Selesai dengan urusan rumah sakit, Dean dan Noura sudah kembali berada di dalam mobil. Keduanya —seperti sebelumnya, saling membisu. Hingga ketika mobil berbelok ke salah satu restoran mewah di pusat kota, Noura mulai bersuara. "Kita mau kemana?" tanyanya bingung. "Apa kau tidak bisa baca?" Dean balik bertanya. "Restoran. Tapi, mau apa kita ke sini?"Dean terlihat menghela napas. "Fungsi restoran itu apa kalau bukan tempat makan.""Ya, aku tahu restoran itu tempat makan. Tapi, kenapa kamu mengajak aku ke sini? Apa waktumu begitu luang sampai tidak kepikiran untuk segera pergi ke kantor?"Dean memejamkan kedua matanya dramatis. Lalu, ia pun menoleh dan menatap istrinya kesal. "Kenapa kau ini berisik sekali. Mau aku pergi ke kantor atau tidak, apa urusannya denganmu?""Memang tidak ada urusannya denganku.""Lalu?""Ya, tapi apa tidak apa-apa kamu meninggalkan pekerjaanmu dengan membuang-buang waktu seperti ini?""Itu urusanku." Dean menjawab singkat dan itu cukup membuat mulut Noura
Sebuah pukulan Noura layangkan di bahu Dean saat lelaki itu berkata sinis kepada Kenz. Tapi, pengusaha itu tampak tak peduli. Ia lalu kembali bicara kepada sahabat Noura itu dengan nada yang sama. "Kami sedang makan siang sekarang. Jadi, kami harap kau jangan mengganggu. Biarkan istriku makan dengan tenang supaya tidak tersedak karena pertanyaanmu."Setelah itu Noura mengambil ponselnya dan mematikan mikropon. Ia menatap sebal Dean yang malah berekspresi biasa saja seolah tidak terjadi apapun. "Sorry, Kenz. Jangan kamu dengarkan Dean. Kamu tahu maksudku bukan?"Dean menoleh Noura dengan tatapan mematikan. Namun, perempuan itu tampak biasa, membalas apa yang sebelumnya Dean lakukan kepadanya. "Baiklah. Nanti aku akan hubungin kamu lagi setelah sampai rumah."Setelahnya Noura mematikan sambungan telepon. "Sudah mengumpulkan banyak nyawa rupanya sampai berani berlaku buruk kepadaku.""Kamu yang memulai, aku hanya membalas.""Sejak kapan kau boleh membalas apa yang aku lakukan?" Dean
Dean sampai ke rumahnya setelah lewat makan malam. Suasana rumah sudah gelap gulita. Hanya ada Alton yang menunggunya pulang, sedangkan para pelayan sudah kembali ke tempat istirahat mereka masing-masing. "Anda sudah makan, Tuan?" tanya Alton seraya mengambilkan air minum untuk sang tuan. "Sudah. Mat mengajakku makan malam tadi bersama keluarganya."Alton mengangguk mengerti. Ia kemudian meletakkan kembali botol kosong yang Dean berikan. "Apakah Noura sudah makan?""Sudah, Tuan.""Di mana dia sekarang? Apakah sudah kembali ke kamarnya?""Tidak. Nona Noura tadi izin untuk ke ruang kerja Anda, Tuan.""Ruang kerjaku?""Benar."Dean melirik ke arah pintu dekat ruang keluarga. Di sana, kata Alton, ada Noura yang entah sedang apa. "Oh iya, apakah tadi dia makan banyak?" tanya Dean lagi sebelum melangkah untuk melihat sang istri. "Menurut saya banyak, Tuan. Apalagi Nona juga memakan banyak kue yang tadi supir bawa dari restoran.""Ehm, baguslah kalau begitu," ucap Dean pelan. Alton ter
Bayangan akan pergulatan panas yang baru saja terjadi, tak mau lepas dari pikiran Noura. Dean yang malam itu tiba-tiba menyerangnya, melakukan semuanya dengan sangat lembut. Noura bahkan hampir kehabisan napas ketika inci demi inci tangan Dean menjelajah tubuhnya. 'Ia tak pernah lakukan itu sebelumnya,' batin Noura. Noura tak bisa tidur sampai sekarang. Bahkan, dadanya masih berdebar kencang meski puncak yang ia alami sudah sejam berlalu.Ya, malam ini untuk pertama kalinya Dean membuatnya menggapai klimaks. Sebuah pengalaman baru bagi Noura sepanjang hidupnya menjadi seorang istri. Sebelumnya Dean selalu saja berhenti setelah ia mencapai puncaknya sendiri. Dean selalu pergi meninggalkan Noura dengan sengaja. 'Kau pikir aku akan memberikanmu itu? Mimpi saja!'Dean selalu berkata begitu tiap kali mereka selesai berhubungan. Meski Noura tak peduli, tapi ia selalu merasa kesal sebab Dean seperti sengaja membuat olahraga mereka menggantung tanpa penyelesaian. Noura tidak sakit hati, b
Ruang makan terasa hening ketika Dean sibuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Ia terlihat kesal, entah karena apa. Di depannya ada Noura yang memperhatikannya dalam diam. Noura yang masih teringat akan adegan panas semalam, memilih untuk melihat suaminya itu, apalagi bersuara. Noura tidak tahu jika laki-laki yang tengah merengut menahan kesal itu sebab lamunan pagi harinya sebab kejadian semalam. Ya, saat bangun tidur, ternyata Dean bermimpi kalau Noura membangunkannya. Bahkan, Dean sampai bermimpi telah mencium istrinya itu demi mengulang apa yang mereka lakukan semalam. Tapi, ketika pagutan itu semakin memanas, justru Dean terjatuh dari tempat tidur. Saat itu juga Dean sadar dan langsung terbangun. 'Jadi, semuanya itu cuma mimpi? Bagaimana bisa aku memimpikan hal menjijikan itu.'Menjijikan yang Dean maksud adalah kenyataan bahwa dirinya masih mengingat kegiatan panas yang dilakukannya bersama Noura di ruang kerjanya. Ia tidak berekspektasi sama sekali akan terus mengingat k
Dua orang pelayan yang sebelumnya stand by di ruang makan perlahan menyingkir setelah Alton meminta mereka pergi. Kini hanya ada Dean dan Noura. Pasangan suami istri itu terlihat saling memandang dengan ekspresi yang sama kesal. "Aku hanya menyampaikan apa yang Hary ceritakan.""Biar adikmu sendiri yang bicara padaku. Jangan ikut campur kalau kau sendiri tidak tahu apa masalah sebenarnya.""Aku tidak ikut campur.""Lalu, apa namanya waktu kau bilang seharusnya aku tidak mencampuri urusan pribadi dengan urusan lainnya. Kau juga membenarkan tuduhan adikmu itu 'kan?""Ti-tidak seperti itu.""Lalu, apa?"Dean menatap Noura tajam. Emosinya masih bisa ia tahan karena tidak mau berita dari Mat yang sudah membuat mood-nya baik, kembali hancur gara-gara masalah yang belum jelas kebenarannya. "Hary bilang atasannya takut mempekerjakannya setelah tahu bahwa Hary adalah adik iparmu.""Bagaimana atasannya bisa tahu? Aku saja tidak pernah bicara pada siapapun mengenai adikmu yang bekerja di peru
"Kenapa kamu masih belum pergi?" Dean baru keluar dari toilet. Ia terkejut ketika melihat Renee masih ada di dalam ruangan kantornya. "Ehm, aku baru mau pergi sekarang." Seketika Renee beranjak bangun. Gerakannya tampak terburu-buru, membuat Dean menatap curiga. "Kau ini kenapa?" tanya Dean yang semakin membuat Renee gugup. "Tidak ada apa-apa. Barusan aku dapat telepon dari atasan. Aku diminta segera ke kantor sekarang. Kalau tidak, aku bisa di-SP karena terlambat.""Salahmu sendiri. Kenapa kamu malah datang ke sini dan bukan pergi bekerja.""Ya, aku tidak akan mampir kalau bukan karena pesan dari papa." Renee tampak meletakkan tas di pundaknya. "Pesan itu bisa kamu sampaikan melalui telepon. Tidak harus datang ke sini.""Aku merasa tidak sopan saja, Dean." Renee berusaha sekali berbicara lembut. Padahal sejatinya ia tengah mengontrol kegugupan akibat telepon dari Noura yang ia angkat. "Ehm, aku ucapkan terima kasih atas pesan yang kamu berikan. Aku akan menghubungi Tuan Federic
Noura terus menggerutu kesal. Berkali-kali ia memukul bantal setelah percakapannya dengan Dean berakhir. "Bodoh! Bodoh! Kenapa aku harus bersikap bodoh seperti tadi?"Pekerjaannya di taman langsung Noura tinggalkan setelah Dean mematikan panggilan. Ia yang bergegas masuk ke kamar, merasa malu karena sudah uring-uringan tak jelas. 'Ia pasti berpikir yang tidak-tidak sekarang,' gumam Noura masih membodohi dirinya sendiri. 'Argh! Noura, kamu ini kenapa?' teriak Noura dalam hati. Tak bisa ia bayangkan saat ini Dean tengah tersenyum atau bahkan mungkin tertawa karena kalimat sinis yang Noura ucapkan tadi. 'Huhu, semoga ia tidak berprasangka yang aneh-aneh,' gumam Noura berusaha berpikir positif demi menguatkan mentalnya. Meninggalkan Noura yang terjebak pada sikapnya sendiri, saat ini di kantor seseorang yang sedang Noura pikirkan, tengah kedatangan seorang tamu. Ruangan Dean yang sejuk sebab aliran AC yang keluar, tampaknya tidak mampu menyejukkan hati seorang pemuda yang saat ini
Setelah hampir seminggu menginap di kediaman Dean, Feli dan Hans akhirnya pamit pulang. Meskipun Noura sedikit tak rela, ia tetap melepaskan kepergian sang kawan beserta keluarganya itu. "Mainlah nanti." Feli berbicara pada Noura sesaat hendak masuk ke dalam mobilnya. "Nanti kalau bayiku sudah besar, aku pasti akan main ke sana.""Untuk apa menunggu bayimu besar?" sahut Feli menatap aneh. "Kita ini bukan orang tua zaman dulu yang apa-apa harus menunggu. Zaman kita sudah jauh berbeda. Mau anak kita masih bayi atau sudah besar, mereka akan aman. Karena fasilitas penunjang zaman sekarang yang sudah jauh lebih baik.""Ya, aku tahu.""Ya, terus?"Noura tersenyum menatap kawannya itu. "Setidaknya aku harus meminta izin pada Dean untuk masalah itu.""Ya, itu jelas. Kamu memang harus meminta izin padanya." Feli berkata kemudian masuk dan menutup pintu mobil. "Tapi, ngomong-ngomong ... bagaimana kelanjutan hubungan kalian? Akan lanjut atau bagaimana?" Rasa penasaran Feli akhirnya bisa dilua
"Mat bodoh, Noura." Sarah masih kesal dengan kelambatan Mat dalam berpikir. Untuk itu ia sengaja memberi tahukan semua orang tentang kekesalannya tersebut. "Sarah, apakah harus semua orang kamu beri tahu tentang masalah ini?" Mat ikutan kesal sekarang. Harga dirinya sebagai lelaki merasa direndahkan oleh kekasihnya itu. "Tidak. Aku hanya memberi tahu Dean dan Mat." Sarah terlihat berkilah. "Nanti ada yang datang, kau beri tahu juga?""Tidak." Sarah menjawab cepat. "Oh iya, Noura. Bisakah kita bicara berdua?" lanjut wanita itu seraya beranjak berdiri. Mat melihat Dean dengan ekspresi kesal yang masih belum hilang. "Dean, apakah sedang ada konspirasi saat ini antara dua wanita di depan kita?""Kamu ini bicara apa sih, Mat? Konspirasi apa?" Noura menyahut sambil tertawa geli. "Ya ... ini. Antara aku dan Sarah belum selesai bicara, tapi dia malah mengajakmu pergi. Aku yakin sekali, dia mau membicarakan atau menjelekkan aku padamu."Tidak hanya Noura, Sarah bahkan menatap tak percaya
Mat menatap Feli yang tengah ditenangkan oleh suaminya, Hans. Di sebelahnya Sarah menyenggol lengannya dengan pandangan kesal.'Apa?' gumam Mat pada kekasihnya itu, tidak paham apa yang terjadi. "Apakah Dean belum cerita pada kalian, bahwa Noura terindikasi kena sindrom baby blues?" Hans berkata pada sejoli di depannya. "Hah! Benarkah?" Sarah menyahut kaget. Di sampingnya —Mat, terlihat seperti orang bodoh dengan wajah bengong dan mata berkedip lambat. "Ya, saat di rumah sakit aku sudah menyadarinya. Ketika kalian asik mengobrol seru sembari melihat si kecil, saat itu aku mendapati kesedihan yang Noura alami.""Kenapa dia sedih?" Sarah tampak penasaran. "Itu karena doa Dean.""Doa Dean?" Mat dan Sarah berseru kompak. Dean yang namanya disebut, menengok pada kumpulan sahabatnya yang ada di ruang makan. Tatapannya curiga bahwa ia tengah dibicarakan. Namun, Mat memberi respon senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Alhasil, Dean kembali berbincang seru dengan para kerabat yang mengunju
Seluruh penghuni kediaman Waverly sangat berbahagia dengan kehadiran bayi tampan nan lucu yang otomatis akan menjadi pewaris tunggal keluarga kaya tersebut. Kehadirannya di tengah-tengah keheningan rumah membuat bayi Dean dan Noura menjadi satu-satunya pusat perhatian. Feli dan Hans turut gembira dengan kebahagiaan yang terasa di rumah mewah tersebut. Bahkan, keduanya tidak sungkan menyambut para kerabat jauh Dean bersama Mat dan Sarah.Kedua pengusaha itu seperti memiliki chemistry satu sama lain, termasuk istri dan pacar mereka yang terlihat ramah dan cepat akrab. "Saya tidak menyangka bahwa rumah ini akan ramai." Alton, salah satu penghuni terlama di rumah tersebut tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang dirasakannya. "Kau beruntung, Alton, bisa menyaksikan ini semua," ujar Mat menimpali. "Ya, Tuan Mat. Andai saya dulu resign ketika Tuan dan Nyonya Waverly wafat, tentu saya tidak akan melihat ini semua. Betapa bahagianya Tuan Dean memiliki anak yang bahkan tidak pernah ia impi
"Itu tidak masalah. Berarti benar dia bahagia bukan?" Noura membalas ucapan Renee yang masih semangat memprovokasi. "Sekali lagi aku katakan, itu bukan bahagia. Tapi, lebih ke beruntung karena tidak perlu capek-capek mencari perempuan lain untuk ia jadikan mesin pembuat anak.""Jaga ucapan Anda, Nona!" Ibunya Noura menyahut kesal. Raut wajahnya terlihat menahan emosi karena ucapan-ucapan Renee yang dinilainya tidak mendasar. Renee tidak kalah saat berhadapan dengan dua orang wanita di depannya yang kini sudah mulai terbawa emosi. Ia memang sengaja melakukan itu sebab rasa sakit hatinya karena Dean yang lebih memilih Noura dibanding dirinya."Terserah kalian saja mau percaya aku atau tidak." Renee berkata seraya berbalik hendak meninggalkan ruangan. "Kau bisa tanyakan sendiri kepada Dean," ucapnya menghentikan langkah. Ia kemudian berbalik, "Ah, tapi aku tidak yakin dia mau mengaku. Karena beda ceritanya padaku, lain juga kepadamu nanti. Entahlah, aku sangat hapal dirinya." Renee te
Seperti saran yang Feli berikan, Dean kemudian menemui dokter untuk berkonsultasi mengenai kondisi Noura. "Saya awalnya tidak memperhatikan hal tersebut, Dok. Tapi, temannya yang menyadari bahwa istri saya berubah menjadi sensitif.""Sensitif seperti apa?""Saya sendiri tidak tahu pasti, tapi Noura terlalu berlebihan saat menganggap suatu hal. Seketika ia cemas dan khawatir. Seperti serangan panik, Dok. Bahkan, kemarin tiba-tiba ia menangis. Dan saat saya tanya, ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja."Dokter mengangguk dan begitu serius saat mendengar cerita Dean. Bukan perkara baru ketika seorang ibu yang baru melahirkan mengalami hal tersebut. Dokter tahu itu. "Begini, Tuan Dean. Kecurigaan saya, kemungkinan Bu Noura mengalami sindrom baby blues. Perubahan hormon membuat hal tersebut muncul.""Baby Blues? Apa itu berbahaya?" Dean seperti baru mendengar penyakit tersebut. "Pada dasarnya sindrom baby blues tidaklah berbahaya jika ditangani dengan baik. Tapi, akan membahayakan
Semua hal yang baru Dean alami, entah mengapa terasa mudah terjadi. Noura yang terjatuh ke kolam dan mengalami keram, tiba-tiba harus melahirkan. Setelah ia menyetujui tindakan operasi, nyatanya ia harus dihadapkan pada pilihan antara istri atau anaknya. Namun, ketika ia sudah memilih supaya dokter menyelamatkan sang istri, Tuhan justru memberi keduanya. Tidak ada yang ditakdirkan meninggal lebih dulu. Hal tersebut membuat Dean tak berhenti mengucap rasa syukur. Lain kebahagiaan yang Dean alami dengan apa yang Noura pikirkan saat ini. Setelah beberapa menit kemudian ia siuman, Dean memberi tahu padanya tentang kondisi yang sudah mereka lalui. Noura jelas tidak menyangka jika dirinya sempat berada di fase kritis seseorang yang akan melahirkan. Tapi, begitu ia mendengar tidak ada hal buruk yang terjadi, seketika ia menyadari sesuatu. "Keberuntungan apa yang kamu tukarkan pada Tuhan demi menyelamatkan hidup kami, Dean?" tanya Noura setelah beberapa waktu sudah bisa kembali normal. Efe
Tuhan, mungkin aku bukan seorang hamba yang taat. Bukan juga seorang hamba yang baik. Keburukan serta maksiatku mungkin lebih banyak dibanding kebaikanku selama ini. Tapi, Tuhan, andai aku boleh meminta. Sebagai seorang hamba yang jauh dari kata sempurna, aku ingin Engkau menyelamatkan istri dan anak hamba." Di dalam sebuah rumah ibadah yang terdapat di area luar rumah sakit, Dean menengadahkan tangan untuk berdoa. "Pikiran warasku tidak bisa memilih mana yang harus diselamatkan dan mana yang harus dikorbankan. Keduanya sama berharganya." Suara Dean mulai bergetar. "Dulu mungkin aku membencinya. Ia yang aku tuduh sebagai seorang pembunuh, nyatanya sekarang mampu meluluhlantakkan hati dan jiwaku. Aku tak mau kehilangannya, Tuhan. Sama seperti ketika aku menyesal atas kepergian anakku yang pertama, saat ini juga aku tak mau anakku yang lain pergi sebelum aku melihat dan membesarkannya."Dean sudah mulai menangis. Tangisnya terdengar pilu seiring suaranya yang semakin lirih berdo'a.
Pikiran Dean seketika berkecamuk. Melihat Noura terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah pusat, membuatnya tidak bisa berpikir tenang. "Anda harus segera menandatangani surat persetujuan tindakan operasi, Tuan Dean." Dean yang masih belum bisa berpikir jernih, kaget ketika dokter kembali berbicara kepadanya. "Di mana saya harus tanda tangan?""Anda bisa ikut saya."Dean sebetulnya tidak rela meninggalkan Noura sendirian bersama para tenaga medis yang sudah terlihat bersiap melakukan tindakan operasi. Tapi, ia harus patuh pada peraturan. Mau tak mau ia harus mematuhi ucapan dokter di mana ia harus menyetujui tindakan operasi Caesar yang akan Noura lalui. "Maaf sebelumnya, Tuan Dean. Dengan berat hati saya mau menyampaikan hal penting yang mungkin akan membuat Anda kaget atau tidak terima." Di ruangannya, dokter mengatakan hal tak mengenakan kepada Dean. "Hal penting apa, Dok?"Dokter berkaca mata itu membuka sebuah map berisi lembaran kertas yang menunjukkan riwayat pasien. "