Sekian detik Noura membisu. Tapi, tak lama kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Kalimat yang Hary ucapkan terdengar sangat lucu dan tak masuk akal. Hal tersebut membuat Hary menatap sebal. "Kalau gak percaya ya sudah. Aku cuma menyampaikan apa yang aku lihat sebagai seorang lelaki. Lagipula, itu bukan masalah juga 'kan?" tanya Hary yang langsung mengambil gelas berisi air jeruk yang baru saja dibawa oleh pelayan. "Ya, memang bukan masalah. Tapi, jangan mengarang cerita juga. Itu terlalu berlebihan.""Berlebihan atau tidak itu tergantung orang yang mencernanya," ucap Hary setelah meminum setengah gelas air berwarna kuning tersebut. "Kaka tanyakan sendiri saja sama Kak Dean. Apakah dia masih mencintai Rachel atau sekarang sudah ada nama Kak Noura di hatinya.""Ih, untuk apa? Gak penting banget.""Ya, emang gak penting juga sih. Lagian pernikahan kalian juga gak akan lama 'kan?"Noura terkejut mendengar ucapan Hary. Bagaimana bisa adiknya itu berpikir demikian? Apakah Dean sudah mengat
Sebelum makan malam, Dean sudah sampai rumah. Terlihat Noura menunggunya di ruang keluarga sembari menonton TV. "Kamu sudah pulang?" tanya perempuan itu seraya bangkit berdiri. "Hem." Dean berjalan, lalu duduk di sofa tunggal di samping Noura. Tas kerja sudah berpindah ke tangan Alton. Kepala pelayan memerintahkan seorang pelayan untuk mengambilkan air minum. "Biar aku saja, Alton." Tiba-tiba Noura berkata, lalu pergi. "Kamu mau ke mana?" Dean bertanya saat Noura hendak melewatinya. "Ambil air minum untuk kamu.""Biar pelayan saja. Kamu duduk di sini. Ada yang mau aku tanyakan."Noura pun urung pergi. Alton kembali memberi perintah pada pelayan yang tadi hampir akan pergi sebelum Noura mencegahnya. "Duduk." Dean meminta Noura supaya kembali duduk. Istrinya itu menurut. Meski sedikit ragu, ia berusaha untuk tetap diam dan tidak melawan. "Adikmu tadi jadi ke sini?""Jadi. Kamu sudah kasih izin padanya bukan?"Dean mengangguk. "Apa saja yang ia ceritakan padamu?""Cerita apa?" N
"Dean, berhenti dulu."Noura tampak kepayahan. Wajahnya memerah dengan bulir keringat yang membasahi seluruh tubuh Dean yang berada tepat di atasnya berhenti sesaat. "Ada apa? Apa aku melukaimu?" tanya lelaki itu mendadak khawatir. "Eh, tidak. Bukan itu," jawab Noura masih dengan suara pelan. "Lalu?" Dean sudah bergeser dan tidak lagi menindih sang istri. Lelaki itu menunggu istrinya bicara sembari mengatur napas yang masih tersengal. "Apa yang sakit?" Kembali Dean bertanya. "Tidak ada yang sakit, Dean.""Ya, terus apa? Kenapa kamu memintaku berhenti?"Biasanya Dean akan marah ketika olahraga malamnya ditolak oleh Noura. Bahkan, ia tak sungkan melakukan pemaksaan meski istrinya itu bersikap enggan. Tapi, anehnya malam ini setelah ia tiba-tiba menyerang Noura, segala sesuatunya terlihat berubah. Dean bahkan rela berhenti di tengah-tengah aksi panasnya ketika Noura memintanya berhenti. "Aku cuma butuh bernapas sebentar.""Kenapa malam ini kamu payah sekali?" Dean bertanya balik.
Dean melihat Noura meringis kesakitan. "Jangan berlebihan. Kita melakukan hal semalam bukan pertama kali."Kekhawatiran yang Dean rasakan, ia alihkan dengan berkata sinis. "Ya, maafkan aku. Mungkin aku memang terlalu lemah untuk melakukan hal itu semalam." Noura malah meminta maaf. Hal tersebut semakin membuat perasaan Dean tak enak. "Jangan membuatku kesal. Pagi ini aku ada meeting dan harus segera berangkat agar tidak kena macet. Jadi, cepat katakan apa yang kamu rasakan? Aku tidak tahu kalau kamu tidak bilang."Noura menatap Dean dan berusaha tersenyum. "Aku baik-baik saja. Kamu bisa pergi sekarang. Lagipula bukankah selama ini kamu selalu pergi tanpa pamit padaku?" Noura kembali dalam mode menyebalkan.Dean mulai terbawa suasana. Ucapan Noura jelas arusnya. Bila diladeni tak mungkin jika mereka tidak bertengkar. "Yeah. Sepertinya aku terlalu berlebihan dan menganggapmu kenapa-kenapa." Akhirnya Dean mengalah. Ia memilih beranjak dan berdiri dengan usaha menahan emosinya yang l
Noura sudah tidur ketika Dean pulang kantor. Perempuan itu tidur setelah mengobati lukanya. "Di mana dia?" tanya Dean pada Alton sembari berjalan menuju lantai atas. "Di kamarnya. Nona sepertinya sudah tidur. Sebab beliau tidak mau diganggu. Bahkan, untuk makan malam sekali pun.""Apa maksudmu dia belum makan?" tanya Dean yang tiba-tiba menghentikan langkahnya di tengah anak tangga. "Benar, Tuan." Alton mengangguk. "Kenapa kamu tidak bilang padaku?" Kembali Dean berjalan sambil ngomel. "Maafkan saya, Tuan. Saya tidak mengabari Anda." Alton jelas merasa heran. Tumben sekali tuannya menunjukkan perhatiannya kepada sang istri. Selama ini ia dan semua pelayan tahu jika Dean selalu bersikap kasar pada Noura. Bahkan, wanita itu disejajarkan dengan pelayan yang bekerja di rumah tersebut. Tapi, sejak beberapa hari kemarin, mungkin kalau Alton tidak salah ingat perubahan sikap Dean terlihat sejak kematian adik Noura. Sejak itu Dean terlihat berbeda meski sikap sinisnya terkadang masih a
Sikap Dean dan Noura seketika canggung. Noura yang hanya diam membeku dengan Dean yang terus menatap tubuhnya. "Kenapa kau diam saja saat aku bertanya tadi?" Dean bertanya tentang sikap Noura yang diam waktu bangun tidur. "Aku tidak mau dianggap berlebihan."Noura masih belum menatap Dean. Bukannya tidak berani, hanya saja suasana yang terasa begitu lain dari biasanya. "Lebih baik kita ke dokter." Dean kemudian menyimpulkan sendiri. "Eh, aku gak mau!" seru Noura seketika bangun. Tapi, Dean langsung mendorong dan menyuruhnya kembali berbaring. Noura tak melawan. Ia memilih kembali diam sebab tak mau membuat keributan. "Aku sudah mengobatinya. Ini tak akan lama. Aku yakin akan segera sembuh.""Dari mana kamu tahu?""Kamu sudah lihat obatnya 'kan? Aku juga sudah browsing, obat itu ampuh untuk mengobati luka yang aku alami sekarang.""Siapa yang menjamin kalau tidak akan ada infeksi?" Sesekali Dean menatap wajah Noura, lalu ke arah bawah. Demi mendengar kalimat Dean, sontak Noura m
"Apakah ada kabar dari adikmu?" tanya Dean setelah ia dan Noura berada di ruang makan.Di sebelahnya Noura tengah memakan makanan yang pelayan sajikan. Ia sendiri hanya menemani dan memastikan jika wanita itu makan dengan benar. "Ada. Hary bilang kalau besok ia bisa langsung masuk kerja.""Benarkah?""Ya.""Ehm, baguslah kalau begitu." Dean merasa puas dengan kabar yang didapatnya. "Apakah kamu tidak tahu? Kenapa kamu bertanya hal itu, tidakkah Mat memberi tahu?" tanya Noura dengan mulut yang penuh dengan makanan. "Kunyahlah dulu. Kau ini perempuan, makan dengan benar." Dean menatap tak suka. "Bukankah kau ini seorang kepala divisi di salah satu stasiun televisi ternama? Tidak mungkin kau tidak memiliki table manner yang baik secara interaksimu bukan hanya bertemu dengan karyawan atau orang-orang biasa."Noura mendelik sebal. "Jangan bicarakan table manner kalau apa yang aku punya sudah kamu rebut.""Apa hubungannya antara kebahagiaan yang aku ambil dengan tata cara makan yang ben
"Kenapa kamu masih mempertahankan pernikahan pura-pura ini kalau sudah ada wanita lain yang dengan senang hati mau menjadi istrimu yang sebenarnya?" Noura bertanya pada Dean yang tengah mengobati lukanya. Sedikit ringisan sebab rasa perih yang ia rasakan saat Dean menyentuhnya. Dean yang sedang fokus mengamati luka serta mengoleskan salep di area yang lecet, seketika terdiam. Sekian detik membisu, ia kemudian memilih menyelesaikan urusannya. "Siapa wanita yang kau maksud? Apakah Renee?" tanya Dean setelah selesai. Ia lalu menyimpan kembali salep ke dalam wadah kemasannya. Setelahnya ia mengambil obat pereda nyeri untuk Noura minum. "Ya. Seperti yang sebelumnya aku pernah bilang, saudara Rachel itu sepertinya tertarik padamu." Noura memilih untuk berterus terang meluapkan uneg-unegnya. "Seperti yang sebelumnya juga aku pernah bilang, itu bukan urusanmu. Dalam hubungan pernikahan kita, aku yang menentukan semuanya." Dean mengambil gelas yang sudah kosong isinya. "Terima kasih," uc
Perlahan Dean berjalan menghampiri Noura yang melihat ke arah lain. Di sebelahnya ibu mertua menatap bingung. "Hai! Are you okay?" tanya Dean dengan suara pelan dan lembut. Noura mengangguk lemah tanpa menengok atau melihat wajah suaminya itu. "Perutmu masih sakit?"Kali ini Noura menggeleng. Lagi-lagi enggan melihat wajah Dean. Pengusaha itu lalu mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan sang istri. Tak ada respon, genggaman itu tetap terjadi. "Ada apa?" Dean memberanikan diri bertanya. Jarinya mengusap lembut telapak tangan Noura. Noura diam tak menjawab. Mulutnya masih membisu seolah berat untuk bersuara. Ibu Noura menoleh dan menatap bingung Dean. Wanita paruh baya itu jadi makin tak mengerti apa yang tengah terjadi pada sang putri. "Noura, apa yang kamu rasakan?""Enggak ada, Bu. Aku baik-baik saja."Dean melongo tak percaya. Saat ia bertanya, Noura hanya menjawab dengan gerakan. Tapi, begitu sang ibu bertanya justru dijawab dengan suara yang jelas. "Baiklah. Kalau kamu
Di sepanjang jalan menuju rumah sakit, Dean terus memikirkan kondisi Noura. Alton bilang istrinya itu pingsan setelah selesai makan siang. Dean benar-benar tak paham dengan kondisi kesehatan istri yang semakin hari sepertinya rawan sakit.'Apakah ini ada hubungannya dengan paska keguguran waktu itu?' batin Dean yang merasa tak mungkin. Sikap Dean tak luput dari perhatian Steven yang melihatnya dari kaca spion. Wajah Dean yang tampak sedih sekaligus khawatir, membuat Steven kasihan. 'Baru kali ini saya melihat Anda begini, Tuan. Kekhawatiran yang Anda tunjukkan terhadap kondisi Nona Noura membuat saya yakin jika Anda telah memiliki perasaan cinta terhadapnya.' Dalam hati Steven bicara. Perjalanan sedikit lambat karena keadaan lalu lintas di siang hari itu yang padat oleh kendaraan. Padahal jarak rumah sakit tempat di mana Noura dibawa hanya tinggal beberapa meter lagi. "Biar aku turun di sini, Steven." Dean tampak tak sabar. "Eh, tidak perlu, Tuan. Sedikit lagi kita sampai." Stev
"Kau ini bicara apa, Renee?" Kalimat yang Renee ucapkan nyatanya tidak Dean dengarkan secara seksama. Entah apa karena memang ia sengaja alias pura-pura atau memang ia tidak mengerti maksud perkataan Renee barusan. "Dean, aku minta maaf perihal kemarin.""Aku tidak masalah.""Tapi, aku yang kena masalah.""Ya, itu karena kamu yang memulai.""Makanya itu, Dean, aku minta maaf. Untuk itulah aku menghampiri dan bicara padamu."Dean diam, lalu mengangguk seolah mengerti. "Apa ada hal lain yang mau kau katakan?"Renee merasa keki sebab respon Dean yang biasa saja. Pengusaha itu seperti tak peduli dengan pertemuan mereka selain kata maaf yang ingin disampaikan. "Tidak ada.""Hem, ya sudah. Kalau begitu aku pergi. Masih ada urusan penting yang harus aku kerjakan.""Ehm, tapi, Dean!" seru Renee memanggil sesaat langkah Dean hendak meninggalkannya. "Ya?" Dean berbalik dan melihat ekspresi Renee yang kebingungan. "Ada apa?""Eh, itu ... kamu mau ke mana?"Renee merasa telah melontarkan p
"Apa maksudmu?" tanya Ronald kaget. Apa yang istrinya tahu tentang dirinya di belakang?"Hubunganmu dengan putri keluarga Willow, apalagi?"Ronald benar-benar dibuat terkejut dengan apa yang istrinya katakan. Rahasia yang hanya ia dan Renee saja yang tahu, justru diketahui dengan mudah oleh sang istri. "Dari mana kamu tahu?""Heh, tak penting dari mana aku tahu pengkhianatan yang kamu lakukan dengan wanita itu. Intinya tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Masing-masing dari kita pernah melakukan kesalahan dan khilaf.""Aku tidak akan melakukan itu kalau bukan karena kamu duluan yang melakukannya," sahut Ronald kesal. "Kamu tidak akan melakukannya kalau memang betul-betul lelaki baik dan setia." Terdengar suara lirih di seberang telinga Ronald. Sang istri sepertinya sudah mulai menangis. "Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku lelaki baik. Yang aku bilang tadi, aku memang brengsek, tapi aku adalah lelaki setia. Perihal akhirnya aku memiliki hubungan gelap dengan putri ke
Pekerjaan Ronald tidak berjalan dengan baik. Sepanjang siang lelaki itu terus mengomel dan mengomel. Bahkan, beberapa karyawannya kena semprot perihal laporan yang terlambat diselesaikan. "Maafkan saya, Pak. Saya akan segera selesaikan secepatnya." Seorang staf keuangan menjadi korban amukan Ronald siang itu. "Ya, memang harus cepat selesai. Kamu tahu deadline-nya itu hari ini. Tapi, masih banyak kesalahan dalam laporan yang kamu buat." Ronald melempar map ke atas meja. "Saya mengerti, Pak.""Ingat, yah? Sampai waktu jam pulang kamu masih belum selesai, kamu belum boleh pulang. Kamu tetap harus menyelesaikan hari ini juga.""Baik, Pak."Wanita itu lantas pergi meninggalkan ruangan Ronald. Mau biasa dimarahi, bila kembali kena marah hatinya tetap akan merasa sakit Apalagi kesalahan yang ia buat sebenarnya tidaklah banyak. Hanya saja Ronald sengaja mencoret banyak point yang sejatinya sudah benar. "Apa yang terjadi denganku ini? Kenapa semua pekerjaan berantakan dan tidak ada yang b
Noura tak mengindahkan ucapan Ronald dan malah pergi bersama ibu dan bayinya.'Aneh, kenapa aku merasa kecewa.' Lelaki itu membatin. Ronald masih memandang punggung Noura yang berjalan menuju sebuah lift. Hingga sosok wanita itu tak lagi terlihat, Ronald baru pergi menyusul turun. Tak berapa lama terdengar suara dering di ponsel miliknya. Nama Renee terpampang di layar ponsel. "Ya, halo!""Bagaimana, kamu sudah melakukan apa yang aku minta?""Ya, sudah.""Lantas, apa yang terjadi? Sudah berhasil membuat wanita itu terpesona?""Sepertinya belum.""Apa?!"Terdengar pekikan Renee, yang sontak membuat lelaki itu menjauhkan ponsel dari telinganya. "Jangan becanda, Ronald. Bukankah kamu sesumbar mampu membuat semua wanita jatuh hati karena pesonamu. Lalu, apa yang aku dengar sekarang? Seolah ucapanmu kemarin hanya sebuah bualan saja.""Aku bilang belum, bukan tidak.""Ya aku tidak tuli. Tapi, kata-katamu itu terdengar pesimis. Kenapa, kamu tidak yakin bisa membuatnya tergoda?"Ronald ta
Satu pekan setelah Noura melahirkan, ia membawa bayinya itu kembali ke rumah sakit. Jadwal imunisasi dan kontrol jahitan, memaksa Noura harus pergi bersama sang ibu. "Maafkan aku, Noura. Ada rapat yang tidak bisa aku tinggalkan." Hari itu Dean tidak bisa menemani sang istri pergi menemui dokter. Rasa penyesalan tampak di wajahnya yang tampan, yang membuatnya berulang kali menciumi sang istri. "Sudah, hentikan! Aku mengerti. Jadi, tidak perlu berlebihan," ucap Noura seraya menjauhkan dirinya dari Dean. "Hei, kenapa? Apakah kamu tidak suka?" Dean terlihat kesal sebab kecupan terakhirnya tidak mendarat dengan mulus. "Bukan tidak suka. Tapi, semalaman kamu sudah melakukan itu, Dean.""Ya, lantas kenapa?" Dean terlihat menahan tawa. "Aku menyukai itu. Kamu juga bukan?""Iya, tapi aku risih karena kamu begitu berlebihan melakukannya."Kali ini Dean tak bisa menahan tawa, membuatnya menarik tangan Noura yang akan menghampiri boks bayi. "Eh! Dean!" pekik Noura saat tubuhnya sudah berada
Noura terdiam sambil masih menatap suaminya itu. Sedangkan Dean, tampak menunggu jawaban apa yang istrinya akan berikan. "Aku pasrah saja. Biar Tuhan yang memberiku arah dan jalan, mau dibawa ke mana pernikahan kita ini."Dean terlihat tak puas dengan jawaban Noura. Ia sepertinya mengharapkan jawaban lebih yang membuat hatinya tenang, sekaligus bahagia. "Sekarang gantian aku yang bertanya." Noura membalas, duduk berhadapan dengan Dean yang sepertinya kaget akan responnya. "Tanya apa?""Kamu itu tidak pernah mencintaiku, jadi menurutku benar apa yang Renee katakan bahwa kelahiran bayi kita hanya sekedar bentuk tanggung jawab.""Sudah aku katakan, jangan dengarkan perempuan itu." Dean menyela kalimat Noura. "Tolong dengarkan aku dulu. Aku cuma mau tahu, apa alasanmu mencariku saat aku pergi? Bukankah kamu tidak pernah mencintaiku. Jadi, untuk apa? Untuk apa kita melanjutkan pernikahan ini?" Noura sengaja mencecar demi mengetahui perasaan apa yang suaminya miliki. "Untuk apa lagi se
Dean menatap kaget. Ia terkejut ketika untuk pertama kalinya mendapat penolakan dari wanita yang selama ini selalu menuruti perintahnya. Mengingat bahwa apa yang terjadi pada Noura bukan semata-mata karena keinginannya, membuat Dean mencoba untuk bersabar. Lelaki yang dalam hidupnya selalu mendapatkan apa yang diinginkan, untuk kali ini harus menghadapi sesuatu yang tak pernah dialaminya. "Kita bisa bicara tanpa perlu ada amarah, Sayang." Dean berkata begitu lembut. "Siapa yang marah?" sahut Noura masih dengan nada yang sama. "Aku tidak akan marah kalau kamu berkata jujur, Dean.""Iya, aku tahu. Tapi, bisakah kita duduk dengan santai, lalu membicarakan semuanya dengan sikap yang juga tenang. Kamu tidak mau bayi kita menangis karena pertengkaran kita bukan?"Dean benar-benar harus mencari pemilihan kata dengan tepat. Ia yang biasanya asal bicara dan menuduh, tak mau berkata sembarangan lagi di depan istrinya. Ia tak mau wanita yang sudah ada di dalam hatinya itu mengamuk dan kembali