Nora hanya bisa pasrah ketika akhirnya Dean kembali menyiksanya. "Kenapa kamu masih mau melakukan ini padaku?" tanya Noura lemah setelah untuk ke sekian kalinya Dean melecehkannya.Noura tak banyak bergerak. Luka paska keguguran yang membuatnya harus mendapatkan perawatan setelah menjalani prosedur kuret, sama sekali tak Dean pedulikan. Lelaki itu terlihat kembali mengenakan kemeja kerjanya seperti semula. Jawaban-jawaban keras dan kesal yang Noura lemparkan kepadanya, telah membuat seorang Dean tersinggung hingga keinginan untuk kembali menyiksa istrinya itu mendadak hadir. "Kalau bukan karena keinginanku yang ingin merenggut seluruh kebahagiaanmu, aku pun tidak suka melakukan ini."'Kamu bohong, Dean. Gak mungkin kalau kamu gak suka,' batin Noura merasa percaya diri. Dean sudah selesai dengan penampilannya —yang meski tak serapi di awal, tapi lebih baik dibanding Noura yang terlihat berantakan dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Lelaki itu kemudian memandang sang ist
Dean turun setelah memberikan perintah pada pelayannya untuk mengecek kondisi Noura. Lelaki itu hendak menemui seorang wanita yang belakangan mulai intens mendekatinya. Renee, gadis itu terlihat santai ketika memandangi beberapa poto yang berjajar rapi di atas meja buffet yang ada di ruang keluarga. Saat terdengar suara langkah kaki mendekat, ia merasa yakin jika itu adalah sosok sang tuan rumah. "Aku sama sekali enggak nyangka kalau kamu masih menyimpan bahkan memajang poto Rachel," ucap Renee tersenyum masih melihat satu buah poto di depannya. Di sana terlihat sosok kembarannya yang terlihat bahagia di momen pertunangannya dengan Dean, yang tidak sempat Renee hadiri. "Bukan sesuatu yang salah bukan?" sahut Dean yang memilih duduk di sofa tunggu seraya menyalakan televisi di depannya.Aksinya hanya iseng semata. Sebab pada dasarnya Dean tidak terlalu senang akan kedatangan Renee di kediamannya. "Tidak. Justru aku merasa senang. Ternyata sosok Rachel tak pernah tergantikan di hat
Dean sudah mengompres kening Noura dengan air hangat yang Renee bawa. Ia kemudian mencoba membangunkan istrinya itu agar mau meminum obat. Sedikit kesulitan dan baru bisa bangun setelah beberapa detik kemudian. "Dean, ada apa?" Noura bertanya lemah. Selain itu tatapannya terlihat sayu dengan wajah memerah sebab kondisi demam yang dialami."Kau demam. Minum obat dulu." Dean masih dengan sikapnya yang datar, tak berubah sama sekali. Hal yang memicu kesenangan bagi seorang Renee yang saat ini berdiri di samping Dean. Perlahan Noura melihat sekitar. Hawa panas juga rasa pusing yang kepalanya rasakan, membuat semua pergerakan perempuan itu terlihat menyedihkan. "Bangun perlahan. Minum obat dulu." Dean kembali berkata sebab Noura yang belum merespon. Noura mencoba bangun sembari Dean mengganjal bantal agar bisa menopang kepala istrinya itu. Sedangkan handuk yang dipakai untuk kompres masih menempel di kening. "Minum obat apa?" tanya Noura matanya tampak terpejam. "Obat penurun panas,
Jane terlihat memindai sosok Renee yang saat ini berjalan menghampirinya. "Kamu siapa?" tanya Jane setelah perempuan itu berdiri di depannya. Renee kemudian mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Sedikit ragu, Jane membalas uluran tangan perempuan itu. "Saya Renee. Saudara Rachel.""Ah! Rachel!" Seketika Jane berseru. Ekspresi-nya seketika berubah. "Dari tadi aku mikir, wajahmu mirip siapa? Seperti aku pernah melihat. Rupanya saudara Rachel. Pantas saja, muka kalian mirip.""Kami memang saudara kembar.""Oh yah? Benarkah?" Respon Jane terlihat takjub. Renee mengangguk. "Tapi, kenapa aku tidak pernah lihat kamu sebelumnya? Bahkan, saat pertunangan Dean dan Rachel waktu itu kamu tidak terlihat.""Saya tinggal di luar negeri. Waktu Rachel bertunangan dengan Dean, aku memang tidak datang karena ada pekerjaan penting yang tak bisa ditinggal," ujar Renee sembari melirik ke arah Dean. "Oh, begitu.""Apakah kamu masih mau berbicara dengannya?" Tiba-tiba Dean mengingatkan akan maksud d
"Kalian jaga dia baik-baik!" perintah Dean kepada dua pelayan yang sedang dihukumnya. "Jangan lupa pesanku, Noura. Selalu jaga kondisimu. Jangan malas makan dan minum," ucap Jane memberikan pesannya kepada Noura sebelum ia pamit pulang. "Saya akan ingat pesan Anda, Dok. Terima kasih untuk hari ini. Maaf sudah merepotkan.""Ah, tidak. Ini sudah menjadi tugasku sebagai dokter pribadinya." Jane menatap Dean tersenyum. Namun, dibalas dengan lengosan lelaki itu ke arah lain. "Kamu lihat, Noura. Ini memang sudah jadi tanggung jawabku. Bahkan, Dean sendiri tidak suka ketika ada orang yang mengucapkan terima kasih padaku." Jane sekali lagi membicarakan Dean. Sifat isengnya seperti sebuah hobi yang anehnya ditanggapi biasa oleh Dean. Noura hanya tersenyum kepada dua orang sahabat di depannya itu. Tak ada yang istimewa di hati dan pikiran Noura sebab hubungan keduanya tak ada keterikatan apapun dengan hidupnya. Dean dan Jane pun pergi meninggalkan kamar Noura. Membiarkan Noura canggung den
Sepanjang malam rupanya Dean tidak bisa tidur nyenyak. Sudah beberapa kali ia berguling ke kanan dan kiri, tapi kedua matanya sulit terpejam. Entah apa yang otaknya pikirkan, tapi sepertinya obrolan dengan Jane-lah yang saat ini menari-nari di benaknya. 'Waspada, Dean.'Kata itu yang masih Dean ingat. Hingga akhirnya rasa kantuknya pun menghilang. Padahal tadi ia masih menyelesaikan beberapa proposal yang belum diperiksa dan ditandatangani. Sebab beberapa kali mengantuk, ia pun menyudahi pekerjaannya. Tapi sekarang, justru rasa kantuk itu malah menghilang berganti dengan kekhawatiran sang sahabat akan hubungan pernikahannya dengan Noura. 'Kenapa aku harus memikirkan perempuan itu? Bukankah aku sudah katakan tak akan peduli?' batin Dean kesal. Sungguh tidak bisa dimengerti apa kemauan Dean ini sebenarnya. Sebentar ia peduli pada Noura, sebentar kemudian ia cuek pada istrinya itu. Padahal bila merujuk pada kesepakatan bersama, baik Dean atau Noura dilarang untuk ikut campur atau ped
Mengabaikan pertanyaan Noura, tiba-tiba Dean menyentuh kening istrinya itu. Aksi tiba-tiba yang sempat membuat wanita di depannya mundur menghindar. "Panasnya sudah turun," ucap Dean seraya beranjak bangun. Noura hanya diam ketika Dean bicara dan mengambil benda berukuran kecil yang ada di atas meja. "Sini! Periksa lagi suhunya." Dean kembali mendekati Noura sembari membawa alat termometer di tangannya. Noura perlahan bangun. Tak dibantu Dean, wanita itu terlihat sudah mampu bangun sendiri. Dan hal itu hanya dilihat oleh Dean tanpa ada keinginan untuk bergerak membantu. "Angkat tanganmu!" pinta Dean sambil menjulurkan termometer ke arah Noura. Noura menurut saja meski hatinya masih dongkol karena pertanyaannya yang tidak Dean jawab. Sekian detik menunggu hingga suara terdengar menandakan jika alat tersebut selesai bekerja. Dean mengamati angka yang tertera. "Tiga puluh enam. Sudah normal."Noura terlihat bersyukur. Meski sakit di kepalanya masih sedikit terasa tak enak. Seolah
Dean baru selesai memakai baju ketika ada yang mengetuk pintu kamarnya. Pengusaha itu mengernyit di depan cermin sebab tak pernah ada orang yang berani mengetuk pintu kamarnya meskipun itu Alton sekali pun. "Siapa yang berani menggangguku?" tanyanya seiring langkah kaki mendekati pintu kamar. Ketukan kembali terdengar saat Dean sudah hampir menarik handle pintu. "Ups! Maaf." Ternyata Noura yang sudah berani mengganggu Dean. Istri Dean itu tampak tersenyum dengan tangan di udara. Namun, bukannya marah Dean malah terlihat bengong. Ia diam dengan pandangannya yang kini lurus menatap wajah sang istri. "Dean!" panggil Noura mendadak merasa canggung. Lelaki itu terkejut. Tapi, ia dengan mudah mengatasi keadaan di mana sebelumnya ia terus memandangi wajah istrinya itu. "Apa kau mau mati?" tanya Dean kasar. "Hah! Mengetuk pintu bisa membuatku mati?" tanya Noura bingung. "Kau menggangguku. Itu artinya apa?"Noura baru sadar. Ternyata bukan karena ia akan terjepit pintu atau ketiban pa
Setelah hampir seminggu menginap di kediaman Dean, Feli dan Hans akhirnya pamit pulang. Meskipun Noura sedikit tak rela, ia tetap melepaskan kepergian sang kawan beserta keluarganya itu. "Mainlah nanti." Feli berbicara pada Noura sesaat hendak masuk ke dalam mobilnya. "Nanti kalau bayiku sudah besar, aku pasti akan main ke sana.""Untuk apa menunggu bayimu besar?" sahut Feli menatap aneh. "Kita ini bukan orang tua zaman dulu yang apa-apa harus menunggu. Zaman kita sudah jauh berbeda. Mau anak kita masih bayi atau sudah besar, mereka akan aman. Karena fasilitas penunjang zaman sekarang yang sudah jauh lebih baik.""Ya, aku tahu.""Ya, terus?"Noura tersenyum menatap kawannya itu. "Setidaknya aku harus meminta izin pada Dean untuk masalah itu.""Ya, itu jelas. Kamu memang harus meminta izin padanya." Feli berkata kemudian masuk dan menutup pintu mobil. "Tapi, ngomong-ngomong ... bagaimana kelanjutan hubungan kalian? Akan lanjut atau bagaimana?" Rasa penasaran Feli akhirnya bisa dilua
"Mat bodoh, Noura." Sarah masih kesal dengan kelambatan Mat dalam berpikir. Untuk itu ia sengaja memberi tahukan semua orang tentang kekesalannya tersebut. "Sarah, apakah harus semua orang kamu beri tahu tentang masalah ini?" Mat ikutan kesal sekarang. Harga dirinya sebagai lelaki merasa direndahkan oleh kekasihnya itu. "Tidak. Aku hanya memberi tahu Dean dan Mat." Sarah terlihat berkilah. "Nanti ada yang datang, kau beri tahu juga?""Tidak." Sarah menjawab cepat. "Oh iya, Noura. Bisakah kita bicara berdua?" lanjut wanita itu seraya beranjak berdiri. Mat melihat Dean dengan ekspresi kesal yang masih belum hilang. "Dean, apakah sedang ada konspirasi saat ini antara dua wanita di depan kita?""Kamu ini bicara apa sih, Mat? Konspirasi apa?" Noura menyahut sambil tertawa geli. "Ya ... ini. Antara aku dan Sarah belum selesai bicara, tapi dia malah mengajakmu pergi. Aku yakin sekali, dia mau membicarakan atau menjelekkan aku padamu."Tidak hanya Noura, Sarah bahkan menatap tak percaya
Mat menatap Feli yang tengah ditenangkan oleh suaminya, Hans. Di sebelahnya Sarah menyenggol lengannya dengan pandangan kesal.'Apa?' gumam Mat pada kekasihnya itu, tidak paham apa yang terjadi. "Apakah Dean belum cerita pada kalian, bahwa Noura terindikasi kena sindrom baby blues?" Hans berkata pada sejoli di depannya. "Hah! Benarkah?" Sarah menyahut kaget. Di sampingnya —Mat, terlihat seperti orang bodoh dengan wajah bengong dan mata berkedip lambat. "Ya, saat di rumah sakit aku sudah menyadarinya. Ketika kalian asik mengobrol seru sembari melihat si kecil, saat itu aku mendapati kesedihan yang Noura alami.""Kenapa dia sedih?" Sarah tampak penasaran. "Itu karena doa Dean.""Doa Dean?" Mat dan Sarah berseru kompak. Dean yang namanya disebut, menengok pada kumpulan sahabatnya yang ada di ruang makan. Tatapannya curiga bahwa ia tengah dibicarakan. Namun, Mat memberi respon senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Alhasil, Dean kembali berbincang seru dengan para kerabat yang mengunju
Seluruh penghuni kediaman Waverly sangat berbahagia dengan kehadiran bayi tampan nan lucu yang otomatis akan menjadi pewaris tunggal keluarga kaya tersebut. Kehadirannya di tengah-tengah keheningan rumah membuat bayi Dean dan Noura menjadi satu-satunya pusat perhatian. Feli dan Hans turut gembira dengan kebahagiaan yang terasa di rumah mewah tersebut. Bahkan, keduanya tidak sungkan menyambut para kerabat jauh Dean bersama Mat dan Sarah.Kedua pengusaha itu seperti memiliki chemistry satu sama lain, termasuk istri dan pacar mereka yang terlihat ramah dan cepat akrab. "Saya tidak menyangka bahwa rumah ini akan ramai." Alton, salah satu penghuni terlama di rumah tersebut tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang dirasakannya. "Kau beruntung, Alton, bisa menyaksikan ini semua," ujar Mat menimpali. "Ya, Tuan Mat. Andai saya dulu resign ketika Tuan dan Nyonya Waverly wafat, tentu saya tidak akan melihat ini semua. Betapa bahagianya Tuan Dean memiliki anak yang bahkan tidak pernah ia impi
"Itu tidak masalah. Berarti benar dia bahagia bukan?" Noura membalas ucapan Renee yang masih semangat memprovokasi. "Sekali lagi aku katakan, itu bukan bahagia. Tapi, lebih ke beruntung karena tidak perlu capek-capek mencari perempuan lain untuk ia jadikan mesin pembuat anak.""Jaga ucapan Anda, Nona!" Ibunya Noura menyahut kesal. Raut wajahnya terlihat menahan emosi karena ucapan-ucapan Renee yang dinilainya tidak mendasar. Renee tidak kalah saat berhadapan dengan dua orang wanita di depannya yang kini sudah mulai terbawa emosi. Ia memang sengaja melakukan itu sebab rasa sakit hatinya karena Dean yang lebih memilih Noura dibanding dirinya."Terserah kalian saja mau percaya aku atau tidak." Renee berkata seraya berbalik hendak meninggalkan ruangan. "Kau bisa tanyakan sendiri kepada Dean," ucapnya menghentikan langkah. Ia kemudian berbalik, "Ah, tapi aku tidak yakin dia mau mengaku. Karena beda ceritanya padaku, lain juga kepadamu nanti. Entahlah, aku sangat hapal dirinya." Renee te
Seperti saran yang Feli berikan, Dean kemudian menemui dokter untuk berkonsultasi mengenai kondisi Noura. "Saya awalnya tidak memperhatikan hal tersebut, Dok. Tapi, temannya yang menyadari bahwa istri saya berubah menjadi sensitif.""Sensitif seperti apa?""Saya sendiri tidak tahu pasti, tapi Noura terlalu berlebihan saat menganggap suatu hal. Seketika ia cemas dan khawatir. Seperti serangan panik, Dok. Bahkan, kemarin tiba-tiba ia menangis. Dan saat saya tanya, ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja."Dokter mengangguk dan begitu serius saat mendengar cerita Dean. Bukan perkara baru ketika seorang ibu yang baru melahirkan mengalami hal tersebut. Dokter tahu itu. "Begini, Tuan Dean. Kecurigaan saya, kemungkinan Bu Noura mengalami sindrom baby blues. Perubahan hormon membuat hal tersebut muncul.""Baby Blues? Apa itu berbahaya?" Dean seperti baru mendengar penyakit tersebut. "Pada dasarnya sindrom baby blues tidaklah berbahaya jika ditangani dengan baik. Tapi, akan membahayakan
Semua hal yang baru Dean alami, entah mengapa terasa mudah terjadi. Noura yang terjatuh ke kolam dan mengalami keram, tiba-tiba harus melahirkan. Setelah ia menyetujui tindakan operasi, nyatanya ia harus dihadapkan pada pilihan antara istri atau anaknya. Namun, ketika ia sudah memilih supaya dokter menyelamatkan sang istri, Tuhan justru memberi keduanya. Tidak ada yang ditakdirkan meninggal lebih dulu. Hal tersebut membuat Dean tak berhenti mengucap rasa syukur. Lain kebahagiaan yang Dean alami dengan apa yang Noura pikirkan saat ini. Setelah beberapa menit kemudian ia siuman, Dean memberi tahu padanya tentang kondisi yang sudah mereka lalui. Noura jelas tidak menyangka jika dirinya sempat berada di fase kritis seseorang yang akan melahirkan. Tapi, begitu ia mendengar tidak ada hal buruk yang terjadi, seketika ia menyadari sesuatu. "Keberuntungan apa yang kamu tukarkan pada Tuhan demi menyelamatkan hidup kami, Dean?" tanya Noura setelah beberapa waktu sudah bisa kembali normal. Efe
Tuhan, mungkin aku bukan seorang hamba yang taat. Bukan juga seorang hamba yang baik. Keburukan serta maksiatku mungkin lebih banyak dibanding kebaikanku selama ini. Tapi, Tuhan, andai aku boleh meminta. Sebagai seorang hamba yang jauh dari kata sempurna, aku ingin Engkau menyelamatkan istri dan anak hamba." Di dalam sebuah rumah ibadah yang terdapat di area luar rumah sakit, Dean menengadahkan tangan untuk berdoa. "Pikiran warasku tidak bisa memilih mana yang harus diselamatkan dan mana yang harus dikorbankan. Keduanya sama berharganya." Suara Dean mulai bergetar. "Dulu mungkin aku membencinya. Ia yang aku tuduh sebagai seorang pembunuh, nyatanya sekarang mampu meluluhlantakkan hati dan jiwaku. Aku tak mau kehilangannya, Tuhan. Sama seperti ketika aku menyesal atas kepergian anakku yang pertama, saat ini juga aku tak mau anakku yang lain pergi sebelum aku melihat dan membesarkannya."Dean sudah mulai menangis. Tangisnya terdengar pilu seiring suaranya yang semakin lirih berdo'a.
Pikiran Dean seketika berkecamuk. Melihat Noura terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah pusat, membuatnya tidak bisa berpikir tenang. "Anda harus segera menandatangani surat persetujuan tindakan operasi, Tuan Dean." Dean yang masih belum bisa berpikir jernih, kaget ketika dokter kembali berbicara kepadanya. "Di mana saya harus tanda tangan?""Anda bisa ikut saya."Dean sebetulnya tidak rela meninggalkan Noura sendirian bersama para tenaga medis yang sudah terlihat bersiap melakukan tindakan operasi. Tapi, ia harus patuh pada peraturan. Mau tak mau ia harus mematuhi ucapan dokter di mana ia harus menyetujui tindakan operasi Caesar yang akan Noura lalui. "Maaf sebelumnya, Tuan Dean. Dengan berat hati saya mau menyampaikan hal penting yang mungkin akan membuat Anda kaget atau tidak terima." Di ruangannya, dokter mengatakan hal tak mengenakan kepada Dean. "Hal penting apa, Dok?"Dokter berkaca mata itu membuka sebuah map berisi lembaran kertas yang menunjukkan riwayat pasien. "