Keesokan harinya. Andini memutuskan untuk bersantai sekalian melakukan pekerjaannya di halaman belakang. Di taman favoritnya. "Tumben dia jalan-jalan di sini! Pasti bete karena dimarahin sama Mas Devan kemarin," gumamnya lirih. Silvi yang melihat, mencoba mengikuti wanita itu untuk memastikan efek apa yang didapat setelah dilabrak Devan kemarin malam. Andini menatap layar laptop di depannya, kemudian menghela nafas berat. "Nah, tuh 'kan benar! Pasti dia sedang kepikiran setelah dimarahin Mas Devan!" ujarnya yakin. "Makanya, jangan berani-berani sama saya!" cibirnya lagi. Setelah melihat layar laptop sekali lagi dan memastikan, Andini mengambil ponselnya kemudian menelpon seseorang. Terlihat wajahnya sangat serius. Terlihat juga sesekali wanita nampak marah. "Huh! Segitu besar dampaknya kemarahan Mas Devan kemarin, sampai-sampai kamu memarahi orang!" Silvi kemudian berlalu setelah mengatakan itu. "Apa? Bagaimana bisa kalian kecolongan seperti ini?" bentak Andini pada orang di
"Halo...!""Ah, halo, Nyonya Muda. Maaf saya menelpon anda karena Tuan Muda tidak mengangkat telpon saya.""Iya, ada apa Tuan David?""Apakah anda sedang bersama Tuan Devan, Nyonya? Saya ingin membicarakan masalah kerjasama.""Tidak, Tuan! Suami saya sedang pergi keluar, apa ada hal serius yang ingin Tuan bicarakan?""Iya, Nyonya! Dan ini sangat penting! Apakah Tuan Devan lama? Saya perlu membicarakan ini secepatnya.""Hah..!" Andini menghela nafas berat. "Mas, Mas! Apa segitu pentingnya simpananmu itu sampai kamu melalaikan pekerjaan begini?" batin Andini. "Kalau begitu saya yang akan mewakili suami saya. Anda bisa membicarakannya dengan saya.""Ah, benarkah? Kalau begitu apakah kita bisa bertemu? Saya akan memesan tempatnya.""Baiklah! Tuan beri tahu saja di mana tempatnya. Saya akan segera menyusul.""Baiklah! Nyonya. Lima menit lagi akan saya kabari. Selamat siang."David pun memutus sambungan telpon. "Lia, segera bersiap! Lima menit lagi kita akan pergi bertemu Tuan David," tit
"Kau bisa selidiki apa yang sedang terjadi dengan rumah tangga mereka? Dan selidiki juga siapa wanita yang menjadi istri kedua Devan," titah David. "Baik, Tuan! Saya akan melakukan tugas ini dengan sebaik mungkin." Zack menunduk memberikan hormat kepada majikannya. "Bagus! Jangan kecewakan aku, ya?""Kita kembali ke kantor sekarang!" lanjut David. Mereka berdua meninggalkan tempat makan itu. ***"Lia! Kita ke kantor sebentar! Ada yang ingin saya periksa.""Baik, Nyonya!"Sopir melajukan mobil ke arah yang berlawanan dengan jalan pulang. Beruntung siang itu jalanan tidak macet, jadi Andini bisa sampai lebih cepat. Semua orang memberi hormat saat melihat Andini berkunjung ke kantor. "Selamat siang, Nyonya!" seru semua pegawai. "Selamat siang!" balas Andini. "Tumben, Nyonya datang ke kantor tidak memberikan kabar terlebih dahulu. Ada apa ya?" Para. pegawai berbisik. "Entahlah! Semoga saja tidak ada masalah besar.""Iya!"Andini mendatangi ruang kerja Roland. Pegawai kepercayaann
Sekitar pukul empat sore, Andini baru saja pulang dari kantor."Kau habis dari mana?" Baru saja Andini masuk, Devan sudah mencecarnya. Andini yang lelah tidak menjawab, dia terus saja pergi berlalu masuk. "Apa kau tidak mendengar pertanyaanku?" Devan mulai kesal karena Andini tidak menghiraukan ucapannya."Hah! Apa aku harus menjawab pertanyaanmu saat aku tengah sibuk membereskan masalah yang ada? Sementara kau malah asyik bermesraan dan bersenang-senang dengan wanita simpananmu itu?" Andini menjawab dengan nada yang tak kalah kesal. Setelah mengatakan itu Andini kembali melanjutkan langkahnya. "Hey... Kau belum menjawab pertanyaanku!" teriak Devan. Namun Andini yang kesal, mengacuhkan panggilannya. "Apa Nyonya ingin segera mandi?""Iya, Lia! Tolong siapkan ya?""Anda tidak perlu meminta tolong, Nyonya! Itu sudah menjadi tugas saya!" Lia pamit untuk melakukan tugasnya. Tak lama menunggu. "Semua sudah saya siapkan, Nyonya!""Baik, aku akan mandi sekarang!"Setelah mandi dan ber
"Kamu mau ikut?""Iya, Tuan! Boleh, ya? Silvi 'kan, juga ingin kenal dengan semua kolega Tuan!" ujarnya manja. "Sepertinya akan susah. Karena ini hanya pertemuan khusus untuk para pembisnis. Hanya orang-orang yang terlibat saja.""Apa Tuan, tidak bisa meminta secara langsung kepada Tuan David? Cobalah dulu, siapa tahu dia mengizinkan," bujuknya lagi. "Baiklah! Aku akan mencobanya.""Terimakasih, Tuan!" ucap Silvi kegirangan.Devan pun sebenarnya bingung seperti apa mengatakannya. Tapi, karena melihat tingkah Silvi yang begitu menggemaskan membuatnya luluh. Devan mendatangi Andini dan menyuruhnya untuk meminta izin kepada David, mengajak Silvi ke pesta itu. "Kau sampai repot-repot datang kemari hanya karena ingin supaya wanita itu diundang juga ke acara itu? Benar-benar luar biasa sekali!""Kau mau 'kan melakukannya?" Dengan tidak tau malunya Devan meminta. "Tidak mau! Kenapa harus aku? Seharusnya kau sendiri yang meminta. Bukankah, menyenangkan wanita itu menjadi tugasmu? Kenapa
"Nona? Anda tidak apa-apa?" Mereka ikutan panik melihat wajah Silvi yang tiba-tiba pucat. "Kenapa wajah Nona tiba-tiba pucat?""Apa Nona sedang sakit?" Pertanyaan mereka tak ada satu pun yang dijawab oleh Silvi. "Tidak mungkin orang itu ada di sini!" Pupil matanya bergetar saking takutnya. Silvi mengalihkan pandangan saat orang itu menatap ke arahnya. "Wah! Siapa ini? Bebek yang dulu bernasib buruk, sekarang menjelma menjadi angsa?" Orang itu mendekati Silvi. "Apa Nona kenal dengan orang ini?" tanya salah satu dari wanita itu. Tubuhnya semakin bergetar hebat saat orang itu menyapanya."Apa anda mengenal Nona Silvi?" tanya mereka. "Kenapa kau terdiam? Apa kau takut bertemu denganku, Silvi?" tanya pria itu sambil menyeringai. "Baiklah, kalau kau tidak mau menjawab pertanyaan mereka, biar aku yang akan menjawabnya!""Perkenalkan saya Tuan Radit. Mantan majikan Silvi!" ujarnya menyeringai. "Hah! Benarkah? Maksud anda dulu Nona Silvi mantan bawahan anda?""Dia ini bekerja sebagai
Mendadak suasana menjadi hening. Andini masih berdiri di tempatnya. "Kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?""Tidak ada!" balas Andini. "Kau tidak lihat keadaan Silvi? Dia seperti ini karena ulahmu!" ujar Devan dingin. Dia menggelutukkan giginya. "Apa? Dia malah menyalahkanku di situasi ini?" batin Andini. "Kau bahkan tidak terkejut!""Aku tidak terkejut karena aku sudah mendengar cerita kenapa dia bisa sampai seperti itu. Meski kau sakit hati, tidak seharusnya bukan kau malah melampiaskannya padaku?" Andini membalas dengan nada dan raut wajah yang datar. "Kau masih merasa tidak bersalah?""Memangnya kenapa aku harus merasa bersalah? Yang mengajak dia ke pesta itu 'kan, kau!""Tapi ini semua 'kan ulahmu? Kau pasti sudah merencanakan semuanya. Makanya kau tidak melarang saat Silvi ikut. Kau 'kan yang menyuruh David untuk ikut mengundang Tuan Radit? Karena kau ingin mempermalukannya.""Hahaha... Lucu sekali! Khayalanmu terlalu jauh. Kenapa kau tidak menanyakannya saja langsung
Tok... Tok.. Tok... Pintu ruang kerja Andini di ketok. "Nyonya, apa saya boleh masuk?" Terdengar suara Bu Dewi dari luar. "Ya, Bu Dewi! Masuk saja!"Bu Dewi masuk sambil membawa sebuah ransel. Tetapi, bukan ransel yang biasa dipakai orang-orang berpergian. "Apa itu, Bu Dewi?" tanya Andini. "Oh, ini? Ransel, Nyonya?""Ransel? Punya siapa? Apa isinya?""Isinya kucing, Nyonya!" "Apa? Kucing? Punya siapa?""Ini hadiah dari Tuan David untuk Nyonya. Kata beliau, hadiah ini sebagai permintaan maafnya!" Bu Dewi mengeluarkan seekor kucing berwarna coklat yang sangat cantik. "Wah... Cantik sekali kucing ini!" Andini terkesima ketika melihat kucing itu. "Meskipun terlihat cantik, kucing ini ternyata seekor kucing jantan, Nyonya!""Benarkah?" Andini semakin mendekat. Kucing jantan berwarna coklat dan berbulu lebat serta panjang itu sangat pintar. Dia keluar sendiri dan meloncat dengan anggunnya. "Meow..." Dia mengeong dan melihat ke arah Andini. Seakan sedang memberi salam, bahkan wajah