Mawar mengerutkan kening begitu mendengar Bara yang meminta izin untuk bertanya. Wanita itu menatap manik tajam pria yang kini menatapnya dengan lembut. Tentu siapa yang tidak luluh dengan hal itu. Tangannya bergerak menyentuh lembut rahang tegas Bara. “Mau nanya apa? Kenapa sampai minta izin segala?” tanyanya dengan suara yang sengaja dibuat semanja mungkin. Bara memejamkan matanya sebentar lalu tangannya bergerak menyingkirkan lengan Mawar dari rahagnya dengan pelan. Ia menegakkan tubuhnya, kemudian menatap Mawar dengan serius. “Seingatku dulu aku sering membelikanmu set perhiasan, apa aku benar?” Wajah Mawar nampak semangat begitu mendengar pertanyaan Bara. Dengan segera wanita itu mengangguk–membenarkan. “Tentu saja, dulu kamu sering membelikanku perhiasan.” “Ah, jadi ingatanku tidak salah tentang itu.” Bara bergumam pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Mawar. “Sepertinya ingatanmu semakin membaik, Honey.” “Dan ini semua berkat kamu,” balas Bara sambil menatap Mawar den
Bara mulai kendali, pria itu membiarkan Mawar membuka kancing kemejanya. “Indah,” erangnya membuat gerakan tangan Mawar terhenti. Wanita itu menatap Bara dengan tidak suka. Merasakan pergerakan yang terhenti membuat Bara yang sejak tadi memejamkan mata pun membukanya. Ia menatap Mawar dengan sayu, dan pada saat itulah ia sadar kalau perempuan yang ada di depannya bukan Indah. Sontak hal itu membuat Bara bangkit. Ia berniat melangkah, tetapi Mawar yang sadar akan kecerobohannya segara menahan Bara. Wanita itu mencekal lengan Bara, tetapi dengan kasar Bara menepisnya. “Honey, kamu mau ke mana?” “Aku harus pergi,” jawab Bara dengan gelisah. Segera Mawar berdiri lalu menghadang langkah Bara. “Aku tau kamu sedang tersiksa, ayo biar aku bantu.” Rayuan Mawar sama sekali tidak membuahkan hasil. Bara mendorong tubuh Mawar agar menyingkir dari hadapannya. Setelahnya ia kembali melanjutkan langkahnya keluar apartemen. Tidak ingin usahanya sia-sia, Mawar lantas segera mengejar Bara bahkan
“Wanita licik itu,” gumam Bara dengan rahang yang mengetat, sedangkan tangannya mengepal kuat. Sehingga urat-urat menonjol dari lengannya. Bara menatap layar laptopnya dengan tajam. Setelahnya ia mengambil ponsel lantas menghubungi seseorang. “Serahkan semua bukti,” perintahnya begitu panggilan tersambung. “Baik, Pak,” sahut seseorang dari seberang sana. Setelah mengatakan itu, Bara mematikan panggilan teleponnya secara sepihak. Bibirnya menyunggingkan senyum miring. Hingga sebuah ketukan membuat Bara mengalihkan perhatiannya. “Masuk!” seru Bara kepada seseorang yang ada di luar sana. Tidak lama setelah seruan itu terdengar, pintu terbuka. Menampilkan sosok perempuan yang berjalan berlenggak-lenggok menghampiri Bara. Mawar, wanita itu berdiri di depan Bara dengan senyuman yang menggoda. “Honey, tadi malam kenapa buru-buru pulang?” tanya Mawar dengan ekspresi dibuat sesedih mungkin. Melihat itu Bara hanya menatap Mawar dengan datar. “Kamu kasih apa di minuman yang kemarin?
“Indah, ini sudah malam. Apa tidak apa-apa kamu pulang sendiri?” tanya Dirga yang nampak begitu mengkhawatirkan Indah. Setelah tadi Indah dan Dirga mengerjakan tugasnya, mereka memutuskan untuk langsung pulang karena hari sudah sangat malam. Beruntungnya Indah karena Dirga membantunya. Andai tidak ada Dirga, mungkin perempuan itu belum menyelesaikan pekerjaannya sampai sekarang. Indah yang mendengar pertanyaan Dirga pun menoleh sebentar lalu kembali melanjutkan langkahnya karena kini mereka sedang berjalan di lorong menuju lift untuk pulang. “Aku enggak apa-apa, Mas.” “Tapi aku yang enggak apa-apa,” balas Dirga membuat Indah kembali menoleh ke arahnya. “Maksud, Mas Dirga?” tanya Indah mengeluarkan rasa penasarannya. “Maksudku … aku khawatir sama kamu, Indah. Ini sudah sangat malam, tidak baik jika perempuan berkeliaran seorang diri. Terlebih kamu membawa motor, aku takut hal-hal buruk terjadi kepadamu.” Dirga menuturkan rasa khawatirnya terhadap Indah. Mendengarnya tentu s
Indah mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Bara yang terdengar tidak bersahabat. “Maksud, Mas?” Bara berdecap–mengira kalau Indah hanya sedang berpura-pura saja. Pria itu lantas pergi meninggalkan Indah yang sedang dalam kebingungan. Membuat Indah menyusul Bara karena belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. “Mas, tunggu!” Awalnya Bara ingin mengabaikan, tetapi ia urungkan ketika mendengar derap langkah Indah yang tergesa. Pria itu membalikan badan menghadap ke arah Indah. Tentu saja Indah langsung menghentikan langkahnya tepat di depan Bara. “Apa?” tanya Bara dengan wajah yang datar. Sangat berbeda dengan raut wajahnya tadi malam, dan itu membuat Indah merasa kehilangan. Perempuan itu tersenyum masam karena malah mengingat kejadian semalam, padahal Bara bersikap seolah tidak terjadi sesuatu. Membuat Indah sadar kalau di sini hanya dirinya saja yang berharap, sedangkan Bara tidak sama sekali. “Yang tadi, maksud Mas apa?” “Hanya itu yang ingin kamu tanyakan?” ta
Bara masuk ke kamar ketika Indah baru saja mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian tidur. Perempuan itu menoleh ketika mendengar derit pintu terbuka, sehingga untuk beberapa saat tatapan mereka saling bertemu. Sampai akhirnya Indah putuskan untuk mengakhiri tatapannya dengan mengalihkan perhatian ke arah lain. Indah menghampiri lalu meraih tangan kanan suaminya dan mencium punggung tangan tersebut. Namun, dengan cepat Bara menarik tangannya. Sehingga Indah yang baru saja akan mencium pun mengurungkan niatnya. “Mas, mau mandi?” tanya Indah dengan perasaan getir atas penolakan yang Bara lakukan. “Hemm.” “Kalau begitu aku siapkan dulu.” Indah berbalik berniat ke kamar mandi, tetapi diurungkan saat mendengar ucapan Bara. “Biar aku saja yang melakukannya, kamu tidurlah.” Perempuan itu berbalik–menghadap ke arah Bara. “Biar aku yang lakukan, Mas.” “Sudah aku katakan untuk kamu tidur saja, Indah!” Nada Bara cukup tinggi saat mengatakannya, membuat Indah tersentak. “Kenapa?”
Setelah diam cukup lama untuk mengontrol emosinya, Bara membuka laptopnya. Ia membuka tayangan CCTV yang sengaja ia pasang di ruang kerja Indah. Bara menatap Dirga tidak senang ketika pria itu mengajak Indah bicara. Sialnya Indah nampak terhibur karena terlihat perempuan itu yang terkekeh. “Indah, apa kamu begitu senang karena satu ruangan dengan pria itu yang kamu cintai?” Bara bergumam dengan geram, bahkan kedua tangannya terkepal erat. Melihat Indah yang nampak bahagia ketika bersama pria lain–terlebih pria dari masa lalu Indah membuat Bara geram bukan main. Ada rasa sesak dalam hatinya yang bodohnya entah karena apa. Pria itu benar-benar dibuat panas dengan pemandangan yang ada di depannya. Terlebih setelah mengetahui jika Indah dan Dirga memiliki kisah masa lalu yang menurutnya cukup dekat. Andai saat itu ia tidak memaksa Indah untuk menikah dengannya, mungkin Indah kini sudah menjadi istri dari Dirga. Membayangkannya saja sudah membuat Bara semakin sesak. “Argh! Indah,
“Mohon maaf, Pak, jika informasi yang saya bawakan kurang mengenakan.” Mendengar ucapan dari seseorang di seberang sana tentu membuat Bara gelisah. Pria itu mengepalkan tangannya kuat. “Katakan saja, tidak perlu ragu!” perintahnya tidak sabaran. “Baik, Pak. Saya menemukan sebuah fakta bahwa pria yang Anda cari tahu bertemu dengan istri Anda malam itu.” Jeder! Bagai petir di siang bolong, Bara kaget bukan main mengetahui informasi tersebut. Rahangnya mengetat hingga urat di leher begitu nampak tercetak. Tidak pernah ia bayangkan sebelumnya jika Indah akan diam-diam menemui seorang pria yang merupakan bagian dari masa lalu perempuan tersebut. Tanpa menunggu penjelasan lebih, Bara langsung mematikan panggilan teleponnya. Padahal detektif itu belum selesai menjelaskan semuanya. Ponsel Bara kembali berdering, tetapi kali ini ia membiarkan begitu saja. Pikirannya sedang kacau, dadanya terasa sesak. Bara benar-benar kecewa mendapati kenyataan ini. “Indah, aku enggak akan tinggal di