Ucapan Khaisan yang bilang ingin menikahi dirinya, membuat sesak napas sejenak. Merasa itu hanya berkelakar yang sengaja mencemooh Sazlina sebagai penyandang status seorang perawan tua yang dilangkahi. “Jangan bercanda hal seperti ini. Bersikap dan bicaralah yang baik pada wanita. Kamu sengaja ikut mencemoohku?” tanya Sazlina kesal dengan perasaan campur baur. Namun, melihat ekspresi serius di wajah Khaisan, justru membuat detak jantungnya melaju. Bukan sekali dua kali mendapat ajakan menikah dari lelaki, tetapi rasa hati hanya enggan dan menolak tak berminat. Meski menyadari yang diri perlu pendamping hidup di usia yang tidak lagi belia. “Aku tidak bercanda, aku serius. Ada keluargaku di resepsi ini. Aku akan menyampaikan niatku ini di depan mereka. Namun, jika kamu setuju…,” ucap Khaisan sambil menyambar ponsel dan mengantonginya. “Tapi… aku tidak tahu siapa kamu dan bagaimana keluarga kamu. Sebenarnya, aku ingin menikah dengan lelaki yang setidaknya sama level dengan suami adik
Singkatnya …. Meski hanya di halaman rumah yang tidak terlalu luas, Khaisan dan keluarga telah menyulapnya menjadi luar biasa berkelas. Akad nikah sekaligus resepsi pernikahan dengan kesan wah pun berhasil diselenggarakan tanpa halangan. Hingga akhirnya, semua undangan perpamit salam dengan wajah sumringah dan takjub. Bagaimana tidak, setiap kepala yang datang akan mendapat souvenir berisi celengan bentuk hewan yang beragam beserta isinya sekalian. Uang satu juta dalam celengan itu sudah membuat mereka berubah sikap dan pandangan pada Sazlina seketika. “Aku sudah menepati janji, kan? Mereka tidak akan lagi menjulidmu.” Khaisan tiba-tiba berbisik di telinga Sazlina. “Ide siapa?” tanya Sazlina pada lelaki rupawan di sampingnya. Hanya dengan menatap, perawakan gagah dan wajah tampan itu sudah membuat hati berdebar tak karuan. Sekali lagi Sazlina menyangka jika dirinya sudah mulai menyukai dan kini telah rela dinikahi. “Menurutmu lebih disukai yang mana, uang tunai atau menginap sem
Sazlina memandang pintu kamar yang menutup sambil menangis. “Apa dia sudah punya wanita lain…?” bisik Sazlina meratap. Rasa sedih dan terhina membuat terus menangis. Kesal pun, harusnya tidak perlu melibatkan perasaan yang menjadikan hati berharap. Patutnya menikah hanya demi menutup status sebagai perawaan tua yang dilangkahi. Ternyata tidak, penolakan Khaisan di malam pertama pengantin telah membuat Sazlina amat sedih. Menduga jika suaminya sudah punya wanita yang dicinta hingga tidak ingin menyentuhnya. Meski memang lambat menikah, tetapi Sazlina percaya jika lelaki mana pun akan tergoda bila memandangnya dengan penampilan seterbuka begini . Tetapi Khaisan… bahkan sudah keluar kamar tanpa basa-basi apalagi menolehnya! Sakit, tetap saja sakit! Di luar kamar….Khaisan agak terkejut, mengira jika orang tuanya sudah pergi dari rumah ini, ternyata masih berbincang di depan televisi. “Hei, Kha! Ngapain keluar? Nggak sopan ninggalin istri sendiri di kamar! Ini hampir tengah malam!
Khaisan sedang menutup telepon dan menggeret koper saat Sazlina menyusul masuk ke dalam kamar. Berhenti setelah pintu kamar kembali menutup rapat.“Bersiaplah, kita berangkat duluan saja. Biarkan mereka menyusul!” ucapnya dengan menatap teduh pada Sazlina. Bagaimanapun memahami perasaan wanita yang sedang berusaha menahan tangisan di depannya. “Aku ingin menunggu ibuku…,” ucap Sazlina ingin menolak. Bimbang sangat besar yang dirasa. Bagaimana bisa telah menyanggupi untuk ikut lelaki yang sangat asing ke negeri orang? Sedang lelaki itu tidak mau menjamin bahagianya. Meski dia adalah suami nya sekalipun! “Tadi pagi kita sudah minta restu. Ibumu justru terlihat bahagia. Jika kita belum pergi, ibumu pasti akan kecewa!” tegas Khaisan bermaksud membujuk. “Untuk apa aku ikut…?” tanya Sazlina masih merasa ragu. “Tentu saja sebagai bukti jika aku sudah punya istri.” Khaisan menyahut cepat tanpa beban. “Jadi, hanya untuk dipamerkan?” Sazlina menahan sesak di dada. Berusaha ikhlas dan taba
Total waktu penerbangan selama dua belas jam dari Surabaya yang sempat singgah di Jakarta dengan tujuan Tokyo di Bandar Udara Internasional Narita pun berakhir. Mereka sampai di malam hari dan mendekati tengah malam. Sungguh melelahkan. “Mas bawakan koperku, aku mau ke toilet.” Clara mengulurkan koper warna kuning ke dekat Khaisan dan melenggang pergi menuju arah toilet. Sazlina yang juga ingin ke toilet pun menahan diri sebab enggan bersembang lagi dengan Clara di tempat yang seharusnya berasa nyaman dan santai. “Aku buru-buru, jika ingin ke toilet lekaslah.” Khaisan bicara seolah bisa membaca ekspresi Sazlina yang menahan rasa. “Duluan saja, nanti aku menyusul.” Sazlina menolak didesak juga tidak ingin membebani. “Aku tidak mau repot jika kamu gagal menyusulku.” Khaisan berkata tegas sambil mengedar pandangan pada banyak orang di dalam bandara saat malam. “Habis ini memang tujuannya ke mana?” tanya Sazlina tenang. Merasa jika Khaisan mungkin lupa dirinya pernah sebagai pendata
Meski ingin menangis dan nelangsa, Khaisan bersikap seperti tanpa aba-aba yang kini sudah tanpa sehelai pun benang di badan, Sazlina tidak ingkar jika semua adalah inginnya yang sadar. Telah memulai dan memancing, sengaja membangunkan buaya darat untuk siuman. Demikian juga Khaisan yang sudah siaga sekarang. Tubuh tegap sempurna tak berbaju bak pawang kolam renang itu sedikit mendekat tanpa segan pada Sazlina. Dengan burung bagusnya yang tak lagi di sarang dan telah gagah mengembang siap terbang ke awang. Khaisan menatap dalam wajah Sazlina “Kamu ingin tahu, apa guna Clara?” tanyanya dengan wajah memerah dan tegang. Tatapan dalam itu membuat Sazlina jadi gentar. Bayang jika akan diperlakukan kasar mendadak mendera. Sekali lagi sebab terlanjur basah dan pasrah sebagai istri sah pun membuatnya lebih tenang. Juga menimbang jika Khaisan adalah lelaki berwawasan dan dari keluarga baik-baik yang bahkan mamanya adalah teman baik ibunya. Setidaknya dengan fakta tersebut, lelaki good look
Khaisan berjalan cepat sebab penasaran. Perempuan berhijab serta bergamis panjang itu turun tangga dengan langkah cepat dan kini menuju ruang makan yang sama tujuan dengannya. Siapa? Clara… ah, bisa jadi, mungkin gadis itu belum mandi. Mengingat hanya dia di rumah ini yang tergerak hati untuk menutup diri dengan busana syar'i meski tidak jarang ditanggalkan. Tetapi, Clara dari mana? Bukankah kamarnya di ujung? Namun, siapa sosok pembuat penasaran itu segera terjawab saat Khaisan menarik kursi di meja makan dan menghadap perempuan itu. Sazlina…! “Akan ke mana kamu, Saz?” tanya Khaisan tidak tahan membungkam. Merasa heran dengan penampilan Sazlina yang tidak seperti biasanya. “Tidak ke mana-mana. Aku hanya ingin menutup aurat dan berbaju layak sebagai muslimah. Meski… ilmu agamaku tidak sedalam palung dan hanyalah sebatas parit.” Sazlina menyahut cepat dengan ekspresi yang biasa. Seolah kejadian menyakitkan dalam kamar mandi dengan Khaisan tidak pernah terjadi. “Siapa yang tidak b
Sazlina membiarkan diri terus dipelluk oleh lelaki yang sedang menatap heran padanya. Tangan Sazlina dapat merasa detak jantung yang laju di dadda Khaisan. Mungkin lelaki itu masih merasa terkejut dan panik saat menangkap dirinya yang hampir terjengkang. “Saz…,” ucap Khaisan sambil menatap dalam mata coklat milik wanita yang mematung di pelukan. “Iya, ada apa? Kenapa tidak fokus dan buru-buru hingga menabrak? Padahal aku sudah menepi…,” tanya Sazlina sambil bergerak dengan menepuk-nepuk lembut jas biru tua di dadaa Khaisan. Tidak ingin debaran hatinya yang kencang dirasa oleh lelaki yang rapat memeluknya. “Mereka semua sedang menunggu di taman. Kenapa kamu jadi seperti ini?” tanya Khaisan yang masih urung mengalihkan tatapan pada wajah Sazlina.“Jadi seperti ini bagaimana? Apa kamu masih merasa malu untuk membawaku ke taman? Aku sudah ke salon, kuharap aku tidak akan membuatmu malu lagi. Apa aku tidak….”“Cantik. Kamu terlihat cantik dan memesona, Saz. Terima kasih.” Khaisan memoto
Dengan bungkam, Sazlina mengambil gamis dan kerudung dari ransel. Berniat membawa masuk ke dalam kamar mandi di pojok ruang. Melewati Khaisan yang duduk di ranjang sambil terus melihatnya. “Kenapa bawa baju ke dalam? Itu kan ribet, Saz. Lagipula kamar ini cukup luas hanya untuk menampungmu bertukar baju,” tegur Khaisan menahan gelisah dan kesal. Sazlina benar-benar terus menghemat suaranya. Sial lagi, sejak terungkap hal besar bahwa sang istri adalah penyelamat di masa lalu, membuat perasaannya canggung dan segan. Khaisan seperti mati kutu dengan tatapan dingin Sazlina. Menjadikannya serba salah. Perempuan yang ditegur tidak menyahut. Terus berjalan hingga tenggelam di balik pintu kayu kamar mandi yang mengkilat berpelitur. “Ck…!” Khaisan bedecak keras sebab merasa suntuk. Tidak terima dengan sikap Sazlina yang berubah acuh tak acuh dan mengabaikan. Namun, sesuatu yang teronggok di atas karpet membuatnya tersenyum dan berdiri dengan cepat. Itu adalah barang pribadi milik Sazlina
Sazlina tidak sengaja memandang Khaisan yang ternyata juga tengah menolehnya. Mereka saling menatap sejenak dengan pikiran yang sama-sama berputar. Ekspresi mereka tegang dan tanpa senyuman. “Tunjuklah, kamu yang mana, Sazlina?” tegur Khaisan kemudian tanpa berpaling pandang. “Ini sebenarnya kalian kegiatan apa sih di foto itu? Kok ternyata kalian gak saling tahu?” tanya Shanumi heran dan tidak sabar juga. “Lokasi foto itu adalah di pemandian air panas di Cangar, Shan dan itu bukan kegiatan,” ucap Sazlina lirih tetapi yakin. “Kamu yang mana, Sazlina?” tegur Khaisan lagi. Merasa tidak sabar dengan Sazlina yang tidak juga menunjukkan fotonya yang mana. “Aku… yang berdiri di samping Bapak Tentara ini. Pake kerudung warna pink.” Sazlina menjawab yakin sambil menatap foto dan Khaisan bergantian. “Jadi, kamu benar-benar yang itu?” tanya Khaisan sambil menunjuk foto dengan ekor mata. Gadis polos belia berkerudung warna pink yang imut dan manis. Terlihat lebih mencolok dari para perempu
Bukan taksi yang membawa Khaisan dan Sazlina dari stasiun menuju rumah Oma di Osaka. Tetapi Daehan sendiri dengan mobil sang nenek yang hanya sentiasa terparkir di garasi sebagai pajangan selama ini, amat sangat jarang digunakan. Apalagi setelah suami tiada beberapa bulan lalu. Sopirnya pun sudah dipensiunkan. Hanya kadang akan mencari sopir sewa atau menaiki taksi saja untuk bepergian. Itu pun sangat jarang, mengingat kondisi Oma yang menghalangi untuk membuat perjalanan jauh. “Kamu yakin, Oma baik-baik saja di rumah?” tanya Khaisan dengan nada gusar. Menatap Daehan yang mengemudi di sebelahnya. Sazlina dibiarkannya duduk sendiri di belakang. “Soal itu… dia barusan kritis, mana bisa yakin. Shanumi dan perawat sedang jaga di rumah. Selama mereka gak ngasih kabar buruk, anggap saja Oma lagi aman. Lagipula sambil beliin dia resep Kampo.” Daehan menjelaskan sambil fokus mengemudi. Terlihat santai yang jauh dari panik. Khaisan terdiam, merasa sedikit lega akan kondisi lumayan omanya.
Hana dan Daishin telah selesai berbicara. Meski tidak lama, lumayan menyampaikan segala masalah mengganjal pada keduanya. Hana berniat meninggalkan ruang pantry. “Matikan airnya, Shin.” Hana menegur Daishin yang membiarkan air dari kran di wastafel terus mengalir. Lelaki itu terus menadah tangan di bawahnya dengan bungkam dan mematung. Mungkin omongan Hana barusan cukup mengena dalam di perasannya kali ini. “Mama akan turun. Kamu cepat istirahat. Jika kondisimu bagus, kita juga nyusul ke Osaka besok saja. Semoga kondisi ibu mertua lekas membaik. Hmm… apa kereta tercepat masih ada malam-malam begini?” Hana berbicara lagi setelah Daishin mematikan kran hingga airnya mati total. Nada suara yang biasa dan seolah tidak ada hal mengganjal apa-apa lagi di hatinya. Hana teringat pada Sazlina dan Khaisan yang seharusnya sudah siap meluncur ke Osaka. Jika siang akan mudah dengan menaiki kereta cepat Nozomi Shinsaken. Namun, jika malam begini, adakah? Sedang jam operasi maksimal untuk stasi
Pantry yang tidak luas itu terasa lebih lapang sebab lengang. Meski auranya panas dan penuh bara api. Sazlina hingga menahan napas dan tegang. Menduga jika Khaisan sedang sangat marah. Bersyukur dirinya tidak mengeluh berlebihan. Bukan dirinya yang dipikirkan, tetapi Daishin yang akan mendapat murka dari suaminya. “Ulangi tadi apa yang kamu bilang pada istriku, Daishin…!” Khaisan memecah hening dari kebungkaman mereka yang lama. Suaranya tajam dan keras. Cukup menggema di sekitaran ruang pantry dan penjuru lantai dua. Daishin mungkin sudah menduga, tetapi gerakan tangan dari mengaduk sup di mangkuk terjeda. Seolah sedang berpikir apa yang akan dia ucapkan. Lalu memutar kursi dan berhadapan pandang langsung dengan Khaisan. “Maaf, Mas. Mungkin aku lancang kali ini. Tetapi aku sudah tidak bisa menahan diri. Jujur, aku pernah suka dengan Sazlina saat di agensi. Tetapi dia terus menolak dan tiba-tiba pulang ke Indonesia. Sekarang tiba-tiba bertemu dan tiap hari melihat, perasaan itu da
Ada satu handuk baju di dalam kamar mandi. Mungkin Khaisan sengaja menyisakan untuk di pakai oleh Sazlina. Lelaki itu lebih memilih selembar kecil handuk untuk dililitkan di tubuh saat sudah keluar dari kamar mandi. “Untuk apa baju basah itu dibawa-bawa?” tegur Khaisan. Merasa tidak suka melihat Sazlina menenteng baju kotornya yang basah. “Kubawa ke kamarku, akan kucuci dan kujemur.” Sazlina sambil salah tingkah, bingung dengan tetesan air dari baju basah di tangannya ke lantai. “Letak kembali di dalam, biar diurus Mijhe. Lekas ganti baju, nanti kamu masuk angin,” ucap Khaisan pelan. Paham jika Sazlina merasa segan. Sazlina yang galau tidak membantah, segera masuk kembali ke kamar mandi dan meletak seluruh baju basahnya di sudut. Berpikir Mijhe akan maklum sebab sudah tahu tentang pernikahannya. Kemudian keluar lagi dengan perasaan berdebar. “Aku akan ke kamarku, tukar baju.” Kata Sazlina sambil tergesa menuju pintu. “Ada banyak baju di almari!” seru Khaisan bermaksud menahan.
Setelah meladeni wawancara heboh dari mamanya, juga beberapa pertanyaan dari papanya, serta dilepas oleh pandangan masam dari Clara, Khaisan membawa Sazlina naik tangga ke lantai dua. "Mas Daishin ke mana...," gumam Sazlina lirih sambil mengikuti Khaisan. "Dia sudah besar. Tidak usah dicari-cari." Khaisan yang mendengar pun menyahut datar. Kemudian menghentak tangan kecil yang terasa halus di genggamannya. “Aku…,” ucap Sazlina tercekat saat Khaisan menyeretnya menepi ke arah kamar miliknya. Perasaannya berdebar dengan apa yang bakal terjadi kemudian. Pikiran nakal di kepalanya seketika menggoda. “Kenapa, keberatan? Siapa yang ngotot ingin dibawa ke kamarku?” tanya Khaisan sambil membuka pintu kamar yang tidak dikuncinya. “Aku … tidak. Tapi, kamu tidak akan berbuat hal jahat, kan?” tanya Sazlina asal. Hatinya semakin berdebar. “Bagaimana jika iya?” tanya Khaisan. Senyum samarnya terlihat dalam remang. Lampu lorong balkon selalu dimatikan Mijhe selepas waktu isya. Hanya sorot bula
Sazlina yang sangat terkejut dan takut, merasa itu semua ternyata sangatlah sia-sia. Khaisan hanya menariknya menuju mobil yang telah dibawa driver mendekat. Bukan ke mana-mana atau menganiaya seperti sangkanya. “Kamu pikir aku psikopat?” tanya Khaisan saat mereka sudah duduk di dalam dan Sazlina berkata akan luah rasa leganya. “Kupikir kamu sangat marah…,” sahut Sazlina yang terdengar engah pada suaranya. Sisa paniknya barusan mesih melekat. “Aku tidak berbuat melampaui batas, bukan bermakna aku tidak marah. Jangan merasa senang dulu.” Khaisan menegur dengan ekspresi tidak ramah. Kendaraan berjalan pelan meninggalkan area Kingnyo di Roppongi. “Apapun perasaanmu, aku sudah minta maaf. Aku merasa senang, kamu seperti sangat peduli padaku. Tiba-tiba aku menyesal kenapa tidak menikah sedari dulu. Ada seseorang yang peduli padaku di tempat jauh, rasanya jadi haru.” Sazlina berbicara jujur dengan yang sedang dirasa. “Kamu ingin menikah dari dulu? Siapa yang kamu harap menikahimu?” tan
Khaisan membanting pintu hingga menghempas dinding dan berbunyi keras. Namun pintu yang terpental itu kembali menutup sendiri dengan perlahan. Seolah sangat rela akan perlakuan sang tuan padanya.Pria penguasa kamar menyambar dua power bank sekaligus dari laci. Tidak ingin kejadian habis baterai terulang kembali di saat yang tidak diinginkan. Lalu dibawanya ke sofa dan menghempas diri kasar di sana. Sambil menyalakan ponsel, matanya menyapu seluruh sudut kamar dengan nuansa tampak baru. Sangat segar, rapi dan bersih lebih dari sebelumnya. Sayang sekali perempuan yang ingin dibawanya dengan tidak sabar malam ini telah membuatnya marah dan sangat kecewa. Beberapa pesan yang di antaranya dari Sazlina telah dibaca segera. Hanya memberi tahu tentang perginya menemani pelancong dari Thailand dan juga ada kalimat minta maaf. “Di mana posisi mereka terakhir?” Khaisan sedang menghubungi driver yang bertugas membawa pelancong dan Sazlina. Lelaki itu sudah memberi laporan akan tugasnya sejak