Bara dengan sigap menahan tubuh Indah yang hampir sama ambruk. Pria itu memeluk Indah erat lalu membopongnya sambil berjalan cepat menuju lobi. Beberapa karyawan yang sedang berada di lobi pun cukup kaget begitu melihat pemandangan barusan. Mereka langsung menyingkir memberikan jalan agar Bara segera tiba di lift. Pria itu nampak panik dan khawatir. Sesekali ia menunduk--melihat ke arah Indah yang sedang dalam gendongannya dengan cemas. "Kenapa tubuhmu jadi lemah seperti ini?" gumamnya lirih. Tidak akan ada yang mendengar karena kebetulan yang berada di dalam lift hanya ada dirinya dan Indah. Tentu Indah yang tidak sadarkan diri tidak akan mendengar apa yang dikatakan Bara barusan. "Bertahan, Indah, aku yakin kamu kuat."Entah Bara meminta Indah bertahan dalam hal apa. Tidak ada yang mengetahui pastinya seperti apa. Bisa saja bertahan agar tetap sehat, atau bertahan dengan rumah tangganya. Atau mungkin .... Ting! Dentingan pintu menyadarkan Bara jika mereka sudah tiba di temp
"Indah kamu dari mana saja?" tanya Sinta begitu Indah masuk ke ruangannya.Sontak pertanyaan itu membuat semua yang berada di ruangan pun mendongak untuk melihat. Mereka kembali menggunjing, tetapi Indah hiraukan. Perempuan itu tersenyum tipis."Mohon maaf, Bu, tadi saya ada keperluan." "Kamu tahu kalau kamu telat masuk, Indah? Jam istirahat sudah berakhir sejak tadi dan kamu baru masuk?" Kali ini bukan Sinta yang bertanya, melainkan Rima--teman satu profesinya. "Iya, Mbak," sahut Indah tidak ingin terjadi perdebatan. "Kalau begitu kenapa masih dilakukan? Seharusnya kamu mendapatkan hukuman, Indah." Melihat situasi yang kurang kondusif, Sinta pun dengan cepat melerai dari pada semakin menjadi. "Sudah-sudah, Indah kamu duduk di meja kerja kamu. Kembali pelajari apa yang tadi saya berikan." "Baik, Bu." Indah pun segera ke meja kerjanya. Perempuan itu duduk lalu mulai berkutat dengan perkerjaannya. Hanya saja karena ia menjadi junior di sana, Indah mendapatkan sedikit diskiriman
Seperti apa yang diperintahkan Bara sebelumnya, begitu bubaran jam kerja dan tidak ada karyawan yang tersisa bagian teknisi menambah lebih banyak CCTV yang tidak terlihat oleh kasat mata. Entah apa tujuan Bara sampai-sampai harus memasang banyak kamera tersembunyi di setiap sudut ruangan. Namun yang pasti, sebagai pegawai mereka hanya mampu menuruti perintah atasannya. "Apa semuanya sudah selesai?" tanya Bara kepada kepala teknisi. Pria itu langsung turun tangan dan ingin memastikan jika semua berjalan dengan lancar. Kepala teknisi itu mengangguk mantap. "Sudah, Pak." "Baik kalau begitu, kalian boleh pergi dan pastikan tidak ada orang yang mengetahuinya." Bara mewanti-wanti agar tidak ada yang mengetahui apa yang sudah dilakukan untuk menunjang rencananya berjalan dengan lancar. "Baik, Pak, kami pastikan itu tidak akan terjadi." Bara mengangguk paham. "Terima kasih," ucapnya. "Sama-sama, Pak. Kalau begitu kami permisi." "Hemm." Setelah kepergian para teknisi, Bara meli
Mawar mengerutkan kening begitu mendengar Bara yang meminta izin untuk bertanya. Wanita itu menatap manik tajam pria yang kini menatapnya dengan lembut. Tentu siapa yang tidak luluh dengan hal itu. Tangannya bergerak menyentuh lembut rahang tegas Bara. “Mau nanya apa? Kenapa sampai minta izin segala?” tanyanya dengan suara yang sengaja dibuat semanja mungkin. Bara memejamkan matanya sebentar lalu tangannya bergerak menyingkirkan lengan Mawar dari rahagnya dengan pelan. Ia menegakkan tubuhnya, kemudian menatap Mawar dengan serius. “Seingatku dulu aku sering membelikanmu set perhiasan, apa aku benar?” Wajah Mawar nampak semangat begitu mendengar pertanyaan Bara. Dengan segera wanita itu mengangguk–membenarkan. “Tentu saja, dulu kamu sering membelikanku perhiasan.” “Ah, jadi ingatanku tidak salah tentang itu.” Bara bergumam pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Mawar. “Sepertinya ingatanmu semakin membaik, Honey.” “Dan ini semua berkat kamu,” balas Bara sambil menatap Mawar den
Bara mulai kendali, pria itu membiarkan Mawar membuka kancing kemejanya. “Indah,” erangnya membuat gerakan tangan Mawar terhenti. Wanita itu menatap Bara dengan tidak suka. Merasakan pergerakan yang terhenti membuat Bara yang sejak tadi memejamkan mata pun membukanya. Ia menatap Mawar dengan sayu, dan pada saat itulah ia sadar kalau perempuan yang ada di depannya bukan Indah. Sontak hal itu membuat Bara bangkit. Ia berniat melangkah, tetapi Mawar yang sadar akan kecerobohannya segara menahan Bara. Wanita itu mencekal lengan Bara, tetapi dengan kasar Bara menepisnya. “Honey, kamu mau ke mana?” “Aku harus pergi,” jawab Bara dengan gelisah. Segera Mawar berdiri lalu menghadang langkah Bara. “Aku tau kamu sedang tersiksa, ayo biar aku bantu.” Rayuan Mawar sama sekali tidak membuahkan hasil. Bara mendorong tubuh Mawar agar menyingkir dari hadapannya. Setelahnya ia kembali melanjutkan langkahnya keluar apartemen. Tidak ingin usahanya sia-sia, Mawar lantas segera mengejar Bara bahkan
“Wanita licik itu,” gumam Bara dengan rahang yang mengetat, sedangkan tangannya mengepal kuat. Sehingga urat-urat menonjol dari lengannya. Bara menatap layar laptopnya dengan tajam. Setelahnya ia mengambil ponsel lantas menghubungi seseorang. “Serahkan semua bukti,” perintahnya begitu panggilan tersambung. “Baik, Pak,” sahut seseorang dari seberang sana. Setelah mengatakan itu, Bara mematikan panggilan teleponnya secara sepihak. Bibirnya menyunggingkan senyum miring. Hingga sebuah ketukan membuat Bara mengalihkan perhatiannya. “Masuk!” seru Bara kepada seseorang yang ada di luar sana. Tidak lama setelah seruan itu terdengar, pintu terbuka. Menampilkan sosok perempuan yang berjalan berlenggak-lenggok menghampiri Bara. Mawar, wanita itu berdiri di depan Bara dengan senyuman yang menggoda. “Honey, tadi malam kenapa buru-buru pulang?” tanya Mawar dengan ekspresi dibuat sesedih mungkin. Melihat itu Bara hanya menatap Mawar dengan datar. “Kamu kasih apa di minuman yang kemarin?
“Indah, ini sudah malam. Apa tidak apa-apa kamu pulang sendiri?” tanya Dirga yang nampak begitu mengkhawatirkan Indah. Setelah tadi Indah dan Dirga mengerjakan tugasnya, mereka memutuskan untuk langsung pulang karena hari sudah sangat malam. Beruntungnya Indah karena Dirga membantunya. Andai tidak ada Dirga, mungkin perempuan itu belum menyelesaikan pekerjaannya sampai sekarang. Indah yang mendengar pertanyaan Dirga pun menoleh sebentar lalu kembali melanjutkan langkahnya karena kini mereka sedang berjalan di lorong menuju lift untuk pulang. “Aku enggak apa-apa, Mas.” “Tapi aku yang enggak apa-apa,” balas Dirga membuat Indah kembali menoleh ke arahnya. “Maksud, Mas Dirga?” tanya Indah mengeluarkan rasa penasarannya. “Maksudku … aku khawatir sama kamu, Indah. Ini sudah sangat malam, tidak baik jika perempuan berkeliaran seorang diri. Terlebih kamu membawa motor, aku takut hal-hal buruk terjadi kepadamu.” Dirga menuturkan rasa khawatirnya terhadap Indah. Mendengarnya tentu s
Indah mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Bara yang terdengar tidak bersahabat. “Maksud, Mas?” Bara berdecap–mengira kalau Indah hanya sedang berpura-pura saja. Pria itu lantas pergi meninggalkan Indah yang sedang dalam kebingungan. Membuat Indah menyusul Bara karena belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. “Mas, tunggu!” Awalnya Bara ingin mengabaikan, tetapi ia urungkan ketika mendengar derap langkah Indah yang tergesa. Pria itu membalikan badan menghadap ke arah Indah. Tentu saja Indah langsung menghentikan langkahnya tepat di depan Bara. “Apa?” tanya Bara dengan wajah yang datar. Sangat berbeda dengan raut wajahnya tadi malam, dan itu membuat Indah merasa kehilangan. Perempuan itu tersenyum masam karena malah mengingat kejadian semalam, padahal Bara bersikap seolah tidak terjadi sesuatu. Membuat Indah sadar kalau di sini hanya dirinya saja yang berharap, sedangkan Bara tidak sama sekali. “Yang tadi, maksud Mas apa?” “Hanya itu yang ingin kamu tanyakan?” ta