Home / Pernikahan / Istri Pewaris Sebatas Status / Bab 7 - Kemarahan Tuan Besar

Share

Bab 7 - Kemarahan Tuan Besar

"Apa maksudnya ini, Devan? Siapa wanita ini?" bentak Tuan Besar. Tuan Besar terlihat nampak sangat marah.

Dia memanggil Devan beserta gundiknya itu setelah semua tamu sudah pulang.

Silvi yang ketakutan memegang lengan baju Devan dengan wajah yang tertunduk.

"Mas! Aku takut!" cicitnya.

"Apa katamu tadi? Mas? Hah? Berani sekali kamu memanggil anak saya dengan sebutan, Mas!" Nyonya Besar memandangnya sinis. "Panggil dia, Tuan Muda! Ingat! TUAN MUDA!" sambungnya lagi dengan menekan kata-katanya.

"Cepat, jelaskan pada kami Devan. Siapa perempuan ini?" Nyonya Muda semakin geram dengan kelakuan anaknya apalagi wanita itu selalu menempel kepada Devan.

"Hei, kamu! Lepaskan anak saya!" bentaknya kepada Silvi. Silvi berusaha menahan tangis. Matanya memerah.

"Mas!" Dia memandang Devan dengan wajah memelas.

"Hei! Dasar nggak tau sopan santun kamu, ya? Panggil Devan dengan sebutan Tuan Muda," pekik Nyonya Besar.

Andini diam saja melihat kedua orang itu di sidang oleh mertuanya. Dia tak ingin menimpali dan tak ingin menjelaskan. Padahal baru kali ini dia melihat kedua mertuanya itu marah besar. Tetapi dia memilih diam dengan wajah yang datar.

"Mah! Jangan membentak Silvi begitu! Dia ketakutan!" pinta Devan.

"Berani kamu membelanya? Apa dia gundikmu?" ketus Nyonya Besar.

"Dia bukan gundik, Mah!" bela Devan. "Dia... Dia... Silvi... juga istri Devan," cicitnya dengan takut.

"APAA???" Kedua orang tua Devan memekik bersamaan.

"Ya Tuhan, Devan! Apa yang kamu pikirkan sehingga memilih wanita seperti ini? Tidak punya sopan santun, kampungan, tidak berkelas. Pasti dia dari kalangan bawah 'kan?" tanya Nyonya Besar.

Devan tidak bisa menjawab. Kepalanya tertunduk. Dia tak dapat mengelak bahwa semua yang ditujukan kepada Silvi memanglah kenyataan.

Meski sudah menduganya, di dalam hati Andini tetap merasakan sakit yang luar biasa. Namun, ia berusaha menutupinya dengan menampakkan wajah tenang dan datar.

"Mamah dan Papah nggak suka kamu berhubungan dengan wanita kampungan seperti ini. Yang benar saja!" cetus mamanya Devan.

"Tapi, Mah, Pah? Silvi bisa memberikan keturunan untuk Devan!" Devan mencoba menawar kecaman mamanya.

"Apa hanya dia wanita yang bisa memberikan keturunan? Masih banyak yang lain, Devan!" Kali ini papanya Devan yang berbicara.

"Benar!" timpal mamanya Devan, membenarkan ucapan suaminya. "Meski dia kamu nikahi dan tidak bisa menjadi Nyonya Muda di rumah ini, setidaknya carilah yang minimal setara status sosialnya dengan pelayanmu! Bukan malah yang status dan derajatnya di bawah pembantumu," ketus mamanya Devan.

"Ini sama saja kamu mau menghina istri kamu, Andini dan Mamah. Mau ditaruh di mana wajah orang tuamu ini, Devan?" lanjut mamanya, dia memekik keras sampai semua pekerja yang berada di situ terkejut.

"Suruh dia pergi dari sini!" titah papanya Devan.

"Tu-tuan!" Silvi menangis sambil menggelengkan kepala. Air matanya mengalir deras.

"Berikan dia kesempatan, Mah! Pah!" ujar Devan memelas. "Devan yakin, kalau Silvi diajari, dia akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kita."

Dada Andini terasa sesak ketika melihat suaminya membela selingkuhannya. Tetapi dia masih bisa mengendalikan emosi dan ekspresi wajah dinginnya.

"Devannn! Jangan membantah ucapan kami," teriak papanya Devan. Dengan pandangan nyalang. Dia menatap wajah anaknya. "Kami tidak melarangmu kalau ingin mencari wanita lagi. Tapi setidaknya carilah yang sederajat dengan keluarga kita. Kamu sudah tau tradisi itu 'kan?" tegas papanya.

"Di keluarga kita tidak ada satu pun istri sirinya yang derajat dan status sosialnya di bawah pembantu. Kamu ingat itu! Jangan sampai kamu melewati batasan itu."

"Ayo, Mah! Kita pulang!" ajak papanya. "Dan kalian!" tunjuknya kepada kedua penjaga. "Bawa keluar wanita ini! Jangan sampai saya melihat dia lagi di sini!" perintah papanya.

"Baik, Tuan Besar!" Devan tak bisa berbuat apa-apa dengan perintah papanya. Mereka bersiap ingin membawa Silvi keluar, Silvi panik. Dia tak ingin diusir dari sini.

"Kalau sampai aku diusir, Andini akan merasa menang!" batin Silvi.

"Mohon, Tuan! Jangan usir saya!" Silvi bersimpuh di kaki Devan, dia terus memandang Devan dengan tatapan memelas.

"Ayo, berdiri, Nona! Jangan membuat pekerjaan kami semakin sulit," ucap kedua pengawal itu.

Saat kedua pengawal itu membawanya berdiri. Silvi sempat berontak. "Mas..! Mas...!" teriaknya.

"Cepat bawa keluar! Usir dan jangan biarkan dia masuk ke sini!" titah papanya Devan.

Sedikit lagi sampai di depan pintu rumah. Tiba-tiba pegangan kedua pengawal itu mengendur, saat Silvi merintih kesakitan sambil memegang perutnya. "Awww! Awww!" Dia terduduk lemas

Devan dengan sigap menghampiri ketika Silvi terus merintih.

"Silvi...!" teriaknya. "Kalian! Lepaskan dia."

Mereka bingung perintah siapa yang harus dituruti. Pasalnya mereka berdua bekerja di rumah Devan, bukan di rumah kedua orang tuanya.

"Tidak usah kalian turuti perintahnya. Sekarang juga cepat bawa wanita itu pergi dari sini!" desak Tuan Besar.

Andini masih tak memberikan respon apa-apa. Dia terus menatap adegan yang terjadi di depan matanya, bagaikan menonton drama di televisi.

"Awww... Awww...! Mas Devan! To-tolong Silvi!" pintanya dengan suara terbata menahan rasa sakit di perutnya.

"Aahh... ehh...! Ma-mas...!" Silvi merintih semakin keras. Kakinya tidak dapat lagi menopang tubuhnya. Dia terduduk lemas dengan wajah yang semakin pucat.

"Apakah ini hanya bagian dari sandiwaranya?" Andini hanya bisa membatin.

Devan semakin panik. Dia ingin menghampiri tetapi malah dihalangi oleh ajudan papanya.

"Tuan Muda! Turuti saja perintah Tuan dan Nyonya Besar. Masih banyak wanita lain di luar sana yang lebih cantik dan lebih berkelas dari dia," ucapnya.

"Minggir...!" bentak Devan. "Kalian tau apa? Cepat lepaskan saya!" desisnya.

Tubuhnya yang tegap dan besar ditambah usianya yang masih muda, tak mudah bagi Devan untuk melawannya.

"Tolong! Jangan melawan, Tuan Muda! Saya tidak ingin menyakiti anda, kalau Tuan Besar murka terhadap perilaku anda!" tegas si ajudan.

Nyonya Besar merasa tidak enak kepada menantunya, Andini karena sedari tadi melihatnya hanya diam saja tak berkata apa-apa. Dia pun seakan mengerti dengan perasaan menantunya itu. Tetapi, mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa berbuat apa-apa dengan tradisi yang ada di keluarga suaminya.

"Menantuku! Kamu ikut Mama ya, Sayang! Kita ngobrol di dalam," ucap Nyonya Besar dengan lembut.

Andini tersenyum. Dia senang, setidaknya ibu mertuanya ini memperdulikan dirinya.

"Andini ingin tetap di sini, Nyonya Besar. Saya ingin tau apa keputusan Tuan Muda," ujarnya tenang dan penuh hormat.

Inilah yang membuatnya semakin sayang dengan Andini. Selain karena menantunya ini anak dari sahabatnya. Menantunya itu juga tau bagaimana bersikap dan tetap tenang sesulit dan semendesak apapun situasinya.

"Tenang saja! Anak mama pasti akan menuruti perintah Mama dan Papa!"

Andini sebenarnya tidak yakin setelah meneliti sikap suaminya tadi, tapi dia berusaha untuk tersenyum seolah percaya dengan perkataan mertuanya.

Obrolan mereka pun terhenti ketika mendengar teriakan Devan.

"Silvi...!" teriaknya. Dia mendorong ke samping ajudan papanya saat terlengah melihat Silvi ambruk di lantai.

*****

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status