"Saya pelayan yang akan menemani Nona!" ucap pelayan di balik pintu.
"Masuk saja!" balas Silvi."Baik, Nona!""Kira-kira dia dengar tidak ya, apa yang aku katakan tadi?" batin Silvi.KRIETT...Si pelayan masuk dengan membawa senampan makanan."Ini kudapan untuk memulihkan tenaga Nona!" ucap si pelayan ramah."Terimakasih!" Silvi membalas sama ramahnya."Silahkan dimakan Nona! Tuan Muda ingin anda memakan semua makanan ini."Mata Silvi berbinar melihat makanan enak yang selama ini tidak pernah ia rasakan."Apa boleh saya habiskan?" Silvi menelan salivanya."Tentu, Nona!"Silvi segera melahap makanan yang ada di atas nampan itu dengan cepat. Wajahnya pun sampai belepotan karenanya."Wajahnya sih, cantik tapi makannya kok, serem banget ya? Kayak anak kecil. Apa orang hamil makannya seperti ini, ya?" batin si pelayan."Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Silvia merasa risih diperhatikan begitu oleh pelayan."Ah, maaf, Nona! Saya hanya terpesona melihat wajah Nona! Sangat cantik dan imut," puji si pelayan.Senyum Silvi merekah ketika mendengar pujian si pelayan. "Benarkah?""Iya, Nona! Wajah anda sangat imut saat makan dengan lahap tadi. Saya jadi suka memandangnya.""Benarkan? Wajahku ini memang cantik. Jangankan pria, wanita saja terpesona melihat kecantikanku! Tak heran pria seperti Mas Devan sangat menginginkan diriku," ucap Silvi di dalam hati memuji dirinya sendiri.Silvi senyam-senyum sendiri. Pelayan itu merasa lega setelah melihat suasana hati Silvi sudah membaik."Hah... Selamat! Untung aku bisa menjawab tanpa rasa gugup sehingga terlihat meyakinkan, kalau tidak bisa habis aku," gumamnya dalam hati."Apa Nona memerlukan yang lain?" tanyanya dengan sopan."Bawakan aku segelas jus mangga!""Baik, Nona! Tunggu sebentar, saya akan mengantarkannya kemari." Si pelayan menunduk dan perlahan berjalan mundur meninggalkan kamar Silvi."Haaah... Enaknya! Apalagi kalau aku bisa menjadi istri Mas Devan. Bukan hanya makanan enak yang akan aku dapatkan. Bisa saja perhiasan, pakaian yang bagus dan dikelilingi pelayan yang siap melaksanakan apapun perintahku.""Enak sekali rasanya kalau aku bisa memiliki semua kemewahan dan kenikmatan ini," gumamnya.Silvi menerawang kembali ke masa waktu dirinya masih kecil dan sebelum bertemu dengan Devan.Silvi mungil yang malang. Dia tidak tahu siapa orang tuanya. Sejak kecil dirinya tinggal di panti asuhan. Wajahnya yang cantik dibanding anak seusianya membuat orang yang melihatnya selalu berniat melec*hkan dirinya.Silvi kecil tidak tau apa yang sedang orang-orang dewasa itu lakukan terhadap dirinya. Ia diminta diam saja dan selalu menurut meski dirinya merasa risih dengan perlakuan itu.Hingga lama-kelamaan. Lambat laun, Silvi mengerti semua itu. Ia memberanikan diri untuk pergi dari tempat yang sudah memberikan kenangan buruk untuknya.Karena sudah menginjak usia dewasa, orang-orang panti mengizinkan dia untuk pergi dari sana. Di dunia luar yang tak kalah kejamnya ini. Silvi berusaha menghidupi dirinya sendiri. Berbekal menjadi seorang pembantu di sebuah rumah orang kaya di luar kota jauh dari panti asuhan tempat dirinya menghabiskan masa kecil dulu.Tok.. Tok.. Tok...Lamunan Silvi buyar ketika si pelayan kembali mengetuk pintu."Saya masuk, Nona!" ucap si pelayan. Meski status sosial Silvi lebih rendah dibandingkan pelayan itu, dia harus tetap bersikap sopan."Ini jus mangga yang Nona minta." Si pelayan meletakkan segelas jus mangga spesial di atas nakas samping tempat tidur Silvi.Tanpa mengucap terimakasih, Silvi meneguk jus mangga itu."Ahhh..!" Silvi mendesah kenikmatan, bagai orang yang tidak pernah merasakan minuman seperti ini sebelumnya.Si pelayan meneguk ludah saat melihat tingkah Silvi yang begitu urakan. Tidakk ada jaim-jaimnya sama sekali."Kenapa? Kamu mau juga?" tanya Silvi. Dia menyodorkan gelas jus yang sudah habis setengah kepada si pelayan."Tidak, Nona! Terimakasih. Saya sudah minum tadi di dapur," tolaknya halus."Hah! Menjadi pelayan di sini saja sudah bisa merasakan makanan dan minuman enak seperti ini setiap hari. Aku jadi makin semangat untuk bisa tinggal di tempat ini, setelah berhasil merebut hati Mas Devan. Aku akan mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan yang menyedihkan," batin Silvi.****Semua pelayan membicarakan tentang kehamilan Silvi. Perbincangan itu menjadi topik utama."Kau sudah tau tentang hal yang terjadi tadi malam?" Salah satu pelayan di rumah kedua membuka obrolan."Tau! Tentang Nyonya dan Tuan Besar marah itu 'kan?" sahut pelayan di rumah utama."Bukan! Ada yang lebih heboh dari pada itu!""Apa?" Pelayan di rumah pertama yang tidak tau apa-apa penasaran tentang hal yang tidak mereka ketahui."Wanita yang dibawa oleh Tuan Muda itu sedang hamil!" ungkapnya.Semua pelayan di rumah utama tercengang, sebagian dari mereka ada yang tidak percaya."Yang benar?""Iya! Saya mendengarnya langsung.""Kalian tau apa yang lebih mengagetkan lagi? Ternyata anak itu adalah anak Tuan Muda!" sambungnya lagi."Hah? Benarkah? Kalau wanita itu mengandung anak Tuan Muda, apakah nanti Tuan Muda akan menikahinya?""Entahlah! Sepertinya begitu kalau Nyonya Muda Andini tidak bisa memberikan keturunan. Sebab malam tadi saya melihat Nyonya dan Tuan Besar seakan luluh setelah mengetahui bahwa wanita itu hamil dan Tuan Muda mengakuinya.""Kasihan sekali Nyonya Andini. Apa Nyonya, baik-baik saja?" tanya pelayan di rumah utama. Mereka benar-benar khawatir dengan keadaan nyonya mereka. Mereka seakan merasakan sakitnya."Nyonya Andini tidak bereaksi apa pun. Beliau tidak terkejut ataupun marah. Sepertinya beliau sudah tau akan seperti ini kejadiannya.""Saya tidak bisa membayangkan kalau seandainya berada di posisi Nyonya Andini!" ucap mereka prihatin."Iya! Kalau saya mendengar hal seperti itu dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sudah pasti habis itu suami saya amuk.""Ternyata tidak enak juga ya, menjadi orang kaya! Dari materi kita memang tidak pernah kekurangan. Tetapi harus siap menerima kalau pasangan mendua.""Itulah! Namanya manusia punya masalah mereka masing-masing. Mau yang miskin, kaya, punya jabatan atau rakyat jelata seperti kita semuanya sama punya masalah.""Iya, benar!" Mereka manggut-manggut.Setelah mendengar gosip para pelayan secara sembunyi-sembunyi. Lia yang kemarin tidak berada di tempat kejadian setelah Silvi pingsan dan dibawa ke rumah kedua, langsung berniat menanyakan langsung kepada Andini.Tak lupa dia membawakan makanan untuk majikannya itu.Tok.. Tok..."Saya masuk, Nyonya!" pinta Lia sopan.Lia meletakkan senampan cemilan dan minuman ke atas meja di ruang kerja majikannya."Nyonya! Saya ingin bertanya!""Iya, Lia! Katakan, apa yang ingin kamu tanyakan." Andini masih fokus dengan laptopnya."Apa... Benar... Wanita yang dibawa oleh Tuan Devan itu sedang hamil?" Lia bertanya setengah takut. Dia takut kalau pertanyaannya membuat Andini sedih."Hah...!" Andini menarik nafas panjang. Dia menghentikan aktivitasnya."Jadi... Kamu sudah tau?""Berarti benar kalau anak itu adalah anak Tuan Devan?""Saya tidak tau! Tapi kalau melihat dari respon Tuan Muda, sepertinya iya!"Andini menjawab sesantai mungkin. Jelas sekali, dia sudah lelah dengan drama sang suami.
Di sisi lain, wajah Lia merah padam. Dia terlihat sangat marah. "Yang benar saja! Dia harus diberi perhitungan."
***Bersambung..."Saya sudah menduga, Nyonya! Tidak mungkin Tuan Muda membawa seorang wanita ke rumah ini kalau tidak ada hubungan apa-apa," ucap Lia geram. "Pantas! Tuan Muda merasa sangat bertanggung jawab kepada wanita itu. Rupanya mereka..." Lia menggepalkan tangannya. "Sudahlah, Lia! Kau tidak perlu merasa kesal," ucap Andini menenangkan. "Bukankah sudah tau konsekuensinya seperti ini?" timpalnya lagi. "Tapi, Nyonya! Bukankah itu suatu penghinaan terhadap Nyonya? Kalau Tuan Muda ingin mencari istri siri, setidaknya harus yang derajatnya tidak terlalu jauh dengan Nyonya.""Apalagi wanita itu pandai sekali berkata manis. Sok polos!" Lia benar-benar terlihat kesal. "Apa Nyonya benar-benar tidak apa-apa? Pasti setelah ini wanita itu akan semakin kurang ajar!" "Haah!" Andini hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya dia pun sudah muak dengan wanita itu. Dia bisa membaca sifatnya yang manipulatif. ****Seminggu setelah kejadian itu. Devan kembali mengadakan pertemuan dengan para koleganya. Di rumah
Setelah sembilan menunggu kehadiran anak yang dikandungnya. Akhirnya keinginan Tuan William dapat diwujudkan oleh Nyonya Marissa. "Selamat, Tuan! Anak anda terlahir selamat dan berjenis kelamin laki-laki," ucap si dokter. Meski sudah yakin, kabar itu tentu saja membuat Nyonya Marissa kaget sekaligus senang. "Boleh saya melihat anak saya, Dokter?" pinta Nyonya Marissa. "Tentu, Nyonya!" Dokter wanita yang seumuran dengannya itu menyetujui. "Suster!" panggilnya. "Bawakan kemari anak Nyonya Marissa dan Tuan William.""Baik, Dok!" Suster itu bergegas menuruti perintah dokter. "Ini, Nyonya! Dia sangat tampan. Wajahnya perpaduan antara Nyonya dan Tuan," puji si Dokter. "Haaa... Anakku!" Nyonya Marissa memeluk Devan kecil dengan erat dan penuh kasih sayang kala itu. Tak sadar air matanya jatuh begitu saja. Dia menganggap anak ini pembawa keberuntungan baginya. Setelah puas menumpahkan perasaan harunya, Nyonya Marissa kembali menatap wajah suaminya. "Aku sudah memberikanmu anak laki-la
Silvi menangis saat Devan mendatanginya ke dalam kamar di rumah kedua. "Hei, kenapa kamu menangis?" Hatinya terenyuh melihat wanita yang kini sudah memikat hatinya itu menangis sesegukan. Silvi tidak menjawab. Dia masih menangis sesegukan. "Hei, jawab dong? Apa yang membuat kamu menangis?" Lagi, Devan bertanya dengan lembut. "Nggak apa-apa! Hiks... Aku... Hiks... nggak apa-apa kok , Tuan Muda, hiks... hiks..." ucapnya dengan tangisan yang semakin kencang. Pelayan itu tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dia hanya berdiri dengan tegap dengan perasaan yang gugup. "Kamu!" tunjuknya pada pelayan. "Apa yang sudah terjadi padanya?""Tadi, saat di acara makan malam, Nona Silvi mendekati perkumpulan teman-teman Nyonya, Tuan! Saya sudah melarang. Karena saya tau, mereka pasti sedang membicarakan masalah bisnis. Tetapi kata Nona Silvi, dia hanya ingin menyapa mereka saja. Setelah itu, Nona Silvi meninggalkan saya dan mendatangi mereka. Saya mengamati dari kejauhan, tetapi saya
"Haaaahh! Siapa suruh melawan Silvi! Wanita paling pintar dan paling cantik di sini!" Dia berjalan melenggangkan pinggulnya menuju tempat tidur. "Kita tunggu besok. Bagaimana sikap wanita sombong itu setelahnya. Memang dia siapa? Berani sekali mempermalukan aku. Kau tidak akan bisa berbuat apa-apa, karena suamimu itu berada dalam genggamanku," ujarnya menyeringai. ****"Andini...!" Devan menggebrak pintu kamar. Pelayan Andini yang sedang membantunya melepaskan riasan bekas acara tadi, begitu terkejut dengan kedatangan Devan yang sedang diliputi amarah. Andini hanya melirik dari balik cermin dengan wajah yang datar, kemudian dia melanjutkan kembali aktifitasnya. "Ada apa, Tuan Muda! Kenapa anda terlihat sangat marah?" Dengan santainya dia bertanya. "Kau, tidak usah berlagak sok polos dan anggun. Karena gayamu itu tidak sesuai dengan prilakumu," ujarnya dengan marah. Devan tidak perduli lagi. Di depan pelayan dia tumpahkan kekesalannya. "Saya benar-benar tidak tau hal apa yang me
Keesokan harinya. Andini memutuskan untuk bersantai sekalian melakukan pekerjaannya di halaman belakang. Di taman favoritnya. "Tumben dia jalan-jalan di sini! Pasti bete karena dimarahin sama Mas Devan kemarin," gumamnya lirih. Silvi yang melihat, mencoba mengikuti wanita itu untuk memastikan efek apa yang didapat setelah dilabrak Devan kemarin malam. Andini menatap layar laptop di depannya, kemudian menghela nafas berat. "Nah, tuh 'kan benar! Pasti dia sedang kepikiran setelah dimarahin Mas Devan!" ujarnya yakin. "Makanya, jangan berani-berani sama saya!" cibirnya lagi. Setelah melihat layar laptop sekali lagi dan memastikan, Andini mengambil ponselnya kemudian menelpon seseorang. Terlihat wajahnya sangat serius. Terlihat juga sesekali wanita nampak marah. "Huh! Segitu besar dampaknya kemarahan Mas Devan kemarin, sampai-sampai kamu memarahi orang!" Silvi kemudian berlalu setelah mengatakan itu. "Apa? Bagaimana bisa kalian kecolongan seperti ini?" bentak Andini pada orang di
"Halo...!""Ah, halo, Nyonya Muda. Maaf saya menelpon anda karena Tuan Muda tidak mengangkat telpon saya.""Iya, ada apa Tuan David?""Apakah anda sedang bersama Tuan Devan, Nyonya? Saya ingin membicarakan masalah kerjasama.""Tidak, Tuan! Suami saya sedang pergi keluar, apa ada hal serius yang ingin Tuan bicarakan?""Iya, Nyonya! Dan ini sangat penting! Apakah Tuan Devan lama? Saya perlu membicarakan ini secepatnya.""Hah..!" Andini menghela nafas berat. "Mas, Mas! Apa segitu pentingnya simpananmu itu sampai kamu melalaikan pekerjaan begini?" batin Andini. "Kalau begitu saya yang akan mewakili suami saya. Anda bisa membicarakannya dengan saya.""Ah, benarkah? Kalau begitu apakah kita bisa bertemu? Saya akan memesan tempatnya.""Baiklah! Tuan beri tahu saja di mana tempatnya. Saya akan segera menyusul.""Baiklah! Nyonya. Lima menit lagi akan saya kabari. Selamat siang."David pun memutus sambungan telpon. "Lia, segera bersiap! Lima menit lagi kita akan pergi bertemu Tuan David," tit
"Kau bisa selidiki apa yang sedang terjadi dengan rumah tangga mereka? Dan selidiki juga siapa wanita yang menjadi istri kedua Devan," titah David. "Baik, Tuan! Saya akan melakukan tugas ini dengan sebaik mungkin." Zack menunduk memberikan hormat kepada majikannya. "Bagus! Jangan kecewakan aku, ya?""Kita kembali ke kantor sekarang!" lanjut David. Mereka berdua meninggalkan tempat makan itu. ***"Lia! Kita ke kantor sebentar! Ada yang ingin saya periksa.""Baik, Nyonya!"Sopir melajukan mobil ke arah yang berlawanan dengan jalan pulang. Beruntung siang itu jalanan tidak macet, jadi Andini bisa sampai lebih cepat. Semua orang memberi hormat saat melihat Andini berkunjung ke kantor. "Selamat siang, Nyonya!" seru semua pegawai. "Selamat siang!" balas Andini. "Tumben, Nyonya datang ke kantor tidak memberikan kabar terlebih dahulu. Ada apa ya?" Para. pegawai berbisik. "Entahlah! Semoga saja tidak ada masalah besar.""Iya!"Andini mendatangi ruang kerja Roland. Pegawai kepercayaann
Sekitar pukul empat sore, Andini baru saja pulang dari kantor."Kau habis dari mana?" Baru saja Andini masuk, Devan sudah mencecarnya. Andini yang lelah tidak menjawab, dia terus saja pergi berlalu masuk. "Apa kau tidak mendengar pertanyaanku?" Devan mulai kesal karena Andini tidak menghiraukan ucapannya."Hah! Apa aku harus menjawab pertanyaanmu saat aku tengah sibuk membereskan masalah yang ada? Sementara kau malah asyik bermesraan dan bersenang-senang dengan wanita simpananmu itu?" Andini menjawab dengan nada yang tak kalah kesal. Setelah mengatakan itu Andini kembali melanjutkan langkahnya. "Hey... Kau belum menjawab pertanyaanku!" teriak Devan. Namun Andini yang kesal, mengacuhkan panggilannya. "Apa Nyonya ingin segera mandi?""Iya, Lia! Tolong siapkan ya?""Anda tidak perlu meminta tolong, Nyonya! Itu sudah menjadi tugas saya!" Lia pamit untuk melakukan tugasnya. Tak lama menunggu. "Semua sudah saya siapkan, Nyonya!""Baik, aku akan mandi sekarang!"Setelah mandi dan ber
"Silvi! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" "Apa itu, Tuan? Silvi jadi penasaran," ujarnya dengan nada yang dibuat manja. "Apa... Apa kamu bersedia untuk menjadi Nyonya utama di rumah ini?" Silvi terkejut. Pertanyaan Devan membuatnya tercengang. "Apa Tuan serius? Atau pertanyaan Tuan ini hanya ingin mengetes saya saja?" Silvi ragu sebab di awal pertanyaan, Devan seperti ragu saat mengatakannya. "Tidak! Saya serius. Apa kamu mau?" Silvi menunduk. Dia ragu ingin menjawab apa. "Semua wanita, siapa pun itu. Pasti tak akan menolak untuk menjadi pendamping Tuan Devan dan menjadi Nyonya utama. Saya pun begitu, tetapi... Apa Tuan yakin untuk menjadikan saya Nyonya utama?" lirih Silvi. Lain di mulut, lain di hati. Itulah yang saat ini Silvi katakan. Dia berusaha menarik ulur agar bisa memastikan kalau pertanyaan Devan benar-benar serius memintanya untuk menjadi Nyonya utama. Devan gemas. Dia takut kalau Silvi menolak, terpaksa dia harus mencari wanita lain lagi untuk
Devan diam tak berkutik. Dia tak bisa membela Silvi sama saat seperti mamanya memojokkan Silvi waktu itu. "Ingat, Devan! Kamu tau 'kan peraturan mutlak di rumah ini? Anak dari hasil hubungan gelap maupun anak dari istri kedua tidak akan bisa menjadi penerus. Hanya anak dari istri sah dan pertama saja yang bisa diangkat menjadi penerus keluarga." Nenek Grace menekankan. "Benar, Devan! Meski wanita itu sudah kamu nikahi secara sah sekalipun, anak yang ada di dalam kandungannya tidak bisa menjadi penerus. Apalagi wanita itu hanya kamu nikahi secara siri." Kakek Devan ikut menimpali. "Segeralah lakukan pemeriksaan dan fokus untuk memberikan keluarga ini seorang penerus. Kami berharap banyak padamu." Setelah mengatakan itu, Tuan Bill dan Nyonya Grace pergi begitu saja. Devan terduduk. Tenaganya seakan terkuras habis dengan kedatangan mendadak nenek dan kakeknya. Erick menghampiri Devan yang shock. "Tuan Muda tidak apa-apa?" "Tak apa. Aku hanya shock dengan kedatangan merek
Silvi yang terbawa emosi, menampar wajah Rania dengan keras. Hingga meninggalkan bekas merah di pipinya. "Kauuu!" desis Rania. Dia mengangkat tangan ingin membalas tamparan Silvi, namun dengan cepat Rania berhasil mengendalikan emosinya. "Sifat burukmu itu memang tidak bisa diperbaiki. Baru menjadi 'mainan baru' Tuan Devan saja, sudah berani bersikap kurang ajar! Ternyata bukan hanya sifatmu saja yang jelek, kau juga wanita murahan.""Dasar Kau memang wanita rendahan!" Rania pun berlalu meninggalkan Silvi. Tangan Silvi gemetaran setelah menampar pipi Rania. Dia begitu ketakutan. "Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan Tuan Radit kepadaku?" Saking takutnya, tanpa sadar dia menggigit kuku jarinya. Keesokan harinya Tuan Radit kembali mendatangi Silvi setelah mendapat laporan dari anaknya kalau wanita itu menamparnya. "Apa yang kau lakukan kepada anakku, Rania?" Wajahnya terlihat sangat marah. "Itu salah anakmu sendiri. Kenapa dia tak bisa menjaga mulutnya." Silvi berkata dengan ra
"Tuan Radit kembali menemui Nona Silvi, Nyonya!" ujar pengawal Andini. "Dia menemuinya lagi?""Iya!""Apa yang sedang mereka lakukan, ya? Semenjak kejadian itu mereka menjadi sering bertemu. Apa Tuan Radit sedang mengancamnya?" pikir Andini. "Baiklah! Terimakasih. Kau boleh pergi."Setelah pengawal itu pergi, Bu Dewi berkata, "Apa besok karena Nyonya ingin berbicara secara pribadi dengan Nona Rania?""Wanita itu memanggil Tuan Radit pasti ingin menyuruh Nona Rania diam. Dasar wanita licik!" sambung Lia geram. "Yang aku inginkan bukan itu." Andini tersenyum. "Pancingan ku berhasil. Kalau sampai wanita itu takut seperti ini, pasti ada yang dia sembunyikan. Tapi... Apa ya?" pikir Andini. "Kalau bukan untuk mengorek informasi dari Nona Rania. Apa yang membuat Nyonya mewawancarai Nona Rania secara khusus?" Lia heran karena tidak biasanya Nyonya Mudanya ini berbuat begitu. "Seperti ini saja sudah cukup bagiku. Menekannya seperti ini." Bu Dewi dan Lia saling pandang mereka tidak menger
"Saat itu aku sangat ketakutan. Berbeda denganmu, kau tidak akan kehilangan apa-apa.""Heh! Kau memang lelaki egois.""Aku..." Pria itu tak dapat membalas. "Aku tidak ingin membahas masa lalu. Kalau begitu sekarang kau mengerti dengan posisiku 'kan, Dilan? Karena saat itu kau juga merasakannya." Silvi memandang sinis kepada mantan majikannya ini, anak Tuan Radit. "Kau bisa membuatku kehilangan segalanya sekarang. Jadi, berpura-puralah tidak mengenaliku dan urus adikmu yang tidak tau sopan santun itu," ujarnya tegas. Silvi berlalu meninggalkan Dilan seorang diri. "Sekarang aku bukan wanita yang lemah. Aku bahkan bisa berkata tegas kepada seseorang yang dulunya majikanku," ujarnya dalam hati sembari menyeringai. Silvi berjalan angkuh, mengangkat wajahnya. Selayaknya seorang Nyonya.Dilan memandang sendu dengan kepergian Silvi. Tak ada lagi sikap polos dan lembut dari diri wanita itu. ****Keesokan harinya Silvi mengajak Rafael bertemu. "Ada apa Nona mengajak saya bertemu?" Rafael
Devan mengepalkan tangannya, kesal. "Kau terlalu menganggap harga dirimu terlalu tinggi hingga enggan untuk mengakui kesalahan.""Seorang pemimpin perusahaan sepertiku harus mengganggap dirinya tinggi, tetapi bukan berarti aku bisa seenaknya menuduh orang tanpa bukti. Hanya menyimpulkan berdasarkan kejanggalan dan prasangka." Andini menjawab dengan tenang dan datar. Andini berusaha tidak menghiraukan Devan, namun pria itu terus saja mengganggunya. "Kalau aku sudah bilang menyelidiki tapi tidak mendatangimu untuk meminta maaf, itu berarti aku tidak menemukan kalau anggota keluargaku pelakunya." Andini meninggalkan Devan yang masih kesal. Dia memutuskan untuk bersantai sejenak di taman bagian samping yang tak biasa dilalui oleh orang. Berdebat dengan Devan membuat moodnya menjadi semakin jelek. "Hah! Aku tak tau apa yang ada di pikirannya sehingga senang sekali mengaitkan apapun yang terjadi kepada wanita itu denganku." Andini bergumam dengan menghela nafas berat. Devan yang kesal
"Heh, aku kira kau sudah pergi. Ternyata masih menunggu di sini! Harga dirimu tinggi juga, ya?" sinis Devan. Andini tersenyum, "Ini 'kan yang kau inginkan dariku?"Devan menyinggungkan bibirnya. "Kau memang wanita yang penuh dengan kejutan, ya? Tentang Silvi maupun yang ini.""Kau terlalu cepat menyimpulkan. Mengaitkan tentang Silvi.""Sekarang bukan waktunya untuk mengelak. Aku sudah berbaik hati menutupi masalah ini karena kakakmu yang terlibat.""Apa kau yakin pelakunya adalah Kaisar?" tanya Andini dengan wajah yang datar. "Menurutmu? Kau tentu tau, siapa yang nekat melakukan hal seperti ini kalau bukan kakakmu yang tempramen itu? Bahkan semua kejanggalan mengarah padanya. Dia akan melakukan apapun untuk adiknya ini, bukan?" Bukannya marah, Andini malah menatap Devan dengan pandangan datar. "Jadi, kau mengira kakakku pelakunya hanya karena sebuah kejanggalan?""Apa itu artinya kau masih bersikera
"Siapa wanita itu? Apa salah satu wanita yang ingin mencari perhatian kepada David?" tanya Camelia dalam hati. Dia pun memutuskan untuk mendekati mereka berdua. "Hey, David! Siapa wanita ini?" tanya Camelia ramah. "Oh! Ini Nyonya Andini, Bu! Dia salah satu rekan bisnisku!" sahur David. Meski panggilan 'Ibu' terdengar tidak enak di telinganya. Camelia tersenyum saja. "Oh, benarkah? Aku pikir salah satu perempuan yang ingin kau goda! Ingat, permintaan Ayahmu, Vid!" Camelia seolah terlihat baik menegur David tentang janjinya kepada ayahnya agar berhenti merayu perempuan. Dan mulai fokus mencari istri. "Haha..." David tertawa santai. "Aku ingat, Bu!""Kau harus mulai fokus mencari istri 'kan?""Ah, benarkah itu, Tuan David?" Andini terkejut dengan berita yang ia dengar."Haha... Iya, Nyonya! Saya harus segera mencari pendamping dan membantu saya bekerja mengurus perusahaan Ayah!" David bercanda seperti biasa. "Semoga anda lekas menemukan wanita itu, Tuan!" Andini mendo'akan. "Saya
"Katakan padaku apa yang kau dapatkan tentang wanita itu?" Kaisar mendesak Tomi untuk mengatakannya. "Sabar! Aku akan mengatakannya setelah ini!" Tomi meneguk habis minumannya yang tersisa sedikit. GLEK... GLEKK... "Wanita itu dulunya adalah pembantu.""Pembantu?""Iya! Kau tau, Tuan Radit?" "Iya, aku tau! Aku pernah melihatnya sekali sebelum aku pergi ke luar kota.""Nah! Wanita itu adalah mantan pembantu di rumahnya.""Wah! Benarkah?""Iya! Entah karena masalah apa wanita itu kabur dari rumah Tuan Radit. Dan saat di pesta Tuan David, mereka bertemu dan Tuan Radit mengatakan di depan semua orang kalau wanita itu mantan pembantunya yang kabur. Saat orang-orang penasaran dengan apa yang terjadi sehingga membuatnya kabur, sebelum Tuan Radit mengatakan alasannya, wanita itu malah pingsan.""Apa kau sudah dapat apa alasan wanita itu kabur dari sana?""Belum! Tetapi aku sedang menyuruh orang mencari tau.""Keesokan harinya Tuan Radit dipanggil oleh Tuan Devan ke mansionnya dan Tuan Rad