David berjalan-jalan melihat taman luas yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang terawat itu.
Saat tengah asyik berjalan sembari menikmati pemandangan taman yang asri. David melihat seorang wanita cantik yang tengah berdiri dengan anggunnya.David memperhatikan dari jauh wanita itu. Dia mencoba mengenali."Bukankah itu istrinya Devan?" lirihnya."Sedang apa dia di sini?" gumamnya lagi.David berjalan mendekati Andini."Selamat malam, Nyonya Andini!" sapa David.Andini memalingkan badan ketika mendengar sapaan itu. Setelah mengetahui kalau yang memanggil adalah rekan kerja suaminya. Andini mengangguk dengan penuh rasa hormat."Selamat malam juga, Tuan David," jawab Andini dengan anggunnya."Sedang apa, Tuan David di taman ini?" tanya Andini."Apakah saya boleh bertanya hal yang sama kepada orang yang menanyai saya ini?" Bukannya menjawab, David malah bertanya balik."Haha...!" Andini tertawa pelan. Membuat David sejenak terpikat akan kecantikannya."Cantik...!" gumam David tanpa sadar sembari memandang Andini."Maksudnya?""Maksud saya... Bunga-bunga ini... terlihat sangat cantik.""Iya, Tuan benar! Bunga-bunga ini cantik karena dirawat, Tuan!""Saya ingin melihat koleksi bunga-bunga di taman ini. Apakah Nyonya Andini bersedia menemani saya?" pinta David dengan sopan.Andini tersenyum. "Tentu, Tuan! Sebagai Tuan rumah, saya akan mengajak anda berkeliling melihat bunga di taman ini.""Mari!" lanjut Andini.Mereka berdua berjalan beriringan. Dari kejauhan Silvi cemberut melihat David yang bersikap ramah kepada Andini."Apakah dia berniat menggoda Tuan David dengan senyumannya itu?" sinis Silvi.Silvi mengikuti mereka dari belakang. Dia tak suka saat melihat David membuat Andini tertawa.David benar-benar terpikat dengan keanggunan dan ketegasan Andini. Tapi, dia sadar bahwa hanya bisa sekedar mengagumi tidak dapat memiliki karena Andini milik Devan.Silvi terus mengikuti mereka dengan mengendap-endap, hingga...BRUKK..."Auwh..." pekik Silvi.Silvi terjatuh tepat di belakang mereka. David dan Andini memalingkan badan mereka ketika mendengar suara seseorang terjatuh.David terkejut saat melihat wanita yang terjatuh tadi adalah wanita yang baru saja bertemu dengannya. Wanita yang mengaku bahwa dirinya istri kedua Devan. Tetapi tidak dengan Andini. Dia menatap tajam ke arah Silvi."Apa yang kamu lakukan di balik semak itu? Apa kamu mengikuti kami?" tanya Andini dengan wajah yang datar."Sa-saya tidak mengikuti mengikuti kalian. Saya hanya kebetulan juga berjalan-jalan di taman ini," jawab Silvi tergagap.Andini terlihat tidak suka. Dia tau kalau Silvi berbohong."Kalau kamu tidak mengikuti kenapa mengendap-endap?" Pertanyaan Andini membuat Silvi gugup."Eh, a-anu... Saya... hanya..." Silvi tak bisa menjawab pertanyaan Andini."Saya hanya berniat memanggil Kakak, karena Tuan Devan memanggil."Andini menyerngit tak suka mendengar panggilan Silvi barusan kepada dirinya."Apa? Apa katamu? Kakak?""Iya! Apa tidak boleh kalau aku memanggil Nyonya Andini dengan sebutan Kakak? Kita 'kan sudah menjadi saudara madumadu karena memiliki suami yang sama?"David yang tidak tau apa-apa hanya melongo melihatnya."Apa? Memiliki suami yang sama katanya? Enak sekali dia menetapkan seenaknya seperti itu," Andini hanya bisa membatin."Tidak boleh!" Andini menolak dengan tegas."Kenapa? Apa karena Nyonya membenci saya?" tanya polos. Air matanya mulai menggenang. Raut wajahnya terlihat sedih."Terlepas dari aku membencimu atau tidak, itu tidak ada hubungannya." Andini berusaha bersabar dengan sikap gundik suaminya itu."Apa karena Tuan Devan lebih memperhatikan saya? Apa karena Tuan Devan bersikap lembut kepada saya yang membuat Nyonya membenci Silvi? Tapi, itu 'kan bukan kehendak Silvi! Hiks... hiks..." Dia berusaha membuat Andini terlihat jahat di depan David dan berusaha membuat David iba kepada dirinya."Bisakah kita membahasnya nanti di rumah? Sekarang masih ada tamu." Andini berusaha menahan emosinya. Bukan karena ingin membuat David terkesan. Tetapi hanya ingin menjaga attitude di depan rekan bisnis mereka. Karena kalau salah bicara sedikit saja itu bisa mempengaruhi kerjasama yang mereka jalin."Hiks... Hiks...!" Silvi mengeraskan tangisnya. Membuat rekan Devan yang lain tak sengaja melihat adegan bagai di dalam drama.Dalam hati David sudah bisa menebak bahwa wanita ini orang yang manipulatif. Dia sangat terkesan dengan sikap tenang Andini menghadapi wanita kedua dari suaminya ini."Ada apa ini? Andini! Apa yang kamu lakukan kepada Silvi?" Devan menatap tajam ke arahnya dan semakin tidak suka saat melihat ada David di sampingnya."Tenang dulu, Tuan Devan!" David berusaha menengahi.Devan semakin memandangnya tidak suka."Apa kamu tidak apa-apa? Apa yang sudah terjadi sama kamu?" Devan bertanya kepada Silvi dengan lembut. Berbeda ketika bertanya kepada Andini, membuat hatinya terasa sakit."Apa yang dilakukan Andini sama kamu?""Nyonya Andini menuduh saya mengikuti mereka. Padahal saya tak sengaja melihat mereka sedang berjalan berdua ketika saat itu saya juga berjalan-jalan di taman ini! Hiks... hiks...!"Sorot mata Devan menunjukkan kemarahan."Apa kamu mengancam Silvi, Andini?""Istri anda tidak melakukan apa...." ucapan David langsung di potong oleh Devan."Ini bukan urusan anda, Tuan David!" Devan memandang tajam ke arahnya. "Apakah anda menyukai istri saya sehingga begitu membelanya?" sinisnya.David tak dapat berkata apa-apa. Rumor tentang dirinya yang suka menggoda perempuan dan menyukai istri orang sudah menyebar luas. Sehingga membuat orang berpikiran buruk tentang dirinya. Padahal dia hanya berusaha meluruskan saja."Dan kau, Andini! Apa setelah aku membawa Silvi ke rumah ini, kau berusaha menggoda pria lain? Heh! Murah sekali dirimu!" sinisnya.Silvi merasa sangat puas ketika Devan membentak dan menghina Andini di depan semua orang. Dengan wajah yang tertunduk, dia menyinggungkan bibirnya.Meski hubungan mereka tidak di dasari oleh rasa cinta. Tetapi, tetap saja penghinaan itu membuat Andini sakit, sekaligus malu.David tak menyangka, Devan dengan tega membentak dan menghina istrinya di depan semua orang, terutama dirinya. Tapi, dia juga salut dengan sikap dingin Andini yang tidak gentar sedikit pun."Bisakah kita membahas ini setelah semua tamu pulang, Tuan Muda? Tak baik urusan pribadi dijadikan konsumsi publik." Andini berkata dengan tenang. Dia menyayangkan sikap suaminya yang tak bisa menjaga emosi ketika di depan semua rekan kerjanya. Meski mereka tidak mendekat atau mungkin mendengar apa yang tengah Andini dan Devan bicarakan."Bangun, Silvi!" pinta Devan.Silvi berusaha bangun dengan susah payah. Seakan menunjukkan begitu perhatiannya Devan kepada dirinya.Andini memandang datar interaksi antara suami dan gundiknya itu."Ayo, kita masuk!" Devan membawa Silvi masuk ke rumah kedua.David merasa tidak enak. Dia merasa masalah ini terjadi karena dirinya."Maafkan saya, Nyonya Andini! Karena saya... ""Ini bukan salah anda, Tuan David. Suami saya hanya sedang banyak pikiran saja. Jadi, anda tidak perlu meminta maaf!" Andini memandang lurus ke depan, kemudian menyinggungkan senyumnya. Membuat David merasakan desiran aneh di dadanya."Saya ingin masuk ke dalam, menyapa tamu yang lain! Kalau Tuan masih ingin berkeliling silakan lanjutkan," sambung Andini.Andini melangkahkan kakinya dengan anggun. Dari belakang, David memandang punggung wanita yang terlihat tangguh di luar tapi sebenarnya merasakan sakit di dalam.****Bersambung..."Apa maksudnya ini, Devan? Siapa wanita ini?" bentak Tuan Besar. Tuan Besar terlihat nampak sangat marah. Dia memanggil Devan beserta gundiknya itu setelah semua tamu sudah pulang. Silvi yang ketakutan memegang lengan baju Devan dengan wajah yang tertunduk. "Mas! Aku takut!" cicitnya. "Apa katamu tadi? Mas? Hah? Berani sekali kamu memanggil anak saya dengan sebutan, Mas!" Nyonya Besar memandangnya sinis. "Panggil dia, Tuan Muda! Ingat! TUAN MUDA!" sambungnya lagi dengan menekan kata-katanya. "Cepat, jelaskan pada kami Devan. Siapa perempuan ini?" Nyonya Muda semakin geram dengan kelakuan anaknya apalagi wanita itu selalu menempel kepada Devan. "Hei, kamu! Lepaskan anak saya!" bentaknya kepada Silvi. Silvi berusaha menahan tangis. Matanya memerah. "Mas!" Dia memandang Devan dengan wajah memelas. "Hei! Dasar nggak tau sopan santun kamu, ya? Panggil Devan dengan sebutan Tuan Muda," pekik Nyonya Besar. Andini diam saja melihat kedua orang itu di sidang oleh mertuanya. Dia tak ing
"Bagaimana, Dok, keadaan Silvi?" tanya Devan kepada dokter pribadi keluarganya. Setelah kejadian ambruk tadi, kedua orang tua Devan membiarkan anaknya membawa Silvi ke tempat tidur. "Tidak terjadi hal yang serius, Tuan Muda! Dia hanya kecapekan. Dan saya menyarankan, sebaiknya bawa dia periksa kedokter kandungan. Sepertinya dia hamil."Semua orang yang berada di sana tercengang. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter. "Apaa, Dok? Hamil?" Devan, mama dan juga papanya berkata bersamaan. Andini juga berada di sana. Mendengar kata hamil membuat hati Andini terasa nyeri. Jujur, meski pernikahan mereka karena bisnis. Namun, tak dipungkiri bahwa Andini sebenarnya juga menginginkan hal yang semua wanita bisa rasakan. Berbeda dengan Devan yang tersenyum semringah. Kedua orang tua Devan hanya terlihat bingung. Memiliki cucu dari Devan adalah impian mereka. Terlebih Devan adalah anak mereka satu-satunya yang akan mewarisi perusahaan yang mereka bangun dari dulu, tentu harus me
"Saya pelayan yang akan menemani Nona!" ucap pelayan di balik pintu. "Masuk saja!" balas Silvi. "Baik, Nona!""Kira-kira dia dengar tidak ya, apa yang aku katakan tadi?" batin Silvi. KRIETT... Si pelayan masuk dengan membawa senampan makanan. "Ini kudapan untuk memulihkan tenaga Nona!" ucap si pelayan ramah. "Terimakasih!" Silvi membalas sama ramahnya. "Silahkan dimakan Nona! Tuan Muda ingin anda memakan semua makanan ini."Mata Silvi berbinar melihat makanan enak yang selama ini tidak pernah ia rasakan. "Apa boleh saya habiskan?" Silvi menelan salivanya. "Tentu, Nona!"Silvi segera melahap makanan yang ada di atas nampan itu dengan cepat. Wajahnya pun sampai belepotan karenanya. "Wajahnya sih, cantik tapi makannya kok, serem banget ya? Kayak anak kecil. Apa orang hamil makannya seperti ini, ya?" batin si pelayan. "Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Silvia merasa risih diperhatikan begitu oleh pelayan. "Ah, maaf, Nona! Saya hanya terpesona melihat wajah Nona! Sangat ca
"Saya sudah menduga, Nyonya! Tidak mungkin Tuan Muda membawa seorang wanita ke rumah ini kalau tidak ada hubungan apa-apa," ucap Lia geram. "Pantas! Tuan Muda merasa sangat bertanggung jawab kepada wanita itu. Rupanya mereka..." Lia menggepalkan tangannya. "Sudahlah, Lia! Kau tidak perlu merasa kesal," ucap Andini menenangkan. "Bukankah sudah tau konsekuensinya seperti ini?" timpalnya lagi. "Tapi, Nyonya! Bukankah itu suatu penghinaan terhadap Nyonya? Kalau Tuan Muda ingin mencari istri siri, setidaknya harus yang derajatnya tidak terlalu jauh dengan Nyonya.""Apalagi wanita itu pandai sekali berkata manis. Sok polos!" Lia benar-benar terlihat kesal. "Apa Nyonya benar-benar tidak apa-apa? Pasti setelah ini wanita itu akan semakin kurang ajar!" "Haah!" Andini hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya dia pun sudah muak dengan wanita itu. Dia bisa membaca sifatnya yang manipulatif. ****Seminggu setelah kejadian itu. Devan kembali mengadakan pertemuan dengan para koleganya. Di rumah
Setelah sembilan menunggu kehadiran anak yang dikandungnya. Akhirnya keinginan Tuan William dapat diwujudkan oleh Nyonya Marissa. "Selamat, Tuan! Anak anda terlahir selamat dan berjenis kelamin laki-laki," ucap si dokter. Meski sudah yakin, kabar itu tentu saja membuat Nyonya Marissa kaget sekaligus senang. "Boleh saya melihat anak saya, Dokter?" pinta Nyonya Marissa. "Tentu, Nyonya!" Dokter wanita yang seumuran dengannya itu menyetujui. "Suster!" panggilnya. "Bawakan kemari anak Nyonya Marissa dan Tuan William.""Baik, Dok!" Suster itu bergegas menuruti perintah dokter. "Ini, Nyonya! Dia sangat tampan. Wajahnya perpaduan antara Nyonya dan Tuan," puji si Dokter. "Haaa... Anakku!" Nyonya Marissa memeluk Devan kecil dengan erat dan penuh kasih sayang kala itu. Tak sadar air matanya jatuh begitu saja. Dia menganggap anak ini pembawa keberuntungan baginya. Setelah puas menumpahkan perasaan harunya, Nyonya Marissa kembali menatap wajah suaminya. "Aku sudah memberikanmu anak laki-la
Silvi menangis saat Devan mendatanginya ke dalam kamar di rumah kedua. "Hei, kenapa kamu menangis?" Hatinya terenyuh melihat wanita yang kini sudah memikat hatinya itu menangis sesegukan. Silvi tidak menjawab. Dia masih menangis sesegukan. "Hei, jawab dong? Apa yang membuat kamu menangis?" Lagi, Devan bertanya dengan lembut. "Nggak apa-apa! Hiks... Aku... Hiks... nggak apa-apa kok , Tuan Muda, hiks... hiks..." ucapnya dengan tangisan yang semakin kencang. Pelayan itu tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dia hanya berdiri dengan tegap dengan perasaan yang gugup. "Kamu!" tunjuknya pada pelayan. "Apa yang sudah terjadi padanya?""Tadi, saat di acara makan malam, Nona Silvi mendekati perkumpulan teman-teman Nyonya, Tuan! Saya sudah melarang. Karena saya tau, mereka pasti sedang membicarakan masalah bisnis. Tetapi kata Nona Silvi, dia hanya ingin menyapa mereka saja. Setelah itu, Nona Silvi meninggalkan saya dan mendatangi mereka. Saya mengamati dari kejauhan, tetapi saya
"Haaaahh! Siapa suruh melawan Silvi! Wanita paling pintar dan paling cantik di sini!" Dia berjalan melenggangkan pinggulnya menuju tempat tidur. "Kita tunggu besok. Bagaimana sikap wanita sombong itu setelahnya. Memang dia siapa? Berani sekali mempermalukan aku. Kau tidak akan bisa berbuat apa-apa, karena suamimu itu berada dalam genggamanku," ujarnya menyeringai. ****"Andini...!" Devan menggebrak pintu kamar. Pelayan Andini yang sedang membantunya melepaskan riasan bekas acara tadi, begitu terkejut dengan kedatangan Devan yang sedang diliputi amarah. Andini hanya melirik dari balik cermin dengan wajah yang datar, kemudian dia melanjutkan kembali aktifitasnya. "Ada apa, Tuan Muda! Kenapa anda terlihat sangat marah?" Dengan santainya dia bertanya. "Kau, tidak usah berlagak sok polos dan anggun. Karena gayamu itu tidak sesuai dengan prilakumu," ujarnya dengan marah. Devan tidak perduli lagi. Di depan pelayan dia tumpahkan kekesalannya. "Saya benar-benar tidak tau hal apa yang me
Keesokan harinya. Andini memutuskan untuk bersantai sekalian melakukan pekerjaannya di halaman belakang. Di taman favoritnya. "Tumben dia jalan-jalan di sini! Pasti bete karena dimarahin sama Mas Devan kemarin," gumamnya lirih. Silvi yang melihat, mencoba mengikuti wanita itu untuk memastikan efek apa yang didapat setelah dilabrak Devan kemarin malam. Andini menatap layar laptop di depannya, kemudian menghela nafas berat. "Nah, tuh 'kan benar! Pasti dia sedang kepikiran setelah dimarahin Mas Devan!" ujarnya yakin. "Makanya, jangan berani-berani sama saya!" cibirnya lagi. Setelah melihat layar laptop sekali lagi dan memastikan, Andini mengambil ponselnya kemudian menelpon seseorang. Terlihat wajahnya sangat serius. Terlihat juga sesekali wanita nampak marah. "Huh! Segitu besar dampaknya kemarahan Mas Devan kemarin, sampai-sampai kamu memarahi orang!" Silvi kemudian berlalu setelah mengatakan itu. "Apa? Bagaimana bisa kalian kecolongan seperti ini?" bentak Andini pada orang di