Share

FEELING SEORANG IBU

Rumah sederhana tempat di mana Noura lahir dan dibesarkan, masih tampak sama asri dan nyaman. Tak ada yang berubah setelah dua minggu ia pergi dan tinggal di rumah Dean.

"Aku datang!" seru Noura seraya mengetuk pintu rumahnya.

Seseorang datang mendekat. Suara langkah kakinya terdengar di telinga Noura.

"Noura! Kamu sama siapa? Apakah bersama Dean?" Pertanyaan bertubi-tubi ibunya lontarkan seraya mengedarkan pandangannya ke area luar rumah.

"Tak ada siapa-siapa?" ucap ibunya lagi dengan ekspresi yang sulit Noura baca.

"Memang tidak ada siapa-siapa, Bu. Aku datang sendiri, tidak bersama Dean atau siapa pun." Perlahan Noura masuk ke dalam rumah. Ia mencoba acuh atas ekspresi aneh ibunya.

Wanita itu kemudian duduk di bangku ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Di ruangan itu juga ada televisi berukuran sedang berdiri di atas sebuah meja buffet panjang bersama beberapa bingkai poto keluarganya. Salah satunya adalah poto almarhum ayahnya yang tengah memangku si bungsu, Adlin, ketika masih berusia satu tahun.

"Ada apa, Noura?" tanya sang ibu yang ikut duduk di sebelah putri semata wayangnya itu.

"Ada apa, maksud Ibu?" tanya Noura tak mengerti.

"Kamu tidak memberi kabar pada Ibu kalau mau datang ke sini. Bahkan kamu datang sendiri tidak bersama suamimu."

Seketika Noura mengerti jika Harry memintanya datang tanpa sepengetahuan sang ibu.

"Harry kangen katanya. Dia minta aku datang untuk jenguk kalian," ucap Noura berbohong. Ia sangat yakin jika maksud dari permintaan Harry padanya bukanlah karena perasaan rindu seperti yang ia bilang kepada ibunya.

'Ada hal penting yang mau Harry sampaikan padaku,' batinnya.

Seketika sang ibu terkekeh. "Ada-ada saja. Kalian ini sudah besar. Tak perlu berlebihan jika salah satu di antara kita pergi dari rumah ini."

"Jadi, Ibu gak kangen sama aku?" Noura menggoda ibunya.

"Ya gak mungkin kalau Ibu gak kangen sama kamu. Tentu saja Ibu juga kangen. Tapi, ada batasan-batasan yang gak boleh Ibu langkahi ketika sang putri sudah dimiliki oleh orang lain. Itu sudah menjadi hukum alam, Noura."

Noura tampak terharu mendengar kalimat yang ibunya ucapkan. Mau bagaimana pun selama hampir tiga puluh tahun ia hidup bersama, mustahil rasanya jika ia rela berpisah begitu saja tanpa merasakan nyeri di hati. Terlebih kepergiannya karena sebuah kesepakatan atau perjanjian yang tidak seorang pun ketahui.

"Noura, apakah kamu baik-baik saja?" Pertanyaan sang ibu membuat Noura terkejut.

"Kenapa pertanyaan Ibu seperti itu? Apakah aku terlihat sedang sakit?" tanya Noura sembari cengengesan.

Wanita paruh baya dengan beberapa kerutan dan penuaan yang mulai tampak di wajahnya itu menggeleng sembari tersenyum.

"Ibu hanya merasa jika putri Ibu sedang ada masalah."

"Jangan memikirkan yang aneh-aneh, Bu. Aku baik-baik saja kok," ucap Noura seraya menggenggam jemari ibunya.

"Syukurlah kalau begitu. Sebab itu yang memang Ibu harapkan." Senyum getir ibunya Noura sunggingkan. Sebagai seorang ibu ia jelas tahu apa yang tengah terjadi terhadap putra dan putrinya.

Pernikahan Noura yang berlangsung mendadak, juga suami yang tak lain adalah mantan tunangan sahabatnya, adalah dua alasan sehingga ibunya Noura menganggap jika putrinya itu sedang berada dalam masalah.

'Feeling seorang Ibu tak pernah salah,' batinnya seraya merasakan sentuhan tangan sang putri yang terasa bergetar.

"Harry di mana, Bu?" Tak mau banyak berbasa-basi, Noura ingin tahu mengapa adiknya itu ingin bertemu.

"Ada di kamarnya," jawab ibunya. "Kalau Adlin masih belum pulang sekolah. Katanya masih ada tugas yang belum ia kerjakan," lanjutnya membicarakan adik Noura yang lain.

"Ah, kasihan. Itu pasti karena Adlin kerap bolos sekolah," ucap Noura sembari berusaha menyembunyikan perasaan sedih yang hatinya rasakan.

"Ya, yang bisa kita lakukan hanya berdoa. Semoga Tuhan beri kesembuhan untuk Adlin biar ia bisa menjalani kehidupannya dengan normal."

Noura mengangguk, mengiyakan ucapan sang ibu. "Ehm ... ya, Ibu benar. Sebagai keluarga hanya itu yang bisa kita lakukan. Berdoa dan selalu mendukungnya."

Senyum hadir di bibir keduanya. Meski Noura sempat merasa tak yakin dengan kesembuhan sang adik, tetapi berkat kekuatan dan keyakinan sang ibu juga adiknya, membuatnya kembali optimis.

"Ya sudah, aku mau menemui Harry dulu. Karena aku gak bisa lama-lama di sini. Aku belum izin sama Dean kalau mau menemui kalian."

Sang ibu terlihat kaget. "Jangan berbuat sesuka hatimu, Noura. Mau bagaimana pun sekarang Dean adalah suamimu. Orang yang sepatutnya kamu hormati dan hargai keberadaannya."

"Iya, Bu." Noura menyahut seraya tersenyum. Kata-kata sang ibu tentang bagaimana pun sosok Dean sempat membuatnya terdiam.

'Bagaimana mungkin aku menghormati dan menghargainya sedangkan ia saja tidak menganggapku istrinya,' batin Noura tak ingin membuat ibunya tahu dan bersedih.

**

Noura tidak menyangka jika Dean menunggunya pulang. Lelaki itu —seperti biasa, duduk dengan gaya dingin dan angkuh menatapnya penuh intimidasi.

"Kau pikir rumah ini tidak memiliki peraturan sehingga kau bebas masuk dan pergi sesuka hatimu?" tuduh Dean membuat Noura mengerutkan keningnya.

"Aku baru pulang dari kantor."

"Pulang dari kantor katamu? Kau pikir aku bodoh sampai tak tahu jam berapa biasanya orang-orang di kantormu pulang?" Dean masih dengan ekspresinya yang dingin, berkata seolah ia mengetahui segalanya.

Noura tidak menjawab. Jelas Dean tahu jam berapa biasanya Rachel —tunangannya itu, pulang bekerja.

"Aku pergi menemui ibu dan adikku. Setelah menikah aku belum mengunjungi mereka."

Ada perkataan Noura yang sepertinya tidak Dean suka. Kata 'pernikahan' yang wanita itu ucapkan bukanlah sesuatu yang penting yang harus dibicarakan.

"Itu bukan urusanku. Kau tahu jam berapa seharusnya kembali. Hal itu sudah tertuang jelas di dalam draft tugas dan tanggung jawabmu."

"Kalau begitu aku minta maaf. Tapi, bukankah aku tidak memiliki kewajiban memberi tahumu apa saja yang aku lakukan? Jadi, bagaimana kamu bisa tahu apa alasanku pulang terlambat?"

Noura bisa melihat rahang Dean yang mengeras. Bisa ia tebak jika perkataannya telah membuat suaminya itu kesal.

"Kalau begitu seharusnya kau pulang tepat waktu."

"Itu tidak mungkin. Jam pulang kantor saja sudah sore. Mana mungkin aku pulang tepat waktu jika ada urusan lain seperti hari ini."

"Kalau begitu, aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan."

"Apa itu?"

Namun, tak ada jawaban yang keluar dari mulut Dean saat Noura menanyakan sarannya. Lelaki itu hanya diam, lalu beranjak pergi meninggalkannya sendirian.

'Semoga bukan saran yang membuatku semakin menderita. Terlebih jika saran itu akan menghalangi langkahku membantu ibu dan kedua adikku,' batin Noura yang tiba-tiba teringat akan pembicaraannya dengan Harry.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status