"Apa maksudnya ini, Devan? Siapa wanita ini?" bentak Tuan Besar. Tuan Besar terlihat nampak sangat marah.
Dia memanggil Devan beserta gundiknya itu setelah semua tamu sudah pulang.Silvi yang ketakutan memegang lengan baju Devan dengan wajah yang tertunduk."Mas! Aku takut!" cicitnya."Apa katamu tadi? Mas? Hah? Berani sekali kamu memanggil anak saya dengan sebutan, Mas!" Nyonya Besar memandangnya sinis. "Panggil dia, Tuan Muda! Ingat! TUAN MUDA!" sambungnya lagi dengan menekan kata-katanya."Cepat, jelaskan pada kami Devan. Siapa perempuan ini?" Nyonya Muda semakin geram dengan kelakuan anaknya apalagi wanita itu selalu menempel kepada Devan."Hei, kamu! Lepaskan anak saya!" bentaknya kepada Silvi. Silvi berusaha menahan tangis. Matanya memerah."Mas!" Dia memandang Devan dengan wajah memelas."Hei! Dasar nggak tau sopan santun kamu, ya? Panggil Devan dengan sebutan Tuan Muda," pekik Nyonya Besar.Andini diam saja melihat kedua orang itu di sidang oleh mertuanya. Dia tak ingin menimpali dan tak ingin menjelaskan. Padahal baru kali ini dia melihat kedua mertuanya itu marah besar. Tetapi dia memilih diam dengan wajah yang datar."Mah! Jangan membentak Silvi begitu! Dia ketakutan!" pinta Devan."Berani kamu membelanya? Apa dia gundikmu?" ketus Nyonya Besar."Dia bukan gundik, Mah!" bela Devan. "Dia... Dia... Silvi... juga istri Devan," cicitnya dengan takut."APAA???" Kedua orang tua Devan memekik bersamaan."Ya Tuhan, Devan! Apa yang kamu pikirkan sehingga memilih wanita seperti ini? Tidak punya sopan santun, kampungan, tidak berkelas. Pasti dia dari kalangan bawah 'kan?" tanya Nyonya Besar.Devan tidak bisa menjawab. Kepalanya tertunduk. Dia tak dapat mengelak bahwa semua yang ditujukan kepada Silvi memanglah kenyataan.Meski sudah menduganya, di dalam hati Andini tetap merasakan sakit yang luar biasa. Namun, ia berusaha menutupinya dengan menampakkan wajah tenang dan datar."Mamah dan Papah nggak suka kamu berhubungan dengan wanita kampungan seperti ini. Yang benar saja!" cetus mamanya Devan."Tapi, Mah, Pah? Silvi bisa memberikan keturunan untuk Devan!" Devan mencoba menawar kecaman mamanya."Apa hanya dia wanita yang bisa memberikan keturunan? Masih banyak yang lain, Devan!" Kali ini papanya Devan yang berbicara."Benar!" timpal mamanya Devan, membenarkan ucapan suaminya. "Meski dia kamu nikahi dan tidak bisa menjadi Nyonya Muda di rumah ini, setidaknya carilah yang minimal setara status sosialnya dengan pelayanmu! Bukan malah yang status dan derajatnya di bawah pembantumu," ketus mamanya Devan."Ini sama saja kamu mau menghina istri kamu, Andini dan Mamah. Mau ditaruh di mana wajah orang tuamu ini, Devan?" lanjut mamanya, dia memekik keras sampai semua pekerja yang berada di situ terkejut."Suruh dia pergi dari sini!" titah papanya Devan."Tu-tuan!" Silvi menangis sambil menggelengkan kepala. Air matanya mengalir deras."Berikan dia kesempatan, Mah! Pah!" ujar Devan memelas. "Devan yakin, kalau Silvi diajari, dia akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kita."Dada Andini terasa sesak ketika melihat suaminya membela selingkuhannya. Tetapi dia masih bisa mengendalikan emosi dan ekspresi wajah dinginnya."Devannn! Jangan membantah ucapan kami," teriak papanya Devan. Dengan pandangan nyalang. Dia menatap wajah anaknya. "Kami tidak melarangmu kalau ingin mencari wanita lagi. Tapi setidaknya carilah yang sederajat dengan keluarga kita. Kamu sudah tau tradisi itu 'kan?" tegas papanya."Di keluarga kita tidak ada satu pun istri sirinya yang derajat dan status sosialnya di bawah pembantu. Kamu ingat itu! Jangan sampai kamu melewati batasan itu.""Ayo, Mah! Kita pulang!" ajak papanya. "Dan kalian!" tunjuknya kepada kedua penjaga. "Bawa keluar wanita ini! Jangan sampai saya melihat dia lagi di sini!" perintah papanya."Baik, Tuan Besar!" Devan tak bisa berbuat apa-apa dengan perintah papanya. Mereka bersiap ingin membawa Silvi keluar, Silvi panik. Dia tak ingin diusir dari sini."Kalau sampai aku diusir, Andini akan merasa menang!" batin Silvi."Mohon, Tuan! Jangan usir saya!" Silvi bersimpuh di kaki Devan, dia terus memandang Devan dengan tatapan memelas."Ayo, berdiri, Nona! Jangan membuat pekerjaan kami semakin sulit," ucap kedua pengawal itu.Saat kedua pengawal itu membawanya berdiri. Silvi sempat berontak. "Mas..! Mas...!" teriaknya."Cepat bawa keluar! Usir dan jangan biarkan dia masuk ke sini!" titah papanya Devan.Sedikit lagi sampai di depan pintu rumah. Tiba-tiba pegangan kedua pengawal itu mengendur, saat Silvi merintih kesakitan sambil memegang perutnya. "Awww! Awww!" Dia terduduk lemasDevan dengan sigap menghampiri ketika Silvi terus merintih."Silvi...!" teriaknya. "Kalian! Lepaskan dia."Mereka bingung perintah siapa yang harus dituruti. Pasalnya mereka berdua bekerja di rumah Devan, bukan di rumah kedua orang tuanya."Tidak usah kalian turuti perintahnya. Sekarang juga cepat bawa wanita itu pergi dari sini!" desak Tuan Besar.Andini masih tak memberikan respon apa-apa. Dia terus menatap adegan yang terjadi di depan matanya, bagaikan menonton drama di televisi."Awww... Awww...! Mas Devan! To-tolong Silvi!" pintanya dengan suara terbata menahan rasa sakit di perutnya."Aahh... ehh...! Ma-mas...!" Silvi merintih semakin keras. Kakinya tidak dapat lagi menopang tubuhnya. Dia terduduk lemas dengan wajah yang semakin pucat."Apakah ini hanya bagian dari sandiwaranya?" Andini hanya bisa membatin.Devan semakin panik. Dia ingin menghampiri tetapi malah dihalangi oleh ajudan papanya."Tuan Muda! Turuti saja perintah Tuan dan Nyonya Besar. Masih banyak wanita lain di luar sana yang lebih cantik dan lebih berkelas dari dia," ucapnya."Minggir...!" bentak Devan. "Kalian tau apa? Cepat lepaskan saya!" desisnya.Tubuhnya yang tegap dan besar ditambah usianya yang masih muda, tak mudah bagi Devan untuk melawannya."Tolong! Jangan melawan, Tuan Muda! Saya tidak ingin menyakiti anda, kalau Tuan Besar murka terhadap perilaku anda!" tegas si ajudan.Nyonya Besar merasa tidak enak kepada menantunya, Andini karena sedari tadi melihatnya hanya diam saja tak berkata apa-apa. Dia pun seakan mengerti dengan perasaan menantunya itu. Tetapi, mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa berbuat apa-apa dengan tradisi yang ada di keluarga suaminya."Menantuku! Kamu ikut Mama ya, Sayang! Kita ngobrol di dalam," ucap Nyonya Besar dengan lembut.Andini tersenyum. Dia senang, setidaknya ibu mertuanya ini memperdulikan dirinya."Andini ingin tetap di sini, Nyonya Besar. Saya ingin tau apa keputusan Tuan Muda," ujarnya tenang dan penuh hormat.Inilah yang membuatnya semakin sayang dengan Andini. Selain karena menantunya ini anak dari sahabatnya. Menantunya itu juga tau bagaimana bersikap dan tetap tenang sesulit dan semendesak apapun situasinya."Tenang saja! Anak mama pasti akan menuruti perintah Mama dan Papa!"Andini sebenarnya tidak yakin setelah meneliti sikap suaminya tadi, tapi dia berusaha untuk tersenyum seolah percaya dengan perkataan mertuanya.Obrolan mereka pun terhenti ketika mendengar teriakan Devan."Silvi...!" teriaknya. Dia mendorong ke samping ajudan papanya saat terlengah melihat Silvi ambruk di lantai.*****Bersambung..."Bagaimana, Dok, keadaan Silvi?" tanya Devan kepada dokter pribadi keluarganya. Setelah kejadian ambruk tadi, kedua orang tua Devan membiarkan anaknya membawa Silvi ke tempat tidur. "Tidak terjadi hal yang serius, Tuan Muda! Dia hanya kecapekan. Dan saya menyarankan, sebaiknya bawa dia periksa kedokter kandungan. Sepertinya dia hamil."Semua orang yang berada di sana tercengang. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter. "Apaa, Dok? Hamil?" Devan, mama dan juga papanya berkata bersamaan. Andini juga berada di sana. Mendengar kata hamil membuat hati Andini terasa nyeri. Jujur, meski pernikahan mereka karena bisnis. Namun, tak dipungkiri bahwa Andini sebenarnya juga menginginkan hal yang semua wanita bisa rasakan. Berbeda dengan Devan yang tersenyum semringah. Kedua orang tua Devan hanya terlihat bingung. Memiliki cucu dari Devan adalah impian mereka. Terlebih Devan adalah anak mereka satu-satunya yang akan mewarisi perusahaan yang mereka bangun dari dulu, tentu harus me
"Saya pelayan yang akan menemani Nona!" ucap pelayan di balik pintu. "Masuk saja!" balas Silvi. "Baik, Nona!""Kira-kira dia dengar tidak ya, apa yang aku katakan tadi?" batin Silvi. KRIETT... Si pelayan masuk dengan membawa senampan makanan. "Ini kudapan untuk memulihkan tenaga Nona!" ucap si pelayan ramah. "Terimakasih!" Silvi membalas sama ramahnya. "Silahkan dimakan Nona! Tuan Muda ingin anda memakan semua makanan ini."Mata Silvi berbinar melihat makanan enak yang selama ini tidak pernah ia rasakan. "Apa boleh saya habiskan?" Silvi menelan salivanya. "Tentu, Nona!"Silvi segera melahap makanan yang ada di atas nampan itu dengan cepat. Wajahnya pun sampai belepotan karenanya. "Wajahnya sih, cantik tapi makannya kok, serem banget ya? Kayak anak kecil. Apa orang hamil makannya seperti ini, ya?" batin si pelayan. "Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Silvia merasa risih diperhatikan begitu oleh pelayan. "Ah, maaf, Nona! Saya hanya terpesona melihat wajah Nona! Sangat ca
"Saya sudah menduga, Nyonya! Tidak mungkin Tuan Muda membawa seorang wanita ke rumah ini kalau tidak ada hubungan apa-apa," ucap Lia geram. "Pantas! Tuan Muda merasa sangat bertanggung jawab kepada wanita itu. Rupanya mereka..." Lia menggepalkan tangannya. "Sudahlah, Lia! Kau tidak perlu merasa kesal," ucap Andini menenangkan. "Bukankah sudah tau konsekuensinya seperti ini?" timpalnya lagi. "Tapi, Nyonya! Bukankah itu suatu penghinaan terhadap Nyonya? Kalau Tuan Muda ingin mencari istri siri, setidaknya harus yang derajatnya tidak terlalu jauh dengan Nyonya.""Apalagi wanita itu pandai sekali berkata manis. Sok polos!" Lia benar-benar terlihat kesal. "Apa Nyonya benar-benar tidak apa-apa? Pasti setelah ini wanita itu akan semakin kurang ajar!" "Haah!" Andini hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya dia pun sudah muak dengan wanita itu. Dia bisa membaca sifatnya yang manipulatif. ****Seminggu setelah kejadian itu. Devan kembali mengadakan pertemuan dengan para koleganya. Di rumah
Setelah sembilan menunggu kehadiran anak yang dikandungnya. Akhirnya keinginan Tuan William dapat diwujudkan oleh Nyonya Marissa. "Selamat, Tuan! Anak anda terlahir selamat dan berjenis kelamin laki-laki," ucap si dokter. Meski sudah yakin, kabar itu tentu saja membuat Nyonya Marissa kaget sekaligus senang. "Boleh saya melihat anak saya, Dokter?" pinta Nyonya Marissa. "Tentu, Nyonya!" Dokter wanita yang seumuran dengannya itu menyetujui. "Suster!" panggilnya. "Bawakan kemari anak Nyonya Marissa dan Tuan William.""Baik, Dok!" Suster itu bergegas menuruti perintah dokter. "Ini, Nyonya! Dia sangat tampan. Wajahnya perpaduan antara Nyonya dan Tuan," puji si Dokter. "Haaa... Anakku!" Nyonya Marissa memeluk Devan kecil dengan erat dan penuh kasih sayang kala itu. Tak sadar air matanya jatuh begitu saja. Dia menganggap anak ini pembawa keberuntungan baginya. Setelah puas menumpahkan perasaan harunya, Nyonya Marissa kembali menatap wajah suaminya. "Aku sudah memberikanmu anak laki-la
Silvi menangis saat Devan mendatanginya ke dalam kamar di rumah kedua. "Hei, kenapa kamu menangis?" Hatinya terenyuh melihat wanita yang kini sudah memikat hatinya itu menangis sesegukan. Silvi tidak menjawab. Dia masih menangis sesegukan. "Hei, jawab dong? Apa yang membuat kamu menangis?" Lagi, Devan bertanya dengan lembut. "Nggak apa-apa! Hiks... Aku... Hiks... nggak apa-apa kok , Tuan Muda, hiks... hiks..." ucapnya dengan tangisan yang semakin kencang. Pelayan itu tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dia hanya berdiri dengan tegap dengan perasaan yang gugup. "Kamu!" tunjuknya pada pelayan. "Apa yang sudah terjadi padanya?""Tadi, saat di acara makan malam, Nona Silvi mendekati perkumpulan teman-teman Nyonya, Tuan! Saya sudah melarang. Karena saya tau, mereka pasti sedang membicarakan masalah bisnis. Tetapi kata Nona Silvi, dia hanya ingin menyapa mereka saja. Setelah itu, Nona Silvi meninggalkan saya dan mendatangi mereka. Saya mengamati dari kejauhan, tetapi saya
"Haaaahh! Siapa suruh melawan Silvi! Wanita paling pintar dan paling cantik di sini!" Dia berjalan melenggangkan pinggulnya menuju tempat tidur. "Kita tunggu besok. Bagaimana sikap wanita sombong itu setelahnya. Memang dia siapa? Berani sekali mempermalukan aku. Kau tidak akan bisa berbuat apa-apa, karena suamimu itu berada dalam genggamanku," ujarnya menyeringai. ****"Andini...!" Devan menggebrak pintu kamar. Pelayan Andini yang sedang membantunya melepaskan riasan bekas acara tadi, begitu terkejut dengan kedatangan Devan yang sedang diliputi amarah. Andini hanya melirik dari balik cermin dengan wajah yang datar, kemudian dia melanjutkan kembali aktifitasnya. "Ada apa, Tuan Muda! Kenapa anda terlihat sangat marah?" Dengan santainya dia bertanya. "Kau, tidak usah berlagak sok polos dan anggun. Karena gayamu itu tidak sesuai dengan prilakumu," ujarnya dengan marah. Devan tidak perduli lagi. Di depan pelayan dia tumpahkan kekesalannya. "Saya benar-benar tidak tau hal apa yang me
Keesokan harinya. Andini memutuskan untuk bersantai sekalian melakukan pekerjaannya di halaman belakang. Di taman favoritnya. "Tumben dia jalan-jalan di sini! Pasti bete karena dimarahin sama Mas Devan kemarin," gumamnya lirih. Silvi yang melihat, mencoba mengikuti wanita itu untuk memastikan efek apa yang didapat setelah dilabrak Devan kemarin malam. Andini menatap layar laptop di depannya, kemudian menghela nafas berat. "Nah, tuh 'kan benar! Pasti dia sedang kepikiran setelah dimarahin Mas Devan!" ujarnya yakin. "Makanya, jangan berani-berani sama saya!" cibirnya lagi. Setelah melihat layar laptop sekali lagi dan memastikan, Andini mengambil ponselnya kemudian menelpon seseorang. Terlihat wajahnya sangat serius. Terlihat juga sesekali wanita nampak marah. "Huh! Segitu besar dampaknya kemarahan Mas Devan kemarin, sampai-sampai kamu memarahi orang!" Silvi kemudian berlalu setelah mengatakan itu. "Apa? Bagaimana bisa kalian kecolongan seperti ini?" bentak Andini pada orang di
"Halo...!""Ah, halo, Nyonya Muda. Maaf saya menelpon anda karena Tuan Muda tidak mengangkat telpon saya.""Iya, ada apa Tuan David?""Apakah anda sedang bersama Tuan Devan, Nyonya? Saya ingin membicarakan masalah kerjasama.""Tidak, Tuan! Suami saya sedang pergi keluar, apa ada hal serius yang ingin Tuan bicarakan?""Iya, Nyonya! Dan ini sangat penting! Apakah Tuan Devan lama? Saya perlu membicarakan ini secepatnya.""Hah..!" Andini menghela nafas berat. "Mas, Mas! Apa segitu pentingnya simpananmu itu sampai kamu melalaikan pekerjaan begini?" batin Andini. "Kalau begitu saya yang akan mewakili suami saya. Anda bisa membicarakannya dengan saya.""Ah, benarkah? Kalau begitu apakah kita bisa bertemu? Saya akan memesan tempatnya.""Baiklah! Tuan beri tahu saja di mana tempatnya. Saya akan segera menyusul.""Baiklah! Nyonya. Lima menit lagi akan saya kabari. Selamat siang."David pun memutus sambungan telpon. "Lia, segera bersiap! Lima menit lagi kita akan pergi bertemu Tuan David," tit