Waktu pagi menjelang, matahari muncul di sela-sela tirai jendela di kamar Noura. Perempuan itu sudah bangun sejak pagi, dan saat ia keluar dari kamar mandi sudah terlihat terang kamarnya. Noura membuka tirai dan membiarkan sinar mentari menyapa serta menghangatkan ruangan kamarnya. "Selamat pagi, Dunia!" sapa Noura sembari menghirup udara pagi yang datang. Terasa segar ketika angin bertiup menerpa wajahnya. Berpadu dengan kehangatan matahari pagi yang sudah menerangi semesta. "Udara yang begitu segar," ucapnya merasa tenang. Selama beberapa menit Noura berdiri dan diam di jendela kamar. Memejamkan mata sembari menikmati sensasi luar biasa yang mampu membuat hati dan jiwanya tenang. Tak lama kemudian Noura membuka mata. Masih memandang langit yang cerah ia tersenyum. Lalu, ketika tatapannya berpindah tak sengaja ia melihat mobil milik Dean yang terparkir asal di halaman. 'Jam berapa dia pulang?' gumam Noura yang mengetahui tentang undangan pesta keluarga Willow dari Alton. 'Pas
Kamar berukuran sangat luas itu terlihat gelap. Cahaya matahari hanya mampu melirik tak bersedia mengintip apalagi masuk. Suasananya terasa sepi, hanya suara detik di jam digital yang ada di atas meja nakas. 'Apakah ia baru tidur pagi sampai belum bangun di waktu yang sudah siang ini,' gumam Noura sambil terus berjalan menuju tempat tidur. Noura mengalami sedikit kesulitan ketika berjalan menyusuri kamar Dean. Kamar yang begitu luas, tapi penerangan yang terkesan pelit. Hingga setelah ia tersandung beberapa kali pada sofa atau barang yang ada di kamar tersebut, akhirnya Noura sampai dan berdiri di sisi ranjang berukuran besar milik suaminya. 'Bangun, Tuan. Ini sudah siang!' Bukannya membangunkan dengan benar, Noura malah bergumam pelan. Siapa yang akan mendengar kalau suaranya saja pelan. Bahkan, semut sekalipun tak bisa mendengar suara Noura yang pelan itu. "Tuhan! Apakah aku harus menggoyang tangannya supaya bangun atau cukup berbisik saja di telinganya?" tanya Noura berharap m
"Senin besok aku ada panggilan interview." Noura memberi tahu Dean tentang panggilan pekerjaan yang ia terima kemarin. Keduanya kini berada di area kolam renang. Dean meminta istrinya itu menemani selama ia berenang. "Aku tahu."Sontak Noura pun menatap Dean. "Tahu dari mana?" tanyanya sembari terus memperhatikan lelaki di bawahnya yang kini sudah kembali masuk ke dalam air. Noura merasa cemas jika benar Dean sudah tahu. Ia khawatir bila Dean berencana untuk menjegal atau membuatnya dipecat seperti kasus sebelumnya. "Dean! Dari mana kamu tahu? Jangan katakan kalau kamu berencana menghalangiku lagi." Noura sedikit menaikkan volume suaranya supaya suaminya itu dengar. Dean masih asik berenang ke sana kemari. Tampak mengabaikan pertanyaan Noura yang mulai terdengar kesal. Perempuan itu memilih untuk tak lagi bertanya. Pikirnya percuma jika Dean memang tak berniat menjawab pertanyaannya. Ponsel yang sejak tadi Noura diamkan, kini ia jadikan pusat perhatian. Tak peduli lagi dengan k
Ruangan berukuran sedang yang saat ini Noura berada di dalamnya begitu terasa sejuk dengan AC yang mengeluarkan udara dingin ke seluruh ruangan. Seorang lelaki muda di depannya tampak serius ketika membaca CV milik Noura yang ada di kotak emailnya. "Anda seseorang yang luar biasa. Jabatan Anda sebagai kepala divisi di stasiun TV yang sangat terkenal seperti sebuah candaan ketika Anda melamar di tempat seperti ini," ucap lelaki itu sesekali menatap Noura. "Apa Anda tidak salah, Mbak Noura?" lanjutnya. "Salah kenapa, Pak?""Ya, apa Anda tidak salah melamar kerja sebagai seorang pelayan di restoran cepat saji seperti ini?""Tidak, Pak. Saya benar telah melamar kerja di sini ketika tahu ada lowongan."Lelaki itu kemudian menatap Noura serius. Tampangnya tidak main-main ketika hendak melontarkan kata demi kata kepada Noura. "Dengan pengalaman dan disiplin ilmu yang Anda punya, seharusnya Anda tidak melamar ke sini. Saya yakin masih banyak tempat atau perusahaan yang mau menerima Anda s
"Restoran dan kafe, apa kamu serius melamar ke dua tempat itu?""Aku bahkan sudah diterima," sahut Noura seakan bangga. "Yeah, tapi restoran?" Kenz tampak tersenyum. "Itu bukan passion-mu, Noura.""Perusahaan dengan passion yang aku miliki tidak ada satu pun yang memanggil apalagi menerima aku." Noura menyahut pasrah. "Itu pasti karena lelaki brengsek itu!" Kenz tampak kesal. "Dan anehnya kamu masih bertahan bersamanya." Lagi-lagi Kenz menyenggol, dan hal itu hanya membuat Noura tersenyum. "Jadi, menurutmu mana yang harus aku pilih? Apa lebih baik aku ambil keduanya saja? Lumayan 'kan yah gajinya double." Noura terkekeh. Kenz juga ikut tertawa. Sejenak ia berpikir apa jawaban yang sekiranya bisa ia sampaikan pada Noura. "Bagaimana kalau kamu ambil keduanya?"Noura tampak senang mendengar saran yang Kenz berikan. "Jadi, kamu setuju kalau aku ambil keduanya supaya penghasilanku banyak?""Ya, salah satunya itu. Tapi, ada hal lain yang aku pikirkan supaya kamu mengambilnya.""Apa it
Noura benar- benar menikmati masa kerjanya yang baru. Pagi bekerja di restoran cepat saji, dan sore menjelang malam ia sudah berada di salah satu kafe yang ada di pinggiran kota. Semua ia jalani dengan penuh senyuman. Bahkan, ia seperti menemukan jati dirinya yang baru di usianya yang akan menuju kepala tiga. Bertemu dengan orang-orang baru dalam bidang pekerjaan yang berbeda dengan disiplin ilmu juga pengalaman bekerjanya selama ini, membuat Noura bahagia. Kebahagiaan yang ia harap tak akan lagi direbut oleh Dean. "Mbak, bisa minta tolong siapin meja kosong buat sepuluh orang?"Siang itu di hari kelimanya sebagai seorang waitress, Noura bekerja dengan sangat giat. Jam makan siang di akhir week day membuatnya sangat sibuk. Banyak orang yang datang berkunjung untuk menikmati makan siang yang sebetulnya sudah lewat. Namun, meski pengunjung ramai yang otomatis akan membuat Noura sibuk, ia tetap bekerja dengan wajah begitu ceria. 'Siapa yang tidak bahagia jika bisa melewati hari denga
Noura tampak tak nyaman kali ini. Setelah momen di mana Dean mengantarnya bekerja, sejak saat itu teman-temannya saling berbisik setiap kali ia lewat. 'Apakah ia seorang simpanan?''Mobilnya sangat mewah. Tapi, tidak tahu siapa yang ada di balik kemudi.''Jangan berburuk sangka, siapa tahu dia memang benar-benar anak orang kaya yang lagi gabut. Gak punya kerjaan karena uangnya banyak, yang membuatnya asal memilih kerjaan.'Ucapan-ucapan itu yang tak sengaja Noura tangkap dari para waitress senior-nya di restoran. Meski sebelumnya diterima dengan baik di tempat tersebut, tapi ada sebagian dari mereka yang langsung bersikap lain setelah melihat momen pagi tadi. "Tak mungkin jadi sugar baby bukan, ia terlalu tua. Kalau simpanan om-om atau pengusaha kaya mungkin saja. Tapi, kalau anak dari keluarga kaya raya, sepertinya itu tak masuk akal. Lihat saja pakaiannya jauh dari kata bagus. Bukan baju yang bermerk khas orang kaya pada umumnya."Siang saat jam istirahat, Noura yang memilih makan
Noura masih membeku di posisinya ketika semua mata memandang ke arahnya. Bukan cuma sang kapten, tapi beberapa rekan senior yang sudah akan keluar tampak berdiri dengan tatapan sinis padanya. "Noura!" Sang kapten memanggil. Namun, wanita itu masih tak bergeming dan masih diam dengan perasaan khawatir. "Noura, apa kamu baik-baik saja?" Kembali sang kapten memanggil, bahkan menunjukkan sikap perhatian yang membuat Dean melirik sebentar. "Ah! Ehm, aku oke! Yeah, ada yang bisa aku bantu, Kapten?" sahut Noura terlihat gugup. "Tolong ke sini sebentar! Tuan Dean minta tolong kamu memilihkan makanan atau minuman untuk menemani waktu sorenya.""Eh, yah. Baik." Noura tampak sulit mengendalikan dirinya. Hal tersebut membuat kecurigaan para senior semakin nyata adanya. Noura berjalan menghampiri Dean dan kapten restoran dengan diiringi tatapan para senior yang masih belum beranjak. Mereka bahkan sudah mulai berbisik satu dengan yang lain. 'Apakah yang kapten katakan benar, kalau ternyata o
Setelah hampir seminggu menginap di kediaman Dean, Feli dan Hans akhirnya pamit pulang. Meskipun Noura sedikit tak rela, ia tetap melepaskan kepergian sang kawan beserta keluarganya itu. "Mainlah nanti." Feli berbicara pada Noura sesaat hendak masuk ke dalam mobilnya. "Nanti kalau bayiku sudah besar, aku pasti akan main ke sana.""Untuk apa menunggu bayimu besar?" sahut Feli menatap aneh. "Kita ini bukan orang tua zaman dulu yang apa-apa harus menunggu. Zaman kita sudah jauh berbeda. Mau anak kita masih bayi atau sudah besar, mereka akan aman. Karena fasilitas penunjang zaman sekarang yang sudah jauh lebih baik.""Ya, aku tahu.""Ya, terus?"Noura tersenyum menatap kawannya itu. "Setidaknya aku harus meminta izin pada Dean untuk masalah itu.""Ya, itu jelas. Kamu memang harus meminta izin padanya." Feli berkata kemudian masuk dan menutup pintu mobil. "Tapi, ngomong-ngomong ... bagaimana kelanjutan hubungan kalian? Akan lanjut atau bagaimana?" Rasa penasaran Feli akhirnya bisa dilua
"Mat bodoh, Noura." Sarah masih kesal dengan kelambatan Mat dalam berpikir. Untuk itu ia sengaja memberi tahukan semua orang tentang kekesalannya tersebut. "Sarah, apakah harus semua orang kamu beri tahu tentang masalah ini?" Mat ikutan kesal sekarang. Harga dirinya sebagai lelaki merasa direndahkan oleh kekasihnya itu. "Tidak. Aku hanya memberi tahu Dean dan Mat." Sarah terlihat berkilah. "Nanti ada yang datang, kau beri tahu juga?""Tidak." Sarah menjawab cepat. "Oh iya, Noura. Bisakah kita bicara berdua?" lanjut wanita itu seraya beranjak berdiri. Mat melihat Dean dengan ekspresi kesal yang masih belum hilang. "Dean, apakah sedang ada konspirasi saat ini antara dua wanita di depan kita?""Kamu ini bicara apa sih, Mat? Konspirasi apa?" Noura menyahut sambil tertawa geli. "Ya ... ini. Antara aku dan Sarah belum selesai bicara, tapi dia malah mengajakmu pergi. Aku yakin sekali, dia mau membicarakan atau menjelekkan aku padamu."Tidak hanya Noura, Sarah bahkan menatap tak percaya
Mat menatap Feli yang tengah ditenangkan oleh suaminya, Hans. Di sebelahnya Sarah menyenggol lengannya dengan pandangan kesal.'Apa?' gumam Mat pada kekasihnya itu, tidak paham apa yang terjadi. "Apakah Dean belum cerita pada kalian, bahwa Noura terindikasi kena sindrom baby blues?" Hans berkata pada sejoli di depannya. "Hah! Benarkah?" Sarah menyahut kaget. Di sampingnya —Mat, terlihat seperti orang bodoh dengan wajah bengong dan mata berkedip lambat. "Ya, saat di rumah sakit aku sudah menyadarinya. Ketika kalian asik mengobrol seru sembari melihat si kecil, saat itu aku mendapati kesedihan yang Noura alami.""Kenapa dia sedih?" Sarah tampak penasaran. "Itu karena doa Dean.""Doa Dean?" Mat dan Sarah berseru kompak. Dean yang namanya disebut, menengok pada kumpulan sahabatnya yang ada di ruang makan. Tatapannya curiga bahwa ia tengah dibicarakan. Namun, Mat memberi respon senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Alhasil, Dean kembali berbincang seru dengan para kerabat yang mengunju
Seluruh penghuni kediaman Waverly sangat berbahagia dengan kehadiran bayi tampan nan lucu yang otomatis akan menjadi pewaris tunggal keluarga kaya tersebut. Kehadirannya di tengah-tengah keheningan rumah membuat bayi Dean dan Noura menjadi satu-satunya pusat perhatian. Feli dan Hans turut gembira dengan kebahagiaan yang terasa di rumah mewah tersebut. Bahkan, keduanya tidak sungkan menyambut para kerabat jauh Dean bersama Mat dan Sarah.Kedua pengusaha itu seperti memiliki chemistry satu sama lain, termasuk istri dan pacar mereka yang terlihat ramah dan cepat akrab. "Saya tidak menyangka bahwa rumah ini akan ramai." Alton, salah satu penghuni terlama di rumah tersebut tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang dirasakannya. "Kau beruntung, Alton, bisa menyaksikan ini semua," ujar Mat menimpali. "Ya, Tuan Mat. Andai saya dulu resign ketika Tuan dan Nyonya Waverly wafat, tentu saya tidak akan melihat ini semua. Betapa bahagianya Tuan Dean memiliki anak yang bahkan tidak pernah ia impi
"Itu tidak masalah. Berarti benar dia bahagia bukan?" Noura membalas ucapan Renee yang masih semangat memprovokasi. "Sekali lagi aku katakan, itu bukan bahagia. Tapi, lebih ke beruntung karena tidak perlu capek-capek mencari perempuan lain untuk ia jadikan mesin pembuat anak.""Jaga ucapan Anda, Nona!" Ibunya Noura menyahut kesal. Raut wajahnya terlihat menahan emosi karena ucapan-ucapan Renee yang dinilainya tidak mendasar. Renee tidak kalah saat berhadapan dengan dua orang wanita di depannya yang kini sudah mulai terbawa emosi. Ia memang sengaja melakukan itu sebab rasa sakit hatinya karena Dean yang lebih memilih Noura dibanding dirinya."Terserah kalian saja mau percaya aku atau tidak." Renee berkata seraya berbalik hendak meninggalkan ruangan. "Kau bisa tanyakan sendiri kepada Dean," ucapnya menghentikan langkah. Ia kemudian berbalik, "Ah, tapi aku tidak yakin dia mau mengaku. Karena beda ceritanya padaku, lain juga kepadamu nanti. Entahlah, aku sangat hapal dirinya." Renee te
Seperti saran yang Feli berikan, Dean kemudian menemui dokter untuk berkonsultasi mengenai kondisi Noura. "Saya awalnya tidak memperhatikan hal tersebut, Dok. Tapi, temannya yang menyadari bahwa istri saya berubah menjadi sensitif.""Sensitif seperti apa?""Saya sendiri tidak tahu pasti, tapi Noura terlalu berlebihan saat menganggap suatu hal. Seketika ia cemas dan khawatir. Seperti serangan panik, Dok. Bahkan, kemarin tiba-tiba ia menangis. Dan saat saya tanya, ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja."Dokter mengangguk dan begitu serius saat mendengar cerita Dean. Bukan perkara baru ketika seorang ibu yang baru melahirkan mengalami hal tersebut. Dokter tahu itu. "Begini, Tuan Dean. Kecurigaan saya, kemungkinan Bu Noura mengalami sindrom baby blues. Perubahan hormon membuat hal tersebut muncul.""Baby Blues? Apa itu berbahaya?" Dean seperti baru mendengar penyakit tersebut. "Pada dasarnya sindrom baby blues tidaklah berbahaya jika ditangani dengan baik. Tapi, akan membahayakan
Semua hal yang baru Dean alami, entah mengapa terasa mudah terjadi. Noura yang terjatuh ke kolam dan mengalami keram, tiba-tiba harus melahirkan. Setelah ia menyetujui tindakan operasi, nyatanya ia harus dihadapkan pada pilihan antara istri atau anaknya. Namun, ketika ia sudah memilih supaya dokter menyelamatkan sang istri, Tuhan justru memberi keduanya. Tidak ada yang ditakdirkan meninggal lebih dulu. Hal tersebut membuat Dean tak berhenti mengucap rasa syukur. Lain kebahagiaan yang Dean alami dengan apa yang Noura pikirkan saat ini. Setelah beberapa menit kemudian ia siuman, Dean memberi tahu padanya tentang kondisi yang sudah mereka lalui. Noura jelas tidak menyangka jika dirinya sempat berada di fase kritis seseorang yang akan melahirkan. Tapi, begitu ia mendengar tidak ada hal buruk yang terjadi, seketika ia menyadari sesuatu. "Keberuntungan apa yang kamu tukarkan pada Tuhan demi menyelamatkan hidup kami, Dean?" tanya Noura setelah beberapa waktu sudah bisa kembali normal. Efe
Tuhan, mungkin aku bukan seorang hamba yang taat. Bukan juga seorang hamba yang baik. Keburukan serta maksiatku mungkin lebih banyak dibanding kebaikanku selama ini. Tapi, Tuhan, andai aku boleh meminta. Sebagai seorang hamba yang jauh dari kata sempurna, aku ingin Engkau menyelamatkan istri dan anak hamba." Di dalam sebuah rumah ibadah yang terdapat di area luar rumah sakit, Dean menengadahkan tangan untuk berdoa. "Pikiran warasku tidak bisa memilih mana yang harus diselamatkan dan mana yang harus dikorbankan. Keduanya sama berharganya." Suara Dean mulai bergetar. "Dulu mungkin aku membencinya. Ia yang aku tuduh sebagai seorang pembunuh, nyatanya sekarang mampu meluluhlantakkan hati dan jiwaku. Aku tak mau kehilangannya, Tuhan. Sama seperti ketika aku menyesal atas kepergian anakku yang pertama, saat ini juga aku tak mau anakku yang lain pergi sebelum aku melihat dan membesarkannya."Dean sudah mulai menangis. Tangisnya terdengar pilu seiring suaranya yang semakin lirih berdo'a.
Pikiran Dean seketika berkecamuk. Melihat Noura terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah pusat, membuatnya tidak bisa berpikir tenang. "Anda harus segera menandatangani surat persetujuan tindakan operasi, Tuan Dean." Dean yang masih belum bisa berpikir jernih, kaget ketika dokter kembali berbicara kepadanya. "Di mana saya harus tanda tangan?""Anda bisa ikut saya."Dean sebetulnya tidak rela meninggalkan Noura sendirian bersama para tenaga medis yang sudah terlihat bersiap melakukan tindakan operasi. Tapi, ia harus patuh pada peraturan. Mau tak mau ia harus mematuhi ucapan dokter di mana ia harus menyetujui tindakan operasi Caesar yang akan Noura lalui. "Maaf sebelumnya, Tuan Dean. Dengan berat hati saya mau menyampaikan hal penting yang mungkin akan membuat Anda kaget atau tidak terima." Di ruangannya, dokter mengatakan hal tak mengenakan kepada Dean. "Hal penting apa, Dok?"Dokter berkaca mata itu membuka sebuah map berisi lembaran kertas yang menunjukkan riwayat pasien. "