Dean turun setelah memberikan perintah pada pelayannya untuk mengecek kondisi Noura. Lelaki itu hendak menemui seorang wanita yang belakangan mulai intens mendekatinya. Renee, gadis itu terlihat santai ketika memandangi beberapa poto yang berjajar rapi di atas meja buffet yang ada di ruang keluarga. Saat terdengar suara langkah kaki mendekat, ia merasa yakin jika itu adalah sosok sang tuan rumah. "Aku sama sekali enggak nyangka kalau kamu masih menyimpan bahkan memajang poto Rachel," ucap Renee tersenyum masih melihat satu buah poto di depannya. Di sana terlihat sosok kembarannya yang terlihat bahagia di momen pertunangannya dengan Dean, yang tidak sempat Renee hadiri. "Bukan sesuatu yang salah bukan?" sahut Dean yang memilih duduk di sofa tunggu seraya menyalakan televisi di depannya.Aksinya hanya iseng semata. Sebab pada dasarnya Dean tidak terlalu senang akan kedatangan Renee di kediamannya. "Tidak. Justru aku merasa senang. Ternyata sosok Rachel tak pernah tergantikan di hat
Dean sudah mengompres kening Noura dengan air hangat yang Renee bawa. Ia kemudian mencoba membangunkan istrinya itu agar mau meminum obat. Sedikit kesulitan dan baru bisa bangun setelah beberapa detik kemudian. "Dean, ada apa?" Noura bertanya lemah. Selain itu tatapannya terlihat sayu dengan wajah memerah sebab kondisi demam yang dialami."Kau demam. Minum obat dulu." Dean masih dengan sikapnya yang datar, tak berubah sama sekali. Hal yang memicu kesenangan bagi seorang Renee yang saat ini berdiri di samping Dean. Perlahan Noura melihat sekitar. Hawa panas juga rasa pusing yang kepalanya rasakan, membuat semua pergerakan perempuan itu terlihat menyedihkan. "Bangun perlahan. Minum obat dulu." Dean kembali berkata sebab Noura yang belum merespon. Noura mencoba bangun sembari Dean mengganjal bantal agar bisa menopang kepala istrinya itu. Sedangkan handuk yang dipakai untuk kompres masih menempel di kening. "Minum obat apa?" tanya Noura matanya tampak terpejam. "Obat penurun panas,
Jane terlihat memindai sosok Renee yang saat ini berjalan menghampirinya. "Kamu siapa?" tanya Jane setelah perempuan itu berdiri di depannya. Renee kemudian mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Sedikit ragu, Jane membalas uluran tangan perempuan itu. "Saya Renee. Saudara Rachel.""Ah! Rachel!" Seketika Jane berseru. Ekspresi-nya seketika berubah. "Dari tadi aku mikir, wajahmu mirip siapa? Seperti aku pernah melihat. Rupanya saudara Rachel. Pantas saja, muka kalian mirip.""Kami memang saudara kembar.""Oh yah? Benarkah?" Respon Jane terlihat takjub. Renee mengangguk. "Tapi, kenapa aku tidak pernah lihat kamu sebelumnya? Bahkan, saat pertunangan Dean dan Rachel waktu itu kamu tidak terlihat.""Saya tinggal di luar negeri. Waktu Rachel bertunangan dengan Dean, aku memang tidak datang karena ada pekerjaan penting yang tak bisa ditinggal," ujar Renee sembari melirik ke arah Dean. "Oh, begitu.""Apakah kamu masih mau berbicara dengannya?" Tiba-tiba Dean mengingatkan akan maksud d
"Kalian jaga dia baik-baik!" perintah Dean kepada dua pelayan yang sedang dihukumnya. "Jangan lupa pesanku, Noura. Selalu jaga kondisimu. Jangan malas makan dan minum," ucap Jane memberikan pesannya kepada Noura sebelum ia pamit pulang. "Saya akan ingat pesan Anda, Dok. Terima kasih untuk hari ini. Maaf sudah merepotkan.""Ah, tidak. Ini sudah menjadi tugasku sebagai dokter pribadinya." Jane menatap Dean tersenyum. Namun, dibalas dengan lengosan lelaki itu ke arah lain. "Kamu lihat, Noura. Ini memang sudah jadi tanggung jawabku. Bahkan, Dean sendiri tidak suka ketika ada orang yang mengucapkan terima kasih padaku." Jane sekali lagi membicarakan Dean. Sifat isengnya seperti sebuah hobi yang anehnya ditanggapi biasa oleh Dean. Noura hanya tersenyum kepada dua orang sahabat di depannya itu. Tak ada yang istimewa di hati dan pikiran Noura sebab hubungan keduanya tak ada keterikatan apapun dengan hidupnya. Dean dan Jane pun pergi meninggalkan kamar Noura. Membiarkan Noura canggung den
Sepanjang malam rupanya Dean tidak bisa tidur nyenyak. Sudah beberapa kali ia berguling ke kanan dan kiri, tapi kedua matanya sulit terpejam. Entah apa yang otaknya pikirkan, tapi sepertinya obrolan dengan Jane-lah yang saat ini menari-nari di benaknya. 'Waspada, Dean.'Kata itu yang masih Dean ingat. Hingga akhirnya rasa kantuknya pun menghilang. Padahal tadi ia masih menyelesaikan beberapa proposal yang belum diperiksa dan ditandatangani. Sebab beberapa kali mengantuk, ia pun menyudahi pekerjaannya. Tapi sekarang, justru rasa kantuk itu malah menghilang berganti dengan kekhawatiran sang sahabat akan hubungan pernikahannya dengan Noura. 'Kenapa aku harus memikirkan perempuan itu? Bukankah aku sudah katakan tak akan peduli?' batin Dean kesal. Sungguh tidak bisa dimengerti apa kemauan Dean ini sebenarnya. Sebentar ia peduli pada Noura, sebentar kemudian ia cuek pada istrinya itu. Padahal bila merujuk pada kesepakatan bersama, baik Dean atau Noura dilarang untuk ikut campur atau ped
"Tolong hentikan!" Noura hanya bisa berteriak ketika tubuhnya ditindih dan disentuh paksa oleh suami yang baru kemarin menikah dengannya itu. Namun, tak peduli berapa nyaring wanita itu berteriak, pria berambut hitam di atasnya tetap tak mengindahkan permintaan Noura. Noura kini hanya bisa menangis tersedu, menyesali keputusannya di hari itu ketika ia meminta Rachel —sahabatnya, untuk menggantikannya meliput berita karena adiknya yang tiba-tiba jatuh sakit. Entah bagaimana takdir berjalan, keputusannya itu berakibat pada Rachel yang terlibat dalam kecelakaan parah di jalan menuju pulang, dan berakhir tewas di tempat. "Jangan harap aku akan melepaskanmu, Noura. Detik ketika kamu menandatangani surat perjanjian dariku, kamu kehilangan hak untuk berbuat sesuka hatimu,” ucap Dean, menatap Noura dingin dengan manik gelapnya. Suite room di hotel yang berfungsi sebagai kamar pengantin mereka malam itu telah menjadi saksi bisu atas kekejaman yang Dean lakukan. Pria itu terus berbuat sesu
Jam sudah menunjuk ke angka sembilan pagi ketika Noura membuka mata setelah semalaman ia menangis sebab aksi Dean terhadapnya. Dean Waverly, seorang pengusaha sukses di usianya yang masih muda, ternyata memiliki sisi kejam di balik sikapnya yang ramah dan humble terhadap semua orang. Begitu yang saat ini ada di dalam pikiran Noura. Lelaki yang sukses membuat seluruh keluarga Willow senang dan bahagia sebab hampir menjadi bagian dari keluarganya yang kaya raya, tak ubahnya singa mematikan yang siap memangsa buruannya. Noura mencoba bangun dari tidurnya meski rasa nyeri di sekujur tubuhnya memintanya untuk diam dan istirahat. Sejenak ia memandang seluruh ruangan suite yang Dean sewa sebagai kamar pengantin mereka berdua. 'Ah, ini bukan kamar pengantin. Ini hanya ruang penyiksaan yang dibalut dengan hiasan indah,' batin Noura menangis. Selimut tebal yang menutupi tubuhnya perlahan Noura singkirkan. Tampak gaun pengantin berwarna putih, terlihat kusut dan koyak sebab paksaan yang
"Tugasmu bukan melamun, tapi menyelesaikan apa yang seharusnya kamu selesaikan." Di saat Noura masih berkutat dengan lap dan alat pembersih lainnya, Dean tiba-tiba muncul dan berkata sinis. "Maaf, Tuan Dean. Aku tidak melamun, tapi sedang membersihkan lemari kaca ini. Kalau aku tidak melakukannya pelan-pelan, aku khawatir akan membuatnya pecah." Noura mencoba membela diri. Ucapan Noura hanya direspon dengan tatapan sebal Dean. Lelaki itu yang sudah duduk di bangku meja makan, lantas mengambil sarapan yang sudah disiapkan. "Siapa yang membuat menu sarapan ini? Apakah dia lagi?" tanya Dean sembari menatap dua orang pelayan di depannya. Dua orang pelayan yang selama ini selalu menyiapkan makanan untuk Dean tampak saling bertukar pandang. Keduanya terlihat ketakutan sebab tahu siapa yang tuannya itu maksud. "Kenapa? Apakah betul yang saya katakan?" tebak Dean masih mengambil beberapa sosis panggang di depannya. "Be-betul, Tuan. Tapi, itu karena Nona Noura yang meminta." Semen