"Kau menyebut seseorang menjijikkan? Apa maksudnya itu?"
Mereka semua memandang ke arah suara itu."Tu-Tuan Muda?!" seru Lia. Saat Devan datang, semua orang menundukkan kepala memberi hormat.Tuk.. tukk ...tukkBunyi ketukan sepatu Devan begitu nyaring saat semua orang diliputi ketegangan.Devan dan Andini saling bertatapan. "Silvi?" seru Devan. Dengan raut wajah yang terlihat sangat khawatir, ia menghampiri Silvi dan melalui Andini.Degg...Ada perasaan nyeri di dada Andini saat secara langsung melihat di depan mata, suaminya begitu memperhatikan wanita itu."Ya ampun...! Jangan menangis!" pinta Devan. Ia mengusap air mata yang keluar di mata Silvi. Hal itu membuat Andini semakin kesal tapi ia tak menunjukkannya. Dengan ekspresi yang datar ia memandang adegan suaminya bersama wanita itu."Kau memang itu memang wanita yang harus diperhatikan, ya?" ucap Devan lagi.Dengan air mata yang masih berderai, Silvi melirik ke arah Andini dengan ekor matanya. Ia ingin melihat bagaimana ekspresi Andini ketika suaminya lebih perhatian kepada dirinya.Nyyuutt...Andini kembali merasakan perasaan nyeri di dadanya. "Apa yang tengah kurasakan saat ini? Apa aku...? Tidak mungkin. Seperti perkataan Bu Dewi perasaan seperti ini adalah hal yang lumrah. Tapi....! Aku tidak seharusnya melihat adegan yang tidak mengenakkan ini di depan mataku 'kan?" batin Andini.Andini pun berniat meninggalkan tempat itu. "Lia, ayo kita masuk! Tanganku sakit!""Tunggu...!" Terlihat Devan sangat kesal. Sampai-sampai ia menekan kata-katanya. "Mau ke mana kau, Andini? Berhenti!""Ada apa?" balas Andini dengan tatapan yang begitu dingin."Pelayan itu!" Tunjuknya ke arah Lia."Lia?" tanyanya dalam hati. Mau apa dia, dengan Lia? Tidak mungkin dia ingin memberikan pelajaran kepada Lia, kan?""Kau tinggalkan pelayan itu di sini!" Dengan nada yang sedikit keras, dia membentak Andini.Lia pun menjadi gemetar. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Tuannya kepada dirinya.Sementara itu Silvi masih saja menangis di pelukan Devan. Seolah dia begitu sangat tersakiti."Katakan dulu apa maumu? Ingin kau apakan Lia?""Lia adalah pelayan pribadiku yang dipilihkan khusus oleh kedua orang tuaku. Bukan hanya pelayan tapi dia juga sahabatku sejak kecil. Ditambah lagi status sosialnya hampir setara dengan kami. Dia pun tau sudah menjadi tradisi di dua keluarga ini, tingginya status sosial seorang pelayan pribadi yang melayani Tuan dan Nyonya muda adalah sebuah bentuk kehormatan. Seorang pelayan pribadi wajib dihukum kalau kesalahannya melawan perintah yang status sosialnya setara dengan Tuan dan Nyonya Muda yang dia layani. Kalau dia ingin menghukum Lia hanya karena wanita yang bahkan tidak tau asal usulnya! Bukankah sama saja dia ingin mempermalukan Lia di hadapan semua pelayan di sini? Yang berarti itu sama saja ingin mempermalukanku?" pikir Andini."Mulut pelayan pribadimu itu harus diberi pelajaran," ketus Devan."Tidak bisa..! Kau tidak bisa membawa Lia karena dia adalah pelayan pribadiku. Hanya aku yang berhak atas dirinya.""Ny-Nyonya.... ! Lia begitu terharu saat Andini membela dirinya."Walaupun dia adalah pelayan pribadimu, tapi aku juga tetap Tuannya. Aku berhak memutuskan segala sesuatu di sini. Karena aku adalah Tuan Mudanya," ucapnya sombong."Kau tidak bisa bertindak sesuka hatimu! Memberikan hukuman kepada seseorang yang telah berjasa menjagaku." Perdebatan itu semakin memanas. Para pelayan yang tak sengaja melewati taman belakang menjadi penasaran.Devan tak mendengarkan ucapan Andini, dia tetap dengan pendiriannya.Devan menyuruh pelayan pribadinya yang sedari tadi berada di belakangnya untuk mendekat."Kurung pelayan itu di ruang bawah tanah selama seminggu dan jangan berikan dia makanan yang layak," titah Devan.Deg...Lia semakin gemetar saat mendengar vonis itu. Sementara Silvi menutup mulutnya seolah terkejut padahal sebenarnya dirinya tengah tersenyum saat Devan menjatuhi hukuman kepada Lia."Tuan Muda! Bukankah itu terlalu berlebihan? Anda sangat keterlaluan," protes Andini.Devan menyerngit."Apa? Berlebihan? Aku keterlaluan?" Devan tersenyum sinis. "Dia sudah menyebut seseorang yang tengah terluka dengan sebutan menjijikkan, dan kau bilang perlakuanku berlebihan?" Devan menatap Andini tajam. Situasi semakin tegang, semua orang yang berada di situ takut saat merasakan atmosfer yang memanas. Namun, tidak dengan Andini. Dia malah membalas tatapan tajam dari Devan.Sementara itu wanita yang membuat semua kekacauan ini terjadi, semakin memegang erat tangan Devan. Ia masih saja menampakkan raut sedihnya seolah adalah pihak yang sangat teraniaya. Dan itu membuat Devan semakin terlihat kesal."Iya..! Perlakuanmu itu memang berlebihan. Walaupun kau yang menjadi Tuan Mudanya di sini, bukan berarti kau berhak bersikap semena-mena kepada semua orang yang bekerja di rumah ini, hanya karena wanita yang bawa. Bahkan, tidak jelas apa status hubungannya denganmu! Aku akan membela siapapun itu walau bukan Lia orangnya," tegas Andini.Lia yang tak ingin melihat perdebatan ini menjadi panjang, menyetujui hukuman itu."Nyonya... ! Ia seperti meminta Andini untuk berhenti membelanya.Sebagai seorang pelayan pribadi yang menjunjung tinggi profesionalitas, Lia siap bertanggung jawab." Baik, Tuan! Saya akan menerima hukuman itu." Dengan tubuh yang masih gemetar ia menyanggupi."Lia...!" lirih Andini. Ia menatap sedih kepada pelayan pribadinya itu."Kalian tau apa yang harus kalian lakukan, kan?" ucap Devan kepada pelayannya."Baik, Tuan!" Kedua pelayan itu menggiring Lia bagaikan tahanan menuju ruang bawah tanah."Karena masalah ini sudah selesai, silahkan kalau kau ingin pergi, Nyonya Muda," ucap Devan."Ayo, Silvi..! Kita masuk," ajaknya kepada Silvi. Tangannya begitu erat merangkul Silvi.Andini hanya bisa memendam kekesalannya sembari memandang kedua orang itu.Kesan pertama yang ditunjukkan Devan dan Silvi, membuat Andini tak menyukai wanita itu.Hari-hari berlalu Andini khawatir dengan keadaan Lia. Setiap saat ia terus menanyakan kabar Lia kepada pelayan lain.*****Hingga tiba waktunya, seminggu kemudian...Karena masa hukuman Lia sudah berakhir, Andini yang khawatir dengan keadaan Lia dari kabar para pelayan memutuskan untuk menjemputnya sendiri ruang bawah tanah. Bahkan Andini menyuruh Lia untuk membersihkan diri di rumah utama. Meminta Bu Dewi menyiapkan makanan kesukaannya sebab selama di ruang bawah tanah, Devan benar-benar menyuruh pelayan yang menyiapkan makanan untuk Lia, dengan makanan yang tidak layak. Saking tidak layaknya, Lia hanya memilih meminum air putih saja."Benar-benar keterlaluan," umpat Andini melihat tubuh sahabat sekaligus pelayan setianya itu menjadi kurus."Padahal semua ini adalah kesalahan wanita itu," batinnya.Hari itu, Andini benar-benar memperlakukan Lia dengan istimewa. Membuat Lia benar-benar merasa beruntung menjadi pelayan pribadinya. Dia begitu terharu. Sampai-sampai Lia ingin meneteskan air mata."Kau kenapa, Lia? Apa dikurung di sana membuatmu menjadi trauma?"Lia menggelengkan kepalanya, "Tidak, Nyonya!""Lalu, kenapa kau seperti ingin menangis?""Jujur, sebenarnya saat terkurung di sana membuat saya benar-benar tersiksa, tapi saya tidak menyesal sebab saya sudah melakukan hal yang semestinya menjadi kewajiban saya. Yaitu, melindungi Nyonya," lirih Lia."Yang membuat saya ingin menangis seperti ini adalah karena, Nyonya!"Andini bingung. "Karena saya? Kenapa?""Sebab, Nyonya, begitu baik kepada saya yang hanya seorang pelayan ini. Perlakuan Nyonya yang seperti ini, membuat saya tak ingat lagi bagaimana rasanya tersiksa di dalam sana."Andini memeluk Lia. "Aku bersumpah, Lia! Hal seperti ini tidak akan terjadi lagi!"Perlakuan spesial Andini terhadap Lia, sampai ke telinga Devan."Panggil Nyonya Muda kemari!" Seorang pelayan bergegas mendatangi Andini."Tuan Muda memanggil saya?""I-iya, Nyonya," ucap pelayan itu. Ia terlihat takut."Baiklah...! Aku akan segera ke sana. Kau pergilah!""Mau apa dia memanggilku?" gumam Andini.*******Bersambung.....❤❤❤❤Apakah yang diinginkan Devan?Andini mendatangi tempat kerja Devan ditemani pelayan yang bekerja untuk Devan. Tokk.. Tokkk.. Tok.. "Permisi, Tuan! Nyonya Muda sedang bersama saya!" seru pelayan itu. "Kau memanggilku? Ada apa?""Ah, Nyonya Muda kita sudah sampai rupanya! Kalian semua keluarlah!""Pelayan yang kuhukum kurungan itu, aku dengar kau sendiri yang menjemputnya di ruang bawah tanah. Bahkan kau memperlakukan dia dengan baik. Apa harus kau melakukan itu?" tanya Devan dengan sinis. Pandangannya seolah tidak suka dengan sikap Andini itu. "Kau yang menghukumnya, lalu kenapa aku yang harus mengurusnya? Pertanyaan itu 'kan yang ingin kau tanyakan?" Dengan wajah yang datar Andini mengatakan itu, seolah ia menantang Devan. "Sudah kuduga, kau memang pintar membaca situasi. Lalu, kenapa kau melakukan itu? Kau ingin semua orang memandang bahwa aku adalah orang yang kejam? Menghukum orang yang tidak bersalah! Itu 'kah yang ingin kau tampilkan?" teriak Devan. Bukannya takut atau terkejut dengan kemarahan Devan, A
"Nyonya Muda! apa Nyonya sudah tau tentang berita itu?" tanya Lia saat sedang asyik merias wajah Andini. "Berita apa?" Andini yang sibuk dengan urusan pekerjaan berapa hari ini tidak terlalu memperhatikan pembicaraan yang beredar. "Berita bahwa Tuan Muda akan mengenalkan gundiknya ke acara pesta makan malam.""Pesta makan malam? Kapan? Kenapa Mas Devan tidak memberitahuku?" batin Andini. "Benarkah? Aku tidak tau! Bahkan aku tidak tau kalau akan diadakan pesta makan malam." sahut Andini apa adanya. "Hah, dasar! Apa sekarang Tuan Muda sudah lupa siapa istrinya setelah kedatangan wanita itu? Bahkan mereka tak malu bermesraan di depan kami," ucap Lia kesal. Andini termenung mendengar ucapan Lia. "Hey, Erick!" Devan melambaikan tangannya memanggil pelayan pribadinya. "Iya, Tuan!""Ikut aku sebentar!" Erick mengikuti Devan ke ruang kerjanya. "Kau, ajarkan Silvi tentang 𝘛𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘮𝘢𝘯𝘯𝘦𝘳! Jangan sampai membuatku malu nanti!""Baik, Tuan!" Erick menunduk. Erick melaksanakan per
David berjalan-jalan melihat taman luas yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang terawat itu. Saat tengah asyik berjalan sembari menikmati pemandangan taman yang asri. David melihat seorang wanita cantik yang tengah berdiri dengan anggunnya. David memperhatikan dari jauh wanita itu. Dia mencoba mengenali. "Bukankah itu istrinya Devan?" lirihnya."Sedang apa dia di sini?" gumamnya lagi. David berjalan mendekati Andini. "Selamat malam, Nyonya Andini!" sapa David. Andini memalingkan badan ketika mendengar sapaan itu. Setelah mengetahui kalau yang memanggil adalah rekan kerja suaminya. Andini mengangguk dengan penuh rasa hormat. "Selamat malam juga, Tuan David," jawab Andini dengan anggunnya. "Sedang apa, Tuan David di taman ini?" tanya Andini. "Apakah saya boleh bertanya hal yang sama kepada orang yang menanyai saya ini?" Bukannya menjawab, David malah bertanya balik. "Haha...!" Andini tertawa pelan. Membuat David sejenak terpikat akan kecantikannya. "Cantik...!" gumam David tanpa
"Apa maksudnya ini, Devan? Siapa wanita ini?" bentak Tuan Besar. Tuan Besar terlihat nampak sangat marah. Dia memanggil Devan beserta gundiknya itu setelah semua tamu sudah pulang. Silvi yang ketakutan memegang lengan baju Devan dengan wajah yang tertunduk. "Mas! Aku takut!" cicitnya. "Apa katamu tadi? Mas? Hah? Berani sekali kamu memanggil anak saya dengan sebutan, Mas!" Nyonya Besar memandangnya sinis. "Panggil dia, Tuan Muda! Ingat! TUAN MUDA!" sambungnya lagi dengan menekan kata-katanya. "Cepat, jelaskan pada kami Devan. Siapa perempuan ini?" Nyonya Muda semakin geram dengan kelakuan anaknya apalagi wanita itu selalu menempel kepada Devan. "Hei, kamu! Lepaskan anak saya!" bentaknya kepada Silvi. Silvi berusaha menahan tangis. Matanya memerah. "Mas!" Dia memandang Devan dengan wajah memelas. "Hei! Dasar nggak tau sopan santun kamu, ya? Panggil Devan dengan sebutan Tuan Muda," pekik Nyonya Besar. Andini diam saja melihat kedua orang itu di sidang oleh mertuanya. Dia tak ing
"Bagaimana, Dok, keadaan Silvi?" tanya Devan kepada dokter pribadi keluarganya. Setelah kejadian ambruk tadi, kedua orang tua Devan membiarkan anaknya membawa Silvi ke tempat tidur. "Tidak terjadi hal yang serius, Tuan Muda! Dia hanya kecapekan. Dan saya menyarankan, sebaiknya bawa dia periksa kedokter kandungan. Sepertinya dia hamil."Semua orang yang berada di sana tercengang. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter. "Apaa, Dok? Hamil?" Devan, mama dan juga papanya berkata bersamaan. Andini juga berada di sana. Mendengar kata hamil membuat hati Andini terasa nyeri. Jujur, meski pernikahan mereka karena bisnis. Namun, tak dipungkiri bahwa Andini sebenarnya juga menginginkan hal yang semua wanita bisa rasakan. Berbeda dengan Devan yang tersenyum semringah. Kedua orang tua Devan hanya terlihat bingung. Memiliki cucu dari Devan adalah impian mereka. Terlebih Devan adalah anak mereka satu-satunya yang akan mewarisi perusahaan yang mereka bangun dari dulu, tentu harus me
"Saya pelayan yang akan menemani Nona!" ucap pelayan di balik pintu. "Masuk saja!" balas Silvi. "Baik, Nona!""Kira-kira dia dengar tidak ya, apa yang aku katakan tadi?" batin Silvi. KRIETT... Si pelayan masuk dengan membawa senampan makanan. "Ini kudapan untuk memulihkan tenaga Nona!" ucap si pelayan ramah. "Terimakasih!" Silvi membalas sama ramahnya. "Silahkan dimakan Nona! Tuan Muda ingin anda memakan semua makanan ini."Mata Silvi berbinar melihat makanan enak yang selama ini tidak pernah ia rasakan. "Apa boleh saya habiskan?" Silvi menelan salivanya. "Tentu, Nona!"Silvi segera melahap makanan yang ada di atas nampan itu dengan cepat. Wajahnya pun sampai belepotan karenanya. "Wajahnya sih, cantik tapi makannya kok, serem banget ya? Kayak anak kecil. Apa orang hamil makannya seperti ini, ya?" batin si pelayan. "Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Silvia merasa risih diperhatikan begitu oleh pelayan. "Ah, maaf, Nona! Saya hanya terpesona melihat wajah Nona! Sangat ca
"Saya sudah menduga, Nyonya! Tidak mungkin Tuan Muda membawa seorang wanita ke rumah ini kalau tidak ada hubungan apa-apa," ucap Lia geram. "Pantas! Tuan Muda merasa sangat bertanggung jawab kepada wanita itu. Rupanya mereka..." Lia menggepalkan tangannya. "Sudahlah, Lia! Kau tidak perlu merasa kesal," ucap Andini menenangkan. "Bukankah sudah tau konsekuensinya seperti ini?" timpalnya lagi. "Tapi, Nyonya! Bukankah itu suatu penghinaan terhadap Nyonya? Kalau Tuan Muda ingin mencari istri siri, setidaknya harus yang derajatnya tidak terlalu jauh dengan Nyonya.""Apalagi wanita itu pandai sekali berkata manis. Sok polos!" Lia benar-benar terlihat kesal. "Apa Nyonya benar-benar tidak apa-apa? Pasti setelah ini wanita itu akan semakin kurang ajar!" "Haah!" Andini hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya dia pun sudah muak dengan wanita itu. Dia bisa membaca sifatnya yang manipulatif. ****Seminggu setelah kejadian itu. Devan kembali mengadakan pertemuan dengan para koleganya. Di rumah
Setelah sembilan menunggu kehadiran anak yang dikandungnya. Akhirnya keinginan Tuan William dapat diwujudkan oleh Nyonya Marissa. "Selamat, Tuan! Anak anda terlahir selamat dan berjenis kelamin laki-laki," ucap si dokter. Meski sudah yakin, kabar itu tentu saja membuat Nyonya Marissa kaget sekaligus senang. "Boleh saya melihat anak saya, Dokter?" pinta Nyonya Marissa. "Tentu, Nyonya!" Dokter wanita yang seumuran dengannya itu menyetujui. "Suster!" panggilnya. "Bawakan kemari anak Nyonya Marissa dan Tuan William.""Baik, Dok!" Suster itu bergegas menuruti perintah dokter. "Ini, Nyonya! Dia sangat tampan. Wajahnya perpaduan antara Nyonya dan Tuan," puji si Dokter. "Haaa... Anakku!" Nyonya Marissa memeluk Devan kecil dengan erat dan penuh kasih sayang kala itu. Tak sadar air matanya jatuh begitu saja. Dia menganggap anak ini pembawa keberuntungan baginya. Setelah puas menumpahkan perasaan harunya, Nyonya Marissa kembali menatap wajah suaminya. "Aku sudah memberikanmu anak laki-la
"Silvi! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" "Apa itu, Tuan? Silvi jadi penasaran," ujarnya dengan nada yang dibuat manja. "Apa... Apa kamu bersedia untuk menjadi Nyonya utama di rumah ini?" Silvi terkejut. Pertanyaan Devan membuatnya tercengang. "Apa Tuan serius? Atau pertanyaan Tuan ini hanya ingin mengetes saya saja?" Silvi ragu sebab di awal pertanyaan, Devan seperti ragu saat mengatakannya. "Tidak! Saya serius. Apa kamu mau?" Silvi menunduk. Dia ragu ingin menjawab apa. "Semua wanita, siapa pun itu. Pasti tak akan menolak untuk menjadi pendamping Tuan Devan dan menjadi Nyonya utama. Saya pun begitu, tetapi... Apa Tuan yakin untuk menjadikan saya Nyonya utama?" lirih Silvi. Lain di mulut, lain di hati. Itulah yang saat ini Silvi katakan. Dia berusaha menarik ulur agar bisa memastikan kalau pertanyaan Devan benar-benar serius memintanya untuk menjadi Nyonya utama. Devan gemas. Dia takut kalau Silvi menolak, terpaksa dia harus mencari wanita lain lagi untuk
Devan diam tak berkutik. Dia tak bisa membela Silvi sama saat seperti mamanya memojokkan Silvi waktu itu. "Ingat, Devan! Kamu tau 'kan peraturan mutlak di rumah ini? Anak dari hasil hubungan gelap maupun anak dari istri kedua tidak akan bisa menjadi penerus. Hanya anak dari istri sah dan pertama saja yang bisa diangkat menjadi penerus keluarga." Nenek Grace menekankan. "Benar, Devan! Meski wanita itu sudah kamu nikahi secara sah sekalipun, anak yang ada di dalam kandungannya tidak bisa menjadi penerus. Apalagi wanita itu hanya kamu nikahi secara siri." Kakek Devan ikut menimpali. "Segeralah lakukan pemeriksaan dan fokus untuk memberikan keluarga ini seorang penerus. Kami berharap banyak padamu." Setelah mengatakan itu, Tuan Bill dan Nyonya Grace pergi begitu saja. Devan terduduk. Tenaganya seakan terkuras habis dengan kedatangan mendadak nenek dan kakeknya. Erick menghampiri Devan yang shock. "Tuan Muda tidak apa-apa?" "Tak apa. Aku hanya shock dengan kedatangan merek
Silvi yang terbawa emosi, menampar wajah Rania dengan keras. Hingga meninggalkan bekas merah di pipinya. "Kauuu!" desis Rania. Dia mengangkat tangan ingin membalas tamparan Silvi, namun dengan cepat Rania berhasil mengendalikan emosinya. "Sifat burukmu itu memang tidak bisa diperbaiki. Baru menjadi 'mainan baru' Tuan Devan saja, sudah berani bersikap kurang ajar! Ternyata bukan hanya sifatmu saja yang jelek, kau juga wanita murahan.""Dasar Kau memang wanita rendahan!" Rania pun berlalu meninggalkan Silvi. Tangan Silvi gemetaran setelah menampar pipi Rania. Dia begitu ketakutan. "Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan Tuan Radit kepadaku?" Saking takutnya, tanpa sadar dia menggigit kuku jarinya. Keesokan harinya Tuan Radit kembali mendatangi Silvi setelah mendapat laporan dari anaknya kalau wanita itu menamparnya. "Apa yang kau lakukan kepada anakku, Rania?" Wajahnya terlihat sangat marah. "Itu salah anakmu sendiri. Kenapa dia tak bisa menjaga mulutnya." Silvi berkata dengan ra
"Tuan Radit kembali menemui Nona Silvi, Nyonya!" ujar pengawal Andini. "Dia menemuinya lagi?""Iya!""Apa yang sedang mereka lakukan, ya? Semenjak kejadian itu mereka menjadi sering bertemu. Apa Tuan Radit sedang mengancamnya?" pikir Andini. "Baiklah! Terimakasih. Kau boleh pergi."Setelah pengawal itu pergi, Bu Dewi berkata, "Apa besok karena Nyonya ingin berbicara secara pribadi dengan Nona Rania?""Wanita itu memanggil Tuan Radit pasti ingin menyuruh Nona Rania diam. Dasar wanita licik!" sambung Lia geram. "Yang aku inginkan bukan itu." Andini tersenyum. "Pancingan ku berhasil. Kalau sampai wanita itu takut seperti ini, pasti ada yang dia sembunyikan. Tapi... Apa ya?" pikir Andini. "Kalau bukan untuk mengorek informasi dari Nona Rania. Apa yang membuat Nyonya mewawancarai Nona Rania secara khusus?" Lia heran karena tidak biasanya Nyonya Mudanya ini berbuat begitu. "Seperti ini saja sudah cukup bagiku. Menekannya seperti ini." Bu Dewi dan Lia saling pandang mereka tidak menger
"Saat itu aku sangat ketakutan. Berbeda denganmu, kau tidak akan kehilangan apa-apa.""Heh! Kau memang lelaki egois.""Aku..." Pria itu tak dapat membalas. "Aku tidak ingin membahas masa lalu. Kalau begitu sekarang kau mengerti dengan posisiku 'kan, Dilan? Karena saat itu kau juga merasakannya." Silvi memandang sinis kepada mantan majikannya ini, anak Tuan Radit. "Kau bisa membuatku kehilangan segalanya sekarang. Jadi, berpura-puralah tidak mengenaliku dan urus adikmu yang tidak tau sopan santun itu," ujarnya tegas. Silvi berlalu meninggalkan Dilan seorang diri. "Sekarang aku bukan wanita yang lemah. Aku bahkan bisa berkata tegas kepada seseorang yang dulunya majikanku," ujarnya dalam hati sembari menyeringai. Silvi berjalan angkuh, mengangkat wajahnya. Selayaknya seorang Nyonya.Dilan memandang sendu dengan kepergian Silvi. Tak ada lagi sikap polos dan lembut dari diri wanita itu. ****Keesokan harinya Silvi mengajak Rafael bertemu. "Ada apa Nona mengajak saya bertemu?" Rafael
Devan mengepalkan tangannya, kesal. "Kau terlalu menganggap harga dirimu terlalu tinggi hingga enggan untuk mengakui kesalahan.""Seorang pemimpin perusahaan sepertiku harus mengganggap dirinya tinggi, tetapi bukan berarti aku bisa seenaknya menuduh orang tanpa bukti. Hanya menyimpulkan berdasarkan kejanggalan dan prasangka." Andini menjawab dengan tenang dan datar. Andini berusaha tidak menghiraukan Devan, namun pria itu terus saja mengganggunya. "Kalau aku sudah bilang menyelidiki tapi tidak mendatangimu untuk meminta maaf, itu berarti aku tidak menemukan kalau anggota keluargaku pelakunya." Andini meninggalkan Devan yang masih kesal. Dia memutuskan untuk bersantai sejenak di taman bagian samping yang tak biasa dilalui oleh orang. Berdebat dengan Devan membuat moodnya menjadi semakin jelek. "Hah! Aku tak tau apa yang ada di pikirannya sehingga senang sekali mengaitkan apapun yang terjadi kepada wanita itu denganku." Andini bergumam dengan menghela nafas berat. Devan yang kesal
"Heh, aku kira kau sudah pergi. Ternyata masih menunggu di sini! Harga dirimu tinggi juga, ya?" sinis Devan. Andini tersenyum, "Ini 'kan yang kau inginkan dariku?"Devan menyinggungkan bibirnya. "Kau memang wanita yang penuh dengan kejutan, ya? Tentang Silvi maupun yang ini.""Kau terlalu cepat menyimpulkan. Mengaitkan tentang Silvi.""Sekarang bukan waktunya untuk mengelak. Aku sudah berbaik hati menutupi masalah ini karena kakakmu yang terlibat.""Apa kau yakin pelakunya adalah Kaisar?" tanya Andini dengan wajah yang datar. "Menurutmu? Kau tentu tau, siapa yang nekat melakukan hal seperti ini kalau bukan kakakmu yang tempramen itu? Bahkan semua kejanggalan mengarah padanya. Dia akan melakukan apapun untuk adiknya ini, bukan?" Bukannya marah, Andini malah menatap Devan dengan pandangan datar. "Jadi, kau mengira kakakku pelakunya hanya karena sebuah kejanggalan?""Apa itu artinya kau masih bersikera
"Siapa wanita itu? Apa salah satu wanita yang ingin mencari perhatian kepada David?" tanya Camelia dalam hati. Dia pun memutuskan untuk mendekati mereka berdua. "Hey, David! Siapa wanita ini?" tanya Camelia ramah. "Oh! Ini Nyonya Andini, Bu! Dia salah satu rekan bisnisku!" sahur David. Meski panggilan 'Ibu' terdengar tidak enak di telinganya. Camelia tersenyum saja. "Oh, benarkah? Aku pikir salah satu perempuan yang ingin kau goda! Ingat, permintaan Ayahmu, Vid!" Camelia seolah terlihat baik menegur David tentang janjinya kepada ayahnya agar berhenti merayu perempuan. Dan mulai fokus mencari istri. "Haha..." David tertawa santai. "Aku ingat, Bu!""Kau harus mulai fokus mencari istri 'kan?""Ah, benarkah itu, Tuan David?" Andini terkejut dengan berita yang ia dengar."Haha... Iya, Nyonya! Saya harus segera mencari pendamping dan membantu saya bekerja mengurus perusahaan Ayah!" David bercanda seperti biasa. "Semoga anda lekas menemukan wanita itu, Tuan!" Andini mendo'akan. "Saya
"Katakan padaku apa yang kau dapatkan tentang wanita itu?" Kaisar mendesak Tomi untuk mengatakannya. "Sabar! Aku akan mengatakannya setelah ini!" Tomi meneguk habis minumannya yang tersisa sedikit. GLEK... GLEKK... "Wanita itu dulunya adalah pembantu.""Pembantu?""Iya! Kau tau, Tuan Radit?" "Iya, aku tau! Aku pernah melihatnya sekali sebelum aku pergi ke luar kota.""Nah! Wanita itu adalah mantan pembantu di rumahnya.""Wah! Benarkah?""Iya! Entah karena masalah apa wanita itu kabur dari rumah Tuan Radit. Dan saat di pesta Tuan David, mereka bertemu dan Tuan Radit mengatakan di depan semua orang kalau wanita itu mantan pembantunya yang kabur. Saat orang-orang penasaran dengan apa yang terjadi sehingga membuatnya kabur, sebelum Tuan Radit mengatakan alasannya, wanita itu malah pingsan.""Apa kau sudah dapat apa alasan wanita itu kabur dari sana?""Belum! Tetapi aku sedang menyuruh orang mencari tau.""Keesokan harinya Tuan Radit dipanggil oleh Tuan Devan ke mansionnya dan Tuan Rad