"Bagaimana, Dok, keadaan Silvi?" tanya Devan kepada dokter pribadi keluarganya.
Setelah kejadian ambruk tadi, kedua orang tua Devan membiarkan anaknya membawa Silvi ke tempat tidur."Tidak terjadi hal yang serius, Tuan Muda! Dia hanya kecapekan. Dan saya menyarankan, sebaiknya bawa dia periksa kedokter kandungan. Sepertinya dia hamil."Semua orang yang berada di sana tercengang. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter."Apaa, Dok? Hamil?" Devan, mama dan juga papanya berkata bersamaan.Andini juga berada di sana. Mendengar kata hamil membuat hati Andini terasa nyeri. Jujur, meski pernikahan mereka karena bisnis. Namun, tak dipungkiri bahwa Andini sebenarnya juga menginginkan hal yang semua wanita bisa rasakan.Berbeda dengan Devan yang tersenyum semringah. Kedua orang tua Devan hanya terlihat bingung.Memiliki cucu dari Devan adalah impian mereka. Terlebih Devan adalah anak mereka satu-satunya yang akan mewarisi perusahaan yang mereka bangun dari dulu, tentu harus memiliki keturunan untuk menurunkan usaha mereka ini. Tapi, mereka bingung harus senang apa cemas. Mereka sudah lama menantikan cucu dan ini adalah darah daging Devan sendiri. Yang berarti ada harapan memiliki seorang penerus. Tetapi mereka juga bingung anak dari hasil perselingkuhan dan bukan dari kalangan mereka tidak akan bisa menjadi pewaris. Itu sudah menjadi tradisi di keluarga mereka."Papa dan Mama lihat 'kan? Silvi sudah memberikan Devan keturunan seperti yang selama ini kalian impikan," ucap Devan dengan mata yang berkaca-kaca karena saking bahagianya.Mama dan Papanya Devan sedikit ragu. Mereka kembali bertanya kepada dokter untuk memastikan karena mereka tak ingin mempunyai cucu dari seorang wanita kalangan bawah meski wajahnya cantik."Dokter yakin kalau wanita ini hamil?" tanya mamanya Devan."Saya tidak bisa memastikan, tapi kalau dilihat dari kondisinya sepertinya iya, Nyonya Marissa.""Kalau anda ingin memastikan sebaiknya periksakan saja Nona ini ke dokter spesialis kandungan, Nyonya! Karena saya tidak ahli di bidang itu," jelas dokter muda itu dengan wajah tersenyum.Andini hanya diam menyimak. Kalau sudah seperti ini dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya satu hal yang dia yakini bahwa sebanyak apapun wanita simpanan suaminya, hanya dia satu-satunya istri yang diakui oleh keluarga."Eh...!" Silvi tersadar. Dia merintih pelan. "Mas...!" ucapnya pelan.Dokter pribadi keluarga mereka pun terkejut dengan ucapan Silvi.Nyonya Besar dan Tuan Besar tidak menyukai panggilan Silvi kepada Devan. Mereka menganggap tak pantas seorang wanita kalangan bawah memanggil Tuan Muda mereka dengan sebutan seperti itu."Hati-hati, Sayang!" Devan berkata mesra kepada Silvi. Dia terlihat ingin membuat Andini cemburu.Hati Andini mencelos mendengarnya. Namun, dia berusaha terlihat tetap tenang. Memandang dengan wajah yang datar."Mas, aku kenapa? Perutku rasanya sakit sekali!" lirihnya dengan nada yang manja."Kamu istirahat dulu! Tadi kamu pingsan. Dan dokter baru saja memeriksamu!" balas Devan lembut."Aku kenapa memangnya?" Silvi merasa di atas angin karena Devan begitu lembut kepada dirinya di depan wanita yang masih sah menjadi istrinya. Bahkan kedua orang tua Devan yang terlihat keras tadi tak melarang."Kata dokter kamu hamil!""Hah? Hamil? Benarkah?" Silvi seakan tidak percaya. Raut wajahnya terlihat senang sekaligus takut. Tetapi dia berusaha menyembunyikan sebelum ada yang menyadarinya.Andini memperhatikan raut wajah gundik suaminya itu. Dia merasa heran kenapa Silvi terlihat takut. "Apa dia takut kalau Nyonya dan Tuan Besar menyuruhnya menggugurkan bayi itu kemudian mengusirnya?" pikir Andini."Iya! Hamil! Akhirnya anak yang selama ini aku dan keluargaku impikan akan segera hadir!" ucap Devan senang."Kalau begitu saya pamit dulu, Tuan Muda! Nyonya Andini!" pamit lelaki muda itu.Andini menjawab dengan anggukan."Pelayan!" panggil Andini. "Tolong antarkan Dokter Wisnu ke depan!" pintanya."Baik, Nyonya!" jawab pelayan itu dengan sopan dan menundukkan kepala. "Mari, Pak Dokter!"Dokter Wisnu mengangguk kemudian keluar dari kamar itu."Beneran aku hamil, Mas?" Silvi mencoba bertanya lagi."Iya! Kamu hamil anak kita! Nanti kita akan periksa ke dokter kandungan."Mendengar Devan mengakui anaknya, Silvi merasa lega."Jangan usir aku ya, Mas? Aku dan anak aku akan tinggal di mana kalau kamu mengusir aku!" ujarnya memelas meminta di kasihani."Tidak ada yang akan mengusir kamu! Kamu sedang hamil anak aku, tidak akan ada satu orang pun yang berani mengusir kamu." Devan melemparkan pandangan kepada kedua orang tuanya dan juga Andini."Kalau kamu tidak ingin di usir dari sini! Perbaiki etika dan cara bicara kamu!" ketus Nyonya Marissa."Panggil Devan dengan sebutan Tuan Muda! Seperti yang Andini lakukan," lanjutnya lagi."Dan satu lagi. Kalau setelah periksa ternyata kamu tidak hamil, secepatnya kamu angkat kaki dari rumah ini."Setelah memberikan peringatan, Tuan dan Nyonya besar pergi meninggalkan rumah anaknya itu."Besok kita akan periksa. Sekarang kamu istirahat saja di sini.""Baik, Tuan Muda!"Devan tersenyum mendengar jawaban Silvi.Saat Devan ingin beranjak dari duduknya, tiba-tiba Silvi mengatakan sesuatu yang membuat Devan terdiam."Tuan tidur di sini menemani saya 'kan?"Andini yang tadinya ingin keluar dan hampir sampai di depan pintu, terdiam sejenak."Maaf, Silvi! Meskipun kamu hamil anak saya! Kita tetap tidak bisa tidur bersama.""Kenapa? Apa ada yang salah kalau kita tidur bersama? Saya 'kan sedang mengandung anak Tuan! lagi pula Nyonya Muda Andini tidak keberatan, bukan?"Andini menghela nafas perlahan, Silvi seakan menampakkan kemesraan mereka secara terang-terangan dan berlebihan. Merasa akan ada adegan di luar batas, Andini segera pergi dari kamar itu."Meski Nyonya Andini tidak keberatan. Tetap saja, saya hanya boleh tidur bersama istri sah di kamar di dalam rumah utama.""Tapi saya 'kan sedang mengandung? Harusnya Tuan lebih memilih menemani saya. Nyonya Andini 'kan tidak hamil jadi tidak perlu ditemani," protes Silvi."Nanti... Setelah kita resmi menikah. Akan aku pilihkan pelayan pribadi untukmu, agar bisa menemani kamu setiap saat di kehamilan ini," usul Devan."Sekarang kamu ditemani oleh pelayan dulu! Saya ingin kembali ke rumah utama untuk menyelesaikan pekerjaan," lanjutnya."Jangan ke mana-mana! Kamu tunggu saja di sini," titah Devan."Um-uh!" Silvi mengerucutkan bibirnya."Dia manis sekali!" batin Devan.Devan melangkahkan kakinya keluar dan menutup pintunya."Ish! Gagal deh berduaan sama Mas Devan!" gumam Silvi.Silvi memandang langit-langit kamar untuk beberapa saat, kemudian bergumam, "Apakah aku bisa menjadi istri Mas Devan seutuhnya?" ujarnya pesimis."Ah, aku kenapa sih? Aku bisa. Aku pasti bisa menjadi menantu satu-satunya di rumah ini," ujarnya bersemangat."Kalau aku bisa menjadi menantu di rumah ini, aku tidak akan lagi merasakan hidup susah. Terkurung di dalam kamar kontrakan yang sempit. Pertama, aku harus bisa meluluhkan hati kedua orang tua itu."Tok.. tok.. tok...Sedang asyik-asyiknya menyusun strategi. Tiba-tiba di depan pintu kamar Silvii ada yang mengetok."Saya pelayan yang akan menemani Nona!" ucap pelayan di balik pintu. "Masuk saja!" balas Silvi. "Baik, Nona!""Kira-kira dia dengar tidak ya, apa yang aku katakan tadi?" batin Silvi. KRIETT... Si pelayan masuk dengan membawa senampan makanan. "Ini kudapan untuk memulihkan tenaga Nona!" ucap si pelayan ramah. "Terimakasih!" Silvi membalas sama ramahnya. "Silahkan dimakan Nona! Tuan Muda ingin anda memakan semua makanan ini."Mata Silvi berbinar melihat makanan enak yang selama ini tidak pernah ia rasakan. "Apa boleh saya habiskan?" Silvi menelan salivanya. "Tentu, Nona!"Silvi segera melahap makanan yang ada di atas nampan itu dengan cepat. Wajahnya pun sampai belepotan karenanya. "Wajahnya sih, cantik tapi makannya kok, serem banget ya? Kayak anak kecil. Apa orang hamil makannya seperti ini, ya?" batin si pelayan. "Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Silvia merasa risih diperhatikan begitu oleh pelayan. "Ah, maaf, Nona! Saya hanya terpesona melihat wajah Nona! Sangat ca
"Saya sudah menduga, Nyonya! Tidak mungkin Tuan Muda membawa seorang wanita ke rumah ini kalau tidak ada hubungan apa-apa," ucap Lia geram. "Pantas! Tuan Muda merasa sangat bertanggung jawab kepada wanita itu. Rupanya mereka..." Lia menggepalkan tangannya. "Sudahlah, Lia! Kau tidak perlu merasa kesal," ucap Andini menenangkan. "Bukankah sudah tau konsekuensinya seperti ini?" timpalnya lagi. "Tapi, Nyonya! Bukankah itu suatu penghinaan terhadap Nyonya? Kalau Tuan Muda ingin mencari istri siri, setidaknya harus yang derajatnya tidak terlalu jauh dengan Nyonya.""Apalagi wanita itu pandai sekali berkata manis. Sok polos!" Lia benar-benar terlihat kesal. "Apa Nyonya benar-benar tidak apa-apa? Pasti setelah ini wanita itu akan semakin kurang ajar!" "Haah!" Andini hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya dia pun sudah muak dengan wanita itu. Dia bisa membaca sifatnya yang manipulatif. ****Seminggu setelah kejadian itu. Devan kembali mengadakan pertemuan dengan para koleganya. Di rumah
Setelah sembilan menunggu kehadiran anak yang dikandungnya. Akhirnya keinginan Tuan William dapat diwujudkan oleh Nyonya Marissa. "Selamat, Tuan! Anak anda terlahir selamat dan berjenis kelamin laki-laki," ucap si dokter. Meski sudah yakin, kabar itu tentu saja membuat Nyonya Marissa kaget sekaligus senang. "Boleh saya melihat anak saya, Dokter?" pinta Nyonya Marissa. "Tentu, Nyonya!" Dokter wanita yang seumuran dengannya itu menyetujui. "Suster!" panggilnya. "Bawakan kemari anak Nyonya Marissa dan Tuan William.""Baik, Dok!" Suster itu bergegas menuruti perintah dokter. "Ini, Nyonya! Dia sangat tampan. Wajahnya perpaduan antara Nyonya dan Tuan," puji si Dokter. "Haaa... Anakku!" Nyonya Marissa memeluk Devan kecil dengan erat dan penuh kasih sayang kala itu. Tak sadar air matanya jatuh begitu saja. Dia menganggap anak ini pembawa keberuntungan baginya. Setelah puas menumpahkan perasaan harunya, Nyonya Marissa kembali menatap wajah suaminya. "Aku sudah memberikanmu anak laki-la
Silvi menangis saat Devan mendatanginya ke dalam kamar di rumah kedua. "Hei, kenapa kamu menangis?" Hatinya terenyuh melihat wanita yang kini sudah memikat hatinya itu menangis sesegukan. Silvi tidak menjawab. Dia masih menangis sesegukan. "Hei, jawab dong? Apa yang membuat kamu menangis?" Lagi, Devan bertanya dengan lembut. "Nggak apa-apa! Hiks... Aku... Hiks... nggak apa-apa kok , Tuan Muda, hiks... hiks..." ucapnya dengan tangisan yang semakin kencang. Pelayan itu tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dia hanya berdiri dengan tegap dengan perasaan yang gugup. "Kamu!" tunjuknya pada pelayan. "Apa yang sudah terjadi padanya?""Tadi, saat di acara makan malam, Nona Silvi mendekati perkumpulan teman-teman Nyonya, Tuan! Saya sudah melarang. Karena saya tau, mereka pasti sedang membicarakan masalah bisnis. Tetapi kata Nona Silvi, dia hanya ingin menyapa mereka saja. Setelah itu, Nona Silvi meninggalkan saya dan mendatangi mereka. Saya mengamati dari kejauhan, tetapi saya
"Haaaahh! Siapa suruh melawan Silvi! Wanita paling pintar dan paling cantik di sini!" Dia berjalan melenggangkan pinggulnya menuju tempat tidur. "Kita tunggu besok. Bagaimana sikap wanita sombong itu setelahnya. Memang dia siapa? Berani sekali mempermalukan aku. Kau tidak akan bisa berbuat apa-apa, karena suamimu itu berada dalam genggamanku," ujarnya menyeringai. ****"Andini...!" Devan menggebrak pintu kamar. Pelayan Andini yang sedang membantunya melepaskan riasan bekas acara tadi, begitu terkejut dengan kedatangan Devan yang sedang diliputi amarah. Andini hanya melirik dari balik cermin dengan wajah yang datar, kemudian dia melanjutkan kembali aktifitasnya. "Ada apa, Tuan Muda! Kenapa anda terlihat sangat marah?" Dengan santainya dia bertanya. "Kau, tidak usah berlagak sok polos dan anggun. Karena gayamu itu tidak sesuai dengan prilakumu," ujarnya dengan marah. Devan tidak perduli lagi. Di depan pelayan dia tumpahkan kekesalannya. "Saya benar-benar tidak tau hal apa yang me
Keesokan harinya. Andini memutuskan untuk bersantai sekalian melakukan pekerjaannya di halaman belakang. Di taman favoritnya. "Tumben dia jalan-jalan di sini! Pasti bete karena dimarahin sama Mas Devan kemarin," gumamnya lirih. Silvi yang melihat, mencoba mengikuti wanita itu untuk memastikan efek apa yang didapat setelah dilabrak Devan kemarin malam. Andini menatap layar laptop di depannya, kemudian menghela nafas berat. "Nah, tuh 'kan benar! Pasti dia sedang kepikiran setelah dimarahin Mas Devan!" ujarnya yakin. "Makanya, jangan berani-berani sama saya!" cibirnya lagi. Setelah melihat layar laptop sekali lagi dan memastikan, Andini mengambil ponselnya kemudian menelpon seseorang. Terlihat wajahnya sangat serius. Terlihat juga sesekali wanita nampak marah. "Huh! Segitu besar dampaknya kemarahan Mas Devan kemarin, sampai-sampai kamu memarahi orang!" Silvi kemudian berlalu setelah mengatakan itu. "Apa? Bagaimana bisa kalian kecolongan seperti ini?" bentak Andini pada orang di
"Halo...!""Ah, halo, Nyonya Muda. Maaf saya menelpon anda karena Tuan Muda tidak mengangkat telpon saya.""Iya, ada apa Tuan David?""Apakah anda sedang bersama Tuan Devan, Nyonya? Saya ingin membicarakan masalah kerjasama.""Tidak, Tuan! Suami saya sedang pergi keluar, apa ada hal serius yang ingin Tuan bicarakan?""Iya, Nyonya! Dan ini sangat penting! Apakah Tuan Devan lama? Saya perlu membicarakan ini secepatnya.""Hah..!" Andini menghela nafas berat. "Mas, Mas! Apa segitu pentingnya simpananmu itu sampai kamu melalaikan pekerjaan begini?" batin Andini. "Kalau begitu saya yang akan mewakili suami saya. Anda bisa membicarakannya dengan saya.""Ah, benarkah? Kalau begitu apakah kita bisa bertemu? Saya akan memesan tempatnya.""Baiklah! Tuan beri tahu saja di mana tempatnya. Saya akan segera menyusul.""Baiklah! Nyonya. Lima menit lagi akan saya kabari. Selamat siang."David pun memutus sambungan telpon. "Lia, segera bersiap! Lima menit lagi kita akan pergi bertemu Tuan David," tit
"Kau bisa selidiki apa yang sedang terjadi dengan rumah tangga mereka? Dan selidiki juga siapa wanita yang menjadi istri kedua Devan," titah David. "Baik, Tuan! Saya akan melakukan tugas ini dengan sebaik mungkin." Zack menunduk memberikan hormat kepada majikannya. "Bagus! Jangan kecewakan aku, ya?""Kita kembali ke kantor sekarang!" lanjut David. Mereka berdua meninggalkan tempat makan itu. ***"Lia! Kita ke kantor sebentar! Ada yang ingin saya periksa.""Baik, Nyonya!"Sopir melajukan mobil ke arah yang berlawanan dengan jalan pulang. Beruntung siang itu jalanan tidak macet, jadi Andini bisa sampai lebih cepat. Semua orang memberi hormat saat melihat Andini berkunjung ke kantor. "Selamat siang, Nyonya!" seru semua pegawai. "Selamat siang!" balas Andini. "Tumben, Nyonya datang ke kantor tidak memberikan kabar terlebih dahulu. Ada apa ya?" Para. pegawai berbisik. "Entahlah! Semoga saja tidak ada masalah besar.""Iya!"Andini mendatangi ruang kerja Roland. Pegawai kepercayaann