Share

USAHA NOURA

"Bisakah kita bicara?"

Setelah selesai makan malam, Noura yang sengaja menunggu suaminya selesai makan, meminta waktu untuk berbicara.

"Aku sibuk," ucap Dean acuh seraya mengelap bibir dengan selembar napkin.

"Hanya sepuluh menit, tak lebih." Noura mencoba memaksa.

Awalnya Dean tetap menolak, tetapi 'rengekan' Noura membuat telinganya pengang.

"Lima menit. Waktuku terlalu berharga untuk mendengar ocehanmu." Dean menatap sinis.

Lelaki itu kemudian beranjak bangun. "Tunggu aku di ruang kerja," ucapnya lalu pergi naik ke lantai dua.

Noura merasa lega. Ia sangat berharap Dean mau mendengarnya kali ini. Ia pun lantas bergegas menuju ruang kerja Dean yang ada di dekat ruang keluarga. Dengan secangkir teh Camomile yang sudah pelayan siapkan, Noura masuk ke dalamnya.

Di ruangan yang belum pernah Noura masuki, wanita itu dibuat terpesona dengan keadaan di dalamnya. Dua buah lemari berukuran sedang berdiri bersama rak-rak kayu yang dipenuhi berbagai macam buku.

'Mengapa aku tidak tahu kalau ada ruangan bagus seperti ini,' gumam Noura yang tanpa sadar berjalan menuju sebuah rak dengan buku-buku di dalamnya.

"Jangan ada satu pun buku yang kau sentuh!"

Tiba-tiba terdengar suara Dean tepat saat Noura hendak mengambil sebuah buku yang sangat tebal. Sontak Noura menengok ke arah pintu.

"Aku suka baca buku."

"Tapi, aku tak suka kau memegang benda milikku," ucap Dean dengan kedua matanya menatap ke arah cangkir teh di atas meja kerjanya.

Noura sadar akan sikap Dean barusan. "Tenang saja, bukan aku yang membuat teh itu. Aku hanya membawanya ke sini."

Setelah mendengar penjelasan Noura, Dean pun kemudian duduk di kursi kebesarannya.

"Aku masih banyak pekerjaan. Silakan gunakan waktu lima menit-mu yang berharga sebelum aku mengusirmu keluar."

Noura segera menghampiri Dean. Tak ada kursi lain di depan meja, membuat Noura terpaksa berdiri.

"Aku cuma mau mengingatkan, bukankah pernikahan di antara kita hanya sebuah ajang balas dendam yang sengaja kamu lakukan?"

Dean menaikkan salah satu alisnya saat mendengar ucapan Noura barusan. Ia heran dengan pertanyaan istrinya itu sebab seolah mengetahui niat dan rencananya terhadap perjanjian di antara mereka.

"Apa sebenarnya yang mau kau katakan?"

"Mengapa kamu ikut campur dengan urusan pribadiku?"

"Aku ikut campur urusan pribadimu? Untuk apa?" Dean tertawa mengejek.

"Kamu membuatku dipecat dari pekerjaanku. Pekerjaan yang sangat aku banggakan dan amat aku cintai, seketika hilang sebab intimidasi yang kamu lakukan."

"Siapa intimidasi siapa?"

Noura tahu bila saat ini Dean hanya sedang berkelit dari aksinya yang sudah membuatnya kehilangan pekerjaan.

"Kamu menemui atasanku tadi siang meminta supaya aku dipecatkan? Kamu katakan sendiri tadi."

Kali ini Dean terlihat sedikit peduli dengan obrolannya dengan Noura.

"Kenapa kau bisa mendapatkan apa yang kau cintai, sedangkan aku telah kehilangan wanita yang aku cintai?"

"Dean!" Noura tanpa sadar berteriak. Tapi, sedetik kemudian ia sadar telah melakukan satu kesalahan.

"Maksudku Tuan Dean." Noura mencoba meralat. "Harus berapa kali aku katakan jika kematian Rachel bukan karena kesalahanku. Kecelakaan yang menimpanya tidak ada hubungannya denganku."

"Tidak ada hubungannya kau bilang? Andai saja dia tidak pergi, dia tidak akan mengalami kecelakaan itu. Andai saja dia tidak menggantikan posisimu, maka dia masih hidup sekarang. Dia akan ada di sini bersamaku, dan bukan kamu yang ada di rumah ini."

Kembali perdebatan panas terjadi di antara Noura dan Dean. Pengusaha kaya raya yang terkenal baik dan ramah di kalangan kolega atau pun partner bisnisnya itu, tampak terlihat emosi.

"Itu takdir, Dean," ucap Noura yang bisa melihat delikan mata Dean. "Aku tak peduli lagi dengan panggilan 'tuan' yang kamu inginkan kalau itu yang membuatmu melotot saat ini," lanjut Noura berani.

Dean tetap diam dengan ekspresi yang masih menahan amarah.

"Kamu bisa hukum aku dengan hukuman apapun bila tak suka dengan panggilan yang aku berikan. Lagi pula, aku sudah tak bisa lagi membedakan mana hukuman atau takdir buruk yang Tuhan berikan. Karena bagiku sama saja. Andai kamu mengambil sisa usiaku saat ini pun, aku rela dan bersyukur dari pada aku harus mendengar tuduhanmu yang terus saja menyalahkan aku atas kematian Rachel."

"Membuatmu mati saat ini bukanlah rencanaku. Aku tak akan membuatmu mati dengan cara yang mudah. Dengan mengambil semua kebahagiaanmu, itu adalah satu-satunya cara terbaik yang akan aku lakukan demi membalas rasa sakit yang aku rasakan."

Tak tahu lagi apa yang harus Noura katakan. Berbicara lembut dan pelan, sama saja ketika ia berteriak dan berkata kasar dengan suaminya itu. Tak ada bedanya.

"Waktu lima menit-mu sudah habis. Silakan keluar dari ruangan ini sebab masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan."

Noura mencoba bertahan. Meski hatinya menolak, tapi ia masih ingin berusaha.

"Anggap saja aku memiliki satu buah kesempatan atau satu keberuntungan yang Tuhan berikan di dalam hidupku ini, aku mau kamu kembalikan pekerjaanku semula, Dean. Andai kamu tahu, pekerjaan itu adalah harapan satu-satunya yang aku miliki saat ini." Ada genangan air mata yang tiba-tiba hadir di pelupuk matanya saat Noura berkata dengan bayang-bayang wajah ibu dan kedua adiknya.

Meski Dean bisa melihat dengan jelas manik mata sang istri yang kini sudah menganak sungai dengan air mata, tapi hatinya tetap tak tergugah.

"Kau pikir aku akan peduli dengan harapanmu itu?" sahut Dean yang kini sudah tak lagi emosi, tetapi ada kepuasan yang hadir di wajahnya sekarang.

"Bagaimana rasanya ketika harapan yang kamu miliki hilang sebab ulah seseorang? Itulah apa yang aku rasakan sejak wanita yang aku cintai meninggalkan aku untuk selamanya."

Noura benar-benar menyerah. Dean tak bisa ia bujuk sebab rasa sakit hatinya yang masih bercokol di dalam hatinya.

Di dalam kamar, ia tumpahkan air mata yang sejak tadi ia tahan. Teringat dengan pesan yang Harry kirimkan. Adiknya itu memberi kabar jika lusa Adlin harus kontrol ke rumah sakit untuk mengetahui kondisi penyakitnya yang sudah beberapa kali kambuh.

"Untuk saat ini masih ada sisa tabungan yang Kaka berikan. Tapi, aku tidak tahu sampai kapan uang ini akan bertahan. Sebab tidak sedikit uang yang harus kita keluarkan untuk biaya berobat Adlin. Andai Kaka mengizinkan aku berhenti kuliah ...."

Pesan itu masih ada di kotak masuk dan belum Noura hapus. Berulangkali ia baca dan cermati, ia masih belum bisa menerima keinginan Harry untuk menunda kuliahnya.

'Kalau aku harus dipecat di sana, bukankah aku masih bisa mencari pekerjaan di tempat yang lain dengan bidang yang sama?' gumam Noura yang akhirnya kembali bersemangat.

Namun, bukan hal mudah ketika kemudian ia mendapatkan respon yang tidak mengenakan, di mana banyak CV yang ia kirimkan justru mendapatkan penolakan. Alih-alih mendapatkan panggilan tes atau interview, pengalaman dan keterampilan yang dimilikinya selama ini seperti tak memiliki arti. Perusahaan yang ia kirimkan email, mengembalikan lamaran tersebut tanpa kalimat penyerta apapun.

"Bagaimana bisa tak ada satu pun stasiun TV yang menerima surat lamaranku? Ini sangatlah aneh."

Saat memikirkan keanehan tersebut, Noura justru jadi teringat dengan kalimat terakhir Dean sesaat ia akan keluar dari ruang kerja suaminya.

"Aku bisa melakukan apa saja yang bahkan tidak bisa kamu bayangkan. Pada intinya, aku akan merenggut semua hal bahagia yang ada padamu."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status