Dean melihat Noura meringis kesakitan. "Jangan berlebihan. Kita melakukan hal semalam bukan pertama kali."Kekhawatiran yang Dean rasakan, ia alihkan dengan berkata sinis. "Ya, maafkan aku. Mungkin aku memang terlalu lemah untuk melakukan hal itu semalam." Noura malah meminta maaf. Hal tersebut semakin membuat perasaan Dean tak enak. "Jangan membuatku kesal. Pagi ini aku ada meeting dan harus segera berangkat agar tidak kena macet. Jadi, cepat katakan apa yang kamu rasakan? Aku tidak tahu kalau kamu tidak bilang."Noura menatap Dean dan berusaha tersenyum. "Aku baik-baik saja. Kamu bisa pergi sekarang. Lagipula bukankah selama ini kamu selalu pergi tanpa pamit padaku?" Noura kembali dalam mode menyebalkan.Dean mulai terbawa suasana. Ucapan Noura jelas arusnya. Bila diladeni tak mungkin jika mereka tidak bertengkar. "Yeah. Sepertinya aku terlalu berlebihan dan menganggapmu kenapa-kenapa." Akhirnya Dean mengalah. Ia memilih beranjak dan berdiri dengan usaha menahan emosinya yang l
Noura sudah tidur ketika Dean pulang kantor. Perempuan itu tidur setelah mengobati lukanya. "Di mana dia?" tanya Dean pada Alton sembari berjalan menuju lantai atas. "Di kamarnya. Nona sepertinya sudah tidur. Sebab beliau tidak mau diganggu. Bahkan, untuk makan malam sekali pun.""Apa maksudmu dia belum makan?" tanya Dean yang tiba-tiba menghentikan langkahnya di tengah anak tangga. "Benar, Tuan." Alton mengangguk. "Kenapa kamu tidak bilang padaku?" Kembali Dean berjalan sambil ngomel. "Maafkan saya, Tuan. Saya tidak mengabari Anda." Alton jelas merasa heran. Tumben sekali tuannya menunjukkan perhatiannya kepada sang istri. Selama ini ia dan semua pelayan tahu jika Dean selalu bersikap kasar pada Noura. Bahkan, wanita itu disejajarkan dengan pelayan yang bekerja di rumah tersebut. Tapi, sejak beberapa hari kemarin, mungkin kalau Alton tidak salah ingat perubahan sikap Dean terlihat sejak kematian adik Noura. Sejak itu Dean terlihat berbeda meski sikap sinisnya terkadang masih a
Sikap Dean dan Noura seketika canggung. Noura yang hanya diam membeku dengan Dean yang terus menatap tubuhnya. "Kenapa kau diam saja saat aku bertanya tadi?" Dean bertanya tentang sikap Noura yang diam waktu bangun tidur. "Aku tidak mau dianggap berlebihan."Noura masih belum menatap Dean. Bukannya tidak berani, hanya saja suasana yang terasa begitu lain dari biasanya. "Lebih baik kita ke dokter." Dean kemudian menyimpulkan sendiri. "Eh, aku gak mau!" seru Noura seketika bangun. Tapi, Dean langsung mendorong dan menyuruhnya kembali berbaring. Noura tak melawan. Ia memilih kembali diam sebab tak mau membuat keributan. "Aku sudah mengobatinya. Ini tak akan lama. Aku yakin akan segera sembuh.""Dari mana kamu tahu?""Kamu sudah lihat obatnya 'kan? Aku juga sudah browsing, obat itu ampuh untuk mengobati luka yang aku alami sekarang.""Siapa yang menjamin kalau tidak akan ada infeksi?" Sesekali Dean menatap wajah Noura, lalu ke arah bawah. Demi mendengar kalimat Dean, sontak Noura m
"Apakah ada kabar dari adikmu?" tanya Dean setelah ia dan Noura berada di ruang makan.Di sebelahnya Noura tengah memakan makanan yang pelayan sajikan. Ia sendiri hanya menemani dan memastikan jika wanita itu makan dengan benar. "Ada. Hary bilang kalau besok ia bisa langsung masuk kerja.""Benarkah?""Ya.""Ehm, baguslah kalau begitu." Dean merasa puas dengan kabar yang didapatnya. "Apakah kamu tidak tahu? Kenapa kamu bertanya hal itu, tidakkah Mat memberi tahu?" tanya Noura dengan mulut yang penuh dengan makanan. "Kunyahlah dulu. Kau ini perempuan, makan dengan benar." Dean menatap tak suka. "Bukankah kau ini seorang kepala divisi di salah satu stasiun televisi ternama? Tidak mungkin kau tidak memiliki table manner yang baik secara interaksimu bukan hanya bertemu dengan karyawan atau orang-orang biasa."Noura mendelik sebal. "Jangan bicarakan table manner kalau apa yang aku punya sudah kamu rebut.""Apa hubungannya antara kebahagiaan yang aku ambil dengan tata cara makan yang ben
"Kenapa kamu masih mempertahankan pernikahan pura-pura ini kalau sudah ada wanita lain yang dengan senang hati mau menjadi istrimu yang sebenarnya?" Noura bertanya pada Dean yang tengah mengobati lukanya. Sedikit ringisan sebab rasa perih yang ia rasakan saat Dean menyentuhnya. Dean yang sedang fokus mengamati luka serta mengoleskan salep di area yang lecet, seketika terdiam. Sekian detik membisu, ia kemudian memilih menyelesaikan urusannya. "Siapa wanita yang kau maksud? Apakah Renee?" tanya Dean setelah selesai. Ia lalu menyimpan kembali salep ke dalam wadah kemasannya. Setelahnya ia mengambil obat pereda nyeri untuk Noura minum. "Ya. Seperti yang sebelumnya aku pernah bilang, saudara Rachel itu sepertinya tertarik padamu." Noura memilih untuk berterus terang meluapkan uneg-unegnya. "Seperti yang sebelumnya juga aku pernah bilang, itu bukan urusanmu. Dalam hubungan pernikahan kita, aku yang menentukan semuanya." Dean mengambil gelas yang sudah kosong isinya. "Terima kasih," uc
Suasana di dalam sebuah restoran tempat di mana diadakannya pesta anniversary seorang pengusaha bernama Federick Willow dan sang istri, Martha, terlihat mewah dan berkelas. Semua tamu yang hadir tampak menikmati jalannya pesta yang dibuat intim dan penuh keakraban. Malam itu Dean yang diundang secara pribadi datang bersama Mat, tanpa Sarah. Wanita itu masih sibuk dengan pekerjaannya. "Sepertinya Tuan Willow sengaja mengundangmu, Dean," ucap Mat yang terlihat senang. Pesta adalah salah satu hobinya. Sebab itu Mat sangat antusias ketika sahabatnya itu mengajaknya. "Kau pun diundangnya," sahut Dean santai. "Yeah, tapi tak ada undangan secara pribadi. Hanya undangan berupa email dan surat undangan yang dikirim ke kantorku," ejek Mat merujuk pada kedatangan Renee ke rumahnya beberapa waktu lalu. "Banyak pengusaha yang mereka juga undang secara pribadi. Tidak ada faktor sengaja atau tidak. Terlebih lagi aku adalah mantan tunangan putrinya. Jadi, tidak ada sesuatu yang istimewa dalam u
Waktu pagi menjelang, matahari muncul di sela-sela tirai jendela di kamar Noura. Perempuan itu sudah bangun sejak pagi, dan saat ia keluar dari kamar mandi sudah terlihat terang kamarnya. Noura membuka tirai dan membiarkan sinar mentari menyapa serta menghangatkan ruangan kamarnya. "Selamat pagi, Dunia!" sapa Noura sembari menghirup udara pagi yang datang. Terasa segar ketika angin bertiup menerpa wajahnya. Berpadu dengan kehangatan matahari pagi yang sudah menerangi semesta. "Udara yang begitu segar," ucapnya merasa tenang. Selama beberapa menit Noura berdiri dan diam di jendela kamar. Memejamkan mata sembari menikmati sensasi luar biasa yang mampu membuat hati dan jiwanya tenang. Tak lama kemudian Noura membuka mata. Masih memandang langit yang cerah ia tersenyum. Lalu, ketika tatapannya berpindah tak sengaja ia melihat mobil milik Dean yang terparkir asal di halaman. 'Jam berapa dia pulang?' gumam Noura yang mengetahui tentang undangan pesta keluarga Willow dari Alton. 'Pas
Kamar berukuran sangat luas itu terlihat gelap. Cahaya matahari hanya mampu melirik tak bersedia mengintip apalagi masuk. Suasananya terasa sepi, hanya suara detik di jam digital yang ada di atas meja nakas. 'Apakah ia baru tidur pagi sampai belum bangun di waktu yang sudah siang ini,' gumam Noura sambil terus berjalan menuju tempat tidur. Noura mengalami sedikit kesulitan ketika berjalan menyusuri kamar Dean. Kamar yang begitu luas, tapi penerangan yang terkesan pelit. Hingga setelah ia tersandung beberapa kali pada sofa atau barang yang ada di kamar tersebut, akhirnya Noura sampai dan berdiri di sisi ranjang berukuran besar milik suaminya. 'Bangun, Tuan. Ini sudah siang!' Bukannya membangunkan dengan benar, Noura malah bergumam pelan. Siapa yang akan mendengar kalau suaranya saja pelan. Bahkan, semut sekalipun tak bisa mendengar suara Noura yang pelan itu. "Tuhan! Apakah aku harus menggoyang tangannya supaya bangun atau cukup berbisik saja di telinganya?" tanya Noura berharap m
Setelah hampir seminggu menginap di kediaman Dean, Feli dan Hans akhirnya pamit pulang. Meskipun Noura sedikit tak rela, ia tetap melepaskan kepergian sang kawan beserta keluarganya itu. "Mainlah nanti." Feli berbicara pada Noura sesaat hendak masuk ke dalam mobilnya. "Nanti kalau bayiku sudah besar, aku pasti akan main ke sana.""Untuk apa menunggu bayimu besar?" sahut Feli menatap aneh. "Kita ini bukan orang tua zaman dulu yang apa-apa harus menunggu. Zaman kita sudah jauh berbeda. Mau anak kita masih bayi atau sudah besar, mereka akan aman. Karena fasilitas penunjang zaman sekarang yang sudah jauh lebih baik.""Ya, aku tahu.""Ya, terus?"Noura tersenyum menatap kawannya itu. "Setidaknya aku harus meminta izin pada Dean untuk masalah itu.""Ya, itu jelas. Kamu memang harus meminta izin padanya." Feli berkata kemudian masuk dan menutup pintu mobil. "Tapi, ngomong-ngomong ... bagaimana kelanjutan hubungan kalian? Akan lanjut atau bagaimana?" Rasa penasaran Feli akhirnya bisa dilua
"Mat bodoh, Noura." Sarah masih kesal dengan kelambatan Mat dalam berpikir. Untuk itu ia sengaja memberi tahukan semua orang tentang kekesalannya tersebut. "Sarah, apakah harus semua orang kamu beri tahu tentang masalah ini?" Mat ikutan kesal sekarang. Harga dirinya sebagai lelaki merasa direndahkan oleh kekasihnya itu. "Tidak. Aku hanya memberi tahu Dean dan Mat." Sarah terlihat berkilah. "Nanti ada yang datang, kau beri tahu juga?""Tidak." Sarah menjawab cepat. "Oh iya, Noura. Bisakah kita bicara berdua?" lanjut wanita itu seraya beranjak berdiri. Mat melihat Dean dengan ekspresi kesal yang masih belum hilang. "Dean, apakah sedang ada konspirasi saat ini antara dua wanita di depan kita?""Kamu ini bicara apa sih, Mat? Konspirasi apa?" Noura menyahut sambil tertawa geli. "Ya ... ini. Antara aku dan Sarah belum selesai bicara, tapi dia malah mengajakmu pergi. Aku yakin sekali, dia mau membicarakan atau menjelekkan aku padamu."Tidak hanya Noura, Sarah bahkan menatap tak percaya
Mat menatap Feli yang tengah ditenangkan oleh suaminya, Hans. Di sebelahnya Sarah menyenggol lengannya dengan pandangan kesal.'Apa?' gumam Mat pada kekasihnya itu, tidak paham apa yang terjadi. "Apakah Dean belum cerita pada kalian, bahwa Noura terindikasi kena sindrom baby blues?" Hans berkata pada sejoli di depannya. "Hah! Benarkah?" Sarah menyahut kaget. Di sampingnya —Mat, terlihat seperti orang bodoh dengan wajah bengong dan mata berkedip lambat. "Ya, saat di rumah sakit aku sudah menyadarinya. Ketika kalian asik mengobrol seru sembari melihat si kecil, saat itu aku mendapati kesedihan yang Noura alami.""Kenapa dia sedih?" Sarah tampak penasaran. "Itu karena doa Dean.""Doa Dean?" Mat dan Sarah berseru kompak. Dean yang namanya disebut, menengok pada kumpulan sahabatnya yang ada di ruang makan. Tatapannya curiga bahwa ia tengah dibicarakan. Namun, Mat memberi respon senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Alhasil, Dean kembali berbincang seru dengan para kerabat yang mengunju
Seluruh penghuni kediaman Waverly sangat berbahagia dengan kehadiran bayi tampan nan lucu yang otomatis akan menjadi pewaris tunggal keluarga kaya tersebut. Kehadirannya di tengah-tengah keheningan rumah membuat bayi Dean dan Noura menjadi satu-satunya pusat perhatian. Feli dan Hans turut gembira dengan kebahagiaan yang terasa di rumah mewah tersebut. Bahkan, keduanya tidak sungkan menyambut para kerabat jauh Dean bersama Mat dan Sarah.Kedua pengusaha itu seperti memiliki chemistry satu sama lain, termasuk istri dan pacar mereka yang terlihat ramah dan cepat akrab. "Saya tidak menyangka bahwa rumah ini akan ramai." Alton, salah satu penghuni terlama di rumah tersebut tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang dirasakannya. "Kau beruntung, Alton, bisa menyaksikan ini semua," ujar Mat menimpali. "Ya, Tuan Mat. Andai saya dulu resign ketika Tuan dan Nyonya Waverly wafat, tentu saya tidak akan melihat ini semua. Betapa bahagianya Tuan Dean memiliki anak yang bahkan tidak pernah ia impi
"Itu tidak masalah. Berarti benar dia bahagia bukan?" Noura membalas ucapan Renee yang masih semangat memprovokasi. "Sekali lagi aku katakan, itu bukan bahagia. Tapi, lebih ke beruntung karena tidak perlu capek-capek mencari perempuan lain untuk ia jadikan mesin pembuat anak.""Jaga ucapan Anda, Nona!" Ibunya Noura menyahut kesal. Raut wajahnya terlihat menahan emosi karena ucapan-ucapan Renee yang dinilainya tidak mendasar. Renee tidak kalah saat berhadapan dengan dua orang wanita di depannya yang kini sudah mulai terbawa emosi. Ia memang sengaja melakukan itu sebab rasa sakit hatinya karena Dean yang lebih memilih Noura dibanding dirinya."Terserah kalian saja mau percaya aku atau tidak." Renee berkata seraya berbalik hendak meninggalkan ruangan. "Kau bisa tanyakan sendiri kepada Dean," ucapnya menghentikan langkah. Ia kemudian berbalik, "Ah, tapi aku tidak yakin dia mau mengaku. Karena beda ceritanya padaku, lain juga kepadamu nanti. Entahlah, aku sangat hapal dirinya." Renee te
Seperti saran yang Feli berikan, Dean kemudian menemui dokter untuk berkonsultasi mengenai kondisi Noura. "Saya awalnya tidak memperhatikan hal tersebut, Dok. Tapi, temannya yang menyadari bahwa istri saya berubah menjadi sensitif.""Sensitif seperti apa?""Saya sendiri tidak tahu pasti, tapi Noura terlalu berlebihan saat menganggap suatu hal. Seketika ia cemas dan khawatir. Seperti serangan panik, Dok. Bahkan, kemarin tiba-tiba ia menangis. Dan saat saya tanya, ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja."Dokter mengangguk dan begitu serius saat mendengar cerita Dean. Bukan perkara baru ketika seorang ibu yang baru melahirkan mengalami hal tersebut. Dokter tahu itu. "Begini, Tuan Dean. Kecurigaan saya, kemungkinan Bu Noura mengalami sindrom baby blues. Perubahan hormon membuat hal tersebut muncul.""Baby Blues? Apa itu berbahaya?" Dean seperti baru mendengar penyakit tersebut. "Pada dasarnya sindrom baby blues tidaklah berbahaya jika ditangani dengan baik. Tapi, akan membahayakan
Semua hal yang baru Dean alami, entah mengapa terasa mudah terjadi. Noura yang terjatuh ke kolam dan mengalami keram, tiba-tiba harus melahirkan. Setelah ia menyetujui tindakan operasi, nyatanya ia harus dihadapkan pada pilihan antara istri atau anaknya. Namun, ketika ia sudah memilih supaya dokter menyelamatkan sang istri, Tuhan justru memberi keduanya. Tidak ada yang ditakdirkan meninggal lebih dulu. Hal tersebut membuat Dean tak berhenti mengucap rasa syukur. Lain kebahagiaan yang Dean alami dengan apa yang Noura pikirkan saat ini. Setelah beberapa menit kemudian ia siuman, Dean memberi tahu padanya tentang kondisi yang sudah mereka lalui. Noura jelas tidak menyangka jika dirinya sempat berada di fase kritis seseorang yang akan melahirkan. Tapi, begitu ia mendengar tidak ada hal buruk yang terjadi, seketika ia menyadari sesuatu. "Keberuntungan apa yang kamu tukarkan pada Tuhan demi menyelamatkan hidup kami, Dean?" tanya Noura setelah beberapa waktu sudah bisa kembali normal. Efe
Tuhan, mungkin aku bukan seorang hamba yang taat. Bukan juga seorang hamba yang baik. Keburukan serta maksiatku mungkin lebih banyak dibanding kebaikanku selama ini. Tapi, Tuhan, andai aku boleh meminta. Sebagai seorang hamba yang jauh dari kata sempurna, aku ingin Engkau menyelamatkan istri dan anak hamba." Di dalam sebuah rumah ibadah yang terdapat di area luar rumah sakit, Dean menengadahkan tangan untuk berdoa. "Pikiran warasku tidak bisa memilih mana yang harus diselamatkan dan mana yang harus dikorbankan. Keduanya sama berharganya." Suara Dean mulai bergetar. "Dulu mungkin aku membencinya. Ia yang aku tuduh sebagai seorang pembunuh, nyatanya sekarang mampu meluluhlantakkan hati dan jiwaku. Aku tak mau kehilangannya, Tuhan. Sama seperti ketika aku menyesal atas kepergian anakku yang pertama, saat ini juga aku tak mau anakku yang lain pergi sebelum aku melihat dan membesarkannya."Dean sudah mulai menangis. Tangisnya terdengar pilu seiring suaranya yang semakin lirih berdo'a.
Pikiran Dean seketika berkecamuk. Melihat Noura terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah pusat, membuatnya tidak bisa berpikir tenang. "Anda harus segera menandatangani surat persetujuan tindakan operasi, Tuan Dean." Dean yang masih belum bisa berpikir jernih, kaget ketika dokter kembali berbicara kepadanya. "Di mana saya harus tanda tangan?""Anda bisa ikut saya."Dean sebetulnya tidak rela meninggalkan Noura sendirian bersama para tenaga medis yang sudah terlihat bersiap melakukan tindakan operasi. Tapi, ia harus patuh pada peraturan. Mau tak mau ia harus mematuhi ucapan dokter di mana ia harus menyetujui tindakan operasi Caesar yang akan Noura lalui. "Maaf sebelumnya, Tuan Dean. Dengan berat hati saya mau menyampaikan hal penting yang mungkin akan membuat Anda kaget atau tidak terima." Di ruangannya, dokter mengatakan hal tak mengenakan kepada Dean. "Hal penting apa, Dok?"Dokter berkaca mata itu membuka sebuah map berisi lembaran kertas yang menunjukkan riwayat pasien. "