"Tugasmu bukan melamun, tapi menyelesaikan apa yang seharusnya kamu selesaikan."
Di saat Noura masih berkutat dengan lap dan alat pembersih lainnya, Dean tiba-tiba muncul dan berkata sinis. "Maaf, Tuan Dean. Aku tidak melamun, tapi sedang membersihkan lemari kaca ini. Kalau aku tidak melakukannya pelan-pelan, aku khawatir akan membuatnya pecah." Noura mencoba membela diri. Ucapan Noura hanya direspon dengan tatapan sebal Dean. Lelaki itu yang sudah duduk di bangku meja makan, lantas mengambil sarapan yang sudah disiapkan. "Siapa yang membuat menu sarapan ini? Apakah dia lagi?" tanya Dean sembari menatap dua orang pelayan di depannya. Dua orang pelayan yang selama ini selalu menyiapkan makanan untuk Dean tampak saling bertukar pandang. Keduanya terlihat ketakutan sebab tahu siapa yang tuannya itu maksud. "Kenapa? Apakah betul yang saya katakan?" tebak Dean masih mengambil beberapa sosis panggang di depannya. "Be-betul, Tuan. Tapi, itu karena Nona Noura yang meminta." Semenjak Noura menjadi istri Dean, wanita itu memang meminta izin untuk mengambil alih tanggung jawab di dapur kepada pelayan-pelayan tersebut. Sejenak Dean menghentikan gerakannya. Lelaki itu menarik napas pelan, lalu mengembuskannya cepat. "Aku sudah katakan padamu untuk tidak menyiapkan makanan apapun untukku. Biar tugas di dapur menjadi tugas mereka." Dean menatap Noura yang sudah berdiri di dekatnya. Noura memandang dua orang pelayan yang menunduk karena ketakutan. Lap yang ia gunakan untuk membersihkan lemari kaca, terlilit dalam genggamannya. "Aku hanya mencoba melakukan tugas dan tanggung jawabku sebagai seorang is ...." "Sadar dirilah akan statusmu di rumah ini." Dean memotong cepat. "Tugas dan tanggung jawabmu sudah aku berikan waktu itu. Di luar yang sudah kamu baca, tak ada tugas apapun lagi. Apalagi menyiapkan makanan-makanan ini," lanjutnya berdiri seraya melempar sendok dan garpu ke atas meja. Tindakan yang Dean lakukan tidak hanya membuat Noura terkejut, dua orang pelayan yang berdiri di depannya pun sama kagetnya dan memilih terus menunduk. "Aku sudah katakan, aku selalu muak bila selalu melihatmu. Apalagi harus memakan makanan yang kamu buat." Setelah mengatakan kalimat itu, Dean pun pergi meninggalkan meja makan. Tak ada respon yang Noura berikan selain diam dan melilit lap semakin kencang. 'Sebetulnya aku pun tak mau melakukan hal ini, tapi aku bukan seorang hamba yang durhaka. Aku masih memiliki Tuhan yang akan murka seandainya aku tak berbakti kepada suamiku,' batin Noura menangis. Dua orang pelayan di dekat Noura terlihat bergerak perlahan dan merapikan makanan yang tak jadi dimakan oleh Dean. Mereka sesekali menatap Noura yang masih belum bergeser pergi. "Maafkan kami, Nona Noura." Sembari tersenyum Noura berkata, "Tidak apa-apa. Ini bukan salah kalian." Menjadi seorang pelayan sesungguhnya mungkin hal yang paling Noura sukai dibanding harus menjadi budak nafsu bagi sisi gelap seorang Dean. Ya, budak nafsu. Selalu berkata muak bila melihat wajah Noura, nyatanya tidak membuat lelaki itu muak untuk menyalurkan hasrat biologisnya kepada Noura. Hampir setiap malam —sejak mereka menikah, Dean akan datang ke kamarnya. 'Anggap saja ini sebagai tanggung jawabku sebagai seorang istri. Meski ia tidak menganggapku demikian, setidaknya aku bisa mempertanggungjawabkan statusku di hadapan Tuhan nanti.' Begitu pemikiran Noura ketika akhirnya ia berdamai dengan hatinya. Noura tahu apa yang Dean lakukan adalah bentuk balas dendam atas kematian Rachel. Tapi, ia mencoba menganggap itu semua adalah bayaran atas apa yang terjadi terhadap sang sahabat. Hal itulah yang Noura lakukan sekarang. Menyelesaikan tugas-tugas seorang pelayan di rumah besar milik suaminya dari menyapu, mengepel hingga membersihkan seluruh area ruangan, yang dirinya lakukan sebelum pergi bekerja. Ya, bekerja. Statusnya sebagai seorang kepala divisi di sebuah stasiun televisi terkenal tidak diusik oleh Dean. Meski lelaki itu tahu bahwa kedekatan antara Noura dan Rachel karena profesi mereka yang sama sebagai seorang jurnalis, tampaknya tak membuat lelaki itu terganggu. Justru hal demikian akan Dean gunakan sebagai ajang balas dendam atas kematian calon istrinya itu. 'Aku sama sekali tidak akan ikut campur dengan urusan pribadimu. Di sini aku hanya akan membuatmu merasakan apa yang aku rasakan. Rachel telah pergi karena pekerjaan yang kamu perintahkan, aku pun akan melakukan hal yang sama seperti yang kamu sudah lakukan.' Dean masih menganggap jika kematian Rachel karena tugas peliputan berita adalah karena perintah Noura. Noura yang tak lain adalah atasan Rachel, dianggap dalang dari kecelakaan yang menimpa sang tunangan. 'Kalau ia tidak pergi waktu itu, tak akan ia meninggalkan dunia ini. Kamulah penyebab semuanya.' Dean tidak mempercayai bahwasanya kematian Rachel karena takdir yang sudah Tuhan gariskan. 'Tok! Tok! Tok!' Saat sesekali Noura teringat akan kebersamaanya dengan Rachel, tiba-tiba pintu ruangan kantornya diketuk oleh seseorang. "Masuk!" Seorang perempuan muda dengan pakaian semi formal muncul di hadapan Noura sembari membawa beberapa map di tangannya. "Iya?" "Ini beberapa surat lamaran yang masuk hari ini, Bu Noura." "Ah, iya. Taruh saja di situ," ucap Noura menunjuk area kosong di dekat komputernya. "Terima kasih ." "Sama-sama, Bu." Setelahnya gadis itu pun pergi, meninggalkan Noura yang kembali sendiri. Map paling atas yang tadi anak buahnya taruh, Noura ambil dan buka. 'Renee,' gumam Noura membaca nama sang pelamar. Kemudian ia membaca tulisan lain di bawahnya. Cukup tertarik dengan apa yang ditulis oleh si calon pelamar, Noura lantas memisahkan map tersebut ke tempat lain. Satu per satu Noura membuka dan membaca semua CV yang masuk. Beberapa ada yang membuatnya tertarik, banyak juga yang kemudian ia pilih untuk tidak diloloskan ke seleksi selanjutnya. Di tengah seleksi calon pelamar karyawan yang tengah ia lakukan, suara notifikasi pesan masuk ke ponselnya. "Kak, apakah bisa datang ke rumah sore ini?" Bunyi pesan dari adiknya, Harry. Entah ada masalah apa, tiba-tiba sang adik memintanya datang. Tapi, memang ia belum pulang setelah menikah dengan Dean sejak dua minggu lalu. "Mungkin mereka kangen," ucap Noura tersenyum. Masih memiliki seorang ibu dan dua adik laki-laki adalah kebahagiaan tersendiri buat Noura. Meskipun salah satu adiknya tengah berjuang dengan penyakitnya, tak membuat Noura terbebani hingga harus bekerja ekstra. Bila mengingat penyakit yang adiknya tengah derita, hal itu akan membuat Noura bersedih. Sebab saat adiknya anfal, saat itulah ia harus kehilangan Rachel, sahabatnya. Peristiwa ketika Rachel akhirnya pergi meninggalkan dunia ini bermula ketika Noura tengah mencari reporter pengganti yang ditugaskan meliput berita di luar kota. Noura yang tiba-tiba tidak bisa pergi karena adiknya masuk rumah sakit, awalnya tidak mau menerima tawaran Rachel yang bersedia menggantikannya. ** "Kamu akan menikah dua minggu lagi, Rachel." "Tidak apa-apa, Noura. Ini tidak ada hubungannya dengan pernikahanku. Aku hanya akan pergi selama tiga hari. Masih banyak waktu untukku beristirahat dan menunggu hari pernikahan aku dengan Dean." Noura tak mau banyak berpikir. Ia tahu pasti jika kota yang akan dikunjungi adalah salah satu kota favorit Rachel. Tapi, ia tak mau ambil resiko dengan menyetujui penawaran sahabatnya itu. "Jangan kebanyakan mikir, Noura. Aku akan menghadap Pak Samuel dan memberi tahu hal ini sekarang." "Tapi, Rachel. Aku ...." "Sudah. Biar aku saja yang menggantikan kamu bersama Andrew." Noura tak bisa menghentikan kemauan Rachel. Gadis itu terlalu bersemangat jika berhubungan dengan peliputan berita di lapangan. Namun, sial. Apa yang Noura khawatirkan ternyata terjadi juga. Hari di mana seharusnya Rachel kembali, dirinya harus menerima kabar yang tak mengenakan. "Mobil yang Rachel tumpangi mengalami kecelakaan. Mobilnya terperosok ke dalam jurang." Sebuah kabar tentang musibah yang Rachel alami dalam perjalanan pulang, membuat Noura shock. Saat itu juga Noura bergegas. Setelah memastikan kondisi sang adik berangsur kondusif, ia pergi menuju rumah sakit tempat di mana Rachel dibawa dan ditangani. Namun, baru saja kakinya melangkah menuju area UGD, teriakan seorang lelaki mengagetkannya. "Dasar pembunuh!" ***Rumah sederhana tempat di mana Noura lahir dan dibesarkan, masih tampak sama asri dan nyaman. Tak ada yang berubah setelah dua minggu ia pergi dan tinggal di rumah Dean. "Aku datang!" seru Noura seraya mengetuk pintu rumahnya. Seseorang datang mendekat. Suara langkah kakinya terdengar di telinga Noura. "Noura! Kamu sama siapa? Apakah bersama Dean?" Pertanyaan bertubi-tubi ibunya lontarkan seraya mengedarkan pandangannya ke area luar rumah. "Tak ada siapa-siapa?" ucap ibunya lagi dengan ekspresi yang sulit Noura baca. "Memang tidak ada siapa-siapa, Bu. Aku datang sendiri, tidak bersama Dean atau siapa pun." Perlahan Noura masuk ke dalam rumah. Ia mencoba acuh atas ekspresi aneh ibunya. Wanita itu kemudian duduk di bangku ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Di ruangan itu juga ada televisi berukuran sedang berdiri di atas sebuah meja buffet panjang bersama beberapa bingkai poto keluarganya. Salah satunya adalah poto almarhum ayahnya yang tengah memangku si
"Apa! Saya dipecat, Pak?" Informasi yang disampaikan oleh manajer personalia di perusahaan tempat di mana Noura bekerja, membuatnya terkejut. "Maafkan aku, Noura. Tapi, ini adalah keputusan dari atas.""Tapi, apa alasannya? Bukankah sejauh ini kinerja kerja saya baik dan tidak ada yang merugikan pihak perusahaan?""Ya, aku tahu. Tapi, apa yang bisa aku lakukan jika pimpinan sudah mengeluarkan perintah ini?"Lelaki dengan wajah lelah di depan Noura hanya bisa memandang serbasalah. Surat dalam sebuah amplop putih masih tergeletak di atas meja setelah Noura meletakkannya kembali karena kecewa. "Apa mereka tidak mengatakan apapun pada Anda apa yang mendasari mereka mengeluarkan perintah tersebut?""Mereka hanya mengatakan citra buruk stasiun televisi setelah kematian Rachel.""Kematian Rachel?" Noura mengulang pertanyaan yang direspon anggukan sang manajer. "Ini mustahil. Jika alasan pemberhentianku karena kematian Rachel, kenapa baru terjadi sekarang setelah lebih dari dua pekan berl
"Bisakah kita bicara?"Setelah selesai makan malam, Noura yang sengaja menunggu suaminya selesai makan, meminta waktu untuk berbicara. "Aku sibuk," ucap Dean acuh seraya mengelap bibir dengan selembar napkin. "Hanya sepuluh menit, tak lebih." Noura mencoba memaksa. Awalnya Dean tetap menolak, tetapi 'rengekan' Noura membuat telinganya pengang. "Lima menit. Waktuku terlalu berharga untuk mendengar ocehanmu." Dean menatap sinis. Lelaki itu kemudian beranjak bangun. "Tunggu aku di ruang kerja," ucapnya lalu pergi naik ke lantai dua. Noura merasa lega. Ia sangat berharap Dean mau mendengarnya kali ini. Ia pun lantas bergegas menuju ruang kerja Dean yang ada di dekat ruang keluarga. Dengan secangkir teh Camomile yang sudah pelayan siapkan, Noura masuk ke dalamnya. Di ruangan yang belum pernah Noura masuki, wanita itu dibuat terpesona dengan keadaan di dalamnya. Dua buah lemari berukuran sedang berdiri bersama rak-rak kayu yang dipenuhi berbagai macam buku. 'Mengapa aku tidak tahu k
Restoran di mana saat ini Noura berada terlihat begitu lengang. Belum banyak orang yang datang untuk bersantap siang. Noura sendiri duduk di sana sebab menunggu seseorang. Bersama secangkir kopi karamel, Noura tampak gelisah sembari sesekali melihat ponsel di tangannya."Sorry! Nunggu lama, yah?"Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki dari arah belakang Noura. Lelaki kisaran usia tiga puluhan itu tersenyum saat Noura menengok padanya. "Enggak kok! Kopi aku aja belum habis," jawab Noura sambil mengajak lelaki itu duduk. "Aku yang seharusnya minta maaf karena udah bikin kamu datang ke sini, Kenz," lanjut Noura dengan wajah menyesal. "Ah, santai saja. Kamu kaya kita baru kenal kemarin. Sok-sok'an gak enak."Lelaki bernama Kenz itu pun duduk, lalu memanggil seorang waiters untuk memesan sesuatu. "Es cappucino satu," ucap Kenz yang langsung direspon anggukan sang waiters. Setelah pelayan perempuan itu pergi, Kenz tampak bersiap saat Noura sudah akan membuka mulutnya. "Kenapa kamu s
"Ternyata begini kelakuan seorang Dean Waverly yang orang di luar sana tidak tahu."Suara seorang lelaki muncul tiba-tiba ketika Dean hendak memaksa Noura untuk berhubungan intim di area kolam renang. Dean yang sudah hampir melakukan tindakan tak senonoh kepada Noura, seketika menghentikan aksinya begitu mendengar suara orang yang dikenalnya. Di bawahnya, sang istri terlihat terisak menahan tangis. Beruntung aksi Dean belum sampai membuat pakaian Noura terbuka sehingga membuat wanita itu sedikit lega. "Mau apa kamu ke sini? Tidak bisakah kamu memberi tahuku jika akan datang?" tanya Dean kesal. Ia lantas mengusir Noura dengan lirikan dari ekor matanya. Lelaki yang tiba-tiba muncul tadi, tak lepas memandang Noura yang berjalan melewatinya. "Jangan macam-macam, Mat! Wanita itu milikku." Dean terlihat tak suka saat lelaki di depannya masih terus mengawasi Noura yang sudah masuk ke dalam rumah. "Wah! Apa aku tidak salah dengar, Dean? Apa kamu mulai menyukai istri pura-puramu itu?" tan
Pagi-pagi sekali Dean sudah berangkat ke kantor. Sarapan yang sudah para pelayan siapkan sampai tak disentuhnya. Noura yang melihat suaminya berangkat, tampak lega. 'Setidaknya aku bisa sedikit santai saat ia tak ada,' pikir Noura yang pagi itu tengah mengelap jendela. "Biar saya yang lanjutkan, Nona Noura." Salah seorang pelayan mencoba mengambil alih pekerjaan yang sedang Noura kerjakan. Beberapa pelayan memang membantu Noura saat Dean tak ada. Tapi, hal itu tidak mereka lakukan bila sang tuan ada di rumah. "Tidak perlu. Biar aku saja yang kerjakan. Kamu bisa mengerjakan pekerjaanmu sendiri." Noura tak pernah mau membuat pelayan berada dalam kesulitan. Jika itu memang tugas Noura, maka ia akan lakukannya sampai usai. "Tapi, Nona ....""Tidak apa-apa. Ini masih pagi, hitung-hitung aku berolahraga."Pelayan tadi akhirnya pergi melanjutkan pekerjaannya setelah Noura menolak dibantu. Tak berapa lama Alton muncul dan menyampaikan sesuatu kepada Noura. "Tuan Dean berpesan supaya And
Sepanjang perjalanan menuju kantor, baik Dean atau Noura keduanya sama-sama diam. Setelah pertemuan tak terduga antara Noura, Dean, dan Kenz, suasana di dalam mobil tersebut terasa lain. Tak bisa Noura bayangkan apa yang ada di dalam pikiran Dean sekarang setelah Kenz memberinya sejumlah uang. 'Ia tak peduli bukan? Bukankah itu yang ia katakan dalam kesepakatan hubungan kami?' benak Noura berkata meski hatinya merasa ketar ketir. "Apakah kamu sudah menjadi seorang perempuan bayaran sekarang?" Di tengah usaha Noura yang mencoba menenangkan hatinya, ucapan Dean yang tiba-tiba membuatnya terperangah. "Apa yang kamu katakan barusan?" tanya Noura sembari menengok dan menatap suaminya itu. "Dua puluh juta. Jadi, lelaki itu membayarmu segitu?"Noura masih tak mengerti dengan kalimat Dean. "Apa maksudmu?"Perlahan Dean mengubah posisi duduknya. Kali ini ia menatap wajah Noura yang terlihat bingung. "Dua puluh juta untuk pelayanan berapa jam? Satu jam, dua jam, atau seharian?"Plak! En
Renee Abigail, itulah nama perempuan yang saat ini terlihat bahagia ketika berbicara dengan Dean. Dia adalah saudara kembar Rachel, sahabat Noura, yang selama ini tinggal di luar negeri. Noura tak pernah kenal dengan sosok Renee. Bahkan saat melihatnya pun Noura tidak bisa langsung menebak jika Renee ada hubungan darah dengan Rachel. Persahabatannya dengan Rachel ternyata tidak sedekat yang selama ini ia bayangkan. Rachel memang sahabatnya, tapi untuk urusan keluarga, gadis itu terlampau tertutup. "Aku punya saudara kembar, Noura. Tapi, ia tinggal di luar negeri dan dibesarkan oleh kakak mamaku. Mereka tak punya anak, sebab itu meminta mama untuk merelakan putrinya untuk dibesarkan oleh mereka."Hanya itu yang Noura ingat. Tapi, siapa dan bagaimana wajahnya, Rachel tak pernah mau cerita atau berbagi. "Kamu kenapa bekerja di sana?" tanya Dean membuyarkan lamunan Noura. Awalnya Dean tak mau menerima tawaran wawancara dari stasiun TV tempat di mana almarhumah tunangannya bekerja, tet