"Bagaimana, Dok, keadaan Silvi?" tanya Devan kepada dokter pribadi keluarganya.
Setelah kejadian ambruk tadi, kedua orang tua Devan membiarkan anaknya membawa Silvi ke tempat tidur."Tidak terjadi hal yang serius, Tuan Muda! Dia hanya kecapekan. Dan saya menyarankan, sebaiknya bawa dia periksa kedokter kandungan. Sepertinya dia hamil."Semua orang yang berada di sana tercengang. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter."Apaa, Dok? Hamil?" Devan, mama dan juga papanya berkata bersamaan.Andini juga berada di sana. Mendengar kata hamil membuat hati Andini terasa nyeri. Jujur, meski pernikahan mereka karena bisnis. Namun, tak dipungkiri bahwa Andini sebenarnya juga menginginkan hal yang semua wanita bisa rasakan.Berbeda dengan Devan yang tersenyum semringah. Kedua orang tua Devan hanya terlihat bingung.Memiliki cucu dari Devan adalah impian mereka. Terlebih Devan adalah anak mereka satu-satunya yang akan mewarisi perusahaan yang mereka bangun dari dulu, tentu harus memiliki keturunan untuk menurunkan usaha mereka ini. Tapi, mereka bingung harus senang apa cemas. Mereka sudah lama menantikan cucu dan ini adalah darah daging Devan sendiri. Yang berarti ada harapan memiliki seorang penerus. Tetapi mereka juga bingung anak dari hasil perselingkuhan dan bukan dari kalangan mereka tidak akan bisa menjadi pewaris. Itu sudah menjadi tradisi di keluarga mereka."Papa dan Mama lihat 'kan? Silvi sudah memberikan Devan keturunan seperti yang selama ini kalian impikan," ucap Devan dengan mata yang berkaca-kaca karena saking bahagianya.Mama dan Papanya Devan sedikit ragu. Mereka kembali bertanya kepada dokter untuk memastikan karena mereka tak ingin mempunyai cucu dari seorang wanita kalangan bawah meski wajahnya cantik."Dokter yakin kalau wanita ini hamil?" tanya mamanya Devan."Saya tidak bisa memastikan, tapi kalau dilihat dari kondisinya sepertinya iya, Nyonya Marissa.""Kalau anda ingin memastikan sebaiknya periksakan saja Nona ini ke dokter spesialis kandungan, Nyonya! Karena saya tidak ahli di bidang itu," jelas dokter muda itu dengan wajah tersenyum.Andini hanya diam menyimak. Kalau sudah seperti ini dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya satu hal yang dia yakini bahwa sebanyak apapun wanita simpanan suaminya, hanya dia satu-satunya istri yang diakui oleh keluarga."Eh...!" Silvi tersadar. Dia merintih pelan. "Mas...!" ucapnya pelan.Dokter pribadi keluarga mereka pun terkejut dengan ucapan Silvi.Nyonya Besar dan Tuan Besar tidak menyukai panggilan Silvi kepada Devan. Mereka menganggap tak pantas seorang wanita kalangan bawah memanggil Tuan Muda mereka dengan sebutan seperti itu."Hati-hati, Sayang!" Devan berkata mesra kepada Silvi. Dia terlihat ingin membuat Andini cemburu.Hati Andini mencelos mendengarnya. Namun, dia berusaha terlihat tetap tenang. Memandang dengan wajah yang datar."Mas, aku kenapa? Perutku rasanya sakit sekali!" lirihnya dengan nada yang manja."Kamu istirahat dulu! Tadi kamu pingsan. Dan dokter baru saja memeriksamu!" balas Devan lembut."Aku kenapa memangnya?" Silvi merasa di atas angin karena Devan begitu lembut kepada dirinya di depan wanita yang masih sah menjadi istrinya. Bahkan kedua orang tua Devan yang terlihat keras tadi tak melarang."Kata dokter kamu hamil!""Hah? Hamil? Benarkah?" Silvi seakan tidak percaya. Raut wajahnya terlihat senang sekaligus takut. Tetapi dia berusaha menyembunyikan sebelum ada yang menyadarinya.Andini memperhatikan raut wajah gundik suaminya itu. Dia merasa heran kenapa Silvi terlihat takut. "Apa dia takut kalau Nyonya dan Tuan Besar menyuruhnya menggugurkan bayi itu kemudian mengusirnya?" pikir Andini."Iya! Hamil! Akhirnya anak yang selama ini aku dan keluargaku impikan akan segera hadir!" ucap Devan senang."Kalau begitu saya pamit dulu, Tuan Muda! Nyonya Andini!" pamit lelaki muda itu.Andini menjawab dengan anggukan."Pelayan!" panggil Andini. "Tolong antarkan Dokter Wisnu ke depan!" pintanya."Baik, Nyonya!" jawab pelayan itu dengan sopan dan menundukkan kepala. "Mari, Pak Dokter!"Dokter Wisnu mengangguk kemudian keluar dari kamar itu."Beneran aku hamil, Mas?" Silvi mencoba bertanya lagi."Iya! Kamu hamil anak kita! Nanti kita akan periksa ke dokter kandungan."Mendengar Devan mengakui anaknya, Silvi merasa lega."Jangan usir aku ya, Mas? Aku dan anak aku akan tinggal di mana kalau kamu mengusir aku!" ujarnya memelas meminta di kasihani."Tidak ada yang akan mengusir kamu! Kamu sedang hamil anak aku, tidak akan ada satu orang pun yang berani mengusir kamu." Devan melemparkan pandangan kepada kedua orang tuanya dan juga Andini."Kalau kamu tidak ingin di usir dari sini! Perbaiki etika dan cara bicara kamu!" ketus Nyonya Marissa."Panggil Devan dengan sebutan Tuan Muda! Seperti yang Andini lakukan," lanjutnya lagi."Dan satu lagi. Kalau setelah periksa ternyata kamu tidak hamil, secepatnya kamu angkat kaki dari rumah ini."Setelah memberikan peringatan, Tuan dan Nyonya besar pergi meninggalkan rumah anaknya itu."Besok kita akan periksa. Sekarang kamu istirahat saja di sini.""Baik, Tuan Muda!"Devan tersenyum mendengar jawaban Silvi.Saat Devan ingin beranjak dari duduknya, tiba-tiba Silvi mengatakan sesuatu yang membuat Devan terdiam."Tuan tidur di sini menemani saya 'kan?"Andini yang tadinya ingin keluar dan hampir sampai di depan pintu, terdiam sejenak."Maaf, Silvi! Meskipun kamu hamil anak saya! Kita tetap tidak bisa tidur bersama.""Kenapa? Apa ada yang salah kalau kita tidur bersama? Saya 'kan sedang mengandung anak Tuan! lagi pula Nyonya Muda Andini tidak keberatan, bukan?"Andini menghela nafas perlahan, Silvi seakan menampakkan kemesraan mereka secara terang-terangan dan berlebihan. Merasa akan ada adegan di luar batas, Andini segera pergi dari kamar itu."Meski Nyonya Andini tidak keberatan. Tetap saja, saya hanya boleh tidur bersama istri sah di kamar di dalam rumah utama.""Tapi saya 'kan sedang mengandung? Harusnya Tuan lebih memilih menemani saya. Nyonya Andini 'kan tidak hamil jadi tidak perlu ditemani," protes Silvi."Nanti... Setelah kita resmi menikah. Akan aku pilihkan pelayan pribadi untukmu, agar bisa menemani kamu setiap saat di kehamilan ini," usul Devan."Sekarang kamu ditemani oleh pelayan dulu! Saya ingin kembali ke rumah utama untuk menyelesaikan pekerjaan," lanjutnya."Jangan ke mana-mana! Kamu tunggu saja di sini," titah Devan."Um-uh!" Silvi mengerucutkan bibirnya."Dia manis sekali!" batin Devan.Devan melangkahkan kakinya keluar dan menutup pintunya."Ish! Gagal deh berduaan sama Mas Devan!" gumam Silvi.Silvi memandang langit-langit kamar untuk beberapa saat, kemudian bergumam, "Apakah aku bisa menjadi istri Mas Devan seutuhnya?" ujarnya pesimis."Ah, aku kenapa sih? Aku bisa. Aku pasti bisa menjadi menantu satu-satunya di rumah ini," ujarnya bersemangat."Kalau aku bisa menjadi menantu di rumah ini, aku tidak akan lagi merasakan hidup susah. Terkurung di dalam kamar kontrakan yang sempit. Pertama, aku harus bisa meluluhkan hati kedua orang tua itu."Tok.. tok.. tok...Sedang asyik-asyiknya menyusun strategi. Tiba-tiba di depan pintu kamar Silvii ada yang mengetok."Saya pelayan yang akan menemani Nona!" ucap pelayan di balik pintu. "Masuk saja!" balas Silvi. "Baik, Nona!""Kira-kira dia dengar tidak ya, apa yang aku katakan tadi?" batin Silvi. KRIETT... Si pelayan masuk dengan membawa senampan makanan. "Ini kudapan untuk memulihkan tenaga Nona!" ucap si pelayan ramah. "Terimakasih!" Silvi membalas sama ramahnya. "Silahkan dimakan Nona! Tuan Muda ingin anda memakan semua makanan ini."Mata Silvi berbinar melihat makanan enak yang selama ini tidak pernah ia rasakan. "Apa boleh saya habiskan?" Silvi menelan salivanya. "Tentu, Nona!"Silvi segera melahap makanan yang ada di atas nampan itu dengan cepat. Wajahnya pun sampai belepotan karenanya. "Wajahnya sih, cantik tapi makannya kok, serem banget ya? Kayak anak kecil. Apa orang hamil makannya seperti ini, ya?" batin si pelayan. "Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Silvia merasa risih diperhatikan begitu oleh pelayan. "Ah, maaf, Nona! Saya hanya terpesona melihat wajah Nona! Sangat ca
"Saya sudah menduga, Nyonya! Tidak mungkin Tuan Muda membawa seorang wanita ke rumah ini kalau tidak ada hubungan apa-apa," ucap Lia geram. "Pantas! Tuan Muda merasa sangat bertanggung jawab kepada wanita itu. Rupanya mereka..." Lia menggepalkan tangannya. "Sudahlah, Lia! Kau tidak perlu merasa kesal," ucap Andini menenangkan. "Bukankah sudah tau konsekuensinya seperti ini?" timpalnya lagi. "Tapi, Nyonya! Bukankah itu suatu penghinaan terhadap Nyonya? Kalau Tuan Muda ingin mencari istri siri, setidaknya harus yang derajatnya tidak terlalu jauh dengan Nyonya.""Apalagi wanita itu pandai sekali berkata manis. Sok polos!" Lia benar-benar terlihat kesal. "Apa Nyonya benar-benar tidak apa-apa? Pasti setelah ini wanita itu akan semakin kurang ajar!" "Haah!" Andini hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya dia pun sudah muak dengan wanita itu. Dia bisa membaca sifatnya yang manipulatif. ****Seminggu setelah kejadian itu. Devan kembali mengadakan pertemuan dengan para koleganya. Di rumah
Setelah sembilan menunggu kehadiran anak yang dikandungnya. Akhirnya keinginan Tuan William dapat diwujudkan oleh Nyonya Marissa. "Selamat, Tuan! Anak anda terlahir selamat dan berjenis kelamin laki-laki," ucap si dokter. Meski sudah yakin, kabar itu tentu saja membuat Nyonya Marissa kaget sekaligus senang. "Boleh saya melihat anak saya, Dokter?" pinta Nyonya Marissa. "Tentu, Nyonya!" Dokter wanita yang seumuran dengannya itu menyetujui. "Suster!" panggilnya. "Bawakan kemari anak Nyonya Marissa dan Tuan William.""Baik, Dok!" Suster itu bergegas menuruti perintah dokter. "Ini, Nyonya! Dia sangat tampan. Wajahnya perpaduan antara Nyonya dan Tuan," puji si Dokter. "Haaa... Anakku!" Nyonya Marissa memeluk Devan kecil dengan erat dan penuh kasih sayang kala itu. Tak sadar air matanya jatuh begitu saja. Dia menganggap anak ini pembawa keberuntungan baginya. Setelah puas menumpahkan perasaan harunya, Nyonya Marissa kembali menatap wajah suaminya. "Aku sudah memberikanmu anak laki-la
Silvi menangis saat Devan mendatanginya ke dalam kamar di rumah kedua. "Hei, kenapa kamu menangis?" Hatinya terenyuh melihat wanita yang kini sudah memikat hatinya itu menangis sesegukan. Silvi tidak menjawab. Dia masih menangis sesegukan. "Hei, jawab dong? Apa yang membuat kamu menangis?" Lagi, Devan bertanya dengan lembut. "Nggak apa-apa! Hiks... Aku... Hiks... nggak apa-apa kok , Tuan Muda, hiks... hiks..." ucapnya dengan tangisan yang semakin kencang. Pelayan itu tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dia hanya berdiri dengan tegap dengan perasaan yang gugup. "Kamu!" tunjuknya pada pelayan. "Apa yang sudah terjadi padanya?""Tadi, saat di acara makan malam, Nona Silvi mendekati perkumpulan teman-teman Nyonya, Tuan! Saya sudah melarang. Karena saya tau, mereka pasti sedang membicarakan masalah bisnis. Tetapi kata Nona Silvi, dia hanya ingin menyapa mereka saja. Setelah itu, Nona Silvi meninggalkan saya dan mendatangi mereka. Saya mengamati dari kejauhan, tetapi saya
"Haaaahh! Siapa suruh melawan Silvi! Wanita paling pintar dan paling cantik di sini!" Dia berjalan melenggangkan pinggulnya menuju tempat tidur. "Kita tunggu besok. Bagaimana sikap wanita sombong itu setelahnya. Memang dia siapa? Berani sekali mempermalukan aku. Kau tidak akan bisa berbuat apa-apa, karena suamimu itu berada dalam genggamanku," ujarnya menyeringai. ****"Andini...!" Devan menggebrak pintu kamar. Pelayan Andini yang sedang membantunya melepaskan riasan bekas acara tadi, begitu terkejut dengan kedatangan Devan yang sedang diliputi amarah. Andini hanya melirik dari balik cermin dengan wajah yang datar, kemudian dia melanjutkan kembali aktifitasnya. "Ada apa, Tuan Muda! Kenapa anda terlihat sangat marah?" Dengan santainya dia bertanya. "Kau, tidak usah berlagak sok polos dan anggun. Karena gayamu itu tidak sesuai dengan prilakumu," ujarnya dengan marah. Devan tidak perduli lagi. Di depan pelayan dia tumpahkan kekesalannya. "Saya benar-benar tidak tau hal apa yang me
Keesokan harinya. Andini memutuskan untuk bersantai sekalian melakukan pekerjaannya di halaman belakang. Di taman favoritnya. "Tumben dia jalan-jalan di sini! Pasti bete karena dimarahin sama Mas Devan kemarin," gumamnya lirih. Silvi yang melihat, mencoba mengikuti wanita itu untuk memastikan efek apa yang didapat setelah dilabrak Devan kemarin malam. Andini menatap layar laptop di depannya, kemudian menghela nafas berat. "Nah, tuh 'kan benar! Pasti dia sedang kepikiran setelah dimarahin Mas Devan!" ujarnya yakin. "Makanya, jangan berani-berani sama saya!" cibirnya lagi. Setelah melihat layar laptop sekali lagi dan memastikan, Andini mengambil ponselnya kemudian menelpon seseorang. Terlihat wajahnya sangat serius. Terlihat juga sesekali wanita nampak marah. "Huh! Segitu besar dampaknya kemarahan Mas Devan kemarin, sampai-sampai kamu memarahi orang!" Silvi kemudian berlalu setelah mengatakan itu. "Apa? Bagaimana bisa kalian kecolongan seperti ini?" bentak Andini pada orang di
"Halo...!""Ah, halo, Nyonya Muda. Maaf saya menelpon anda karena Tuan Muda tidak mengangkat telpon saya.""Iya, ada apa Tuan David?""Apakah anda sedang bersama Tuan Devan, Nyonya? Saya ingin membicarakan masalah kerjasama.""Tidak, Tuan! Suami saya sedang pergi keluar, apa ada hal serius yang ingin Tuan bicarakan?""Iya, Nyonya! Dan ini sangat penting! Apakah Tuan Devan lama? Saya perlu membicarakan ini secepatnya.""Hah..!" Andini menghela nafas berat. "Mas, Mas! Apa segitu pentingnya simpananmu itu sampai kamu melalaikan pekerjaan begini?" batin Andini. "Kalau begitu saya yang akan mewakili suami saya. Anda bisa membicarakannya dengan saya.""Ah, benarkah? Kalau begitu apakah kita bisa bertemu? Saya akan memesan tempatnya.""Baiklah! Tuan beri tahu saja di mana tempatnya. Saya akan segera menyusul.""Baiklah! Nyonya. Lima menit lagi akan saya kabari. Selamat siang."David pun memutus sambungan telpon. "Lia, segera bersiap! Lima menit lagi kita akan pergi bertemu Tuan David," tit
"Kau bisa selidiki apa yang sedang terjadi dengan rumah tangga mereka? Dan selidiki juga siapa wanita yang menjadi istri kedua Devan," titah David. "Baik, Tuan! Saya akan melakukan tugas ini dengan sebaik mungkin." Zack menunduk memberikan hormat kepada majikannya. "Bagus! Jangan kecewakan aku, ya?""Kita kembali ke kantor sekarang!" lanjut David. Mereka berdua meninggalkan tempat makan itu. ***"Lia! Kita ke kantor sebentar! Ada yang ingin saya periksa.""Baik, Nyonya!"Sopir melajukan mobil ke arah yang berlawanan dengan jalan pulang. Beruntung siang itu jalanan tidak macet, jadi Andini bisa sampai lebih cepat. Semua orang memberi hormat saat melihat Andini berkunjung ke kantor. "Selamat siang, Nyonya!" seru semua pegawai. "Selamat siang!" balas Andini. "Tumben, Nyonya datang ke kantor tidak memberikan kabar terlebih dahulu. Ada apa ya?" Para. pegawai berbisik. "Entahlah! Semoga saja tidak ada masalah besar.""Iya!"Andini mendatangi ruang kerja Roland. Pegawai kepercayaann
"Silvi! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" "Apa itu, Tuan? Silvi jadi penasaran," ujarnya dengan nada yang dibuat manja. "Apa... Apa kamu bersedia untuk menjadi Nyonya utama di rumah ini?" Silvi terkejut. Pertanyaan Devan membuatnya tercengang. "Apa Tuan serius? Atau pertanyaan Tuan ini hanya ingin mengetes saya saja?" Silvi ragu sebab di awal pertanyaan, Devan seperti ragu saat mengatakannya. "Tidak! Saya serius. Apa kamu mau?" Silvi menunduk. Dia ragu ingin menjawab apa. "Semua wanita, siapa pun itu. Pasti tak akan menolak untuk menjadi pendamping Tuan Devan dan menjadi Nyonya utama. Saya pun begitu, tetapi... Apa Tuan yakin untuk menjadikan saya Nyonya utama?" lirih Silvi. Lain di mulut, lain di hati. Itulah yang saat ini Silvi katakan. Dia berusaha menarik ulur agar bisa memastikan kalau pertanyaan Devan benar-benar serius memintanya untuk menjadi Nyonya utama. Devan gemas. Dia takut kalau Silvi menolak, terpaksa dia harus mencari wanita lain lagi untuk
Devan diam tak berkutik. Dia tak bisa membela Silvi sama saat seperti mamanya memojokkan Silvi waktu itu. "Ingat, Devan! Kamu tau 'kan peraturan mutlak di rumah ini? Anak dari hasil hubungan gelap maupun anak dari istri kedua tidak akan bisa menjadi penerus. Hanya anak dari istri sah dan pertama saja yang bisa diangkat menjadi penerus keluarga." Nenek Grace menekankan. "Benar, Devan! Meski wanita itu sudah kamu nikahi secara sah sekalipun, anak yang ada di dalam kandungannya tidak bisa menjadi penerus. Apalagi wanita itu hanya kamu nikahi secara siri." Kakek Devan ikut menimpali. "Segeralah lakukan pemeriksaan dan fokus untuk memberikan keluarga ini seorang penerus. Kami berharap banyak padamu." Setelah mengatakan itu, Tuan Bill dan Nyonya Grace pergi begitu saja. Devan terduduk. Tenaganya seakan terkuras habis dengan kedatangan mendadak nenek dan kakeknya. Erick menghampiri Devan yang shock. "Tuan Muda tidak apa-apa?" "Tak apa. Aku hanya shock dengan kedatangan merek
Silvi yang terbawa emosi, menampar wajah Rania dengan keras. Hingga meninggalkan bekas merah di pipinya. "Kauuu!" desis Rania. Dia mengangkat tangan ingin membalas tamparan Silvi, namun dengan cepat Rania berhasil mengendalikan emosinya. "Sifat burukmu itu memang tidak bisa diperbaiki. Baru menjadi 'mainan baru' Tuan Devan saja, sudah berani bersikap kurang ajar! Ternyata bukan hanya sifatmu saja yang jelek, kau juga wanita murahan.""Dasar Kau memang wanita rendahan!" Rania pun berlalu meninggalkan Silvi. Tangan Silvi gemetaran setelah menampar pipi Rania. Dia begitu ketakutan. "Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan Tuan Radit kepadaku?" Saking takutnya, tanpa sadar dia menggigit kuku jarinya. Keesokan harinya Tuan Radit kembali mendatangi Silvi setelah mendapat laporan dari anaknya kalau wanita itu menamparnya. "Apa yang kau lakukan kepada anakku, Rania?" Wajahnya terlihat sangat marah. "Itu salah anakmu sendiri. Kenapa dia tak bisa menjaga mulutnya." Silvi berkata dengan ra
"Tuan Radit kembali menemui Nona Silvi, Nyonya!" ujar pengawal Andini. "Dia menemuinya lagi?""Iya!""Apa yang sedang mereka lakukan, ya? Semenjak kejadian itu mereka menjadi sering bertemu. Apa Tuan Radit sedang mengancamnya?" pikir Andini. "Baiklah! Terimakasih. Kau boleh pergi."Setelah pengawal itu pergi, Bu Dewi berkata, "Apa besok karena Nyonya ingin berbicara secara pribadi dengan Nona Rania?""Wanita itu memanggil Tuan Radit pasti ingin menyuruh Nona Rania diam. Dasar wanita licik!" sambung Lia geram. "Yang aku inginkan bukan itu." Andini tersenyum. "Pancingan ku berhasil. Kalau sampai wanita itu takut seperti ini, pasti ada yang dia sembunyikan. Tapi... Apa ya?" pikir Andini. "Kalau bukan untuk mengorek informasi dari Nona Rania. Apa yang membuat Nyonya mewawancarai Nona Rania secara khusus?" Lia heran karena tidak biasanya Nyonya Mudanya ini berbuat begitu. "Seperti ini saja sudah cukup bagiku. Menekannya seperti ini." Bu Dewi dan Lia saling pandang mereka tidak menger
"Saat itu aku sangat ketakutan. Berbeda denganmu, kau tidak akan kehilangan apa-apa.""Heh! Kau memang lelaki egois.""Aku..." Pria itu tak dapat membalas. "Aku tidak ingin membahas masa lalu. Kalau begitu sekarang kau mengerti dengan posisiku 'kan, Dilan? Karena saat itu kau juga merasakannya." Silvi memandang sinis kepada mantan majikannya ini, anak Tuan Radit. "Kau bisa membuatku kehilangan segalanya sekarang. Jadi, berpura-puralah tidak mengenaliku dan urus adikmu yang tidak tau sopan santun itu," ujarnya tegas. Silvi berlalu meninggalkan Dilan seorang diri. "Sekarang aku bukan wanita yang lemah. Aku bahkan bisa berkata tegas kepada seseorang yang dulunya majikanku," ujarnya dalam hati sembari menyeringai. Silvi berjalan angkuh, mengangkat wajahnya. Selayaknya seorang Nyonya.Dilan memandang sendu dengan kepergian Silvi. Tak ada lagi sikap polos dan lembut dari diri wanita itu. ****Keesokan harinya Silvi mengajak Rafael bertemu. "Ada apa Nona mengajak saya bertemu?" Rafael
Devan mengepalkan tangannya, kesal. "Kau terlalu menganggap harga dirimu terlalu tinggi hingga enggan untuk mengakui kesalahan.""Seorang pemimpin perusahaan sepertiku harus mengganggap dirinya tinggi, tetapi bukan berarti aku bisa seenaknya menuduh orang tanpa bukti. Hanya menyimpulkan berdasarkan kejanggalan dan prasangka." Andini menjawab dengan tenang dan datar. Andini berusaha tidak menghiraukan Devan, namun pria itu terus saja mengganggunya. "Kalau aku sudah bilang menyelidiki tapi tidak mendatangimu untuk meminta maaf, itu berarti aku tidak menemukan kalau anggota keluargaku pelakunya." Andini meninggalkan Devan yang masih kesal. Dia memutuskan untuk bersantai sejenak di taman bagian samping yang tak biasa dilalui oleh orang. Berdebat dengan Devan membuat moodnya menjadi semakin jelek. "Hah! Aku tak tau apa yang ada di pikirannya sehingga senang sekali mengaitkan apapun yang terjadi kepada wanita itu denganku." Andini bergumam dengan menghela nafas berat. Devan yang kesal
"Heh, aku kira kau sudah pergi. Ternyata masih menunggu di sini! Harga dirimu tinggi juga, ya?" sinis Devan. Andini tersenyum, "Ini 'kan yang kau inginkan dariku?"Devan menyinggungkan bibirnya. "Kau memang wanita yang penuh dengan kejutan, ya? Tentang Silvi maupun yang ini.""Kau terlalu cepat menyimpulkan. Mengaitkan tentang Silvi.""Sekarang bukan waktunya untuk mengelak. Aku sudah berbaik hati menutupi masalah ini karena kakakmu yang terlibat.""Apa kau yakin pelakunya adalah Kaisar?" tanya Andini dengan wajah yang datar. "Menurutmu? Kau tentu tau, siapa yang nekat melakukan hal seperti ini kalau bukan kakakmu yang tempramen itu? Bahkan semua kejanggalan mengarah padanya. Dia akan melakukan apapun untuk adiknya ini, bukan?" Bukannya marah, Andini malah menatap Devan dengan pandangan datar. "Jadi, kau mengira kakakku pelakunya hanya karena sebuah kejanggalan?""Apa itu artinya kau masih bersikera
"Siapa wanita itu? Apa salah satu wanita yang ingin mencari perhatian kepada David?" tanya Camelia dalam hati. Dia pun memutuskan untuk mendekati mereka berdua. "Hey, David! Siapa wanita ini?" tanya Camelia ramah. "Oh! Ini Nyonya Andini, Bu! Dia salah satu rekan bisnisku!" sahur David. Meski panggilan 'Ibu' terdengar tidak enak di telinganya. Camelia tersenyum saja. "Oh, benarkah? Aku pikir salah satu perempuan yang ingin kau goda! Ingat, permintaan Ayahmu, Vid!" Camelia seolah terlihat baik menegur David tentang janjinya kepada ayahnya agar berhenti merayu perempuan. Dan mulai fokus mencari istri. "Haha..." David tertawa santai. "Aku ingat, Bu!""Kau harus mulai fokus mencari istri 'kan?""Ah, benarkah itu, Tuan David?" Andini terkejut dengan berita yang ia dengar."Haha... Iya, Nyonya! Saya harus segera mencari pendamping dan membantu saya bekerja mengurus perusahaan Ayah!" David bercanda seperti biasa. "Semoga anda lekas menemukan wanita itu, Tuan!" Andini mendo'akan. "Saya
"Katakan padaku apa yang kau dapatkan tentang wanita itu?" Kaisar mendesak Tomi untuk mengatakannya. "Sabar! Aku akan mengatakannya setelah ini!" Tomi meneguk habis minumannya yang tersisa sedikit. GLEK... GLEKK... "Wanita itu dulunya adalah pembantu.""Pembantu?""Iya! Kau tau, Tuan Radit?" "Iya, aku tau! Aku pernah melihatnya sekali sebelum aku pergi ke luar kota.""Nah! Wanita itu adalah mantan pembantu di rumahnya.""Wah! Benarkah?""Iya! Entah karena masalah apa wanita itu kabur dari rumah Tuan Radit. Dan saat di pesta Tuan David, mereka bertemu dan Tuan Radit mengatakan di depan semua orang kalau wanita itu mantan pembantunya yang kabur. Saat orang-orang penasaran dengan apa yang terjadi sehingga membuatnya kabur, sebelum Tuan Radit mengatakan alasannya, wanita itu malah pingsan.""Apa kau sudah dapat apa alasan wanita itu kabur dari sana?""Belum! Tetapi aku sedang menyuruh orang mencari tau.""Keesokan harinya Tuan Radit dipanggil oleh Tuan Devan ke mansionnya dan Tuan Rad