"Apa! Saya dipecat, Pak?"
Informasi yang disampaikan oleh manajer personalia di perusahaan tempat di mana Noura bekerja, membuatnya terkejut. "Maafkan aku, Noura. Tapi, ini adalah keputusan dari atas." "Tapi, apa alasannya? Bukankah sejauh ini kinerja kerja saya baik dan tidak ada yang merugikan pihak perusahaan?" "Ya, aku tahu. Tapi, apa yang bisa aku lakukan jika pimpinan sudah mengeluarkan perintah ini?" Lelaki dengan wajah lelah di depan Noura hanya bisa memandang serbasalah. Surat dalam sebuah amplop putih masih tergeletak di atas meja setelah Noura meletakkannya kembali karena kecewa. "Apa mereka tidak mengatakan apapun pada Anda apa yang mendasari mereka mengeluarkan perintah tersebut?" "Mereka hanya mengatakan citra buruk stasiun televisi setelah kematian Rachel." "Kematian Rachel?" Noura mengulang pertanyaan yang direspon anggukan sang manajer. "Ini mustahil. Jika alasan pemberhentianku karena kematian Rachel, kenapa baru terjadi sekarang setelah lebih dari dua pekan berlalu. Kenapa bukan saat itu juga ketika Rachel meninggal atau saat dimakamkan?" Tak ada jawaban yang manajer di depan Noura berikan. "Lagipula, apa kesalahanku sehingga perusahaan menganggap citra stasiun televisi ini buruk pasca kematian Rachel? Setahuku tidak ada berita apapun tentang stasiun TV ini setelah Rachel meninggal. Semua terlihat baik-baik saja. Tak ada wartawan atau media manapun yang meliput tentang perusahaan." Lagi, sang manajer hanya diam. "Ini konyol, Pak!" Noura sungguh tak terima atas pemecatan sepihak yang perusahaan lakukan terhadapnya. "Noura, tolong pahami situasi ini. Tolong mengerti juga posisiku di perusahaan ini. Aku pun tak mau ini terjadi. Aku sudah berusaha dan mencoba meminta mereka supaya tidak memecatmu. Tapi, apalah aku di sini yang cuma seorang bawahan. Mereka bisa melakukan apa saja tanpa harus memiliki alasan untuk memecat siapa saja yang mereka inginkan." Noura tampak lemas. Kalimat yang diucapkan manajernya jelas menunjukkan bahwa tak ada harapan baginya untuk tetap bertahan. Namun, teringat akan kondisi adiknya, juga kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga, membuat Noura berpikir untuk menemui pimpinannya yang sudah memberi surat pemecatan. "Noura! Kamu mau kemana? Jangan gegabah!" Sang manajer sepertinya tahu apa yang hendak Noura lakukan saat surat pemecatan diambilnya dengan terburu-buru. Wanita itu tampak tak menghiraukan teriakan sang manajer. Ia terus berjalan melewati koridor menuju sebuah ruangan. Namun, belum sampai ia di sebuah ruangan di mana hanya orang-orang penting saja yang datang, tiba-tiba muncul sosok suaminya keluar dari ruangan tersebut bersama seseorang yang rencananya hendak Noura temui. "Dean," lirih Noura tampak shock atas apa yang netranya lihat. Pengusaha itu menatapnya dingin. Tak ada senyum apalagi sapa yang diucapkan. "Kalau begitu saya permisi. Sekali lagi terima kasih atas kerja samanya." Dean kemudian berkata seraya menjabat tangan lelaki paruh baya di dekatnya. "Sama-sama, Tuan Dean. Tak perlu sungkan seperti itu." Noura melihat ada interaksi yang begitu akrab di antara keduanya. Entah apa hanya pemikirannya saja bahwa antara Dean dan sang atasan memiliki hubungan yang sangat dekat. Noura masih diam berdiri di tempatnya saat Dean berjalan menghampiri. Saat itu Noura mencoba menatap sang atasan sebelum bicara dengan Dean yang sudah berdiri di depannya. Tapi, lelaki paruh baya itu tampak cuek dan memilih masuk kembali ke ruangannya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Noura mulai melewati batasannya. "Itu bukan urusanmu," jawab Dean datar tanpa melihat wajah istrinya itu. Noura merasa kesal atas ucapan dan sikap Dean yang sama sekali tidak pernah berubah. Tapi, anehnya ia melihat ada ketertarikan yang tampak di wajah Dean saat melihat amplop putih di tangannya. "Akhirnya kau banyak waktu untuk menjalankan tugas-tugasmu di rumah." Mendengar ucapan Dean membuat Noura merasa yakin jika suaminya itu adalah dalang di balik pemecatannya tersebut. "Kenapa? Kenapa kamu melakukan ini?" Noura menatap Dean kesal. "Tidak ada alasan kenapa aku melakukan hal ini. Aku hanya tidak suka melihatmu bertindak seenaknya." Noura mengerutkan kedua alisnya, bingung. "Tindakan aku yang mana yang menurutmu seenaknya? Apakah karena aku pulang terlambat beberapa hari yang lalu?" "Menurutmu?" Dean balik bertanya. Sejenak Noura terdiam, lalu, "Aku cuma sekali terlambat pulang dan kamu langsung membuatku berhenti dari pekerjaanku?" Kali ini Dean menatap Noura. Masih tanpa ekspresi lelaki itu mendekatkan wajahnya agar bisa berbicara pelan dengan tujuan supaya tidak ada orang lain yang mendengar perdebatan mereka. "Rachel juga terlambat pulang, tapi bahkan ia tak pernah kembali lagi untuk selamanya, dan itu karena kau." Perkataan Dean sontak membuat Noura terkejut. Lagi-lagi Dean menghubungkan kematian Rachel dengan kehidupan yang Noura jalani. "Kenapa kamu menghubungkan kematian Noura dengan kejadian ini? Ini sangat tidak masuk akal." "Masuk akal katamu? Lantas, apakah masih masuk akal ketika seorang pembunuh sepertimu masih bisa menjalani kehidupan yang normal?" "Dean, aku bukan pembunuh!" teriak Noura seketika membuat beberapa orang karyawan menatap ke arah mereka. "Wah! Sepertinya kamu bangga jika orang-orang mendengar siapa dirimu." Dean berkata sinis. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Noura. Dean bisa melihat kekesalan yang istrinya tunjukkan, dan itu membuatnya senang. "Kalau tak ada lagi urusanmu di sini, mungkin kau bisa bergegas pulang dan kembali memakai seragam pelayanmu," ucap Dean berdiri dengan sikap angkuh yang tak pernah hilang. Noura hanya diam ketika Dean pergi meninggalkannya. Di ujung lift, tampak dua orang pengawal yang selalu setia menemani suaminya itu. 'Kamu jahat, Dean!' batin Noura nyeri. 'Sekarang apa yang harus aku lakukan?' gumamnya seketika teringat akan pembicaraannya bersama Harry beberapa waktu lalu. ** "Banyak tugas kuliahku yang membutuhkan banyak uang. Juga pengobatan Adlin yang tidak sedikit, membuatku berpikir apakah aku harus menunda kuliahku dulu." Sore itu ketika Noura datang ke rumah, rupanya ada curhatan yang ingin Harry sampaikan. "Jangan berhenti kuliah, Harry. Kuliahmu hanya tinggal beberapa semester lagi. Sayang kalau berhenti di tengah jalan." "Gak berhenti, Kak. Hanya menunda." "Ya, Kaka tahu. Tapi, jika kuliahmu cepat selesai, semakin cepat kamu membantu Kaka." Harry mungkin berpikir hal yang sama seperti apa yang Noura katakan, tapi demi mengingat biaya kuliah yang tidak sedikit juga pendapatan sang ibu yang tidak bisa diandalkan, membuat pemuda itu berpikir untuk menunda kuliahnya sementara. "Aku bisa mencari kerja dulu, Kak. Nanti aku bisa lanjut lagi kuliahnya." "Mau kerja apa dengan mengandalkan ijazah SMA?" "Ya, apa saja." "Gak! Pokoknya kamu gak perlu memikirkan hal macam-macam. Fokus belajar saja. Untuk urusan biaya kuliah dan pengobatan Adlin, Kaka masih sanggup. Kaka masih bekerja dan berpenghasilan. Kalian gak perlu khawatirkan hal itu." ***"Bisakah kita bicara?"Setelah selesai makan malam, Noura yang sengaja menunggu suaminya selesai makan, meminta waktu untuk berbicara. "Aku sibuk," ucap Dean acuh seraya mengelap bibir dengan selembar napkin. "Hanya sepuluh menit, tak lebih." Noura mencoba memaksa. Awalnya Dean tetap menolak, tetapi 'rengekan' Noura membuat telinganya pengang. "Lima menit. Waktuku terlalu berharga untuk mendengar ocehanmu." Dean menatap sinis. Lelaki itu kemudian beranjak bangun. "Tunggu aku di ruang kerja," ucapnya lalu pergi naik ke lantai dua. Noura merasa lega. Ia sangat berharap Dean mau mendengarnya kali ini. Ia pun lantas bergegas menuju ruang kerja Dean yang ada di dekat ruang keluarga. Dengan secangkir teh Camomile yang sudah pelayan siapkan, Noura masuk ke dalamnya. Di ruangan yang belum pernah Noura masuki, wanita itu dibuat terpesona dengan keadaan di dalamnya. Dua buah lemari berukuran sedang berdiri bersama rak-rak kayu yang dipenuhi berbagai macam buku. 'Mengapa aku tidak tahu k
Restoran di mana saat ini Noura berada terlihat begitu lengang. Belum banyak orang yang datang untuk bersantap siang. Noura sendiri duduk di sana sebab menunggu seseorang. Bersama secangkir kopi karamel, Noura tampak gelisah sembari sesekali melihat ponsel di tangannya."Sorry! Nunggu lama, yah?"Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki dari arah belakang Noura. Lelaki kisaran usia tiga puluhan itu tersenyum saat Noura menengok padanya. "Enggak kok! Kopi aku aja belum habis," jawab Noura sambil mengajak lelaki itu duduk. "Aku yang seharusnya minta maaf karena udah bikin kamu datang ke sini, Kenz," lanjut Noura dengan wajah menyesal. "Ah, santai saja. Kamu kaya kita baru kenal kemarin. Sok-sok'an gak enak."Lelaki bernama Kenz itu pun duduk, lalu memanggil seorang waiters untuk memesan sesuatu. "Es cappucino satu," ucap Kenz yang langsung direspon anggukan sang waiters. Setelah pelayan perempuan itu pergi, Kenz tampak bersiap saat Noura sudah akan membuka mulutnya. "Kenapa kamu s
"Ternyata begini kelakuan seorang Dean Waverly yang orang di luar sana tidak tahu."Suara seorang lelaki muncul tiba-tiba ketika Dean hendak memaksa Noura untuk berhubungan intim di area kolam renang. Dean yang sudah hampir melakukan tindakan tak senonoh kepada Noura, seketika menghentikan aksinya begitu mendengar suara orang yang dikenalnya. Di bawahnya, sang istri terlihat terisak menahan tangis. Beruntung aksi Dean belum sampai membuat pakaian Noura terbuka sehingga membuat wanita itu sedikit lega. "Mau apa kamu ke sini? Tidak bisakah kamu memberi tahuku jika akan datang?" tanya Dean kesal. Ia lantas mengusir Noura dengan lirikan dari ekor matanya. Lelaki yang tiba-tiba muncul tadi, tak lepas memandang Noura yang berjalan melewatinya. "Jangan macam-macam, Mat! Wanita itu milikku." Dean terlihat tak suka saat lelaki di depannya masih terus mengawasi Noura yang sudah masuk ke dalam rumah. "Wah! Apa aku tidak salah dengar, Dean? Apa kamu mulai menyukai istri pura-puramu itu?" tan
Pagi-pagi sekali Dean sudah berangkat ke kantor. Sarapan yang sudah para pelayan siapkan sampai tak disentuhnya. Noura yang melihat suaminya berangkat, tampak lega. 'Setidaknya aku bisa sedikit santai saat ia tak ada,' pikir Noura yang pagi itu tengah mengelap jendela. "Biar saya yang lanjutkan, Nona Noura." Salah seorang pelayan mencoba mengambil alih pekerjaan yang sedang Noura kerjakan. Beberapa pelayan memang membantu Noura saat Dean tak ada. Tapi, hal itu tidak mereka lakukan bila sang tuan ada di rumah. "Tidak perlu. Biar aku saja yang kerjakan. Kamu bisa mengerjakan pekerjaanmu sendiri." Noura tak pernah mau membuat pelayan berada dalam kesulitan. Jika itu memang tugas Noura, maka ia akan lakukannya sampai usai. "Tapi, Nona ....""Tidak apa-apa. Ini masih pagi, hitung-hitung aku berolahraga."Pelayan tadi akhirnya pergi melanjutkan pekerjaannya setelah Noura menolak dibantu. Tak berapa lama Alton muncul dan menyampaikan sesuatu kepada Noura. "Tuan Dean berpesan supaya And
Sepanjang perjalanan menuju kantor, baik Dean atau Noura keduanya sama-sama diam. Setelah pertemuan tak terduga antara Noura, Dean, dan Kenz, suasana di dalam mobil tersebut terasa lain. Tak bisa Noura bayangkan apa yang ada di dalam pikiran Dean sekarang setelah Kenz memberinya sejumlah uang. 'Ia tak peduli bukan? Bukankah itu yang ia katakan dalam kesepakatan hubungan kami?' benak Noura berkata meski hatinya merasa ketar ketir. "Apakah kamu sudah menjadi seorang perempuan bayaran sekarang?" Di tengah usaha Noura yang mencoba menenangkan hatinya, ucapan Dean yang tiba-tiba membuatnya terperangah. "Apa yang kamu katakan barusan?" tanya Noura sembari menengok dan menatap suaminya itu. "Dua puluh juta. Jadi, lelaki itu membayarmu segitu?"Noura masih tak mengerti dengan kalimat Dean. "Apa maksudmu?"Perlahan Dean mengubah posisi duduknya. Kali ini ia menatap wajah Noura yang terlihat bingung. "Dua puluh juta untuk pelayanan berapa jam? Satu jam, dua jam, atau seharian?"Plak! En
Renee Abigail, itulah nama perempuan yang saat ini terlihat bahagia ketika berbicara dengan Dean. Dia adalah saudara kembar Rachel, sahabat Noura, yang selama ini tinggal di luar negeri. Noura tak pernah kenal dengan sosok Renee. Bahkan saat melihatnya pun Noura tidak bisa langsung menebak jika Renee ada hubungan darah dengan Rachel. Persahabatannya dengan Rachel ternyata tidak sedekat yang selama ini ia bayangkan. Rachel memang sahabatnya, tapi untuk urusan keluarga, gadis itu terlampau tertutup. "Aku punya saudara kembar, Noura. Tapi, ia tinggal di luar negeri dan dibesarkan oleh kakak mamaku. Mereka tak punya anak, sebab itu meminta mama untuk merelakan putrinya untuk dibesarkan oleh mereka."Hanya itu yang Noura ingat. Tapi, siapa dan bagaimana wajahnya, Rachel tak pernah mau cerita atau berbagi. "Kamu kenapa bekerja di sana?" tanya Dean membuyarkan lamunan Noura. Awalnya Dean tak mau menerima tawaran wawancara dari stasiun TV tempat di mana almarhumah tunangannya bekerja, tet
Saat ini Noura sudah berada di dalam ruangan UGD di salah satu rumah sakit. Ia dikabari oleh Harry, adiknya, kalau sang ibu pingsan ketika sedang berjualan di pasar. "Kenapa ibu masih belum sadar, Har?" Noura terlihat cemas. Baru kali ini ia melihat ibunya jatuh pingsan. Selama ini ia mengenal bahwa sang ibu adalah wanita tersehat dan paling tangguh yang pernah dikenal.Ibu Noura jarang sekali sakit. Bahkan, ia tak pernah memiliki riwayat sakit yang biasanya dialami para perempuan yang sudah menginjak usia sepuh. Wanita yang tahun ini menginjak usia lima puluh lima tahun itu bahkan tidak menangis ketika laki-laki paling dicintainya itu meninggal dunia. Itulah mengapa Noura menilai jika ibunya adalah wanita paling tangguh. Ketika merawat adik bungsunya saja, ibunya bisa melewati semuanya dengan senyum dan penuh kesabaran. Namun, saat ini semuanya itu seolah tak berarti. Sang ibu terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan wajah pucat. Dokter sudah memeriksa kondisi ibuny
Di dalam kamar Noura terlihat melamun. Bayangan akan tuduhan Dean membuatnya kesal. Namun, bukan itu saja yang membuatnya kini tak bisa tidur meski jam sudah menunjuk ke angka sebelas. Mengingat akan kondisi sang ibu membuat rasa kesalnya tertupi perasaan sedih.Bukan kecapean yang dokter katakan sebagai penyebab ibunya sakit. Tapi, penyakit lain yang membuat Noura semakin kuat untuk mencari pekerjaan baru. "Ibu Anda terindikasi kena penyakit gula. Hasil cek lab menunjukkan jika penyakit tersebut sudah menggerogoti beliau."Kalimat yang dokter ucapkan membuat Noura teringat akan kondisi fisik ibunya yang semakin hari semakin kurus. "Kenapa aku tidak menyadari itu?" gumam Noura sedih. Sekarang ia harus merayu ibunya untuk tidak bekerja terlalu capek. Tapi, satu yang utama, ada faktor stress yang diduga menjadi pemicu penyakit itu hadir. Dan hal tersebut membuat Noura khawatir. 'Apa yang sebenarnya ibu pikirkan hingga membuatnya stress?' batin Noura bingung.'Apakah penyakit yang Ad