tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dia hanya berdiri dengan tegap dengan perasaan yang gugup. "Kamu!" tunjuknya pada pelayan. "Apa yang sudah terjadi padanya?""Tadi, saat di acara makan malam, Nona Silvi mendekati perkumpulan teman-teman Nyonya, Tuan! Saya sudah melarang. Karena saya tau, mereka pasti sedang membicarakan masalah bisnis. Tetapi kata Nona Silvi, dia hanya ingin menyapa mereka saja. Setelah itu, Nona Silvi meninggalkan saya dan mendatangi mereka. Saya mengamati dari kejauhan, tetapi saya