"Apa maksudnya ini, Devan? Siapa wanita ini?" bentak Tuan Besar. Tuan Besar terlihat nampak sangat marah.
Dia memanggil Devan beserta gundiknya itu setelah semua tamu sudah pulang.Silvi yang ketakutan memegang lengan baju Devan dengan wajah yang tertunduk."Mas! Aku takut!" cicitnya."Apa katamu tadi? Mas? Hah? Berani sekali kamu memanggil anak saya dengan sebutan, Mas!" Nyonya Besar memandangnya sinis. "Panggil dia, Tuan Muda! Ingat! TUAN MUDA!" sambungnya lagi dengan menekan kata-katanya."Cepat, jelaskan pada kami Devan. Siapa perempuan ini?" Nyonya Muda semakin geram dengan kelakuan anaknya apalagi wanita itu selalu menempel kepada Devan."Hei, kamu! Lepaskan anak saya!" bentaknya kepada Silvi. Silvi berusaha menahan tangis. Matanya memerah."Mas!" Dia memandang Devan dengan wajah memelas."Hei! Dasar nggak tau sopan santun kamu, ya? Panggil Devan dengan sebutan Tuan Muda," pekik Nyonya Besar.Andini diam saja melihat kedua orang itu di sidang oleh mertuanya. Dia tak ingin menimpali dan tak ingin menjelaskan. Padahal baru kali ini dia melihat kedua mertuanya itu marah besar. Tetapi dia memilih diam dengan wajah yang datar."Mah! Jangan membentak Silvi begitu! Dia ketakutan!" pinta Devan."Berani kamu membelanya? Apa dia gundikmu?" ketus Nyonya Besar."Dia bukan gundik, Mah!" bela Devan. "Dia... Dia... Silvi... juga istri Devan," cicitnya dengan takut."APAA???" Kedua orang tua Devan memekik bersamaan."Ya Tuhan, Devan! Apa yang kamu pikirkan sehingga memilih wanita seperti ini? Tidak punya sopan santun, kampungan, tidak berkelas. Pasti dia dari kalangan bawah 'kan?" tanya Nyonya Besar.Devan tidak bisa menjawab. Kepalanya tertunduk. Dia tak dapat mengelak bahwa semua yang ditujukan kepada Silvi memanglah kenyataan.Meski sudah menduganya, di dalam hati Andini tetap merasakan sakit yang luar biasa. Namun, ia berusaha menutupinya dengan menampakkan wajah tenang dan datar."Mamah dan Papah nggak suka kamu berhubungan dengan wanita kampungan seperti ini. Yang benar saja!" cetus mamanya Devan."Tapi, Mah, Pah? Silvi bisa memberikan keturunan untuk Devan!" Devan mencoba menawar kecaman mamanya."Apa hanya dia wanita yang bisa memberikan keturunan? Masih banyak yang lain, Devan!" Kali ini papanya Devan yang berbicara."Benar!" timpal mamanya Devan, membenarkan ucapan suaminya. "Meski dia kamu nikahi dan tidak bisa menjadi Nyonya Muda di rumah ini, setidaknya carilah yang minimal setara status sosialnya dengan pelayanmu! Bukan malah yang status dan derajatnya di bawah pembantumu," ketus mamanya Devan."Ini sama saja kamu mau menghina istri kamu, Andini dan Mamah. Mau ditaruh di mana wajah orang tuamu ini, Devan?" lanjut mamanya, dia memekik keras sampai semua pekerja yang berada di situ terkejut."Suruh dia pergi dari sini!" titah papanya Devan."Tu-tuan!" Silvi menangis sambil menggelengkan kepala. Air matanya mengalir deras."Berikan dia kesempatan, Mah! Pah!" ujar Devan memelas. "Devan yakin, kalau Silvi diajari, dia akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kita."Dada Andini terasa sesak ketika melihat suaminya membela selingkuhannya. Tetapi dia masih bisa mengendalikan emosi dan ekspresi wajah dinginnya."Devannn! Jangan membantah ucapan kami," teriak papanya Devan. Dengan pandangan nyalang. Dia menatap wajah anaknya. "Kami tidak melarangmu kalau ingin mencari wanita lagi. Tapi setidaknya carilah yang sederajat dengan keluarga kita. Kamu sudah tau tradisi itu 'kan?" tegas papanya."Di keluarga kita tidak ada satu pun istri sirinya yang derajat dan status sosialnya di bawah pembantu. Kamu ingat itu! Jangan sampai kamu melewati batasan itu.""Ayo, Mah! Kita pulang!" ajak papanya. "Dan kalian!" tunjuknya kepada kedua penjaga. "Bawa keluar wanita ini! Jangan sampai saya melihat dia lagi di sini!" perintah papanya."Baik, Tuan Besar!" Devan tak bisa berbuat apa-apa dengan perintah papanya. Mereka bersiap ingin membawa Silvi keluar, Silvi panik. Dia tak ingin diusir dari sini."Kalau sampai aku diusir, Andini akan merasa menang!" batin Silvi."Mohon, Tuan! Jangan usir saya!" Silvi bersimpuh di kaki Devan, dia terus memandang Devan dengan tatapan memelas."Ayo, berdiri, Nona! Jangan membuat pekerjaan kami semakin sulit," ucap kedua pengawal itu.Saat kedua pengawal itu membawanya berdiri. Silvi sempat berontak. "Mas..! Mas...!" teriaknya."Cepat bawa keluar! Usir dan jangan biarkan dia masuk ke sini!" titah papanya Devan.Sedikit lagi sampai di depan pintu rumah. Tiba-tiba pegangan kedua pengawal itu mengendur, saat Silvi merintih kesakitan sambil memegang perutnya. "Awww! Awww!" Dia terduduk lemasDevan dengan sigap menghampiri ketika Silvi terus merintih."Silvi...!" teriaknya. "Kalian! Lepaskan dia."Mereka bingung perintah siapa yang harus dituruti. Pasalnya mereka berdua bekerja di rumah Devan, bukan di rumah kedua orang tuanya."Tidak usah kalian turuti perintahnya. Sekarang juga cepat bawa wanita itu pergi dari sini!" desak Tuan Besar.Andini masih tak memberikan respon apa-apa. Dia terus menatap adegan yang terjadi di depan matanya, bagaikan menonton drama di televisi."Awww... Awww...! Mas Devan! To-tolong Silvi!" pintanya dengan suara terbata menahan rasa sakit di perutnya."Aahh... ehh...! Ma-mas...!" Silvi merintih semakin keras. Kakinya tidak dapat lagi menopang tubuhnya. Dia terduduk lemas dengan wajah yang semakin pucat."Apakah ini hanya bagian dari sandiwaranya?" Andini hanya bisa membatin.Devan semakin panik. Dia ingin menghampiri tetapi malah dihalangi oleh ajudan papanya."Tuan Muda! Turuti saja perintah Tuan dan Nyonya Besar. Masih banyak wanita lain di luar sana yang lebih cantik dan lebih berkelas dari dia," ucapnya."Minggir...!" bentak Devan. "Kalian tau apa? Cepat lepaskan saya!" desisnya.Tubuhnya yang tegap dan besar ditambah usianya yang masih muda, tak mudah bagi Devan untuk melawannya."Tolong! Jangan melawan, Tuan Muda! Saya tidak ingin menyakiti anda, kalau Tuan Besar murka terhadap perilaku anda!" tegas si ajudan.Nyonya Besar merasa tidak enak kepada menantunya, Andini karena sedari tadi melihatnya hanya diam saja tak berkata apa-apa. Dia pun seakan mengerti dengan perasaan menantunya itu. Tetapi, mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa berbuat apa-apa dengan tradisi yang ada di keluarga suaminya."Menantuku! Kamu ikut Mama ya, Sayang! Kita ngobrol di dalam," ucap Nyonya Besar dengan lembut.Andini tersenyum. Dia senang, setidaknya ibu mertuanya ini memperdulikan dirinya."Andini ingin tetap di sini, Nyonya Besar. Saya ingin tau apa keputusan Tuan Muda," ujarnya tenang dan penuh hormat.Inilah yang membuatnya semakin sayang dengan Andini. Selain karena menantunya ini anak dari sahabatnya. Menantunya itu juga tau bagaimana bersikap dan tetap tenang sesulit dan semendesak apapun situasinya."Tenang saja! Anak mama pasti akan menuruti perintah Mama dan Papa!"Andini sebenarnya tidak yakin setelah meneliti sikap suaminya tadi, tapi dia berusaha untuk tersenyum seolah percaya dengan perkataan mertuanya.Obrolan mereka pun terhenti ketika mendengar teriakan Devan."Silvi...!" teriaknya. Dia mendorong ke samping ajudan papanya saat terlengah melihat Silvi ambruk di lantai.*****Bersambung..."Bagaimana, Dok, keadaan Silvi?" tanya Devan kepada dokter pribadi keluarganya. Setelah kejadian ambruk tadi, kedua orang tua Devan membiarkan anaknya membawa Silvi ke tempat tidur. "Tidak terjadi hal yang serius, Tuan Muda! Dia hanya kecapekan. Dan saya menyarankan, sebaiknya bawa dia periksa kedokter kandungan. Sepertinya dia hamil."Semua orang yang berada di sana tercengang. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter. "Apaa, Dok? Hamil?" Devan, mama dan juga papanya berkata bersamaan. Andini juga berada di sana. Mendengar kata hamil membuat hati Andini terasa nyeri. Jujur, meski pernikahan mereka karena bisnis. Namun, tak dipungkiri bahwa Andini sebenarnya juga menginginkan hal yang semua wanita bisa rasakan. Berbeda dengan Devan yang tersenyum semringah. Kedua orang tua Devan hanya terlihat bingung. Memiliki cucu dari Devan adalah impian mereka. Terlebih Devan adalah anak mereka satu-satunya yang akan mewarisi perusahaan yang mereka bangun dari dulu, tentu harus me
"Saya pelayan yang akan menemani Nona!" ucap pelayan di balik pintu. "Masuk saja!" balas Silvi. "Baik, Nona!""Kira-kira dia dengar tidak ya, apa yang aku katakan tadi?" batin Silvi. KRIETT... Si pelayan masuk dengan membawa senampan makanan. "Ini kudapan untuk memulihkan tenaga Nona!" ucap si pelayan ramah. "Terimakasih!" Silvi membalas sama ramahnya. "Silahkan dimakan Nona! Tuan Muda ingin anda memakan semua makanan ini."Mata Silvi berbinar melihat makanan enak yang selama ini tidak pernah ia rasakan. "Apa boleh saya habiskan?" Silvi menelan salivanya. "Tentu, Nona!"Silvi segera melahap makanan yang ada di atas nampan itu dengan cepat. Wajahnya pun sampai belepotan karenanya. "Wajahnya sih, cantik tapi makannya kok, serem banget ya? Kayak anak kecil. Apa orang hamil makannya seperti ini, ya?" batin si pelayan. "Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Silvia merasa risih diperhatikan begitu oleh pelayan. "Ah, maaf, Nona! Saya hanya terpesona melihat wajah Nona! Sangat ca
"Saya sudah menduga, Nyonya! Tidak mungkin Tuan Muda membawa seorang wanita ke rumah ini kalau tidak ada hubungan apa-apa," ucap Lia geram. "Pantas! Tuan Muda merasa sangat bertanggung jawab kepada wanita itu. Rupanya mereka..." Lia menggepalkan tangannya. "Sudahlah, Lia! Kau tidak perlu merasa kesal," ucap Andini menenangkan. "Bukankah sudah tau konsekuensinya seperti ini?" timpalnya lagi. "Tapi, Nyonya! Bukankah itu suatu penghinaan terhadap Nyonya? Kalau Tuan Muda ingin mencari istri siri, setidaknya harus yang derajatnya tidak terlalu jauh dengan Nyonya.""Apalagi wanita itu pandai sekali berkata manis. Sok polos!" Lia benar-benar terlihat kesal. "Apa Nyonya benar-benar tidak apa-apa? Pasti setelah ini wanita itu akan semakin kurang ajar!" "Haah!" Andini hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya dia pun sudah muak dengan wanita itu. Dia bisa membaca sifatnya yang manipulatif. ****Seminggu setelah kejadian itu. Devan kembali mengadakan pertemuan dengan para koleganya. Di rumah
Setelah sembilan menunggu kehadiran anak yang dikandungnya. Akhirnya keinginan Tuan William dapat diwujudkan oleh Nyonya Marissa. "Selamat, Tuan! Anak anda terlahir selamat dan berjenis kelamin laki-laki," ucap si dokter. Meski sudah yakin, kabar itu tentu saja membuat Nyonya Marissa kaget sekaligus senang. "Boleh saya melihat anak saya, Dokter?" pinta Nyonya Marissa. "Tentu, Nyonya!" Dokter wanita yang seumuran dengannya itu menyetujui. "Suster!" panggilnya. "Bawakan kemari anak Nyonya Marissa dan Tuan William.""Baik, Dok!" Suster itu bergegas menuruti perintah dokter. "Ini, Nyonya! Dia sangat tampan. Wajahnya perpaduan antara Nyonya dan Tuan," puji si Dokter. "Haaa... Anakku!" Nyonya Marissa memeluk Devan kecil dengan erat dan penuh kasih sayang kala itu. Tak sadar air matanya jatuh begitu saja. Dia menganggap anak ini pembawa keberuntungan baginya. Setelah puas menumpahkan perasaan harunya, Nyonya Marissa kembali menatap wajah suaminya. "Aku sudah memberikanmu anak laki-la
Silvi menangis saat Devan mendatanginya ke dalam kamar di rumah kedua. "Hei, kenapa kamu menangis?" Hatinya terenyuh melihat wanita yang kini sudah memikat hatinya itu menangis sesegukan. Silvi tidak menjawab. Dia masih menangis sesegukan. "Hei, jawab dong? Apa yang membuat kamu menangis?" Lagi, Devan bertanya dengan lembut. "Nggak apa-apa! Hiks... Aku... Hiks... nggak apa-apa kok , Tuan Muda, hiks... hiks..." ucapnya dengan tangisan yang semakin kencang. Pelayan itu tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dia hanya berdiri dengan tegap dengan perasaan yang gugup. "Kamu!" tunjuknya pada pelayan. "Apa yang sudah terjadi padanya?""Tadi, saat di acara makan malam, Nona Silvi mendekati perkumpulan teman-teman Nyonya, Tuan! Saya sudah melarang. Karena saya tau, mereka pasti sedang membicarakan masalah bisnis. Tetapi kata Nona Silvi, dia hanya ingin menyapa mereka saja. Setelah itu, Nona Silvi meninggalkan saya dan mendatangi mereka. Saya mengamati dari kejauhan, tetapi saya
"Haaaahh! Siapa suruh melawan Silvi! Wanita paling pintar dan paling cantik di sini!" Dia berjalan melenggangkan pinggulnya menuju tempat tidur. "Kita tunggu besok. Bagaimana sikap wanita sombong itu setelahnya. Memang dia siapa? Berani sekali mempermalukan aku. Kau tidak akan bisa berbuat apa-apa, karena suamimu itu berada dalam genggamanku," ujarnya menyeringai. ****"Andini...!" Devan menggebrak pintu kamar. Pelayan Andini yang sedang membantunya melepaskan riasan bekas acara tadi, begitu terkejut dengan kedatangan Devan yang sedang diliputi amarah. Andini hanya melirik dari balik cermin dengan wajah yang datar, kemudian dia melanjutkan kembali aktifitasnya. "Ada apa, Tuan Muda! Kenapa anda terlihat sangat marah?" Dengan santainya dia bertanya. "Kau, tidak usah berlagak sok polos dan anggun. Karena gayamu itu tidak sesuai dengan prilakumu," ujarnya dengan marah. Devan tidak perduli lagi. Di depan pelayan dia tumpahkan kekesalannya. "Saya benar-benar tidak tau hal apa yang me
Keesokan harinya. Andini memutuskan untuk bersantai sekalian melakukan pekerjaannya di halaman belakang. Di taman favoritnya. "Tumben dia jalan-jalan di sini! Pasti bete karena dimarahin sama Mas Devan kemarin," gumamnya lirih. Silvi yang melihat, mencoba mengikuti wanita itu untuk memastikan efek apa yang didapat setelah dilabrak Devan kemarin malam. Andini menatap layar laptop di depannya, kemudian menghela nafas berat. "Nah, tuh 'kan benar! Pasti dia sedang kepikiran setelah dimarahin Mas Devan!" ujarnya yakin. "Makanya, jangan berani-berani sama saya!" cibirnya lagi. Setelah melihat layar laptop sekali lagi dan memastikan, Andini mengambil ponselnya kemudian menelpon seseorang. Terlihat wajahnya sangat serius. Terlihat juga sesekali wanita nampak marah. "Huh! Segitu besar dampaknya kemarahan Mas Devan kemarin, sampai-sampai kamu memarahi orang!" Silvi kemudian berlalu setelah mengatakan itu. "Apa? Bagaimana bisa kalian kecolongan seperti ini?" bentak Andini pada orang di
"Halo...!""Ah, halo, Nyonya Muda. Maaf saya menelpon anda karena Tuan Muda tidak mengangkat telpon saya.""Iya, ada apa Tuan David?""Apakah anda sedang bersama Tuan Devan, Nyonya? Saya ingin membicarakan masalah kerjasama.""Tidak, Tuan! Suami saya sedang pergi keluar, apa ada hal serius yang ingin Tuan bicarakan?""Iya, Nyonya! Dan ini sangat penting! Apakah Tuan Devan lama? Saya perlu membicarakan ini secepatnya.""Hah..!" Andini menghela nafas berat. "Mas, Mas! Apa segitu pentingnya simpananmu itu sampai kamu melalaikan pekerjaan begini?" batin Andini. "Kalau begitu saya yang akan mewakili suami saya. Anda bisa membicarakannya dengan saya.""Ah, benarkah? Kalau begitu apakah kita bisa bertemu? Saya akan memesan tempatnya.""Baiklah! Tuan beri tahu saja di mana tempatnya. Saya akan segera menyusul.""Baiklah! Nyonya. Lima menit lagi akan saya kabari. Selamat siang."David pun memutus sambungan telpon. "Lia, segera bersiap! Lima menit lagi kita akan pergi bertemu Tuan David," tit
"Silvi! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" "Apa itu, Tuan? Silvi jadi penasaran," ujarnya dengan nada yang dibuat manja. "Apa... Apa kamu bersedia untuk menjadi Nyonya utama di rumah ini?" Silvi terkejut. Pertanyaan Devan membuatnya tercengang. "Apa Tuan serius? Atau pertanyaan Tuan ini hanya ingin mengetes saya saja?" Silvi ragu sebab di awal pertanyaan, Devan seperti ragu saat mengatakannya. "Tidak! Saya serius. Apa kamu mau?" Silvi menunduk. Dia ragu ingin menjawab apa. "Semua wanita, siapa pun itu. Pasti tak akan menolak untuk menjadi pendamping Tuan Devan dan menjadi Nyonya utama. Saya pun begitu, tetapi... Apa Tuan yakin untuk menjadikan saya Nyonya utama?" lirih Silvi. Lain di mulut, lain di hati. Itulah yang saat ini Silvi katakan. Dia berusaha menarik ulur agar bisa memastikan kalau pertanyaan Devan benar-benar serius memintanya untuk menjadi Nyonya utama. Devan gemas. Dia takut kalau Silvi menolak, terpaksa dia harus mencari wanita lain lagi untuk
Devan diam tak berkutik. Dia tak bisa membela Silvi sama saat seperti mamanya memojokkan Silvi waktu itu. "Ingat, Devan! Kamu tau 'kan peraturan mutlak di rumah ini? Anak dari hasil hubungan gelap maupun anak dari istri kedua tidak akan bisa menjadi penerus. Hanya anak dari istri sah dan pertama saja yang bisa diangkat menjadi penerus keluarga." Nenek Grace menekankan. "Benar, Devan! Meski wanita itu sudah kamu nikahi secara sah sekalipun, anak yang ada di dalam kandungannya tidak bisa menjadi penerus. Apalagi wanita itu hanya kamu nikahi secara siri." Kakek Devan ikut menimpali. "Segeralah lakukan pemeriksaan dan fokus untuk memberikan keluarga ini seorang penerus. Kami berharap banyak padamu." Setelah mengatakan itu, Tuan Bill dan Nyonya Grace pergi begitu saja. Devan terduduk. Tenaganya seakan terkuras habis dengan kedatangan mendadak nenek dan kakeknya. Erick menghampiri Devan yang shock. "Tuan Muda tidak apa-apa?" "Tak apa. Aku hanya shock dengan kedatangan merek
Silvi yang terbawa emosi, menampar wajah Rania dengan keras. Hingga meninggalkan bekas merah di pipinya. "Kauuu!" desis Rania. Dia mengangkat tangan ingin membalas tamparan Silvi, namun dengan cepat Rania berhasil mengendalikan emosinya. "Sifat burukmu itu memang tidak bisa diperbaiki. Baru menjadi 'mainan baru' Tuan Devan saja, sudah berani bersikap kurang ajar! Ternyata bukan hanya sifatmu saja yang jelek, kau juga wanita murahan.""Dasar Kau memang wanita rendahan!" Rania pun berlalu meninggalkan Silvi. Tangan Silvi gemetaran setelah menampar pipi Rania. Dia begitu ketakutan. "Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan Tuan Radit kepadaku?" Saking takutnya, tanpa sadar dia menggigit kuku jarinya. Keesokan harinya Tuan Radit kembali mendatangi Silvi setelah mendapat laporan dari anaknya kalau wanita itu menamparnya. "Apa yang kau lakukan kepada anakku, Rania?" Wajahnya terlihat sangat marah. "Itu salah anakmu sendiri. Kenapa dia tak bisa menjaga mulutnya." Silvi berkata dengan ra
"Tuan Radit kembali menemui Nona Silvi, Nyonya!" ujar pengawal Andini. "Dia menemuinya lagi?""Iya!""Apa yang sedang mereka lakukan, ya? Semenjak kejadian itu mereka menjadi sering bertemu. Apa Tuan Radit sedang mengancamnya?" pikir Andini. "Baiklah! Terimakasih. Kau boleh pergi."Setelah pengawal itu pergi, Bu Dewi berkata, "Apa besok karena Nyonya ingin berbicara secara pribadi dengan Nona Rania?""Wanita itu memanggil Tuan Radit pasti ingin menyuruh Nona Rania diam. Dasar wanita licik!" sambung Lia geram. "Yang aku inginkan bukan itu." Andini tersenyum. "Pancingan ku berhasil. Kalau sampai wanita itu takut seperti ini, pasti ada yang dia sembunyikan. Tapi... Apa ya?" pikir Andini. "Kalau bukan untuk mengorek informasi dari Nona Rania. Apa yang membuat Nyonya mewawancarai Nona Rania secara khusus?" Lia heran karena tidak biasanya Nyonya Mudanya ini berbuat begitu. "Seperti ini saja sudah cukup bagiku. Menekannya seperti ini." Bu Dewi dan Lia saling pandang mereka tidak menger
"Saat itu aku sangat ketakutan. Berbeda denganmu, kau tidak akan kehilangan apa-apa.""Heh! Kau memang lelaki egois.""Aku..." Pria itu tak dapat membalas. "Aku tidak ingin membahas masa lalu. Kalau begitu sekarang kau mengerti dengan posisiku 'kan, Dilan? Karena saat itu kau juga merasakannya." Silvi memandang sinis kepada mantan majikannya ini, anak Tuan Radit. "Kau bisa membuatku kehilangan segalanya sekarang. Jadi, berpura-puralah tidak mengenaliku dan urus adikmu yang tidak tau sopan santun itu," ujarnya tegas. Silvi berlalu meninggalkan Dilan seorang diri. "Sekarang aku bukan wanita yang lemah. Aku bahkan bisa berkata tegas kepada seseorang yang dulunya majikanku," ujarnya dalam hati sembari menyeringai. Silvi berjalan angkuh, mengangkat wajahnya. Selayaknya seorang Nyonya.Dilan memandang sendu dengan kepergian Silvi. Tak ada lagi sikap polos dan lembut dari diri wanita itu. ****Keesokan harinya Silvi mengajak Rafael bertemu. "Ada apa Nona mengajak saya bertemu?" Rafael
Devan mengepalkan tangannya, kesal. "Kau terlalu menganggap harga dirimu terlalu tinggi hingga enggan untuk mengakui kesalahan.""Seorang pemimpin perusahaan sepertiku harus mengganggap dirinya tinggi, tetapi bukan berarti aku bisa seenaknya menuduh orang tanpa bukti. Hanya menyimpulkan berdasarkan kejanggalan dan prasangka." Andini menjawab dengan tenang dan datar. Andini berusaha tidak menghiraukan Devan, namun pria itu terus saja mengganggunya. "Kalau aku sudah bilang menyelidiki tapi tidak mendatangimu untuk meminta maaf, itu berarti aku tidak menemukan kalau anggota keluargaku pelakunya." Andini meninggalkan Devan yang masih kesal. Dia memutuskan untuk bersantai sejenak di taman bagian samping yang tak biasa dilalui oleh orang. Berdebat dengan Devan membuat moodnya menjadi semakin jelek. "Hah! Aku tak tau apa yang ada di pikirannya sehingga senang sekali mengaitkan apapun yang terjadi kepada wanita itu denganku." Andini bergumam dengan menghela nafas berat. Devan yang kesal
"Heh, aku kira kau sudah pergi. Ternyata masih menunggu di sini! Harga dirimu tinggi juga, ya?" sinis Devan. Andini tersenyum, "Ini 'kan yang kau inginkan dariku?"Devan menyinggungkan bibirnya. "Kau memang wanita yang penuh dengan kejutan, ya? Tentang Silvi maupun yang ini.""Kau terlalu cepat menyimpulkan. Mengaitkan tentang Silvi.""Sekarang bukan waktunya untuk mengelak. Aku sudah berbaik hati menutupi masalah ini karena kakakmu yang terlibat.""Apa kau yakin pelakunya adalah Kaisar?" tanya Andini dengan wajah yang datar. "Menurutmu? Kau tentu tau, siapa yang nekat melakukan hal seperti ini kalau bukan kakakmu yang tempramen itu? Bahkan semua kejanggalan mengarah padanya. Dia akan melakukan apapun untuk adiknya ini, bukan?" Bukannya marah, Andini malah menatap Devan dengan pandangan datar. "Jadi, kau mengira kakakku pelakunya hanya karena sebuah kejanggalan?""Apa itu artinya kau masih bersikera
"Siapa wanita itu? Apa salah satu wanita yang ingin mencari perhatian kepada David?" tanya Camelia dalam hati. Dia pun memutuskan untuk mendekati mereka berdua. "Hey, David! Siapa wanita ini?" tanya Camelia ramah. "Oh! Ini Nyonya Andini, Bu! Dia salah satu rekan bisnisku!" sahur David. Meski panggilan 'Ibu' terdengar tidak enak di telinganya. Camelia tersenyum saja. "Oh, benarkah? Aku pikir salah satu perempuan yang ingin kau goda! Ingat, permintaan Ayahmu, Vid!" Camelia seolah terlihat baik menegur David tentang janjinya kepada ayahnya agar berhenti merayu perempuan. Dan mulai fokus mencari istri. "Haha..." David tertawa santai. "Aku ingat, Bu!""Kau harus mulai fokus mencari istri 'kan?""Ah, benarkah itu, Tuan David?" Andini terkejut dengan berita yang ia dengar."Haha... Iya, Nyonya! Saya harus segera mencari pendamping dan membantu saya bekerja mengurus perusahaan Ayah!" David bercanda seperti biasa. "Semoga anda lekas menemukan wanita itu, Tuan!" Andini mendo'akan. "Saya
"Katakan padaku apa yang kau dapatkan tentang wanita itu?" Kaisar mendesak Tomi untuk mengatakannya. "Sabar! Aku akan mengatakannya setelah ini!" Tomi meneguk habis minumannya yang tersisa sedikit. GLEK... GLEKK... "Wanita itu dulunya adalah pembantu.""Pembantu?""Iya! Kau tau, Tuan Radit?" "Iya, aku tau! Aku pernah melihatnya sekali sebelum aku pergi ke luar kota.""Nah! Wanita itu adalah mantan pembantu di rumahnya.""Wah! Benarkah?""Iya! Entah karena masalah apa wanita itu kabur dari rumah Tuan Radit. Dan saat di pesta Tuan David, mereka bertemu dan Tuan Radit mengatakan di depan semua orang kalau wanita itu mantan pembantunya yang kabur. Saat orang-orang penasaran dengan apa yang terjadi sehingga membuatnya kabur, sebelum Tuan Radit mengatakan alasannya, wanita itu malah pingsan.""Apa kau sudah dapat apa alasan wanita itu kabur dari sana?""Belum! Tetapi aku sedang menyuruh orang mencari tau.""Keesokan harinya Tuan Radit dipanggil oleh Tuan Devan ke mansionnya dan Tuan Rad