"Kenapa kamu masih belum pergi?" Dean baru keluar dari toilet. Ia terkejut ketika melihat Renee masih ada di dalam ruangan kantornya. "Ehm, aku baru mau pergi sekarang." Seketika Renee beranjak bangun. Gerakannya tampak terburu-buru, membuat Dean menatap curiga. "Kau ini kenapa?" tanya Dean yang semakin membuat Renee gugup. "Tidak ada apa-apa. Barusan aku dapat telepon dari atasan. Aku diminta segera ke kantor sekarang. Kalau tidak, aku bisa di-SP karena terlambat.""Salahmu sendiri. Kenapa kamu malah datang ke sini dan bukan pergi bekerja.""Ya, aku tidak akan mampir kalau bukan karena pesan dari papa." Renee tampak meletakkan tas di pundaknya. "Pesan itu bisa kamu sampaikan melalui telepon. Tidak harus datang ke sini.""Aku merasa tidak sopan saja, Dean." Renee berusaha sekali berbicara lembut. Padahal sejatinya ia tengah mengontrol kegugupan akibat telepon dari Noura yang ia angkat. "Ehm, aku ucapkan terima kasih atas pesan yang kamu berikan. Aku akan menghubungi Tuan Federic
Noura terus menggerutu kesal. Berkali-kali ia memukul bantal setelah percakapannya dengan Dean berakhir. "Bodoh! Bodoh! Kenapa aku harus bersikap bodoh seperti tadi?"Pekerjaannya di taman langsung Noura tinggalkan setelah Dean mematikan panggilan. Ia yang bergegas masuk ke kamar, merasa malu karena sudah uring-uringan tak jelas. 'Ia pasti berpikir yang tidak-tidak sekarang,' gumam Noura masih membodohi dirinya sendiri. 'Argh! Noura, kamu ini kenapa?' teriak Noura dalam hati. Tak bisa ia bayangkan saat ini Dean tengah tersenyum atau bahkan mungkin tertawa karena kalimat sinis yang Noura ucapkan tadi. 'Huhu, semoga ia tidak berprasangka yang aneh-aneh,' gumam Noura berusaha berpikir positif demi menguatkan mentalnya. Meninggalkan Noura yang terjebak pada sikapnya sendiri, saat ini di kantor seseorang yang sedang Noura pikirkan, tengah kedatangan seorang tamu. Ruangan Dean yang sejuk sebab aliran AC yang keluar, tampaknya tidak mampu menyejukkan hati seorang pemuda yang saat ini
"Kamu dengar sendiri, bukan aku pelakunya." Dean kembali berbicara serius dengan Hary setelah menginterogasi manajer tempat adik iparnya itu dipecat. "Tapi, Pak Kevin tidak mengatakan siapa pelaku aslinya. Itu artinya nama Anda masih memungkinkan sebagai pelakunya.""Lelaki itu sudah bilang kalau ia hanya diperintah oleh seseorang, dan itu bukan aku. Apakah menurutmu belum jelas?"Hary tampak mengabaikan ucapan Dean. Pemuda itu kemudian beranjak bangun. "Tidak apa, Tuan Dean. Saya juga sudah tidak berminat kerja di sana lagi. Biarkan saja orang yang sudah berlaku jahat padaku. Biar Tuhan yang membalasnya." Hary menutup pertemuan mereka dengan berkata tak ingin lagi bekerja di tempat tersebut. "Baiklah, sepertinya sudah cukup lama saya di sini. Saya khawatir akan mengganggu pekerjaanmu kalau terus berada di sini. Kalau begitu saya pamit pulang." Hary sudah akan berbalik sebelum akhirnya Dean berkata. "Bagaimana kalau kamu bekerja di sini?"Gerakan Hary terhenti. Ia urung melangkah.
Sekian detik Noura membisu. Tapi, tak lama kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Kalimat yang Hary ucapkan terdengar sangat lucu dan tak masuk akal. Hal tersebut membuat Hary menatap sebal. "Kalau gak percaya ya sudah. Aku cuma menyampaikan apa yang aku lihat sebagai seorang lelaki. Lagipula, itu bukan masalah juga 'kan?" tanya Hary yang langsung mengambil gelas berisi air jeruk yang baru saja dibawa oleh pelayan. "Ya, memang bukan masalah. Tapi, jangan mengarang cerita juga. Itu terlalu berlebihan.""Berlebihan atau tidak itu tergantung orang yang mencernanya," ucap Hary setelah meminum setengah gelas air berwarna kuning tersebut. "Kaka tanyakan sendiri saja sama Kak Dean. Apakah dia masih mencintai Rachel atau sekarang sudah ada nama Kak Noura di hatinya.""Ih, untuk apa? Gak penting banget.""Ya, emang gak penting juga sih. Lagian pernikahan kalian juga gak akan lama 'kan?"Noura terkejut mendengar ucapan Hary. Bagaimana bisa adiknya itu berpikir demikian? Apakah Dean sudah mengat
Sebelum makan malam, Dean sudah sampai rumah. Terlihat Noura menunggunya di ruang keluarga sembari menonton TV. "Kamu sudah pulang?" tanya perempuan itu seraya bangkit berdiri. "Hem." Dean berjalan, lalu duduk di sofa tunggal di samping Noura. Tas kerja sudah berpindah ke tangan Alton. Kepala pelayan memerintahkan seorang pelayan untuk mengambilkan air minum. "Biar aku saja, Alton." Tiba-tiba Noura berkata, lalu pergi. "Kamu mau ke mana?" Dean bertanya saat Noura hendak melewatinya. "Ambil air minum untuk kamu.""Biar pelayan saja. Kamu duduk di sini. Ada yang mau aku tanyakan."Noura pun urung pergi. Alton kembali memberi perintah pada pelayan yang tadi hampir akan pergi sebelum Noura mencegahnya. "Duduk." Dean meminta Noura supaya kembali duduk. Istrinya itu menurut. Meski sedikit ragu, ia berusaha untuk tetap diam dan tidak melawan. "Adikmu tadi jadi ke sini?""Jadi. Kamu sudah kasih izin padanya bukan?"Dean mengangguk. "Apa saja yang ia ceritakan padamu?""Cerita apa?" N
"Dean, berhenti dulu."Noura tampak kepayahan. Wajahnya memerah dengan bulir keringat yang membasahi seluruh tubuh Dean yang berada tepat di atasnya berhenti sesaat. "Ada apa? Apa aku melukaimu?" tanya lelaki itu mendadak khawatir. "Eh, tidak. Bukan itu," jawab Noura masih dengan suara pelan. "Lalu?" Dean sudah bergeser dan tidak lagi menindih sang istri. Lelaki itu menunggu istrinya bicara sembari mengatur napas yang masih tersengal. "Apa yang sakit?" Kembali Dean bertanya. "Tidak ada yang sakit, Dean.""Ya, terus apa? Kenapa kamu memintaku berhenti?"Biasanya Dean akan marah ketika olahraga malamnya ditolak oleh Noura. Bahkan, ia tak sungkan melakukan pemaksaan meski istrinya itu bersikap enggan. Tapi, anehnya malam ini setelah ia tiba-tiba menyerang Noura, segala sesuatunya terlihat berubah. Dean bahkan rela berhenti di tengah-tengah aksi panasnya ketika Noura memintanya berhenti. "Aku cuma butuh bernapas sebentar.""Kenapa malam ini kamu payah sekali?" Dean bertanya balik.
Dean melihat Noura meringis kesakitan. "Jangan berlebihan. Kita melakukan hal semalam bukan pertama kali."Kekhawatiran yang Dean rasakan, ia alihkan dengan berkata sinis. "Ya, maafkan aku. Mungkin aku memang terlalu lemah untuk melakukan hal itu semalam." Noura malah meminta maaf. Hal tersebut semakin membuat perasaan Dean tak enak. "Jangan membuatku kesal. Pagi ini aku ada meeting dan harus segera berangkat agar tidak kena macet. Jadi, cepat katakan apa yang kamu rasakan? Aku tidak tahu kalau kamu tidak bilang."Noura menatap Dean dan berusaha tersenyum. "Aku baik-baik saja. Kamu bisa pergi sekarang. Lagipula bukankah selama ini kamu selalu pergi tanpa pamit padaku?" Noura kembali dalam mode menyebalkan.Dean mulai terbawa suasana. Ucapan Noura jelas arusnya. Bila diladeni tak mungkin jika mereka tidak bertengkar. "Yeah. Sepertinya aku terlalu berlebihan dan menganggapmu kenapa-kenapa." Akhirnya Dean mengalah. Ia memilih beranjak dan berdiri dengan usaha menahan emosinya yang l
Noura sudah tidur ketika Dean pulang kantor. Perempuan itu tidur setelah mengobati lukanya. "Di mana dia?" tanya Dean pada Alton sembari berjalan menuju lantai atas. "Di kamarnya. Nona sepertinya sudah tidur. Sebab beliau tidak mau diganggu. Bahkan, untuk makan malam sekali pun.""Apa maksudmu dia belum makan?" tanya Dean yang tiba-tiba menghentikan langkahnya di tengah anak tangga. "Benar, Tuan." Alton mengangguk. "Kenapa kamu tidak bilang padaku?" Kembali Dean berjalan sambil ngomel. "Maafkan saya, Tuan. Saya tidak mengabari Anda." Alton jelas merasa heran. Tumben sekali tuannya menunjukkan perhatiannya kepada sang istri. Selama ini ia dan semua pelayan tahu jika Dean selalu bersikap kasar pada Noura. Bahkan, wanita itu disejajarkan dengan pelayan yang bekerja di rumah tersebut. Tapi, sejak beberapa hari kemarin, mungkin kalau Alton tidak salah ingat perubahan sikap Dean terlihat sejak kematian adik Noura. Sejak itu Dean terlihat berbeda meski sikap sinisnya terkadang masih a
Meski awalnya Dean menolak, pada akhirnya ia menyetujui permintaan Mat yang menginginkannya untuk menjadi bagian dari panitia pernikahannya. Ia membantu Mat dengan menjadi panitia penyambutan para tamu undangan dari keluarga dan kawan bisnis. "Sayang, apa kamu sudah siap?" Dean bertanya pada istrinya yang masih sibuk berdandan. "Sudah. Ini tinggal pakai lipstik saja.""Lama sekali," sahut Dean yang sejak pagi merasakan dadanya berdebar. "Ya ampun, aku cuma pakai bedak dan lipstik saja disebut lama. Lalu, yang sejak tadi subuh bolak balik ke kamar mandi siapa. Sampai aku mau mandi saja tidak kebagian.""Haha, maafkan aku, Sayang. Tapi, aku sendiri tidak mengerti kenapa aku hatiku tak tenang begini. Aku mulas tapi tidak mau buang air. Noura tersenyum, memasukkan lipstik ke dalam tas. " Mungkin karena kamu bahagia. Sahabatmu akan menikah. Menempuh hidup baru dengan wanita yang dicintainya.""Mungkin," sahut Dean terdiam. Tapi, sedetik kemudian ia tersenyum dan menatap Noura seolah me
Setelah pulih dari cedera, Dean kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Dia dan Noura memutuskan untuk memulai hidup baru, meninggalkan kenangan pahit di belakang.Setelah rumah mereka terbakar, Dean kemudian memboyong semua orang ke istana miliknya yang lain. Sebuah rumah yang tak kalah besar dan mewahnya yang terletak di pinggiran kota, yang selama ini memang ia siapkan untuk istri dan anaknya. Di sana terdapat taman yang indah dan pemandangan alam yang menenangkan. Noura pun mulai mengatur rumah baru mereka, sementara Dean kembali bekerja."Dokter berpesan agar kamu tidak terlalu memporsir kegiatanmu di kantor. Tubuhmu masih pemulihan, Dean. Jadi, menurutku lebih baik kamu serahkan sementara pekerjaanmu kepada Steven," ucap Noura di satu malam. "Iya, Sayang. Aku mengerti. Sebelum kamu mengatakan hal itu, aku sudah menyerahkan tugas dan beberapa tanggung jawabku kepadanya." Dean tersenyum menatap sang istri. "Hem, baguslah. Aku bisa tenang sekarang."Mendengar kata tenang, seket
Komandan mendekati mobil dengan hati-hati. "Alvin, jangan buat keadaan semakin buruk. Lepaskan senjata dan keluarlah!"Alvin menjawab, "Kami tidak akan menyerah! Kita memiliki rencana cadangan!"Renee tiba-tiba muncul di jendela mobil dengan senjata di tangan. "Kita tidak takut mati!"Komandan tetap tenang. "Jangan lakukan kebodohan, Nona. Kita bisa menyelesaikan ini dengan tenang."Renee berteriak, "Tidak ada jalan keluar! Kami akan mati di sini!"Tiba-tiba, benda kecil di telinga sang komandan bersuara. "Komandan, kami siap menembak."Komandan menggelengkan kepala. "Tunggu, kita harus menyelamatkan nyawa mereka."Penembak jitu yang sudah bersiap di posisi, menahan tembakan sebab belum mendapat persetujuan. "Letakkan senjata kalian, lalu angkat kedua tangan ke atas kepala." Komandan kembali bicara pada Alvin dan Renee, mencoba menggunakan cara baik-baik dibanding cara tegas yang bisa saja mereka lakukan sejak awal penyergapan. Alvin dan Renee saling menatap, ragu-ragu. Alvin berbis
Dean dibawa ke ruang operasi. Noura menunggu dengan cemas di luar, memanjatkan doa.Stevens meminta pada timnya untuk membantu pihak kepolisian. "Tangkap Renee dan Alvin sekarang juga! Kita harus membuat mereka membayar apa yang sudah diperbuatnya."Sementara itu, dokter memimpin tim medis untuk menyelamatkan Dean. Tak pernah Noura sangka jika suaminya mengalami keadaan yang lumayan kritis. Padahal tadi Dean masih sempat menggendong Zayn dan menggenggam tangannya. Bahkan, ketika sampai di rumah sakit, Dean sempat marah saat mengetahui bahwa semua yang terjadi adalah ulah Renee dan Alvin. Noura berdoa, "Ya Tuhan, selamatkan Dean."Kali ini giliran Noura yang harus merasakan ketegangan sebab menunggu suaminya berjuang di meja operasi. Bersama ibunya, Noura menggendong bayinya di depan ruangan. Sang ibu yang juga sempat mendapatkan perawatan medis karena luka lecet di lengannya, terus memberi semangat pada sang putri. "Yang bisa kita lakukan hanya berdo'a. Seperti juga Dean yang berdo
Renee tersenyum sinis. "Aku sudah mempersiapkan segalanya. Dean dan Noura tidak akan selamat lagi."Steven dan polisi saling menatap khawatir. Mereka harus bertindak cepat."Tunggu, Renee! Jangan lakukan hal bodoh!" teriak Steven.Renee tertawa. "Terlambat! Aku sudah memicu bom di rumah Dean. Mereka akan mati!"Semua orang terkejut. Polisi segera menghubungi tim bomb disposal.Dean dan Noura, yang tidak menyadari bahaya, berada di rumah. Tiba-tiba, alarm berbunyi."Apa itu?" tanya Noura khawatir.Dean memeriksa sistem keamanan. "Ada bom di rumah kita!"Mereka berdua panik. Dean dan Noura berlari keluar rumah, mencari tempat aman. Mereka mendengar suara bom menghitung mundur."Kita harus segera pergi dari sini!" teriak Dean. Semua penghuni keluar dari rumah. Mereka cemas dan takut jika sampai bom meledak sebelum dapat keluar. Noura menggenggam tangan Dean erat. "Aku takut!"Sedangkan Dean terlihat menggendong bayinya di tangan yang lain. Ibu Noura mengikuti dari belakang. Suara bom
Steven segera menghubungi Dean dan memberitahu tentang hasil penggeledahan."Apa kata polisi?" tanya Dean."Mereka menemukan bukti tambahan, tapi Renee tidak ditemukan di rumah keluarganya," jawab Steven."Apa maksudnya?" tanya Dean penasaran."Renee bersembunyi di tempat lain. Kami harus mencari lagi," kata Steven serius."Apakah kalian menemukan petunjuk?""Ya, dan sekarang kami sedang meluncur ke sana.""Baiklah, Steven. Lanjutkan! Aku terus menunggu perkembangan kalian.""Siap, Tuan. Nanti saya akan hubungi lagi."Setelah itu panggilan kembali berakhir. Dean yang tengah mengambil air minum di ruang makan, memilih duduk sebelum kembali ke atas. "Renee, kenapa kamu melakukan ini?" tanya Dean seolah ada perempuan itu di depannya. Renee Abigail Willow adalah anak kedua dari pasangan Federick dan Vivian Willow. Ia adalah saudara kembar Rachel Willow —mantan tunangan Dean, yang cantik dan populer. Renee kecil sudah merasa kesal karena kerap dibandingkan dengan Rachel dan merasa tidak
Dean merasa cemas memikirkan keselamatan Noura dan Zayn. Ia meminta para pengawal meningkatkan keamanan di rumah. Sementara itu pihak kepolisian dan Steven masih mencoba menyusuri semua area gudang. Seluruh pihak mencari dan memeriksa apa saja yang ada di sana. Meski target yang mereka cari tidak ada di sana. "Kita sepertinya harus mendatangi langsung kediaman keluarga Willow," ucap Steven memberi saran. "Apakah selama ini wanita itu tinggal di sana bersama keluarganya?""Sejauh yang saya tahu, iya. Dia masih tinggal bersama kedua orang tuanya.""Baiklah. Kalau begitu lebih baik kita meluncur ke sana."Bapak polisi itu kemudian memerintahkan pasukannya meninggalkan area dan berpindah pencarian. Mereka akan menyergap Renee di rumah orang tuanya. "Kami akan mencari Nona Renee di rumahnya, Tuan." Steven memberi kabar Dean mengenai rencana penyergapan ke rumah keluarga Willow. "Benarkah? Baiklah, kabari aku terus."Dean memutuskan panggilan. Di sebelahnya Noura memeluknya erat. "Ada
Dean terlihat serius, pikirannya mulai menghubungkan antara kejadian yang menimpa Ronald dan kaburnya Alvin dari penjara. Ia meminta Steven untuk segera menghubungi polisi dan meminta mereka untuk menyelidiki lebih lanjut.Sementara itu, Noura yang tadinya sudah kembali ke kamar, tidak bisa menahan rasa penasaran. Ia kembali turun dan mendengarkan pembicaraan Dean dan Steven tanpa sepengetahuan mereka."Apakah kita bisa yakin kalau Alvin-lah pelakunya?" tanya Dean."Belum, Tuan. Tapi, ada kemungkinan besar dia terlibat," jawab Steven.Noura merasa bulu kuduknya berdiri. Ia ingat akan kejadian beberapa waktu lalu ketika Alvin mencoba mencelakakannya. Noura kembali ke kamar, pikirannya dipenuhi kecemasan. Ia takut Alvin akan kembali melakukan aksi serupa. Ia takut lelaki itu melakukan berbagai cara untuk membunuhnya. Sementara itu, Dean meminta Steven untuk meningkatkan keamanan di rumah."Pastikan tidak ada yang bisa masuk tanpa izin," perintah Dean.Steven mengangguk dan segera mela
Renee melaju kencang, terobsesi untuk membalas dendam pada Ronald. Ia tidak peduli dengan risiko yang akan dihadapi. Satu-satunya pikiran yang ada di kepalanya adalah memastikan Ronald tahu bahwa ia tidak bisa dianggap remeh.Di sisi lain, Dean dan Noura menikmati malam mereka, terlepas dari bayang-bayang Renee. Mereka berdua terjebak dalam kebahagiaan yang baru ditemukan.Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu yang otomatis mengganggu keintiman mereka."Siapa itu?" tanya Dean dengan kesal. Mereka baru mau masuk intinya, tapi seseorang malah mengganggu keintiman ia dan Noura. "Aku tidak tahu," jawab Noura yang kemudian mendekati pintu sembari merapikan kembali penampilannya yang sudah acak-acakan. Ingin ia tertawa melihat kekesalan Dean, tapi ketukan di pintu tidak mungkin ia abaikan."Ya?" sapa Noura sesaat setelah membuka pintu. Sosok Alton berdiri di depannya dengan raut muka tak enak hati. "Maafkan saya mengganggu waktu istirahat Anda, Nona. Tapi, di bawah ada Steven