"Saya pelayan yang akan menemani Nona!" ucap pelayan di balik pintu.
"Masuk saja!" balas Silvi."Baik, Nona!""Kira-kira dia dengar tidak ya, apa yang aku katakan tadi?" batin Silvi.KRIETT...Si pelayan masuk dengan membawa senampan makanan."Ini kudapan untuk memulihkan tenaga Nona!" ucap si pelayan ramah."Terimakasih!" Silvi membalas sama ramahnya."Silahkan dimakan Nona! Tuan Muda ingin anda memakan semua makanan ini."Mata Silvi berbinar melihat makanan enak yang selama ini tidak pernah ia rasakan."Apa boleh saya habiskan?" Silvi menelan salivanya."Tentu, Nona!"Silvi segera melahap makanan yang ada di atas nampan itu dengan cepat. Wajahnya pun sampai belepotan karenanya."Wajahnya sih, cantik tapi makannya kok, serem banget ya? Kayak anak kecil. Apa orang hamil makannya seperti ini, ya?" batin si pelayan."Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Silvia merasa risih diperhatikan begitu oleh pelayan."Ah, maaf, Nona! Saya hanya terpesona melihat wajah Nona! Sangat cantik dan imut," puji si pelayan.Senyum Silvi merekah ketika mendengar pujian si pelayan. "Benarkah?""Iya, Nona! Wajah anda sangat imut saat makan dengan lahap tadi. Saya jadi suka memandangnya.""Benarkan? Wajahku ini memang cantik. Jangankan pria, wanita saja terpesona melihat kecantikanku! Tak heran pria seperti Mas Devan sangat menginginkan diriku," ucap Silvi di dalam hati memuji dirinya sendiri.Silvi senyam-senyum sendiri. Pelayan itu merasa lega setelah melihat suasana hati Silvi sudah membaik."Hah... Selamat! Untung aku bisa menjawab tanpa rasa gugup sehingga terlihat meyakinkan, kalau tidak bisa habis aku," gumamnya dalam hati."Apa Nona memerlukan yang lain?" tanyanya dengan sopan."Bawakan aku segelas jus mangga!""Baik, Nona! Tunggu sebentar, saya akan mengantarkannya kemari." Si pelayan menunduk dan perlahan berjalan mundur meninggalkan kamar Silvi."Haaah... Enaknya! Apalagi kalau aku bisa menjadi istri Mas Devan. Bukan hanya makanan enak yang akan aku dapatkan. Bisa saja perhiasan, pakaian yang bagus dan dikelilingi pelayan yang siap melaksanakan apapun perintahku.""Enak sekali rasanya kalau aku bisa memiliki semua kemewahan dan kenikmatan ini," gumamnya.Silvi menerawang kembali ke masa waktu dirinya masih kecil dan sebelum bertemu dengan Devan.Silvi mungil yang malang. Dia tidak tahu siapa orang tuanya. Sejak kecil dirinya tinggal di panti asuhan. Wajahnya yang cantik dibanding anak seusianya membuat orang yang melihatnya selalu berniat melec*hkan dirinya.Silvi kecil tidak tau apa yang sedang orang-orang dewasa itu lakukan terhadap dirinya. Ia diminta diam saja dan selalu menurut meski dirinya merasa risih dengan perlakuan itu.Hingga lama-kelamaan. Lambat laun, Silvi mengerti semua itu. Ia memberanikan diri untuk pergi dari tempat yang sudah memberikan kenangan buruk untuknya.Karena sudah menginjak usia dewasa, orang-orang panti mengizinkan dia untuk pergi dari sana. Di dunia luar yang tak kalah kejamnya ini. Silvi berusaha menghidupi dirinya sendiri. Berbekal menjadi seorang pembantu di sebuah rumah orang kaya di luar kota jauh dari panti asuhan tempat dirinya menghabiskan masa kecil dulu.Tok.. Tok.. Tok...Lamunan Silvi buyar ketika si pelayan kembali mengetuk pintu."Saya masuk, Nona!" ucap si pelayan. Meski status sosial Silvi lebih rendah dibandingkan pelayan itu, dia harus tetap bersikap sopan."Ini jus mangga yang Nona minta." Si pelayan meletakkan segelas jus mangga spesial di atas nakas samping tempat tidur Silvi.Tanpa mengucap terimakasih, Silvi meneguk jus mangga itu."Ahhh..!" Silvi mendesah kenikmatan, bagai orang yang tidak pernah merasakan minuman seperti ini sebelumnya.Si pelayan meneguk ludah saat melihat tingkah Silvi yang begitu urakan. Tidakk ada jaim-jaimnya sama sekali."Kenapa? Kamu mau juga?" tanya Silvi. Dia menyodorkan gelas jus yang sudah habis setengah kepada si pelayan."Tidak, Nona! Terimakasih. Saya sudah minum tadi di dapur," tolaknya halus."Hah! Menjadi pelayan di sini saja sudah bisa merasakan makanan dan minuman enak seperti ini setiap hari. Aku jadi makin semangat untuk bisa tinggal di tempat ini, setelah berhasil merebut hati Mas Devan. Aku akan mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan yang menyedihkan," batin Silvi.****Semua pelayan membicarakan tentang kehamilan Silvi. Perbincangan itu menjadi topik utama."Kau sudah tau tentang hal yang terjadi tadi malam?" Salah satu pelayan di rumah kedua membuka obrolan."Tau! Tentang Nyonya dan Tuan Besar marah itu 'kan?" sahut pelayan di rumah utama."Bukan! Ada yang lebih heboh dari pada itu!""Apa?" Pelayan di rumah pertama yang tidak tau apa-apa penasaran tentang hal yang tidak mereka ketahui."Wanita yang dibawa oleh Tuan Muda itu sedang hamil!" ungkapnya.Semua pelayan di rumah utama tercengang, sebagian dari mereka ada yang tidak percaya."Yang benar?""Iya! Saya mendengarnya langsung.""Kalian tau apa yang lebih mengagetkan lagi? Ternyata anak itu adalah anak Tuan Muda!" sambungnya lagi."Hah? Benarkah? Kalau wanita itu mengandung anak Tuan Muda, apakah nanti Tuan Muda akan menikahinya?""Entahlah! Sepertinya begitu kalau Nyonya Muda Andini tidak bisa memberikan keturunan. Sebab malam tadi saya melihat Nyonya dan Tuan Besar seakan luluh setelah mengetahui bahwa wanita itu hamil dan Tuan Muda mengakuinya.""Kasihan sekali Nyonya Andini. Apa Nyonya, baik-baik saja?" tanya pelayan di rumah utama. Mereka benar-benar khawatir dengan keadaan nyonya mereka. Mereka seakan merasakan sakitnya."Nyonya Andini tidak bereaksi apa pun. Beliau tidak terkejut ataupun marah. Sepertinya beliau sudah tau akan seperti ini kejadiannya.""Saya tidak bisa membayangkan kalau seandainya berada di posisi Nyonya Andini!" ucap mereka prihatin."Iya! Kalau saya mendengar hal seperti itu dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sudah pasti habis itu suami saya amuk.""Ternyata tidak enak juga ya, menjadi orang kaya! Dari materi kita memang tidak pernah kekurangan. Tetapi harus siap menerima kalau pasangan mendua.""Itulah! Namanya manusia punya masalah mereka masing-masing. Mau yang miskin, kaya, punya jabatan atau rakyat jelata seperti kita semuanya sama punya masalah.""Iya, benar!" Mereka manggut-manggut.Setelah mendengar gosip para pelayan secara sembunyi-sembunyi. Lia yang kemarin tidak berada di tempat kejadian setelah Silvi pingsan dan dibawa ke rumah kedua, langsung berniat menanyakan langsung kepada Andini.Tak lupa dia membawakan makanan untuk majikannya itu.Tok.. Tok..."Saya masuk, Nyonya!" pinta Lia sopan.Lia meletakkan senampan cemilan dan minuman ke atas meja di ruang kerja majikannya."Nyonya! Saya ingin bertanya!""Iya, Lia! Katakan, apa yang ingin kamu tanyakan." Andini masih fokus dengan laptopnya."Apa... Benar... Wanita yang dibawa oleh Tuan Devan itu sedang hamil?" Lia bertanya setengah takut. Dia takut kalau pertanyaannya membuat Andini sedih."Hah...!" Andini menarik nafas panjang. Dia menghentikan aktivitasnya."Jadi... Kamu sudah tau?""Berarti benar kalau anak itu adalah anak Tuan Devan?""Saya tidak tau! Tapi kalau melihat dari respon Tuan Muda, sepertinya iya!"Andini menjawab sesantai mungkin. Jelas sekali, dia sudah lelah dengan drama sang suami.
Di sisi lain, wajah Lia merah padam. Dia terlihat sangat marah. "Yang benar saja! Dia harus diberi perhitungan."
***Bersambung..."Saya sudah menduga, Nyonya! Tidak mungkin Tuan Muda membawa seorang wanita ke rumah ini kalau tidak ada hubungan apa-apa," ucap Lia geram. "Pantas! Tuan Muda merasa sangat bertanggung jawab kepada wanita itu. Rupanya mereka..." Lia menggepalkan tangannya. "Sudahlah, Lia! Kau tidak perlu merasa kesal," ucap Andini menenangkan. "Bukankah sudah tau konsekuensinya seperti ini?" timpalnya lagi. "Tapi, Nyonya! Bukankah itu suatu penghinaan terhadap Nyonya? Kalau Tuan Muda ingin mencari istri siri, setidaknya harus yang derajatnya tidak terlalu jauh dengan Nyonya.""Apalagi wanita itu pandai sekali berkata manis. Sok polos!" Lia benar-benar terlihat kesal. "Apa Nyonya benar-benar tidak apa-apa? Pasti setelah ini wanita itu akan semakin kurang ajar!" "Haah!" Andini hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya dia pun sudah muak dengan wanita itu. Dia bisa membaca sifatnya yang manipulatif. ****Seminggu setelah kejadian itu. Devan kembali mengadakan pertemuan dengan para koleganya. Di rumah
Setelah sembilan menunggu kehadiran anak yang dikandungnya. Akhirnya keinginan Tuan William dapat diwujudkan oleh Nyonya Marissa. "Selamat, Tuan! Anak anda terlahir selamat dan berjenis kelamin laki-laki," ucap si dokter. Meski sudah yakin, kabar itu tentu saja membuat Nyonya Marissa kaget sekaligus senang. "Boleh saya melihat anak saya, Dokter?" pinta Nyonya Marissa. "Tentu, Nyonya!" Dokter wanita yang seumuran dengannya itu menyetujui. "Suster!" panggilnya. "Bawakan kemari anak Nyonya Marissa dan Tuan William.""Baik, Dok!" Suster itu bergegas menuruti perintah dokter. "Ini, Nyonya! Dia sangat tampan. Wajahnya perpaduan antara Nyonya dan Tuan," puji si Dokter. "Haaa... Anakku!" Nyonya Marissa memeluk Devan kecil dengan erat dan penuh kasih sayang kala itu. Tak sadar air matanya jatuh begitu saja. Dia menganggap anak ini pembawa keberuntungan baginya. Setelah puas menumpahkan perasaan harunya, Nyonya Marissa kembali menatap wajah suaminya. "Aku sudah memberikanmu anak laki-la
Silvi menangis saat Devan mendatanginya ke dalam kamar di rumah kedua. "Hei, kenapa kamu menangis?" Hatinya terenyuh melihat wanita yang kini sudah memikat hatinya itu menangis sesegukan. Silvi tidak menjawab. Dia masih menangis sesegukan. "Hei, jawab dong? Apa yang membuat kamu menangis?" Lagi, Devan bertanya dengan lembut. "Nggak apa-apa! Hiks... Aku... Hiks... nggak apa-apa kok , Tuan Muda, hiks... hiks..." ucapnya dengan tangisan yang semakin kencang. Pelayan itu tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dia hanya berdiri dengan tegap dengan perasaan yang gugup. "Kamu!" tunjuknya pada pelayan. "Apa yang sudah terjadi padanya?""Tadi, saat di acara makan malam, Nona Silvi mendekati perkumpulan teman-teman Nyonya, Tuan! Saya sudah melarang. Karena saya tau, mereka pasti sedang membicarakan masalah bisnis. Tetapi kata Nona Silvi, dia hanya ingin menyapa mereka saja. Setelah itu, Nona Silvi meninggalkan saya dan mendatangi mereka. Saya mengamati dari kejauhan, tetapi saya
"Haaaahh! Siapa suruh melawan Silvi! Wanita paling pintar dan paling cantik di sini!" Dia berjalan melenggangkan pinggulnya menuju tempat tidur. "Kita tunggu besok. Bagaimana sikap wanita sombong itu setelahnya. Memang dia siapa? Berani sekali mempermalukan aku. Kau tidak akan bisa berbuat apa-apa, karena suamimu itu berada dalam genggamanku," ujarnya menyeringai. ****"Andini...!" Devan menggebrak pintu kamar. Pelayan Andini yang sedang membantunya melepaskan riasan bekas acara tadi, begitu terkejut dengan kedatangan Devan yang sedang diliputi amarah. Andini hanya melirik dari balik cermin dengan wajah yang datar, kemudian dia melanjutkan kembali aktifitasnya. "Ada apa, Tuan Muda! Kenapa anda terlihat sangat marah?" Dengan santainya dia bertanya. "Kau, tidak usah berlagak sok polos dan anggun. Karena gayamu itu tidak sesuai dengan prilakumu," ujarnya dengan marah. Devan tidak perduli lagi. Di depan pelayan dia tumpahkan kekesalannya. "Saya benar-benar tidak tau hal apa yang me
Keesokan harinya. Andini memutuskan untuk bersantai sekalian melakukan pekerjaannya di halaman belakang. Di taman favoritnya. "Tumben dia jalan-jalan di sini! Pasti bete karena dimarahin sama Mas Devan kemarin," gumamnya lirih. Silvi yang melihat, mencoba mengikuti wanita itu untuk memastikan efek apa yang didapat setelah dilabrak Devan kemarin malam. Andini menatap layar laptop di depannya, kemudian menghela nafas berat. "Nah, tuh 'kan benar! Pasti dia sedang kepikiran setelah dimarahin Mas Devan!" ujarnya yakin. "Makanya, jangan berani-berani sama saya!" cibirnya lagi. Setelah melihat layar laptop sekali lagi dan memastikan, Andini mengambil ponselnya kemudian menelpon seseorang. Terlihat wajahnya sangat serius. Terlihat juga sesekali wanita nampak marah. "Huh! Segitu besar dampaknya kemarahan Mas Devan kemarin, sampai-sampai kamu memarahi orang!" Silvi kemudian berlalu setelah mengatakan itu. "Apa? Bagaimana bisa kalian kecolongan seperti ini?" bentak Andini pada orang di
"Halo...!""Ah, halo, Nyonya Muda. Maaf saya menelpon anda karena Tuan Muda tidak mengangkat telpon saya.""Iya, ada apa Tuan David?""Apakah anda sedang bersama Tuan Devan, Nyonya? Saya ingin membicarakan masalah kerjasama.""Tidak, Tuan! Suami saya sedang pergi keluar, apa ada hal serius yang ingin Tuan bicarakan?""Iya, Nyonya! Dan ini sangat penting! Apakah Tuan Devan lama? Saya perlu membicarakan ini secepatnya.""Hah..!" Andini menghela nafas berat. "Mas, Mas! Apa segitu pentingnya simpananmu itu sampai kamu melalaikan pekerjaan begini?" batin Andini. "Kalau begitu saya yang akan mewakili suami saya. Anda bisa membicarakannya dengan saya.""Ah, benarkah? Kalau begitu apakah kita bisa bertemu? Saya akan memesan tempatnya.""Baiklah! Tuan beri tahu saja di mana tempatnya. Saya akan segera menyusul.""Baiklah! Nyonya. Lima menit lagi akan saya kabari. Selamat siang."David pun memutus sambungan telpon. "Lia, segera bersiap! Lima menit lagi kita akan pergi bertemu Tuan David," tit
"Kau bisa selidiki apa yang sedang terjadi dengan rumah tangga mereka? Dan selidiki juga siapa wanita yang menjadi istri kedua Devan," titah David. "Baik, Tuan! Saya akan melakukan tugas ini dengan sebaik mungkin." Zack menunduk memberikan hormat kepada majikannya. "Bagus! Jangan kecewakan aku, ya?""Kita kembali ke kantor sekarang!" lanjut David. Mereka berdua meninggalkan tempat makan itu. ***"Lia! Kita ke kantor sebentar! Ada yang ingin saya periksa.""Baik, Nyonya!"Sopir melajukan mobil ke arah yang berlawanan dengan jalan pulang. Beruntung siang itu jalanan tidak macet, jadi Andini bisa sampai lebih cepat. Semua orang memberi hormat saat melihat Andini berkunjung ke kantor. "Selamat siang, Nyonya!" seru semua pegawai. "Selamat siang!" balas Andini. "Tumben, Nyonya datang ke kantor tidak memberikan kabar terlebih dahulu. Ada apa ya?" Para. pegawai berbisik. "Entahlah! Semoga saja tidak ada masalah besar.""Iya!"Andini mendatangi ruang kerja Roland. Pegawai kepercayaann
Sekitar pukul empat sore, Andini baru saja pulang dari kantor."Kau habis dari mana?" Baru saja Andini masuk, Devan sudah mencecarnya. Andini yang lelah tidak menjawab, dia terus saja pergi berlalu masuk. "Apa kau tidak mendengar pertanyaanku?" Devan mulai kesal karena Andini tidak menghiraukan ucapannya."Hah! Apa aku harus menjawab pertanyaanmu saat aku tengah sibuk membereskan masalah yang ada? Sementara kau malah asyik bermesraan dan bersenang-senang dengan wanita simpananmu itu?" Andini menjawab dengan nada yang tak kalah kesal. Setelah mengatakan itu Andini kembali melanjutkan langkahnya. "Hey... Kau belum menjawab pertanyaanku!" teriak Devan. Namun Andini yang kesal, mengacuhkan panggilannya. "Apa Nyonya ingin segera mandi?""Iya, Lia! Tolong siapkan ya?""Anda tidak perlu meminta tolong, Nyonya! Itu sudah menjadi tugas saya!" Lia pamit untuk melakukan tugasnya. Tak lama menunggu. "Semua sudah saya siapkan, Nyonya!""Baik, aku akan mandi sekarang!"Setelah mandi dan ber