Mengabaikan pertanyaan Noura, tiba-tiba Dean menyentuh kening istrinya itu. Aksi tiba-tiba yang sempat membuat wanita di depannya mundur menghindar. "Panasnya sudah turun," ucap Dean seraya beranjak bangun. Noura hanya diam ketika Dean bicara dan mengambil benda berukuran kecil yang ada di atas meja. "Sini! Periksa lagi suhunya." Dean kembali mendekati Noura sembari membawa alat termometer di tangannya. Noura perlahan bangun. Tak dibantu Dean, wanita itu terlihat sudah mampu bangun sendiri. Dan hal itu hanya dilihat oleh Dean tanpa ada keinginan untuk bergerak membantu. "Angkat tanganmu!" pinta Dean sambil menjulurkan termometer ke arah Noura. Noura menurut saja meski hatinya masih dongkol karena pertanyaannya yang tidak Dean jawab. Sekian detik menunggu hingga suara terdengar menandakan jika alat tersebut selesai bekerja. Dean mengamati angka yang tertera. "Tiga puluh enam. Sudah normal."Noura terlihat bersyukur. Meski sakit di kepalanya masih sedikit terasa tak enak. Seolah
Dean baru selesai memakai baju ketika ada yang mengetuk pintu kamarnya. Pengusaha itu mengernyit di depan cermin sebab tak pernah ada orang yang berani mengetuk pintu kamarnya meskipun itu Alton sekali pun. "Siapa yang berani menggangguku?" tanyanya seiring langkah kaki mendekati pintu kamar. Ketukan kembali terdengar saat Dean sudah hampir menarik handle pintu. "Ups! Maaf." Ternyata Noura yang sudah berani mengganggu Dean. Istri Dean itu tampak tersenyum dengan tangan di udara. Namun, bukannya marah Dean malah terlihat bengong. Ia diam dengan pandangannya yang kini lurus menatap wajah sang istri. "Dean!" panggil Noura mendadak merasa canggung. Lelaki itu terkejut. Tapi, ia dengan mudah mengatasi keadaan di mana sebelumnya ia terus memandangi wajah istrinya itu. "Apa kau mau mati?" tanya Dean kasar. "Hah! Mengetuk pintu bisa membuatku mati?" tanya Noura bingung. "Kau menggangguku. Itu artinya apa?"Noura baru sadar. Ternyata bukan karena ia akan terjepit pintu atau ketiban pa
Jalanan terlihat lengang ketika Noura dan Dean sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Beberapa kendaraan terlibat melintas dan menyalip satu sama lain dengan sangat mudah karena jalanan yang kosong. "Kenapa kamu tidak pergi ke kantor dan malah mengantarku pergi ke rumah sakit?" tanya Noura mencoba menatap lelaki di sebelahnya. "Tidak harus ada alasan untuk melakukan sesuatu."Seketika Noura cemberut. Berbicara dengan Dean hanya akan membuatnya darah tinggi. Tapi, anehnya ia tak pernah kapok ataupun trauma. Terkadang malah Noura sengaja menjahili pengusaha itu supaya kesal. "Memang tidak ada. Tapi, ini aneh."Dean terlihat mulai bergerak. Kepalanya menengok dan melirik Noura yang terlihat masih menatapnya. "Apanya yang aneh?""Ya, menurutku apa yang kamu lakukan ini aneh. Kamu tidak mau aku menganggapmu perhatian, tapi kamu melakukan sesuatu yang kerap dilakukan seorang lelaki kepada pasangannya."Senyum sinis tiba-tiba muncul di sudut bibir Dean kala mendengar ucapan Noura bar
"Tolong hentikan!" Noura hanya bisa berteriak ketika tubuhnya ditindih dan disentuh paksa oleh suami yang baru kemarin menikah dengannya itu. Namun, tak peduli berapa nyaring wanita itu berteriak, pria berambut hitam di atasnya tetap tak mengindahkan permintaan Noura. Noura kini hanya bisa menangis tersedu, menyesali keputusannya di hari itu ketika ia meminta Rachel —sahabatnya, untuk menggantikannya meliput berita karena adiknya yang tiba-tiba jatuh sakit. Entah bagaimana takdir berjalan, keputusannya itu berakibat pada Rachel yang terlibat dalam kecelakaan parah di jalan menuju pulang, dan berakhir tewas di tempat. "Jangan harap aku akan melepaskanmu, Noura. Detik ketika kamu menandatangani surat perjanjian dariku, kamu kehilangan hak untuk berbuat sesuka hatimu,” ucap Dean, menatap Noura dingin dengan manik gelapnya. Suite room di hotel yang berfungsi sebagai kamar pengantin mereka malam itu telah menjadi saksi bisu atas kekejaman yang Dean lakukan. Pria itu terus berbuat sesu
Jam sudah menunjuk ke angka sembilan pagi ketika Noura membuka mata setelah semalaman ia menangis sebab aksi Dean terhadapnya. Dean Waverly, seorang pengusaha sukses di usianya yang masih muda, ternyata memiliki sisi kejam di balik sikapnya yang ramah dan humble terhadap semua orang. Begitu yang saat ini ada di dalam pikiran Noura. Lelaki yang sukses membuat seluruh keluarga Willow senang dan bahagia sebab hampir menjadi bagian dari keluarganya yang kaya raya, tak ubahnya singa mematikan yang siap memangsa buruannya. Noura mencoba bangun dari tidurnya meski rasa nyeri di sekujur tubuhnya memintanya untuk diam dan istirahat. Sejenak ia memandang seluruh ruangan suite yang Dean sewa sebagai kamar pengantin mereka berdua. 'Ah, ini bukan kamar pengantin. Ini hanya ruang penyiksaan yang dibalut dengan hiasan indah,' batin Noura menangis. Selimut tebal yang menutupi tubuhnya perlahan Noura singkirkan. Tampak gaun pengantin berwarna putih, terlihat kusut dan koyak sebab paksaan yang
"Tugasmu bukan melamun, tapi menyelesaikan apa yang seharusnya kamu selesaikan." Di saat Noura masih berkutat dengan lap dan alat pembersih lainnya, Dean tiba-tiba muncul dan berkata sinis. "Maaf, Tuan Dean. Aku tidak melamun, tapi sedang membersihkan lemari kaca ini. Kalau aku tidak melakukannya pelan-pelan, aku khawatir akan membuatnya pecah." Noura mencoba membela diri. Ucapan Noura hanya direspon dengan tatapan sebal Dean. Lelaki itu yang sudah duduk di bangku meja makan, lantas mengambil sarapan yang sudah disiapkan. "Siapa yang membuat menu sarapan ini? Apakah dia lagi?" tanya Dean sembari menatap dua orang pelayan di depannya. Dua orang pelayan yang selama ini selalu menyiapkan makanan untuk Dean tampak saling bertukar pandang. Keduanya terlihat ketakutan sebab tahu siapa yang tuannya itu maksud. "Kenapa? Apakah betul yang saya katakan?" tebak Dean masih mengambil beberapa sosis panggang di depannya. "Be-betul, Tuan. Tapi, itu karena Nona Noura yang meminta." Semen
Rumah sederhana tempat di mana Noura lahir dan dibesarkan, masih tampak sama asri dan nyaman. Tak ada yang berubah setelah dua minggu ia pergi dan tinggal di rumah Dean. "Aku datang!" seru Noura seraya mengetuk pintu rumahnya. Seseorang datang mendekat. Suara langkah kakinya terdengar di telinga Noura. "Noura! Kamu sama siapa? Apakah bersama Dean?" Pertanyaan bertubi-tubi ibunya lontarkan seraya mengedarkan pandangannya ke area luar rumah. "Tak ada siapa-siapa?" ucap ibunya lagi dengan ekspresi yang sulit Noura baca. "Memang tidak ada siapa-siapa, Bu. Aku datang sendiri, tidak bersama Dean atau siapa pun." Perlahan Noura masuk ke dalam rumah. Ia mencoba acuh atas ekspresi aneh ibunya. Wanita itu kemudian duduk di bangku ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Di ruangan itu juga ada televisi berukuran sedang berdiri di atas sebuah meja buffet panjang bersama beberapa bingkai poto keluarganya. Salah satunya adalah poto almarhum ayahnya yang tengah memangku si
"Apa! Saya dipecat, Pak?" Informasi yang disampaikan oleh manajer personalia di perusahaan tempat di mana Noura bekerja, membuatnya terkejut. "Maafkan aku, Noura. Tapi, ini adalah keputusan dari atas.""Tapi, apa alasannya? Bukankah sejauh ini kinerja kerja saya baik dan tidak ada yang merugikan pihak perusahaan?""Ya, aku tahu. Tapi, apa yang bisa aku lakukan jika pimpinan sudah mengeluarkan perintah ini?"Lelaki dengan wajah lelah di depan Noura hanya bisa memandang serbasalah. Surat dalam sebuah amplop putih masih tergeletak di atas meja setelah Noura meletakkannya kembali karena kecewa. "Apa mereka tidak mengatakan apapun pada Anda apa yang mendasari mereka mengeluarkan perintah tersebut?""Mereka hanya mengatakan citra buruk stasiun televisi setelah kematian Rachel.""Kematian Rachel?" Noura mengulang pertanyaan yang direspon anggukan sang manajer. "Ini mustahil. Jika alasan pemberhentianku karena kematian Rachel, kenapa baru terjadi sekarang setelah lebih dari dua pekan berl